Friday, July 22, 2016

Pokemon GO di Mata Bocah 90’s


Hei, Nak, jaman Bapak bocah dulu,
menangkap capung jauh lebih menyenangkan
daripada menangkap Pokemon.
(Son of 90’s)

Mengapa PokemonGO begitu populer? Tidak hanya anak-anak, bahkan orang dewasa pun ikut-ikutan berburu Pokemon. Padahal sebelumnya, belasan tahun yang lalu, Pokemon tidak lebih dari tontonan bocah yang tayang setiap hari Minggu. Kini, setelah belasan tahun berlalu, Pokemon kembali hadir dengan kemasan yang berbeda, melintasi batas negara dengan membawa segala kecanggihan teknologi peradaban modern. Masyarakat yang dulu memandang remeh Pokemon, kemudian tertarik untuk ikut-ikutan mencobanya.

Sebagai salah satu bocah 90’s (sebutan untuk mereka yang lahir sebelum tahun 2000), masa kecil saya boleh dikatakan beruntung. Saya masih sempat merasakan ‘habitat sosial’ yang sesuai dengan pola pikir dan tumbuh kembang anak-anak. Dalam hal musik, misalnya—saat itu, lagu anak-anak masih banyak diproduksi. Penyanyi-penyanyi cilik sering tampil di televisi sambil membawakan lagu-lagu tersebut—sebut saja Tasya, Joshua, Sherina dan Tina Toon. Lagu-lagu yang mereka bawakan juga masih bertema dunia anak. Belum pernah saya mendengar mereka menyanyikan lagu yang muatan liriknya berisi seloroh cabul atau cinta-cintaan ala orang dewasa.

Selain lagu anak-anak, saat itu, film-film kartun Jepang masih diperbolehkan tayang di stasiun televisi. Film-film tersebut terbilang lengkap karena belum ada adegan-adegan yang terkena sensor. Pada hari Minggu, bocah-bocah 90’s dimanjakan dengan berbagai film kartun. Mereka mempunyai banyak pilihan film kartun karena ada lebih dari satu stasiun televisi yang menayangkannya. Durasinya pun terbilang lama, mulai dari Subuh hinga menjelang siang. Karena itu, hari Minggu bisa dikatakan sebagai “Hari Surga” bagi bocah-bocah 90’s.

Nah, pada hari Minggu itulah, untuk pertama kalinya saya menonton kartun Pokemon. Kartun itu menceritakan tentang petualangan tiga orang bocah dengan Pokemonnya. Dalam petualangannya, ketiga bocah itu selalu diganggu oleh sosok lelaki berambut biru dan seorang perempuan berambut merah. Kedua tokoh antagonis itu selalu ditemani seekor Pokemon berbentuk kucing yang setia. Karena alur cerita yang membosankan, saya tidak pernah menjadi penggemar Pokemon.

Sebaliknya, saya lebih menyukai kartun Digimon (yang ditayangkan Ind*siar waktu itu). Dalam kartun ini, tensi yang disajikan jauh lebih menegangkan dengan plot twist yang cukup rumit. Sekuel pertamanya, “Digimon Adventure”, terbilang sangat sukses di pasaran dan berlanjut hingga dibuat 2 sekuel lanjutannya. Karena itu, tidak mengherankan jika saya lebih mengidolakan Digimon dan menganggap Pokemon sebagai versi KW dari Digimon.

Saat itu, sebagai bentuk kecintaan pada kartun favoritnya, bocah-bocah 90’s beramai-ramai mengoleksi tazoos* dan 2D miniature versi Digimon dan Pokemon. Mainan-mainan itu biasa diperoleh dari hadiah makanan ringan seperti Ch*ki, J*tzet, dan Cheet*z. Setelah terkumpul cukup banyak, tazoos dan 2D miniature akan dikembangkan menjadi alat permainan yang lebih seru, entah untuk berduel dengan teman, atau dirangkai menjadi berbagai macam model kreatif. Sebagian bocah juga mengkoleksi banyak produk mainan tersebut untuk diperjualbelikan.

Berhubung handphone (HP) dan game digital belum menjamur, saat itu, bocah-bocah 90’s terbiasa mencari kesenangan melalui permainan yang serba realistik—bisa dipegang, disentuh, dan dilempar. Selain tazoos dan 2D miniature, anak-anak 90’s cukup akrab dengan permainan tradisional seperti petak umpet, lompat tali, bermain kelereng, dan menerbangkan layang-layang. Jika sudah bosan, mereka biasa mencari binatang-binatang di alam terbuka seperti memancing, menangkap capung, dan berburu belalang. Semua aktivitas itu terasa sangat menyenangkan bagi bocah-bocah 90’s karena mereka bersentuhan langsung dengan objek permainan itu sendiri.

Saat itu, sebagian bocah yang orangtuanya cukup kaya bisa menikmati mainan modern seperti SEGA dan Nintendo. Tapi, bagi bocah-bocah lain yang tingkat ekonominya beragam, permainan konvensional tetap menjadi pilihan pertama. Ada lebih banyak kesenangan yang diperoleh melalui permainan fisik-realistik dibanding console digital. Rasa kebersamaan, kepedulian, dan solidaritas sesama teman adalah nilai-nilai moral yang tidak akan pernah bisa diperoleh dari console digital secanggih apapun teknologinya.

*   *   *
Kembali ke masalah Pokemon.

Hari ini, teknologi komunikasi telah berkembang pesat. Komputer dan ponsel pintar (smartphone) menjadi gadget wajib yang harus dimiliki setiap orang. Proses digitalisasi terjadi di setiap lini kehidupan masyarakat yang mendorong perubahan sosial budaya secara masif. Media hiburan bagi masyarakat, khususnya anak-anak, juga turut mengalami digitalisasi.

Sebagai perbandingan sederhananya:
Jika dulu bocah-bocah 90’s sibuk menerbangkan layang-layang, bocah-bocah masa kini sibuk menerbangkan drone.

Jika dulu bocah-bocah 90’s sibuk mencari kawannya yang ngumpet, bocah-bocah masa kini sibuk mencari-cari stop kontak dan wifi gratis.

Jika dulu bocah-bocah 90’s bermain perang-perangan dengan ‘pedang’ vynil yang bersinar, bocah-bocah masa kini sibuk bermain perang-perangan dengan menggosok layar smartphone.

Jika dulu bocah-bocah 90’s ramai berburu capung, bocah-bocah masa kini malah ramai berburu POKEMON!!!

Ah...Pokemon....

Setelah belasan tahun berlalu sejak serial kartun Pokemon ditayangkan di televisi swasta, Pokemon kini hadir dalam bentuk yang lebih nyata. Melalui konsep game berbasis Augmented Realistic (AR), PokemonGO telah berhasil memadukan unsur kesenangan dari permainan fisik-realistik ala bocah-bocah 90’s dengan permainan digital-modern ala bocah-bocah masa kini. Perpaduan kedua unsur tersebut membuat PokemonGO menjadi tren budaya yang menggejala di seantero dunia. Tidak mengherankan, seminggu setelah game ini dirilis, PokemonGO telah diunduh 10 juta kali di Android.

Bagi bocah-bocah 90’s yang dulu ngefans berat dengan Pokemon, game ini tentu menjadi sarana bernostalgia yang menarik. Kita bisa merasakan langsung bagaimana berpetualang mencari Pokemon dengan menggunakan peta dunia nyata. Dalam hal ini, konsep yang dipakai PokemonGO mirip dengan teknologi “Dragon Radar yang dipakai Goku dan Burma untuk mencari tujuh bola naga. Saat saya bocah, saya tidak pernah berpikir jika Dragon Radar bakal dimanfaatkan orang untuk berburu Pokemon.

*   *   *

Ada sebagian orang yang menganggap serius permainan PokemonGo. Orang-orang ini begitu terobsesi untuk mengumpulkan Pokemon, memenangkan duel, dan meraih poin tertinggi. Karena keasyikan bermain PokemonGO, tidak jarang mereka menemui kejadian buruk, mulai dari menabrak pohon, sampai terjatuh dari tebing. Kasus yang terdengar berlebihan memang. Hanya saja, kita memang perlu berhati-hati saat bermain PokemonGO, terutama dalam hal keselamatan diri.

Saya bukan bermaksud melarang kalian bermain PokemonGO. Seperti yang saya bahas sebelumnya, PokemonGO terbilang sukses menghadirkan konsep game digital yang mengkondisikan pemainnya untuk ke luar rumah—sesuatu yang tidak bisa dilakukan game digital konvensional. Dan seperti yang saya katakan, PokemonGO juga berhasil menjembatani modernitas game-game digital masa kini dengan kesenangan bocah-bocah 90’s dengan permainan fisik-realistiknya. Karena itu, tidak mengherankan jika kemudian PokemonGO menjadi game yang populer, hingga diunduh lebih dari 10 juta pengguna Android di minggu pertama perilisannya.

Hanya saja, sebagai seorang yang bertanggung jawab, kita harus ingat esensi pokok dari sebuah game adalah hiburan. Bagaimanapun, sebuah game tetaplah sebuah game yang diciptakan untuk tujuan bersenang-senang. Konyol sekali rasanya, jika kita menyikapi tantangan di dunia game layaknya kita menghadapi masalah di dunia nyata.

Setiap orang memiliki dimensi logika yang berfungsi untuk membedakan mana yang nyata dan mana yang tidak nyata. Kita harus bisa membedakan kedua hal ini dan mengkondisikan diri untuk berpikir “here and now”. Jika kita terlalu terobsesi dengan game PokemonGO, saya khawatir orang-orang menjadi terjebak dalam dunia digital ciptaannya sendiri, seperti halnya Anak-Anak Terpilih.

Bagi orang dewasa, saya rasa hal ini tidak perlu dicemaskan. Tapi bagi bocah-bocah, kesan yang diterima dari permainan PokemonGO tentu sangat berbeda. Saya khawatir asupan hiburan digital yang diterima bocah-bocah masa kini berpotensi mengubah karakter dasar mereka menjadi sosok yang egois, apatis, dan sungkan berempati pada kondisi sesamanya.

Pertanyaan saya, jika bocah-bocah masa kini sibuk bermain game dengan smartphone, kesenangan macam apa yang akan mereka dapatkan dari sana???

Kita semua tahu, kenangan masa kecil akan selalu terekam dalam pita memori kita. Sebagai bocah 90’s saya masih merasakan kenangan dari permainan yang saya mainkan saat itu. Saya masih ingat bagaimana serunya bermain petak umpet sambil beradu lari dengan bocah yang lain. Saya masih ingat perihnya jari yang lecet tergores senar saat bermain layang-layang. Saya juga masih ingat pakaian yang basah dan kaki-kaki yang penuh lumpur saat asyik bermain di bawah guyuran hujan. Lalu, bagaimana dengan bocah-bocah masa kini yang diasuh oleh smartphone dan PokemonGO-nya itu?

*   *   *

Berburu Pokemon jelas berbeda dengan berburu capung atau belalang. Berburu Pokemon jelas tidak sama dengan memancing atau menjala ikan. Berburu Pokemon juga tidak akan pernah seseru bermain lumpur di bawah guyuran hujan. Anak-anak adalah jenis manusia yang paling mengerti bagaimana caranya bersenang-senang. Karenanya, secara alami mereka selalu memiliki cara untuk menyenangkan dirinya sendiri.

Jika kecenderungan ini digantikan oleh objek digital yang tidak nyata, saya khawatir kelak ketika dewasa, anak-anak ini tidak terbiasa mengatasi masalah di dunia nyata. Bagaimanapun, segala kecanggihan teknologi digital ciptaan manusia tetap tidak akan mampu membeli “sensasi petualangan” yang sesungguhnya di dunia nyata.

Saya jadi teringat cerita Digimon Adventure. Serial kartun asal Jepang ini mengisahkan perjalanan “Anak-Anak Terpilih” (Taichi, Yamato, Sora, Jo, Kozhiro, Mimi, dan Takeru) yang terjebak dalam sebuah dunia digital. Di dunia itu, keselamatan Anak-Anak Terpilih sedang terancam karena adanya Digimon-Digimon jahat yang ingin menguasai dunia.

Anak-Anak Terpilih sadar, mereka tidak bisa tinggal di dunia digital selamanya. Mereka harus segera kembali ke dunia nyata karena ada orangtua dan sahabat yang telah menunggu kepulangan mereka. Anak-Anak Terpilih pun rela menempuh segala resiko petualangan demi mengembalikan dirinya ke dimensi realitas—tempat orangtua dan para sahabat menunggu.

Beruntung, sekawanan Digimon baik datang dan menolong Anak-Anak Terpilih. Para Digimon baik dan Anak-Anak Terpilih harus saling bekerjasama untuk mengalahkan para Digimon jahat sambil berusaha mencari jalan pulang ke dunia nyata. Dalam kondisi terdesak, para Digimon baik bisa berevolusi dan melipatgandakan kekuatannya demi melindungi Anak-Anak Terpilih dan mengembalikan mereka ke dunia nyata.

Seperti halnya cerita “Anak-Anak Terpilih” dalam serial Digimon Adventure, kita juga harus berjuang membebaskan diri dari perangkap dunia digital. Betapapun kerennya PokemonGO, kita harus tetap sadar bahwa kita memiliki tanggung jawab dan peran sosial di dunia nyata. Hal tersebut jauh lebih penting untuk diurus daripada menuruti ego mencari Pokemon.

Meski urusan ini tidak mudah, kita harus tetap sadar diri dan mulai mencoba untuk kembali pada dimensi realitas. Kita bisa mengakhiri segala candu ini dengan cara “mengalahkan para Pokemon jahat”—seperti halnya “Anak-Anak Terpilih” mengalahkan para digimon jahat demi mencari jalan pulang ke dunia nyata.[]


* tazoos: sejenis keping permainan berbahan dasar vynil lunak dengan pinggiran yang berlubang sebagai pengait. Bisa disusun atau dibentuk menjadi aneka macam model kreatif.