Friday, June 1, 2018

Gairah Artis dan Jalan Sunyi Para Blogger


Hanya segelintir orang yang bisa rutin ngeblog sampai belasan atau puluhan tahun. Faktor kesibukan, tidak ada waktu, dan minimnya ide menulis adalah beberapa alasan yang paling sering dilontarkan. Namun, pada umumnya, alasan mendasar kenapa banyak orang berhenti ngeblog adalah karena blog sulit membuat pemiliknya terkenal. Tentu saja ada beberapa pengecualian, seperti Raditya Dika yang sukses menjadi terkenal karena blog. Tapi, jika kalian bertanya pada para blogger pemula “kenapa kalian bikin blog?” kebanyakan mereka akan menjawab “karena saya ingin terkenal.”

Pada dasarnya kita ingin agar diri kita dikenal orang lain. Hal ini merupakan kebutuhan mendasar manusia sebagai makhluk sosial. Karenanya, kita sering merasa tidak nyaman jika terlalu lama berada di tempat yang tidak ada seorang pun mengenali kita. Awalnya, kita hanya butuh dikenal oleh orang-orang terdekat di sekitar kita, seperti orangtua, saudara, kerabat dan tetangga. Seiring bertambahnya usia, hubungan sosial dan relasi pertemanan kita semakin berkembang. Kita tidak lagi merasa cukup hanya dengan mengenal, tapi kita juga ingin agar diri kita dikenal. Kebutuhan untuk dikenal ini perlahan berubah menjadi hasrat untuk mengaktualisasikan diri—kita ingin agar orang-orang tahu siapa kita dan apa kelebihan kita. Saya menyebut kecenderungan ini sebagai “gairah artis”.

Ada banyak jalan yang bisa ditempuh untuk memenuhi “gairah artis” ini. Kita bisa memamerkan atau menunjukkan kelebihan kita secara langsung, seperti lewat pertunjukan seni, misalnya. Kita juga bisa memenuhi “gairah artis” dengan mendokumentasikan aktivitas kita dan menyebarkannya di ruang publik—misalnya melalui media massa.

Penemuan kamera dan alat perekam video memudahkan kita untuk melampiaskan “gairah artis”. Siapapun bisa mendokumentasikan setiap aktivitasnya lewat citra audio visual. Jika tiga puluh tahun lalu hanya orang-orang kaya yang bisa mendokumentasikan aktivitasnya lewat foto atau video, sekarang, dengan adanya internet dan smartphone, siapapun bisa dengan mudah mendokumentasikan bahkan membagikan foto atau videonya kepada semua orang di dunia.

Pada akhirnya, perkembangan teknologi telah mendorong “gairah artis” manusia menjadi tidak terkendali. Media sosial menjadi wadah sekaligus wabah yang menampung berjuta ragam ekspresi dan aktualisasi diri dari berbagai jenis ras manusia. Tak peduli apakah konten yang dimuat bermanfaat atau tidak, layak atau tidak, semua orang berlomba menunjukkan eksistensi diri masing-masing.  Semuanya mengusung misi yang sama: menjadi seorang yang lebih dikenal dan terkenal.

Lalu apa hubungannya ngeblog dengan “hasrat artis” yang selalu ingin terkenal? Well, seperti yang saya jelaskan di awal, blog juga bisa membuat seseorang menjadi terkenal. Seorang blogger pemula sangat mungkin tergiur untuk menjadi terkenal lewat blognya. Mereka memandang blog sebagaimana media sosial pada umumnya, seperti Facebook, Twitter, Path, dan Instagram. Padahal, blog dan media-media sosial mainstream memiliki beberapa aspek perbedaan.

Yang pertama, dari aspek fungsi jejaring pertemanan. Media-media sosial mainstream pada umumnya didesain untuk membuat penggunanya menjadi lebih dikenal dan memungkinkan mereka mendapat lebih banyak teman dalam waktu singkat. Kalian hanya perlu mengetikkan nama akun teman kalian, lalu klik “ADD”. Setelah dikonfirmasi (di-accept), kalian telah saling berteman dan bisa langsung berbagi informasi. Dan semua proses tersebut bisa dilakukan dengan mudah hanya dengan satu panel saja.

Sementara dalam dunia blog, konsep “teman” di sana berbeda dengan media sosial mainstream. “Teman” dalam dunia blog bisa diartikan sebagai pengikut (followers) yang rajin mengikuti dan memantau blog kalian. Karenanya, agar blog kalian mendapat pengikut dan dibaca banyak orang, kalian harus mengisi blog dengan konten-konten yang memang bisa dinikmati orang lain. Konten yang menarik akan membuat pengunjung blog merasa betah dan berpeluang untuk kembali mengunjungi blog kalian. Jika sudah begitu, maka besar kemungkinan pengunjung blog akan tertarik untuk mem-follow blog kalian.

Selain itu, agar jejaring pertemanan kalian di blog lebih luas, kalian juga butuh melakukan kunjungan ke blog-blog lain (blogwaking), promosi alamat blog, menjadi pengikut (followers) blogger lain, memanajemen SEO, sampai memastikan blog kalian terindeks Google. Sialnya, meski semua cara itu sudah kalian lakukan, pengikut blog kalian boleh jadi belum akan bertambah secara signifikan! Di sinilah letak keruwetan jejaring pertemanan di blog dibandingkan dengan media-media sosial mainstream lainnya. Sederhananya, jika untuk mendapat teman di blog kita harus gigih berjuang berhari-hari, maka untuk mendapat teman dari media sosial mainstream hanya perlu hitungan menit.

Alasan kemudahan dalam memperluas jaringan pertemanan inilah yang mengakibatkan jumlah pengguna blog dan pengguna media sosial seperti Facebook dan Twitter berbanding jauh. Selama belasan tahun kalian sekolah-kuliah, paling banter kalian hanya akan medapati dua tiga orang teman yang aktif ngeblog. Sisanya mungkin hanya iseng atau sekedar bikin blog untuk tugas TIK. Jadi, jika8 kalian ingin memperluas jaringan pertemanan melalui blog, menurut saya, media blog kurang cocok untuk tujuan semacam itu.

Perbedaan yang kedua, dari segi konten. Seperti yang sudah saya jelaskan tadi, membuat kontendi blog sebaiknya tidak ngasal. Jika konten blog kalian cenderung “3NG” (baca: TRING=NGawur, NGalay, dan Ngasal), hal tersebut bisa membuat pembaca merasa tidak nyaman (bahkan misuh mungkin). Akibatnya, pembaca akan malas berkunjung lagi ke blog kita karena kapok.

Berbeda dengan media-media sosial mainstream yang kebanyakan jejaring pertemanannya adalah teman-teman kalian sendiri. Sebagian dari mereka mungkin pernah bertemu langsung dengan kalian. Jadi, ketika kalian mengunggah sebuah konten (senorak dan seabsurd apapun itu), selama isi konten tidak bertentangan dengan undang-undang, maka akun media sosial kalian bisa tetap dikunjungi (bahkan masih mendapat jempol “like”).

Pada dasarnya, media-media sosial mainstream seperti Facebook, Twitter, Path, dan Instagram adalah versi mini-nya blog. Hanya peruntukannya berbeda untuk setiap orang—tergantung pada kebutuhan masing-masing. Yang ngeblog untuk berjualan banyak. Yang bermedsos untuk jualan berjuaan juga bejibun. Yang blognya ramai pengunjung ada, yang akun medsosnya kebanjiran followers juga ada. Masing-masing media memiliki fungsi dan peran yang berbeda untuk para penggunanya.

Tapi, bagi saya pribadi, blog adalah media aktualisasi diri yang sunyi. Saya sadar sesadar-sadarnya bahwa jika saya ngeblog hanya untuk menjadikan diri saya terkenal, maka saya sudah menggadaikan waktu dan pikiran saya untuk sesuatu yang tidak akan meningkatkan kualitas diri saya! Jika menjadi terkenal adalah tujuannya, maka alangkah baiknya jika saya jadi selebgram atau vlogger mi instan di Youtube (misalnya lho, ya). Dengan berbagai pertimbangan, saya memutuskan untuk ngeblog saja untuk menghindari lebih banyak “korban”. Maksud saya, jika blog saya buruk, paling banter orang hanya akan mencela tulisan saya. Tapi kalau video Youtube yang ada gambar muka saya jelek, sudah diedit dan disunat sembarangan (seperti kasus Pak Ahok), wah bisa-bisa saya jadi buronan orang-orang sekampung dengan tuduhan macam-macam. Saya tidak mau yang seperti itu.

Semua blogger, pada awalnya pasti pernah mengalami fase-fase di mana “gairah artis-nya” bergejolak. Gairah artis itu pula yang mendorong mereka rajin menulis di blog. Saking “produktifnya”, sebagian blogger sampai harus mencomot tulisan blog orang lain (copy paste). Tapi, ketika mereka sampai di titik di mana kerja keras mereka sia-sia, trafik pengunjung datar-datar saja, kolom komentar masih melompong, atau judul tulisan gagal tampil di firstpage Google, sudah semestinya kearifan diri ini yang terketuk. Karena blog tidak sama dengan media-media sosial mainstream.

Dalam dimensi kesunyiannya, ada sejumput kebijaksanaan dan pembelajaran berharga yang bisa kita ambil dari blog. Ada tetes hikmah keikhlasan yang harus kita renungkan, agar kita bisa melakukan sesuatu tanpa pamrih duniawi. Semuaitu membawa kita ke pertanyaan mendasar: “apa tujuan kita ngeblog”?

Para blogger yang konsisten ngeblog sampai belasan bahkan puluhan tahun selalu membat saya takjub. Konistensi mereka dalam menulis (mungkin karena faktor pekerjaan mereka yang rata-rata penulis) membutuhkan kadar keikhlasan sampai level tertentu. Jika mereka menulis, mereka akan menulis semata karena mereka ingin menulis. Karena dalam pekerjaan apapun, jika kita meniatkan pekerjaan itu sekedar untuk mencari tepukan dan ujaran pujian, maka yang akan kita dapati adalah kelelahan.

Begitu pula saat menulis. Jika kita terlalu muluk-muluk berpamrih, maka tulisan kita tidak akan selesai. Karena bagaimanapun, proses menulis membutuhkan kejernihan batin dan nalar agar apa yang tertulis tidak menjadi wacana yang menggelisahkan—pun ujaran kebencian.[]