Friday, July 15, 2016

Balada Televishit

Televisiku terlalu banyak mengurus hal-hal yang tidak perlu,
ibarat kucing tetangga melahirkan pun bisa masuk televisi
(Benny Prastawa)

Orang berpikir bahwa menaruh televisi di ruang tunggu adalah cara terbaik untuk memberikan hiburan murah bagi pelanggan yang mengantre. Di mana pun tempatnya, mulai dari instansi pemerintah, rumah sakit, sampai warung-warung makan sering menyediakan televisi sebagai pengusir kebosanan pelanggan. Di satu sisi, saya setuju dengan ide ini karena kenyataannya saya juga sering dongkol saat harus berlama-lama mengantre. Tapi yang menjadi masalah, konten yang disajikan televisi—bagi saya—jauh dari kata menghibur. Silahkan tanyakan pada anak-anak generasi 1980-1990-an (yang sekarang sudah beranjak dewasa tentunya), maka akan kalian dapati opini umum bahwa tayangan televisi saat ini sangat payah.

Saya kesulitan menemukan unsur “menghibur” dan “mendidik” saat menonton televisi. Hal ini bisa dilihat mulai dari acara lawak yang niatnya melucu, tapi malah jadi tidak lucu—karena menjadikan atribut fisik lawan main sebagai bahan candaan. Acara berita yang seharusnya menghadirkan informasi yang bernas tanpa tendensi, ternyata malah dipelintir menjadi alat penggiring opini publik dan ‘bombatisasi’ kasus. Pun dengan acara khusus anak-anak yang sudah jarang kita saksikan di televisi. Hanya segelintir acara anak yang saya rasa cukup mendidik, seperti Si Bolang, Laptop Si Unyil, dan kartun “Ipin Upin”—meski yang terakhir ini hasil impor negeri tetangga.

Tentu saja opini ini sifatnya subjektif atas dasar pendapat saya pribadi. Saya tidak mengatakan semua orang pasti berpikir seperti saya. Karena sebagai media publik, tayangan televisi juga memperhatikan selera masyarakat. Tidak ada satupun stasiun televisi yang tidak peduli pada rating, karena dari sana televisi mendapat pemasukan iklan.

Dalam hal ini, bagaimanapun kita tidak bisa memaksakan selera masyarakat. Andai masyarakat menggilai infotainment, maka acara itulah yang akan menghiasi channel-channel televisi kita. Jika masyarakat menggemari acara lawak, maka acara sejenis itu pula yang akan banyak menyedot perhatian penonton. Suka atau tidak suka, mendidik atau tidak mendidik, kita selaku konsumen hanya bisa mengunyahnya, menelannya, atau bahkan memuntahkannya.

Tidak heran jika orang-prang berduit lebih memilih membayar lebih untuk menikmati siaran televisi berbayar dengan ratusan channel yang menarik. Tak apalah keluar ratusan ribu per bulan, asal anggota keluarga bisa menikmati tayangan televisi yang lebih mendidik dan berkualitas.

Tapi berapa banyak orang yang cukup kaya untuk berlangganan channel berbayar? Saya pun curiga, jangan-jangan tayangan televisi sengaja digarap dengan kualitas seadanya, agar para penonton jengah dan mulai beralih pada televisi berbayar(?) Sayang sekali, saya tidak punya bukti.

*   *   *

Lebaran kemarin saya pulang ke kampung halaman. Ada sebuah pesawat televisi milik keluarga di sana. Berhubung saya sudah kehilangan minat menonton televisi, saya tidak akan memprotes siaran favorit keluarga saya. Pada akhirnya, saya malah ikut-ikutan menonton kuis yang menang kalahnya ditentukan hasil survey 100 orang. []
July 15, 2016Benny Prastawa