Wednesday, July 20, 2016

Elegi Merconpati


“Tanpa resiko kehilangan nyawa,
tak mungkin ada petualangan.”
(Reinhold Messner)

Setiap kali lebaran, harapan saya cuma satu—semoga saya bisa berlebaran dengan damai tahun ini. Harapan yang terdengar konyol memang. Di saat orang lain sibuk bertukar pesan maaf, saya malah berharap bisa berlebaran dengan damai. Tapi saya tidak peduli. Kebisingan yang saya rasakan di hari lebaran sudah mencapai taraf mengganggu. Kebisingan itu telah mencederai esensi 'hari kemenangan' itu sendiri. Secara khusus, dalam tulisan ini, saya hanya akan membahas kebisingan yang ditimbulkan oleh ledakan mercon.

Entah siapa orang yang pertama kali menggagas ide tentang mercon. Pada dasarnya, mercon adalah salah satu jenis bahan peledak berdaya rendah. Hanya saja, bahan peledak itu telah dikemas sedemikian rupa sehingga ia lebih aman untuk dijadikan ‘mainan’ (walaupun sebenarnya setiap bahan peledak tetap saja berbahaya). Karenanya, bisa dibilang mercon adalah sebuah ‘seni’ dalam mengkreasikan bahan peledak demi keperluan entertainment.

Dalam kultur masyarakat kita, mercon sudah bersinonim degan kata “perayaan”. Karenanya, tidak mengherankan jika mercon selalu menjadi primadona dalam setiap edisi lebaran atau perayaan tahun baru. Betapapun berbahayanya, mercon tetap menjadi benda ‘sakral’ yang wajib disulut dalam setiap perayaan. Padahal, dari sisi utilitas, tidak ada manfaat yang jelas dari sebuah mercon, alih-alih benda tersebut lebih sering membawa ending tragis bagi para korbannya.

Jika kita mengetikkan kata “mercon” di Google, maka akan muncul seabrek berita tentang insiden ledakan mercon, lengkap dengan gambar para korbannya. Tak terhitung lagi berapa banyak korban yang berjatuhan karena terkena ledakan mercon, baik dari pihak pelaku peledakan maupun para peracik mercon itu sendiri. Kenyataan ini mengerikan sekali. Bayangkan, bagaimana bisa sebuah benda yang tidak jelas manfaatnya terus-menerus diproduksi, dipasarkan secara luas, dan menimbulkan begitu banyak petaka di masyarakat tanpa ada satu pun sistem yang bisa menghentikan peredarannya.

Sebagian orang mungkin berpikir bahwa meledakkan mercon adalah permainan yang menyenangkan. Bagi mereka, ada kepuasan tersendiri yang dirasakan ketika berhasil meledakkan mercon. Karena dianggap menyenangkan, orang mulai terbawa arus dan melalaikan resiko terburuk dari ledakan mercon. Tak peduli berapa pun banyaknya korban yang tewas atau menjadi cacat seumur hidup karena bermain mercon, benda itu tetap menjadi primadona dalam setiap perayaan. Hal ini persis seperti para pecandu miras oplosan yang terus menenggak minuman itu, meski korban yang menggelepar dengan mulut berbusa sudah jamak terjadi di mana-mana.

*   *   *

Berbicara masalah mercon, saya jadi teringat sebuah video di Youtube yang menayangkan detik-detik ledakan mercon ‘raksasa’ di daerah Pemalang, Jawa Tengah. Peristiwa itu terjadi pada bulan Juli 2013. Dalam video berdurasi sekitar dua setengah menit itu, tampak jelas bagaimana prosesi peledakan mercon ‘raksasa’ yang berujung petaka.

Awalnya, sebuah mercon ‘raksasa’ diarak beramai-ramai menuju areal persawahan (beberapa sumber mengatakan, tinggi mercon ‘raksasa’ itu mencapai 1,3 meter dengan diameter 20 sentimeter). Areal persawahan itu tampak cukup luas, sehingga cocok dijadikan tempat meledakkan mercon. Jika melihat banyaknya ceceran kertas sisa mercon di areal tersebut, sepertinya masyarakat di daerah itu sudah sering menggelar acara serupa sebelumnya.

Sesampainya di tempat peledakan, tiga orang pemuda bersiap menyulut mercon ‘raksasa’. Beberapa meter di sebelahnya, dua orang pemuda terlihat sibuk merekam suasana peledakan melalui kamera ponselnya. Begitu segala sesuatunya siap, mercon pun disulut. Dalam hitungan detik, mercon yang baru saja disulut langsung meledak hebat.

DAAARRRR!!!!

Suara ledakan terdengar sangat keras. Asap putih yang tebal segera menyelimuti lokasi ledakan. Kertas-kertas pembungkus mercon berhamburan di udara. Tiga orang yang menyulut mercon terkapar. Dua di antaranya (dikabarkan) tewas seketika. Warga yang awalnya ‘asyik’ menonton, tiba-tiba menjadi histeris. Mereka berhamburan menuju lokasi ledakan untuk menolong para korban yang tergeletak tak berdaya.

Sejurus kemudian, sebuah mobil pick up datang untuk melarikan para korban ke rumah sakit. Kondisi tubuh mereka tampak sangat mengenaskan. Salah seorang warga yang membantu evakuasi tampak menenteng potongan kaki salah satu korban sambil berkata, “Iki sikile, iki sikile…” (Ini kakinya, ini kakinya). Dan saya pun mulai mual untuk melanjutkan cerita ini.

*   *   *

Seperti yang saya katakan tadi, saya tidak habis pikir dengan orang yang meledakkan mercon. Meski mereka menganggap mercon adalah sarana hiburan, hal itu tidak mengubah fakta bahwa mercon telah menelan banyak korban jiwa, baik dari pihak pelaku peledakan maupun para peraciknya. Tapi para penggemar mercon tidak pernah jera. Setiap tahun, setiap lebaran, letup-letup mercon masih terus terdengar. Ironisnya, orang-orang dewasa malah ikut-ikutan latah, ‘mengompori’ anak-anak untuk meledakkan mercon sebagai wujud perayaan lebaran.

Pertanyaannya, mengapa orang senang meledakkan mercon?

Dalam asumsi saya, setidaknya ada 3 faktor utama yang membuat orang berpikir bahwa meledakkan mercon itu menyenangkan, yaitu: faktor ‘bahaya’, ‘gejolak adrenalin’, dan ‘sensasi kelegaan’.

Semua orang tahu bahaya ledakan mercon. Tapi terkadang manusia ingin ‘bermain-main’ dengan bahaya itu. Sebagian orang merasa tertantang untuk mendekatkan diri pada sebuah objek atau kondisi yang berbahaya, demi mendapatkan ‘sensasi berpetualang’. Hal serupa juga dialami oleh para pelaku olahraga ekstrim seperti jetski, panjat tebing, bungy jumping, dan penggemar wahana roller coaster. Jika kita termasuk salah satu di antara penikmat kegiatan ekstrim tersebut, kita bisa lebih mudah memahami ‘kesenangan’ yang dirasakan para penggemar mercon.

Ketika kita dihadapkan pada bahaya, maka hormon adrenalin akan meningkat. Hal ini memicu serangkaian mekanisme ‘pertahanan diri’ dalam tubuh kita, seperti meningkatnya denyut jantung dan mempercepat proses respirasi. Contoh dari proses ini adalah saat kita berlari kencang karena dikejar-kejar anjing. Selain itu, hormon adrenalin juga bisa memicu pelepasan stres. Itu sebabnya, orang-orang yang meledakkan mercon bisa tetap berwajah ceria karena sebagian stres dalam dirinya telah terlepas.

Dari penjabaran di atas, kita bisa memahami ‘kelegaan’ yang dirasakan para penggemar mercon ketika berhasil meledakkan sebuah mercon dan meloloskan diri dari bahaya terkena efek ledakannya. Hal ini, pada akhirnya, mendorong penggemar mercon untuk meledakkan mercon lagi dan lagi. Tanpa sadar, mereka tengah digiring untuk ‘berjudi’ dengan mempertaruhkan keselamatan dirinya sendiri.

Sebuah kesenangan sesaat yang ditukar dengan keselamatan diri atau bahkan nyawa adalah salah satu bentuk kebodohan. Tidak logis rasanya, jika kesenangan yang sifatnya sesaat harus dibayar dengan nyawa yang tidak sebanding harganya. Padahal, kita semua tahu, ada banyak jalan yang bisa ditempuh untuk meraih kesenangan hidup. Untuk apa mempertaruhkan keselamatan diri sendiri demi sebuah petualangan?

Karena itu, sebelum kalian ikut-ikutan meledakkan mercon, pikirkanlah baik-baik! Pikirkanlah orang-orang yang akan terganggu ketenteramannya karena suara mercon. Pikirkan juga keselamatan diri kita! Pikirkanlah, orang-orang yang menjadi cacat dan mati konyol terkena ledakan mercon! Pikirkanlah semua kekonyolan dan kebodohan yang ditimbulkan mercon. Karena di mana pun tempatnya, sebuah mercon tidak pernah ragu untuk meminta tumbal nyawa.[]
July 20, 2016Benny Prastawa