Thursday, December 20, 2018

Popok Bayi


Melihat kenyataan popok kotor yang menumpuk di ember, terkadang saya kok jadi berpikir agak “milsuf”. Tumpukan popok kotor bisa kita ibaratkan seperti tugas-tugas atau kewajiban-kewajiban hidup yang harus kita kerjakan, tapi kita menunda-nunda penyelesaiannya. Semakin sering kita menunda suatu tugas maka tugas-tugas itu akan semakin menumpuk dan membuat kita kewalahan. Dengan kata lain, semakin banyak penundaan yang kita lakukan, semakin enggan kita menyelesaikan tumpukan tugas itu.

Hal ini sama persis dengan masalah popok bayi. Pada usia-usia awal pasca kelahiran, bayi cenderung berak dan pipis lebih sering. Konsekuensinya, bayi harus lebih sering ganti popok karena bayi akan rewel jika memakai popok kotor. Dalam hal ini, bayi baru lahir biasanya akan memakai popok kain yang bisa dipakai berulang kali (pemakaian popok sekali pakai biasanya kurang disarankan karena bisa memicu reaksi alergi pada kulit bayi). Agar bisa dipakai berulang kali, mau tak mau, orangtua harus rajin mencuci popok bayinya. Dari sinilah masalah tumpukan popok kotor dimulai.

Entah karena kesibukan atau karena orangtuanya yang “malas”, tugas mencuci popok sangat mungkin tertunda-tunda. Akibatnya, popok kotor dengan bau amoniak yang menyengat menumpuk di ember cuci. Jika stok popok bersih tidak mencukupi, si bayi bisa berada dalam masalah serius—lebih-lebih bayi yang baru lahir karena tidak tahan jika popoknya kotor.

Untuk menyiasatinya, beberapa orangtua mungkin akan berpaling pada popok sekali pakai yang lebih praktis. Begitu bayi ngompol atau berak, popok sekali pakai bisa segera dibuang. Urusan popok kotor pun selesai. Dengan cara ini, para orangtua tidak perlu repot memikirkan cucian popok yang menggunung di ember.

Tapi, seperti yang dijelaskan sebelumnya, popok sekali pakai sangat mungkin memicu reaksi alergi pada kulit bayi. Reaksi alergi ini biasanya berupa ruam atau bercak-bercak kemerahan pada bagian pantat, selangkangan, atau pada lipatan-lipatan paha yang bersinggungan dengan popok. Karena itu, popok kain menjadi pilihan teraman agar bayi tidak menderita karena reaksi alergi semacam ini. Sungguh tidak “berperi-kebayian” sekali jika orangtua memilih kulit si bayi menderita hanya karena keengganan dan kemalasan mereka mencuci popok.

Dan begitulah, urusan cuci-mencuci popok kotor ini menjadi potret tugas-tugas dan kewajiban hidup kita sehari-hari. Popok yang kotor akan segera menumpuk jika tidak segera dicicil pencuciannya. Begitu pula dengan tugas-tugas dan kewajiban dalam hidup yang harus segera kita tunaikan. Terlepas dari apapun status sosial dan profesi yang kita jalani, kita harus konsisten menyelesaikan tugas-tugas tersebut agar tidak menumpuk dan menimbulkan masalah di kemudian hari.

Ya, seperti popok kotor tadi. Cara terbaik mengatasi popok kotor adalah mencucinya sesegera mungkin. Jadi, ketika satu dua popok sudah terkena urin atau feses, cucilah segera popok itu. Jika cara ini dirasa memberatkan, maka cicillah pencucian popok setiap 6 sampai 10 jam sekali—jangan sampai membiarkan popok kotor lebih dari 24 jam (kasihan baunya).

Begitu pula dengan tugas atau pekerjaan kita sehari-hari. Tidak ada jawaban lain yang lebih baik untuk mengatasi tumpukan tugas, selain dengan menyelesaikannya sesegera mungkin sebelum tugas-tugas itu “beranak-pinak” dan menumpuk lebih banyak lagi.

Yang perlu kita ingat, setiap penundaan kita atas tugas dan kewajiban-kewajiban yang seharusnya kita kerjakan akan selalu menuntut “bayarannya”. Seorang pelajar atau mahasiswa, misalnya, jika mereka tidak kunjung mengerjakan tugas-tugasnya, maka studinya bisa berantakan, nilai tidak maksimal, sampai-sampai kelulusan pun serba tertunda. Si pelajar atau mahasiswa jelas akan merugi, termasuk orangtuanya yang telah berdarah-darah membiayai studinya. Seorang karyawan, jika mereka tidak kunjung menggarap pekerjaannya, maka klien atau atasannya boleh jadi dirugikan. Imbasnya, sanksi-sankisi administratif pun dijatuhkan, bonus-bonus dinihilkan, liburan tertunda, gaji bulanan disunat, sampai yang terparah menghadapi resiko pemecatan.

Berteori dan beretorika memang mudah. Sedangkan untuk implementasi dalam keseharian perlu adanya tekad kuat dan disiplin diri yang tidak setengah-setengah. Selagi tubuh kita sehat dan waktu luang kita banyak, ada baiknya kita mensyukuri nikmat-nikmat itu dengan menyelesaikan apa yang menjadi tanggungan kita. Yah, seperti tulisan di gerobak sampah yang sering mangkal di dekat tempat kerja saya: “Diparingi Sehat, Kudu Manfaat” (diberi kesehatan, harus memberi manfaat). Semoga kita semua bisa konsisten menyelesaikan tugas serta dijauhkan dari racun kemalasan dan sikap menunda-nunda.[]

#backDate

December 20, 2018Benny Prastawa

Friday, December 7, 2018

Danien Kalandra Birth Day


Hari itu, Kamis sore, awan mendung masih bergelayut di atas langit. Ayah baru pulang dari kantor saat Bunda mengeluh perutnya terasa nyeri. Mulanya, kami menganggap hal itu biasa. Hasil pemeriksaan terakhir menunjukkan kondisi kehamilan Bunda masih normal-normal saja. Bunda bilang, beberapa hari terakhir perutnya memang sering terasa nyeri. Biasanya, rasa nyeri itu akan hilang dalam hitungan jam. Tapi, nyeri sore itu tampak berbeda karena diiringi dengan keluarnya bercak (flek) darah. Ayah dan Bunda mendadak cemas.

Usia kehamilan Bunda memang sudah lebih dari 37 minggu. Itu berarti, Ayah harus bersiap menghadapi segala kemungkinan karena fase melahirkan bisa datang sewaktu-waktu. Menurut hitungan dokter, hari perkiraan kelahiran (HPL) Bunda masih dua minggu lagi. Meski begitu, Ayah tetap harus siaga. Barang-barang yang perlu dibawa saat persalinan sudah Ayah kemasi dalam koper jauh-jauh hari sebelumnya.

Sekitar jam 10 malam, Bunda kembali mengeluh. Nyeri di perutnya tidak kunjung reda alih-alih semakin parah. Bercak darah yang keluar tadi sore membuat kecemasan Ayah dan Bunda menjadi berlipat. Ayah dan Bunda sempat ragu, apakah Bunda harus segera dibawa ke klinik atau bisa menunggu sampai Subuh andaikata nyeri itu hilang seperti biasanya. Akhirnya, untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk, kami memutuskan membawa Bunda ke klinik malam itu juga.

Menjelang tengah malam, kami sampai di klinik bersalin. Suasana klinik sangat lenggang saat itu. Gerbang klinik tampak tertutup rapat tanpa petugas jaga di sana. Ayah yang agak panik mencoba membuka gerbang yang ternyata tidak digembok. Terlihat tidak sopan sih—membuka gerbang tanpa permisi. Tapi situasinya yang serba darurat memaksa Ayah harus melakukan itu. Setelah gerbang terbuka, Ayah dan Bunda segera beranjak masuk ke klinik itu.

Seorang petugas klinik menghampiri kami dan menyilahkan kami utuk langusng masuk ke ruang bersalin. Kondisi darurat semacam itu sudah biasa, jadi menurutnya kami tidak perlu merasa canggung. Di ruang bersalin, Bunda dibaringkan dan segera diperiksa oleh dua orang bidan. Sementara Ayah beralih ke meja resepsionis untuk mengurus administrasi. Petugas-petugas jaga di klinik itu tampak sigap meski mata merah mereka tak bisa menyembunyikan rasa kantuk yang menjalar.

Dari hasil pemeriksaan sementara, Bunda belum mengalami “pembukaan”. Kehamilan Bunda masih baik-baik saja. Cairan ketuban di dalam rahim juga terindikasi normal. Meski begitu, Bunda tidak diperkenankan pulang. Demi mengantisipasi kondisi darurat, Bunda disarankan untuk berdiam di klinik itu. Ayah dan Bunda tidak keberatan. Maka, sepanjang malam kami berdua menghabiskan waktu istirahat di ruang bersalin.

Nuansa ruang bersalin yang serba asing menyulitkan kami untuk memejamkan mata. Peralatan-peralatan medis seperti pisau bedah, stetoskop, suntik, kasa, mesin pensteril, sampai alat kejut jantung bukanlah benda-benda yang biasa kami pajang di kamar tidur. Belum lagi aroma refisol (cairan pembersih lantai) yang menyeruak memenuhi ruangan, sedikit banyak membuat kami merasa kurang nyaman. Di sisi lain, Bunda masih terus menceracau mengeluhkan nyeri di perutnya yang semakin parah. Ayah hanya bisa cemas karena tidak ada yang bisa dilakukan untuk meringankan penderitaan Bunda. Maka, sepanjang malam itu, Ayah dan Bunda nyaris tidak bisa tidur. Baru pada saat waktu Subuh menjelang, Bunda bisa tertidur pulas. Ayah pun menyusul tertidur selepas sembahyang Subuh.

Saat Ayah terbangun, Bunda sudah dikerumuni seorang bidan dan beberapa asistennya. Mereka tampak sibuk memeriksa Bunda dan menanyakan kondisinya. Bunda bilang, cairan ketubannya sudah pecah. Ayah yang baru mengumpulkan kesadaran (karena letih kurang tidur) hampir tidak percaya karena perkiraan kelahiran masih dua minggu lagi. Dengan pecahnya cairan ketuban, maka bisa dipastikan fase kelahiran si jabang bayi tinggal menunggu hitungan jam. Untung saja Bunda dibawa ke klinik pada malam harinya. Andai kami memilih menunggu hingga Subuh, maka Bunda akan dibawa ke klinik setelah fase pecah ketuban. Dan itu tentu akan menjadi pilihan yang beresiko.

Setelah fase pecah ketuban, Bunda hanya bisa menunggu jalannya proses pembukaan alamiah. Total ada sepuluh tahap pembukaan yang harus dijalani. Dan untuk setiap tahap pembukaan, Bunda harus merasakan nyeri dan mulas yang luar biasa sakitnya. Berjam-jam setelah fase pecah ketuban, Bunda mulai merasakan peningkatan rasa nyeri yang semakin tak tertahankan. Berkali-kali Bunda harus mengatur napas, menghirup udara lewat hidung dan menghembuskan lewat mulut untuk mengurangi rasa sakit.

Ayah yang semalaman menunggu Bunda di klinik, hanya bisa pasrah menatap Bunda yang terus mengerang kesakitan. Andai rasa sakit itu bisa “dibagi”, tentu Ayah akan bersedia menanggung beban kesakitan itu. Bagaimana tidak? Sampai pukul 1 siang, tidak ada tanda-tanda rasa sakit Bunda mereda. Dengan kata lain, sudah 14 jam Bunda bergulat menahan rasa sakit! Setiap kali perutnya terasa berkontraksi hebat, Bunda mengerang. Mulutnya menceracau mengaduh penuh iba. Ayah bolak-balik memanggil bidan, meminta mereka mengecek kondisi Bunda. Namun bidan-bidan itu hanya meminta Ayah untuk bersabar dan membiarkan “proses pembukaan” berjalan alamiah. Bunda sempat meminta agar dirujuk ke rumah sakit lain. Tapi pihak klinik menolak karena terbentur regulasi asuransi kesehatan (BPJS) dan alasan meminimalkan resiko persalinan.

Maka, berjam-jam kemudian, Ayah harus berkelindan dengan momen paling traumatik—memandang wajah Bunda yang terus mengaduh dan mengerang kesakitan. Ayah harus menghadapi itu selama tidak kurang dari 18 jam! Di sisi lain, napas Bunda mulai terdengar terengah-engah. Bunda mulai berat untuk mengatur napasnya sendiri. Bulir-bulir keringat membasahi sekujur tubuhnya yang terkulai. Ayah ingin meredakan penderitaan Bunda yang semakin kepayahan. Tapi, sekali lagi,  tidak ada tindakan medis yang bisa dilakukan saat itu. Bidan pun hanya meminta Ayah agar sabar menunggu sampai Ayah sempat jengkel dibuatnya. Tapi Ayah bisa apa? Karena memang begitulah proses kodrati seorang ibu yang akan melahirkan secara normal.

Jumat sore, selepas adzan Maghrib, seorang bidan dan dua asistennya mendatangi Bunda untuk pemeriksaan lanjutan. Bunda tampak sangat kacau saat itu. Wajahnya kuyu bermandikan peluh. Napasnya masih tersengal-sengal riuh. Kabar baiknya, Bunda sudah berhasil melewati tahap pembukaan 10. Artinya, Bunda sudah siap melakukan fase terakhir untuk mengeluarkan si jabang bayi. Dengan bantuan bidan dan para asistennya, Bunda bersiap melakukan kontraksi untuk mendorong bayi agar keluar. Nyatanya, proses “mengejan” ini tidak semudah yang terlihat di video-video persalinan di Youtube. Berulang kali, dalam satu tarikan nafas, Bunda mengejan untuk mendorong keluar bayinya. Bunda membutuhkan tenaga ekstra setelah sebelumnya menahan sakit selama 18 jam! Benar-benar perjuangan yang sangat pantas diganjar pahala setara jihad.

Tahap terakhir persalinan ini memakan waktu hampir 1 jam. Bunda terus dimotivasi oleh bidan agar lebih kuat mengejan. Perjuangan Bunda sebenarnya hampir berhasil. Kepala bayi sempat tiga kali keluar. Hanya saja, kurangnya daya dorong membuat kepala bayi yang semestinya sudah bisa keluar, malah terbenam masuk kembali ke rahim. Bidan pun terpaksa bertindak dengan memperlebar jalan lahir.

Akhirnya, setelah tiga kali timbul tenggelam, pada kali keempat, kepala bayi berhasil keluar beserta badan utuhnya. Alhamdulillaah... Tak terperi bagaimana leganya Ayah melihat saga persalinan yang mendebarkan itu berhasil. Perjuangan bunda mengejan hingga berdarah-darah terbayar dengan lahirnya sesosok bayi mungil. Setelah dipotong dan dibersihkan pusarnya, bayi yang masih merah itu diletakkan di dekapan Bunda. Rona kelegaan, haru, dan bahagia berpadu memancar dari wajah Bunda yang letih. Dalam hati, Ayah dan Bunda tidak henti-hentinya berucap syukur, memuji kuasa Tuhan yan telah melancarkan persalinan malam itu. Tepat pukul 18.55, hari Jumat, 23 November 2018, bayi pertama kami telah hadir dan sah menjadi bagian semesta. Adzan dan iqamah Ayah kumandangkan masing-masing di telinga kanan dan kiri si bayi. Dan bayi kecil itu kami beri nama “Danien Akmal Kalandra”.

*   * *

Untuk putra saya—jika kelak engkau membaca catatan ini—maka sungguh, janjikan ini pada Ayah, yakni agar engkau selalu dan selalu berbakti serta menaruh rasa hormat pada ibumu. Tak peduli meski di matamu ibumu terlihat kurang sempurna, bawel, suka mengomel, apapun itu—andai engkau tahu sekilas saja perjuangannya saat melahirkanmu, yakinlah engkau akan bersimpuh takzim memohon ampun dan tak sekalipun berani mendurhakainya.

Semoga catatan ini bisa menjadi pengingat bagimu agar engkau sadar bagaimana harus berbuat dan berperilaku kepada orangtuamu, lebih-lebih kepada ibumu. Ingatlah, bahwa baginda Rasulullh SAW berpesan sampai tiga kali, mengingatkan tentang kewajiban seorang anak agar berbakti kepada ibunya, baru setelah itu ayahnya. Karena kasih ibu akan selalu ada sepanjang masa. Dan baktimu adalah jawaban terbaik untuk membalas budi pada ibumu. Tak tertolak.[]