Saturday, April 22, 2017

Dokter Gigi


Jika kamu tidak pandai tersenyum,
lebih baik jangan jadi pedagang
(pepatah Cina)

Tempo hari, sakit gigi saya kambuh—tepatnya di geraham belakang sebelah kiri. Selama ini, geraham belakang saya memang bermasalah. Giginya berlubang karena tambalannya copot. Karena saya bukan ahli gigi saya hanya berpurba sangka—jangan-jangan kuman-kuman di dalam mulut saya sudah ‘beranak-pinak’ di lubang gigi itu. Pada akhirnya, kuman-kuman itulah yang menyebabkan sakit gigi saya kambuh. Gusi di sekitar geraham saya pun ikut membengkak. Rasa ngilunya luar biasa. Benarlah jika ada yang bilang: “sakit gigi lebih menyakitkan daripada sakit hati” (untuk saat ini, saya setuju dengan ungkapan itu).

Bagian paling menjengkelkan dari sakit gigi adalah ‘sensasi nyerinya’ yang menjalar. Bagian-bagian tubuh yang tidak ada sangkut-pautnya dengan gigi bisa ikut-ikutan sakit. Dari beberapa artikel yang pernah saya baca di internet, sakit gigi bisa menyebabkan demam, infeksi, peradangan, gusi berdarah, linu di sekitar kepala dan bahu, sampai gangguan sinusitis. Pada kasus saya, sakit gigi ini sukses mendatangkan demam, nyeri kepala, dan gangguan pencernaan (gara-gara nafsu makan saya anjlok). Biasanya, saya akan meminum paracetamol untuk meredakan rasa nyeri akibat sakit gigi. Tapi kali ini, paracetamol saja tidak cukup. Selang tiga hari kemudian, sakit gigi saya belum mereda. Saya pun memutuskan untuk segera ke dokter gigi.

Berbicara soal dokter gigi, saya punya seorang dokter gigi langganan—Bu In namanya. Saya sudah memakai jasa layanan Bu In sejak tahun 1995 atau sejak umur 3 tahun. Setiap kali gigi saya bermasalah, saya selalu pergi ke klinik Bu In. Sejauh ini, saya enggan beralih ke dokter gigi lain. Pikir saya, jauh lebih mudah dan aman jika saya memeriksakan gigi ke klinik Bu In karena semua rekam medis gigi saya ada di kliniknya. Karenanya, setelah dewasa pun saya tetap memakai jasa Bu In untuk merawat gigi saya.

Sejak kecil, riwayat gigi saya memang tidak beres. Kebiasaan saya mengunyah permen, membuat saya hampir kehabisan gigi. Gigi saya banyak yang tanggal dan berlubang di sana sini. Karenanya, tidak heran jika saya sudah menjadi pelanggan Bu In sejak berumur 3 tahun. Berkat klinik Bu In, gigi-gigi saya yang bermasalah pun bisa terselamatkan.

Pertama kali saya datang ke klinik Bu In bersama ibu saya. Ibu saya pernah bilang kalau dia membawa saya ke klinik Bu In agar saya tidak terlalu kesakitan saat diperiksa. Dan memang begitulah adanya. Sejak dulu, klinik Bu In terkenal dengan keramahannya melayani pasien anak-anak. Meski begitu, seperti bocah-bocah lain pada umumnya, saya tetap ketakutan melihat alat-alat perawatan gigi di ruang kerja Bu In, mulai dari lampu sorot berwarna kuning yang menyilaukan, penjepit, tang pencabut, dan tentu saja—bor gigi.

Dan tanpa terasa, dua puluh satu tahun berlalu. Saya kembali mengunjungi klinik Bu In untuk yang kesekian kalinya. Kali ini, saya butuh bantuannya untuk menambal gigi saya yang bolong. Begitu masuk ke ruang periksa, ada sebongkah perasaan nostalgia di benak saya. Pandangan saya tertumbuk pada sebuah kursi periksa di tengah ruangan—kursi empuk yang engselnya bisa bergerak otomatis naik-turun. Terbayang bagaimana saya dulu duduk di kursi itu, sambil bergidik ngeri menahan sakit saat giginya dicabut. Dan Bu In...ah, beliau masih seperti yang dulu. Wajah orientalnya masih tetap terlihat muda meski usianya mungkin hampir berkepala enam (saya katakan “mungkin”, karena saya tidak tahu usianya. Saya sungkan berbasa-basi menanyakan umur).

Saat memeriksa gigi saya, Bu In masih mempertahankan “cara-cara lama”. Pendekatan sugestifnya terhadap pasien masih sama dengan yang dulu dilakukannya sewaktu memeriksa saya. Kata-kata perintah Bu In sangat khas sehingga masih terngiang-ngiang di telinga saya.

Buka mulutnyaaa...

Gigit...”

Kumur-kumuuur...

Entah sengaja atau memang sudah kebiasaannya, Bu In sering memanjangkan suku kata terakhir saat memberi perintah pada pasieannya. Dengan cara itu, Bu In sukses mengesankan dirinya sebagai sosok yang ramah serta menjauhkan pasiennya dari rasa takut dan trauma. Tekanan dan intonasi suaranya yang lembut seakan-akan menggantikan peran morfin sebagai penghilang sakit—menenangkan. Gara-gara itu pula saya benar-benar kembali menjadi "bocah" di depan Bu In.

*   *   *

Bagi saya, keramahan pelayanan adalah hal terpenting dalam berbisnis. Pepatah Cina mengatakan "jika kamu tak pandai tersenyum, jangan menjadi pedagang." Karena semua orang pada dasarnya suka diperlakukan secara ramah. Keramahan pelayanan kalian adalah cara efektif menggaet pembeli. Tidak hanya itu, keramahan kalian bisa menumbuhkan kepercayaan pembeli yang membuatnya tidak ragu untuk kembali membeli barang di tempatmu. Tak peduli sebagus dan se-wah apapun barang jualannya, jika kalian bersikap judes nan amit-amit pada pembeli, saya tidak yakin si pembeli sudi datang ke tempatmu lagi.

Begitu juga dengan klinik Bu In. Alasan saya setia menjadi pelanggannya adalah keramahan pelayanannya. Saya pernah dibuat ilfil oleh seorang dokter yang judes dan bekerja setengah-setengah. Gara-gara itu, saya enggan kembali ke kliniknya. Jangankan periksa, menebus resepnya pun saya tidak sudi. Saya merasa diperlakukan seperti motor yang diservis. Tidak ada sentuhan humanis dan sugesti untuk menenangkan pasiennya. Karenanya, saya pernah bilang jika saya rela menebus harga yang sedikit lebih mahal demi sebuah keramahan pelayanan. Dan saya tidak akan merasa rugi karenanya.

Apa bedanya dengan klinik Bu In?

Tentu saja beda. Dokter yang satu memeriksa saya seperti motor butut di tempat bengkel servis, sementara Bu In memeriksa saya selayaknya benda hidup yang bisa bicara dan merasa. Tidak mengherankan jika klinik Bu In selalu ramai didatangi pasien. Bahkan meski di sebelah klinik Bu In sudah berdiri klinik dokter gigi baru, pelanggan setianya yang sudah “kadung krasan” (terlanjur nyaman) tetap memilih memeriksakan giginya di klinik Bu In—termasuk saya.

Meski begitu, tidak semua keramahan pelayanan berkonotasi positif. Ada juga jenis keramahan pelayanan yang menjengkelkan, misalnya di toko-toko swalayan berjejaring. Di toko-toko semacam itu, keramahan pelayanan yang kita terima terasa seperti sebuah “basa-basi sistematis”. Sebagai pelanggan, kita hampir selalu mendapatkan keramahan dan basa basi yang sama di toko-toko serupa. Alih-alih merasa nyaman, kita bisa dibuat ilfil karena pertanyaan-pertanyaan seperti: “Kartu membernya ada?” “Kembaliannya permen, ya?” “Kembaliannya mau disumbangkan?” “Terima kasih sudah berbelanja di sini...” “Dimulai dari nol, ya...”
Aaarghh....!#berisik (nutup kuping).

Sekalipun keramahan pelayanan penting, dalam praktek penggunaannya tetap harus memperhatikan konteks waktu, tempat, dan kondisi konsumen yang kita hadapi. Keramahan pramugari di pesawat, tidak akan cocok diterapkan di pom bensin. Keramahan pelayanan operator telepon seluler tidak akan cocok dipakai di toko-toko swalayan berjejaring. Pun dengan keramahan pelayanan di tidak akan cocok diterapkan di pasar. Karena di tempat-tempat itu, konsumen yang kita hadapi seringkali terburu-buru. Mereka tidak punya waktu memperhatikan keramahan dan kelembutan kata-kata kita. Dalam hal ini, jauh lebih efektif jika keramahan pelayanan itu ditunjukkan dengan bahasa tubuh (gesture), seperti senyum, jabat tangan, atau sekadar wajah yang ceria. Ini jelas lebih baik dan tidak se-lebay basa-basi ‘sok ramah’ yang kadang membuat ilfil pelanggan—ya seperti di toko-toko swalayan berjejaring itu. []


*Sampai saya menulis catatan ini, Bu In masih diberi umur panjang dan membuka praktek di kliniknya. Dan seperti ketika saya bocah dulu, klinik Bu In selalu ramai dikunjungi pasien. Semoga sehat selalu Bu In, agar gigi saya juga kembali sehat. Terima kasih klinik Tong Pang Bu In.

Friday, April 7, 2017

Nostalgia dan Obsesi yang Baru Kesampaian


Saya pertama kali berkenalan dengan telepon genggam (ponsel) saat masih SD. Kalau tidak salah ingat, sekitar tahun 2001. Saat itu, ponsel masih menjadi barang mewah di kampung saya. Saking mewahnya, di kompleks rumah saya hanya ada dua orang yang mampu membelinya. Wajar saja, karena saat itu harga pulsa terbilang sangat mahal (100 ribuan). Jika dikonversi ke nilai uang sekarang, mungkin nilainya setara setengah juta rupiah. Padahal, dengan harga ‘semahal’ itu, masa aktif yang kita peroleh cuma satu bulan. Tidak heran jika saat itu ponsel hanya bisa dimiliki oleh masyarakat ekonomi mapan—salah satunya adalah paman saya.

Ponsel paman saya terbilang sederhana. Bentuknya mungil, ramping, dan layarnya cuma selebar ibu jari orang dewasa. Karena bentuknya yang mungil dan lucu, saya sering meminjamnya setiap kali dolan ke rumah paman. Untungnya, paman saya tidak pelit meminjamkan ponselnya. Dan seperti bocah-bocah lain pada umumnya, saya lebih sering menghabiskan waktu untuk bermain game dengan ponsel itu.

Tahun demi tahun berganti. Perkembangan teknologi ponsel berlangsung sangat cepat. Teramat cepat, hingga setiap tahun seseorang bisa berganti ponsel dengan fitur yang jauh berbeda dibanding ponsel sebelumnya. Model ponsel pun semakin beragam sehingga masyarakat punya lebih banyak pilihan. Apalagi, sejak tahun 2003, jumlah operator seluler di kota saya semakin banyak. Masing-masing operator menyediakan beragam tarif promo sehingga harga pulsa semakin terjangkau.

Terjangkaunya harga pulsa berbanding lurus dengan semakin murahnya harga ponsel. Ponsel pun menjadi barang yang kian menjamur di masyarakat. Di setiap tempat, jamak terlihat orang yang sibuk berkirim SMS, menelpon, atau sekedar mengecek ponsel sambil menunggu angkutan umum. Tidak hanya orang-orang tua, anak-anak sekolah pun terlihat menenteng ponsel kesana kemari.

Saya beruntung karena larangan membawa ponsel tidak (atau mungkin belum) berlaku di sekolah. Sekolah saya masih membolehkan siswanya membawa ponsel, sebatas untuk berkomunikasi dengan orangtua agar lebih mudah mengurus jemputan. Karena pihak sekolah membolehkan, jadilah teman-teman saya ikut-ikutan membawa ponsel dengan berbagai model, ukuran, dan fitur masing-masing. Ada ponsel berukuran mini yang bisa disaku, ada ponsel berkamera, ponsel dengan MP3 Player, games interaktif, dan juga video player. Meski terdengar sedikit kampungan (khususnya bagi generasi android saat ini), fitur-fitur itu terbilang “sangat canggih” untuk ukuran ponsel saat itu.

Saya sendiri tidak neko-neko dalam hal ponsel. Saya membawa ponsel sekedar untuk memudahkan komunikasi dengan orangtua. Bukan untuk prestise pribadi apalagi pamer-pameran. Gimana mau pamer, lha wong ponsel saya malah cuma ‘lungsuran’ dari kakak saya. Soal fitur jangan tanya, ponsel saya cuma bisa SMS sama telepon. Bikin lagu juga bisa, cuma jarang saya utak-atiki. Nada deringnya juga masih monophonic dan ukurannya pun sangat tidak ramah di saku. Jika kalian bertanya “bagaimana caramu bersenang-senang dengan ponsel itu?” Jawaban saya cuma dua: “Bumper” dan “Space Impact”.

Begitulah—ketika sekolah saya tidak pernah bersentuhan dengan ponsel multimedia. Saya lebih sering meminjam ponsel teman jika ingin mendengarkan MP3, memutar video atau sekedar berfoto bersama. Saya sendiri sungkan meminta ponsel pada orangtua. Prinsip saya, selama sebuah barang masih bisa dipakai dan saya masih bisa merasakan manfaat dari barang tersebut, saya segan membeli barang yang baru. Karena itu, dalam urusan ponsel, bisa dibilang saya cukup ‘kudet’ (bahkan ikut-ikutan mig33 pun tidak pernah).

Terlepas dari kekudetan saya, ada satu jenis ponsel yang membuat saya melting saat itu. Tentu saja bukan jenis ponsel multimedia berkamera yang bisa “mendesah” keras-keras melainkan ponsel flip. Sejak saya mengenal jenis ponsel flip (ponsel dengan layar yang bisa dilipat), saya begitu terobsesi untuk memilikinya. Salah satunya, karena layar ponsel flip bisa dibuka dan ditutup. Entah kenapa, saya menganggap hal itu “keren” sekali (sama halnya dengan aktivitas ‘buka-tutup’ pintu kulkas untuk mengecek lampu kulkas—ajaib).

Obsesi saya pada ponsel flip boleh jadi karena saya terlalu terpengaruh serial Power Ranger yang rutin saya tonton tiap Minggu pagi. Dalam salah satu serialnya, para tokoh utama memakai gadget mirip ponsel flip untuk berubah menjadi Power Ranger. Tidak mengherankan jika kelak saya ingin mewujudkan gadget itu dalam bentuk nyata.

*   *   *

Hari ini, sudah sepuluh tahun lebih sejak masa-masa perkenalan saya dengan ponsel. Perkembangan terknologi ponsel sudah melampaui apa yang dulu cuma bisa saya bayangkan dalam film-film kartun. Layar sentuh, panggilan video, file transfer, dan internet adalah segelintir narasi fiksi yang telah mewujud menjadi kenyataan di era ponsel saat ini. Saya telah tiba di masa depan.

Ponsel tidak lagi semewah dulu ketika pertama kali muncul di kampung saya. Hampir semua orang menenteng ponsel sekarang. Tidak cukup satu, dua, tiga, bahkan lebih. Masing-masing orang mulai disibukkan dengan ponselnya yang semakin ‘pintar’. Cara mereka bersenang-senang dengan ponsel pun semakin beragam. Tidak ada lagi Bumper dan Space Impact. Tidak ada lagi ritus bangun dini hari demi mengejar telepon gratisan. Tidak ada lagi pesan yang tertunda karena kepenuhan memori SMS.

Ponsel masa kini sudah bertransformasi menjadi semacam ‘entitas’ tersendiri yang bahkan bisa menggerus kemanusiaan seseorang. Dan dengan segala silau kecanggihannya, saya mengikuti arus zaman—memakai ponsel android—hingga saya pun mulai melupakan obsesi memiliki ponsel flip. Setidaknya, hingga beberapa waktu yang lalu, saat saya pergi ke sebuah mall di pusat kota.

Saat itu, saya sedang mencari-cari ponsel (android) baru karena ponsel android saya yang lama sudah terlalu usang. Saking usangnya, sampai-sampai saya dibuat kesulitan karena tidak bisa menginstall Whatsapp di sana. Saat sedang berkeliling melihat-lihat, pandangan saya tertumbuk pada sebuah ponsel flip berwarna putih yang dipajang di kaca etalase.

DEG!

Layaknya seorang bocah yang takjub melihat pameran lumba-lumba, mata saya berbinar melihat ponsel flip itu. Seketika, saya terlibat perasaan nostalgia. Saya merasa kembali ke masa remaja saat saya menganggap ponsel flip sebagai barang yang “keren”. Saya membayangkan betapa elegannya memakai ponsel sambil membuka dan menutup layarnya. Obsesi saya memiliki ponsel flip pun kembali membuncah. “Saya harus memiliki ponsel itu suatu saat nanti,“ tekad saya.

*   *   *

Dan begitulah, setelah pertemuan tak disengaja dengan ponsel flip itu, saya ber-azzam kuat untuk membeli ponsel itu. Kini, setelah menyisihkan sebagian gaji, sebuah ponsel flip warna hitam telah berhasil saya dapatkan. Bukan sesuatu yang mewah memang, tapi sudah cukup membuat saya puas karena akhirnya obsesi saya ketika “bocah” telah terwujud. Terasa lebih puas karena saya mewujudkan obsesi itu dengan jerih payah saya sendiri.


Dengan hati-hati, saya keluarkan ponsel flip itu dari bungkusnya. Warnanya hitam pekat, elegan, meski agak licin dipegang. Saya pun bergegas memasang kartu SIM di dalamnya. Begitu saya membuka layarnya, ponsel flip itu menyala. Sebongkah perasaan membuncah menjalari sekujur tubuh saya. Dan entah kenapa, saat itu saya merasa—yah, sangat sangat—keren.[]
April 07, 2017Benny Prastawa