Sunday, April 1, 2018

Mengikat Ilmu dan Membangun Peradaban

Bayangkan kita sedang mengendarai mesin waktu kemudian iseng-iseng ‘mampir’ pada tahun 1500 Masehi di mana semua penduduk bumi percaya bahwa bumi adalah pusat tata surya. Kita yang berasal dari abad pasca Neil Armstrong nangkring di bulan jelas tidak akan ngeh dengan idiom tersebut.

Suatu hari, kita mencoba berdebat dengan penduduk bumi, sebut saja Bejo—seorang penganut teori Geosentris fanatik.

Bahlul kamu! Masak bumi yang mengelilingi matahari? Kebalik itu!” Kita berapi-api mendebat Bejo.

Yang didebat tidak terima. “Eh, sembarangan kamu! Di kitab saya, bumi adalah pusat alam semesta. Siapa sih lo? Sok asik banget. Ngata-ngatain orang lain sinting!”

“Waktu saya sekolah dulu guru saya bilang kalau teori matahari sebagai pusat tata surya adalah yang paling benar! Di buku saya juga ada itu teorinya. Baca juga tuh teori dan rumusnya Keppler tentang orbit planet. Pokoknya teorimu salah!”

“Ngomong apa sih lo! Ini kitab umurnya lebih tua seabad dari elu tong! Selama 13 abad belum pernah ada tuh orang sinting yang bilang kalo teori saya salah!”

Ah, jadi berdebat kan? Kita pun merasa perdebatan itu akan sia-sia kemudian memilih untuk kembali ke mesin waktu. Sayangnya, saat itu kita tidak berinisiatif menemui Copernicus untuk kemudian berkolaborasi menyadarkan penduduk bumi dengan teori HELIOSENTRIS-nya yang revolusioner itu. Yah, kehadiran kita pun menjadi sia-sia. Dan seluruh penduduk bumi masih percaya bahwa bumi yang ditempatinya adalah pusat alam semesta. Sebagian masih percaya bumi itu datar. Wajarlaah...

Maaf, saya bukan pengarang cerita fiktif yang baik. Plot cerita di atas hanya sedikit ilustrasi bagaimana debat kusir tanpa ilmu adalah sebuah kesia-siaan dan kehinaan. Meski salah satunya benar pun, penyampaian informasi yang buruk hanya akan membuat orang menggerutu kesal dibuatnya. Dan berdebat tanpa fakta dan bukti ilmiah adalah ‘dosa besar!’

Bagaimana mungkin orang mempercayai manusia yang setiap hari cuma bisa OMDO alias Omong Doang? Berkarya tidak pernah, sekalinya kerja pun ogah-ogahan. Ibaratnya kerja segan, nganggur pun enggan.

Dalam konteks menulis pun demikian. Menulis adalah sebuah perwujudan peradaban manusia yang sebenarnya. Karena itu, tidak mengherankan kalau orang yang sebenar-benarnya cerdas nan ahli di bidangnya pasti bisa menulis. Tidak ada alasan “Ah, aku nggak bakat nulis.” Mustahil!

Seorang sarjana,ilmuwan, profesor, semuanya pasti pernah menulis ilmiah sebelum mendapat gelar akademisnya. Mana mungkin ada seorang mengaku profesor tapi nulis sebuah kalimat bijak saja tak becus. Mustahil (lagi)! Karena menulis adalah perwujudan kecerdasan kita yang sebenarnya.

Sampai sejauh ini, boleh dibilang 90 persen ujian dalam hidup saya adalah ujian tertulis. Kenapa harus ujian tertulis? Karena tulisan adalah cara termudah untuk mengukur dan melihat kecerdasan seseorang. Manusia sehebat Isaac Newton dan Einstein pun bisa diterima dan diakui orang banyak karena mereka mengejawantahkan semua ‘isi kepalanya’ ke dalam tulisan yang memuat semua bukti ilmiah dan hasil riset puluhan tahun!

Benarlah kata seorang bijak, “Ikatlah ilmu dengan menulisnya.” Karena bagi otak, hanya ada 2 pilihan untuk setiap informasi yang diperolehnya, “ACCEPT” atau “IGNORE.” Jika “accept” yang dipilih, maka informasi itu akan mengendap lama di otak. Sementara jika “ignore” maka informasi hanya sepintas lalu kemudian—LUPA.

Sedikit curhat, belakangan ini selama saya lalai dari menulis di blog ‘absurd’ ini, saya sering merasa mudah lupa. Bukan karena terlalu banyak pikiran tapi lebih dikarenakan seringnya pikiran nge-blank—tidak tahu harus mengerjakan apa. Saya tidak bisa menganggap ini sebagai masalah sepele. Sepersekian detik otak kita nge-blank, maka akan jauh lebih banyak informasi negatif yang diterima otak. Emosi menjadi tidak stabil, stress pun melanda.

Jika dulu awalnya saya blogging untuk mengurangi beeban pikiran saya yang overload, maka sekarang yang harus saya lakukan adalah mulai meremajakan kembali jaringan transmitter di otak saya untuk menghindari kondisi blank di otak. Semoga keabsurdan ini tidak berlanjut.