Thursday, April 30, 2020

Sepeda Pertama Si Kecil



Dalam banyak hal, istri saya lebih cerdas mengambil inisiatif. Jika saya masih menghitung kuadrat satuan lima secara manual, istri saya sudah lebih dulu menjawab dengan menuliskan angka “25” di baris paling kanan, lalu mengalikan angka paling kiri dengan bilangan setelahnya—analoginya begitu. Seringkali, saya butuh beberapa detik mengambil keputusan, mempertimbangkan banyak variabel, sementara istri saya hanya perlu sepersekian detik untuk menentukan solusi yang lebih efektif dan efisien. “Dahsyat”—pikir saya. Tak heran jika secara klinis kaum perempuan cenderung lebih mahir melakukan multitasking dibanding laki-laki.

Urusan membelikan sepeda untuk Si Kecil pun tidak lepas dari uraian tersebut. Awalnya, saya pikir ide untuk sepeda ini baru akan dibahas kelak ketika Si Kecil sudah berusia di atas 3 tahun. Pertimbangannya, buat apa membelikan sepeda sekarang jika kaki Si Kecil belum sampai mengayuh pedal? Lagipula, saat ini, virus Corona (COVID-19) sedang hebat-hebatnya mewabah. Pemerintah juga sedang gencar-gencarnya menyuruh warga melakukan isolasi mandiri. Semua orang tanpa terkecuali disarankan untuk tetap berdiam di rumah, melakukan hal apapun yang sekiranya tidak membahayakan diri sendiri dan tetangga, serta hanya keluar rumah jika ada keperluan mendesak. Karenanya, membelikan sepeda untuk Si Kecil akan terasa mubazir mengingat tidak ada alasan untuk mengajak Si Kecil bersepeda ke luar rumah di tengah pandemi seperti sekarang.

Ngomong-ngomong, sudah lebih dari 4 pekan kami melakukan isolasi mandiri ini. Rasa jenuh dan penat menjadi kudapan biasa yang harus dirasakan setiap hari. Di satu sisi, istri saya jadi kepikiran perasaan Si Kecil. Kebetulan, Si Kecil sedang berada di fase pengen mbolang (menjelajah lingkungan sekitar). Segera setelah Si Kecil sudah mahir berjalan, ia sering gemas untuk berpetualang dari ruang ke ruang. Kaki-kaki mungilnya selalu ingin menjejak setiap sudut rumah tanpa boleh dilarang-larang.

Jika lingkungan dalam rumah sudah puas dikenali, dunia luar tampak makin asing bagi Si Kecil, seiring dengan makin jarangnya ia keluar rumah. Ada saat-saat di mana Si Kecil ingin menjelajah ke luar, sekedar untuk mengenali objek-objek yang masih asing baginya. Jika hujan turun, Si Kecil biasanya akan bergegas mendatangi jendela, menikmati pemandangan kaca-kaca bening yang mulai basah tertimpa tempias hujan. Atau ketika ada ayam atau kucing yang nyasar ke rumah—entah dari mana—Si Kecil akan menonton tingkah polah binatang-binatang itu dengan takzim. Lucu. Anak-anak (termasuk balita) memang selalu tahu cara menyenangkan hati dan pikiran mereka sendiri.

Ketertarikan Si Kecil untuk mbolang tapi tidak tersalurkan karena adanya Corona, mendorong istri untuk berinisiatif membelikannya sepeda mini. Pertimbangannya, cepat atau lambat, Si Kecil pasti butuh sepeda. Jadi, apa salahnya mempercepat start dengan membelikannya sepeda sekarang? Setidaknya, itu bisa menjadi penghibur dan penambah aktivitas bagi Si Kecil. Dan yang paling penting, ia bisa terhindar dari kebosanan akut yang melanda setiap hari. Saya pun setuju.

Lusanya, istri mendatangi toko sepeda, membeli sepeda mini yang sekiranya cocok untuk Si Kecil lalu membawanya ke rumah. Sendirian. Saya sempat menawarkan diri untuk membawakan sepeda dari toko, tapi istri saya lebih nyaman untuk tidak merepotkan orang lain (dari dulu selalu seperti itu). Jadi, saat istri saya membeli sepeda, saya tetap di rumah, menemani Si Kecil sambil menunggunya pulang bersama sepeda mini.

Begitu tiba di depan rumah, sebuah sepeda mini sudah nangkring di jok motor istri. Dugaan saya, sepedanya akan dilipat atau setidaknya dipreteli sekalian dari toko agar mudah dibawa. Tapi ternyata, sepeda mini itu malah dibawa dalam kondisi utuh dengan ikatan tali di sana sini (ini sepeda apa truk tebu, sih?). Saya jadi kasihan pada istri saya karena sepanjang perjalanan, ia pasti merasa malu. Malu kalau-kalau ada tetangga yang lihat, malu kalau-kalau ada bocah yang kepengen sama sepedanya, atau (mungkin) malu kalau-kalau dirinya disangka tukang mendring yang tengah keliling komplek membawa dagangan.

Singkat cerita, inisiatif istri saya tidak sia-sia. Meski urusan membawa pulang sepeda cukup merepotkan (dan memalukan), Si Kecil bisa menikmati sepeda pertamanya dengan riang gembira. Setiap sekian jam sekali, Si Kecil akan merengek minta dinaikkan ke sepedanya. Berhubung kaki mungilnya belum sampai mengayuh pedal, orang-orang di sekitarnya harus siap-sedia menjadi “mesin diesel” untuk membantu Si Kecil berkeliling ke sana kemari. Tak mengapa, asal Si Kecil bisa tetap menikmati fungsi sepeda barunya dengan wajar.

Bahkan saking asiknya bersepeda—sesekali—Si Kecil bisa sampai tertidur di atas sepedanya. Well, setidaknya, investasi sepeda ini terbukti sukses. Dan untuk beberapa pekan mendatang, saya dan istri tidak perlu khawatir Si Kecil akan dilanda kebosanan. Bersama sepeda pertamanya, ia akan punya lebih banyak waktu untuk berpetualang dan menghibur diri—meski pandemi Corona masih berlangsung.[]