Tuesday, March 31, 2020

Virus Corona dan Wabah Fiktif yang Menjadi Kenyataan


Seorang sineas (pembuat film) yang hebat selalu memiliki segudang ide kreatif yang futuristik dan imajinatif. Sudah tak terhitung berapa banyak benda-benda atau kejadian yang kita pikir “Ah, itu cuma ada di film kok” ternyata malah menjadi realitas betulan di dunia nyata. Saya curiga kalau sineas-sineas top itu memakai jasa peramal—saking seringnya objek-objek fiktif yang mereka imajinasikan menjadi realitas non fiktif.

Contoh gampangnya, semasa bocah dulu saya sering nonton serial—Power Rangers. Dalam serial itu, para Rangers sering berkomunikasi dengan jam tangan super canggih yang mampu beroperasi layaknya ponsel. Padahal, serial itu dibuat tahun 1990-an, di mana smartwatch (jam tangan pintar) belum ada! Dua dekade kemudian, jam tangan para Rangers tadi sudah menjadi smartwatch betulan yang dipakai anak-anak muda kekinian—bahkan dianggap sebagai barang mewah yang lumrah.

Kalau mau contoh lokal, kita bisa flashback ke serial Misteri Gunung Merapi yang dulu rutin tayang di Indosiar (tahun 2000-an). Ada banyak scene dalam serial itu yang memunculkan sebuah cermin ajaib bernama Kaca Pesona (kalau tidak salah, sih). Dengan cermin ajaib itu, tokoh antagonis utama—Mak Lampir—bisa memantau pergerakan musuh-musuhnya sampai mencuri dengar setiap pembicaraannya. Tidak hanya itu, Mak Lampir juga bisa berkomunikasi dengan komplotannya via cermin ajaib itu. Di dunia nyata, teknologi semacam ini benar-benar ada—mewujud dalam bentuk kamera pengintai (CCTV), aplikasi panggilan video (video call), dan alat penyadap yang sering dipakai dinas-dinas intelijen sampai organisasi sekelas KPK untuk meringkus pejabat korup.

Well, hal-hal fiktif yang kemudian mewujud menjadi realitas non fiktif seperti contoh tadi juga saya alami baru-baru ini. Jadi, ceritanya, tempo hari saya dan istri sedang rehat di ruang keluarga. Kebetulan si kecil sudah terlelap di sebelah. Sementara acara-acara TV tidak ada yang sesuai selera. Saya pun memutuskan untuk memutar film dari flashdisk. Film jadul, sih, judulnya Shaun of The Dead.

Film ini berkisah tentang perjuangan tokoh bernama Shaun untuk menyelamatkan orang-orang yang dicintainya dari wabah misterius yang melanda kota London. Wabah ini ditularkan melalui luka gigitan yang menyebabkan korbannya berubah menjadi zombie pemangsa.Asal-usul wabah tidak dijelaskan secara detail dalam film ini. Ketika wabah mulai menjalar di London, Shaun dan karib gendutnya yang bernama Edward (Ed) masih menjalani rutinitas dengan normal dan tenang, seakan tidak terjadi apa-apa.

Sampai suatu hari, ada sesosok wanita misterius di kebun belakang rumah Shaun. Wanita itu tampak seperti pemabuk berat dengan wajah pucat dan rambut yang berantakan. Tapi, setelah diinterogasi, sosok perempuan tadi malah menyerang dan hampir menggigit Shaun. Shaun dan Ed pun segera melarikan diri ke dalam rumah. Di dalam rumah, mereka memantau siaran berita di TV. Para reporter ramai-ramai memberitakan perihal kemunculan penyerang misterius yang meneror warga London. Disebutkan bahwa para penyerang bisa menginfeksi korbannya melalui luka gigitan. Kontak dengan penyerang sangat tidak disarankan. Dan satu-satunya cara melumpuhkan para penyerang adalah dengan menghancurkan kepalanya. Mengetahui hal itu, Shaun dan Ed bergegas mencari senjata lalu menghabisi para zombie demi menyelamatkan keluarga dan teman-temannya.

Kurang dari 48 jam setelah saya dan istri menonton film itu, pemerintah Indonesia memberitakan adanya warga yang terinfeksi virus Corona (COVID-19). Semua orang diminta untuk tetap tenang karena pemerintah sudah menyiapkan langkah-langkah antisipasi untuk mencegah meluasnya wabah tersebut. Awalnya, saya bisa menyikapi situasi ini dengan normal. Sampai kemudian, jumlah pasien yang positif Corona melonjak tajam sampai 1000 orang lebih—hanya dalam hitungan minggu!

Situasi pun menjadi chaos. Alat-alat kesehatan seperti masker, hand sanitizer, dan sabun antiseptik mendadak langka. Cairan-cairan pembersih dan desinfektan juga ludes diserbu warga guna mengantisipasi penyebaran virus Corona. Harga empon-empon seperti kunyit dan jahe yang biasanya cuma seharga tiga sampai lima ribuan, tiba-tiba melonjak sampai seharga galon air mineral. Pemerintah pun menyarankan agar masyarakat tetap berada di rumah dan membatasi perjalanan selama (minimal) dua pekan. Tujuannya untuk meminimalisir penyebaran virus Corona lebih lanjut.

Saya hampir-hampir tidak percaya dengan situasi yang terjadi. Baru tempo hari saya menonton film tentang wabah zombie, lusanya, malah negara saya yang terkena wabah betulan—dalam wujud virus Corona. Situasi ketika wabah juga sama gentingnya dengan yang ada di film. Orang-orang panik dan mencari segala macam cara untuk menyelamatkan diri. Sementara organisasi-organisasi keagamaan sibuk menguatkan hati dan iman para jemaatnya di tengah wabah yang kian meluas. Tempat-tempat ibadah mendadak kosong. Sholat Jumat ditiadakan. Warga disarankan untuk beribadah di rumah dan mnejaga jarak dengan orang-orang di sekitarnya (social distancing).

Jujur, seumur-umur menghadapi wabah, baru kali ini saya mendapati kepanikan dan paranoia sebesar ini. Dulu, sekitaran tahun 2003-2004, wabah SARS sempat menggejala. Jenis virusnya juga mirip dengan Corona—melemahkan imun korban dan melumpuhkan saluran pernafasannya. Setelah SARS dibereskan, berturut-turut muncul wabah lain yang tidak kalah horornya, mulai dari pandemi flu burung, flu babi, demam berdarah dengue, penyakit sapi gila (ANTHRAX), sampai wabah MERS. Semua pandemi itu menggejala secara luas dan menelan korban jiwa di seantero negeri. Hanya saja, saat itu, masyarakat kita bisa dikatakan tetap tenang menghadapi wabah dan secara sistematis bekerjasama dengan pemerintah untuk menanggulanginya. Pada akhirnya, wabah pun berhasil dimusnahkan.

Akan tetapi, situasinya jauh berbeda dengan wabah Corona hari ini. Kepanikan dan paranoia yang ditimbulkan Corona melampaui wabah-wabah yang pernah terjadi sebelumnya. Hal ini bisa dimaklumi mengingat jumlah korban akibat virus Corona di seluruh dunia mencapai lebih dari setengah juta orang! Di sisi lain, percepatan penyebaran informasi melalui media sosial dan akses internet yang semakin cepat (jaringan 4G), boleh jadi, membuat kepanikan warga berlipat ganda—terlepas dari informasi itu benar atau tidak (hoaks). Tindakan-tindakan yang kontraproduktif seperti panic buying atau memborong masker dan hand sanitizer pun tak terhindarkan dan semakin memperparah keadaan.

Hingga catatan ini diterbitkan, peperangan dengan wabah Corona masih terus berlangsung. Masa darurat diperpanjang pemerintah. Sebagian kota sudah mulai menerapkan kebijakan lockdown (melarang akses keluar-masuk suatu daerah). Masyarakat diminta untuk tetap di rumah dan membatasi perjalanan keluar. Sementara itu, para dokter dan tenaga medis sedang berjibaku, mempertaruhkan nyawa demi menolong para pasien Corona di rumah sakit.

Segenap doa dan usaha maksimal akan terus dikerahkan. Kerjasama antar warga dan pemerintah sangat dibutuhkan. Kesadaran setiap orang untuk menjaga kebersihan, membatasi perjalanan, dan memeriksakan diri jika timbul gejala, sangat penting untuk mengantisipasi penularan virus lebih lanjut. Semua orang harus sadar. Semua orang harus mulai saling peduli. Dan di kedalaman ruhani kita, semuanya berharap wabah ini bisa segera berakhir.[]

Wednesday, March 18, 2020

Belajar Ikhlas dari Pak Abdul Syukur


Namanya Abdul Syukur. Boleh jadi orang-orang hanya mengenalnya sebagai tukang becak biasa yang sehari-hari mangkal di depan ITC Mega Grosir, Surabaya. Profesinya tergolong berat untuk kakek-kakek 65 tahun seusianya. Tapi bagi Abdul Syukur, usia bukanlah hambatan untuk terus berdikari.

Rutinitas sebagai tukang becak membuat Abdul Syukur hafal betul rute jalan di sekitaran ITC—termasuk kondisi jalannya. Kebetulan, di sekitar tempat Abdul Syukur mangkal, ada beberapa ruas jalan yang berlubang di sana sini. Urusan jalan berlubang memang terlihat sepele. Tapi bagi Abdul Syukur, jalan berlubang adalah masalah serius!

Banyak kecelakaan yang terjadi ketika pengguna jalan berusaha menghindari lubang, tapi malah tertabrak kendaraan dari lawan arah. Kondisi bisa lebih parah, jika musim penghujan tiba. Air hujan bisa menutupi lubang di jalan dan menyebabkan pengguna jalan jatuh terperosok.

Sadar kalau jalan berlubang di sekitarnya berbahaya, Abdul Syukur tergerak untuk bertindak. Di sela-sela pekerjaannya, setiap pukul 10 malam, ia meluangkan waktu untuk menambal jalan-jalan yang berlubang tadi. Berbekal palu dan karung berisi gragal (sisa bongkaran bangunan) yang diambil dari Pasar Atom di daerah Tambak Adi, Abdul Syukur menambal jalan-jalan berlubang yang ditemuinya.

Sudah 10 tahun, Abdul Syukur menekuni aktivitasnya menambal jalan berlubang. Ia tidak pernah mendapat bayaran sepeser pun dari pekerjaannya itu. Beberapa rekannya terkadang berseloroh, menganggap Abdul Syukur kurang kerjaan.

"Buat apa susah-susah nambal jalan, Mbah. Orang-orang juga peduli setan. Biar saja itu jalan diurus sama pemerintah. Itu kan tanggung jawab mereka." Mungkin begitu seloroh orang-orang pada Abdul Syukur. Tapi, Abdul Syukur tak bergeming. Ia tetap melanjutkan pekerjaannya menambal lubang di jalan.

Hingga suatu hari, seorang wartawan tertarik membuat liputan tentang Abdul Syukur. Wartawan itu bertanya mengapa Abdul Syukur berpayah-payah menambal jalan. Ia menjawab:

Saya nggak tega beberapa kali lihat orang jatuh karena menghindari lubang. Di situ minggu lalu malah ada yang sampai meninggal."

Well, hanya karena tidak tega melihat orang lain celaka, Abdul Syukur rela menambal jalan malam-malam. Ketika orang-orang memilih abai dan melempar tanggung jawab pada pemerintah, Abdul Syukur memilih menyingsingkan lengan baju—mencoba memperbaiki jalan meski dengan peralatan seadanya—sendirian.

Begitu kisah Abdul Syukur ramai diberitakan media, pemerintah mulai melirik. Seorang petugas dari Dinas Pekerjaan Umum (PU) mendatangi rumah Abdul Syukur. Petugas itu memberinya uang 1 juta dan menawari bekerja sebagai pengawas. Tapi, Abdul Syukur menolaknya.

Orang-orang mungkin mengira Abdul Syukur menambal jalan demi pencitraan atau karena motif materi. Tapi, jika alasannya sekadar materi, tentu ia sudah mengiyakan tawaran Dinas PU. Nyatanya, Abdul Syukur malah menolak tawaran itu. Abdul Syukur memilih tetap menjadi dirinya yang sekarang.

"Saya ini nggak bisa amal harta. Saya ini hanya bisa nyumbang tenaga buat nambal jalan rusak. Itu saja," kata Abdul Syukur.

Kisah Abdul Syukur menambal jalan berlubang, boleh jadi, terdengar kurang heroik jika dibandingkan dengan kisah kepahlawanan lain. Misalnya, menyediakan layanan kesehatan gratis di pedalaman Sumatera, mengajar anak-anak kurang mampu di perbatasan, atau memberi makan bayi-bayi kelaparan di Afrika. Tapi, siapa yang tahu, berkat tindakan kecil Abdul Syukur, ribuan orang telah terselamatkan dan terhindar dari petaka lubang di jalan.

Di sisi lain, Abdul Syukur tetap memilih untuk hidup bersahaja. Ketika orang-orang menyebutnya ‘pahlawan’ dan sorotan media berhenti meliputnya, ia masih melakukan aktivitasnya menambal jalan secara sukarela. Keikhlasan Abdul Syukur menohok kita semua dengan pertanyaan:

"Tak bisakah kita melakukan kebajikan hanya karena kita ingin melakukannya? Tak bisakah kita berbuat baik tanpa pamrih apapun?” 

Salah satu masalah kronis manusia modern adalah pamrih. Dalam hal apapun, orang lebih tertarik untuk melakukan sesuatu yang secara langsung memberinya keuntungan pribadi. Imbalan materi (uang) adalah contoh mudahnya.

Selain materi, ada juga yang melakukan sesuatu demi pencitraan, demi mendapat pujian dari orang lain, atau karena gengsi yang dituruti. Terkadang, orangtua pun memberikan kasih sayang kepada anaknya dengan pamrih, agar si anak kelak membalas segala jasa baiknya dengan kasih sayang yang serupa.

Bahkan orang taat beragama pun, bisa saja tersemangati untuk beribadah dan beramal salih dengan "pamrih" meraih surga. Mereka beribadah, semata bukan karena diliputi kesadaran bahwa Tuhan memang layak disembah, melainkan karena pamrih "materi" yang berupa surga. Pertanyaannya, jika surga tidak pernah ada, apakah kita—manusia—akan berhenti menyembah-Nya? Tentu saja, tidak!

Karena sesungguhnya, esensi hidup kita ini adalah ibadah. Bekerja dengan tulus dan ikhlas—sedemikian hingga keberadaan kita memberi manfaat bagi diri dan orang lain—juga termasuk ibadah. Dan begitulah, kebaikan yang dilakukan tanpa pamrih, seperti yang dilakukan Abdul Syukur, tentu lebih bernilai dan benar-benar berarti—baik bagi sesama, maupun di hadapan Sang Pencipta.[]

March 18, 2020Benny Prastawa

Sunday, March 15, 2020

Benang Kusut Masalah Software dan OS Bajakan (2)



Masalah OS dan software bajakan tidak bisa berhenti hanya pada aspek legalitasnya saja. Ketergantungan masyarakat pada satu jenis OS dan software tertentu, memaksa kita untuk mengikuti arus—yang ujung-ujungnya memakai produk bajakan.

* * *

Ketergantungan Masyarakat dan Masalah Freeware Gratisan (Open Source)

Ketergantungan masyarakat pada satu jenis OS dan software tertentu bisa dilihat dari kecenderungan selera konsumen dan dominasi produk terkait. Dalam hal OS, hampir semua komputer dan laptop di Indonesia memakai OS Windows. Dibandingkan dengan OS lain seperti Linux, jumlah pengguna Windows terpaut jauh di atas pengguna Linux.

Untuk program desain grafis, CorelDraw dan Adobe Photoshop masih menjadi pilihan pertama para pelaku jasa sablon dan percetakan. Padahal, harga lisensi asli untuk kedua software tersebut bisa menembus angka 20-an juta rupiah! Sangat tidak ekonomis, tapi karena banyak dipakai dan dinggap terlalu berguna, akhirnya versi bajakan pun berbicara.

Baca juga: Benang Kusut Masalah Software dan OS Bajakan (1)

Pernah suatu kali, saya menyetor desain banner yang saya buat dengan freeware InkScape ke percetakan. InkScape sendiri pada dasarnya mirip dengan CorelDraw, hanya ekstensinya berbeda. Ekstensi Inkscape adalah SGV, sedangkan ekstensi CorelDraw adalah CDR. Gara-gara itu, file InkScape saya gagal dibuka di percetakan. Desain yang saya buat malah terlihat berantakan dan layout-nya ambyar.

Saya sudah mencoba mengatasi masalah ini dengan mengubah ekstensi file InkScape, tapi hasilnya nihil. Desain saya tetap terlihat ambyar begitu dibuka di CorelDraw. Saya pun menyerah, lalu beringsut menginstal software CorelDraw (yang tentu saja bajakan) untuk mendesain ulang banner tadi agar tidak ambyar di percetakan.

Kesenjangan antara software berbayar dan freeware yang gratis menyebabkan sulitnya menawarkan freeware sebagai alternatif solusi mengatasi masalah software bajakan. Padahal, kalau kita mau, kita bisa mengatasi ketergantungan kita pada software bajakan dengan freeware-freeware gratis. Kita bisa mengganti CorelDraw dengan InkScape, mengganti Adobe Photoshop dengan GIMP, mengganti Adobe Premiere Pro dengan OpenShot, dan membiasakan diri dengan Open Office sebagai pengganti Microsoft Office.

Sayangnya, seperti yang saya katakan tadi, kita terlalu lama bergantung pada satu jenis software. Sejak di bangku sekolah, kurikulum pelajaran komputer (TIK) hanya mengenalkan peserta didik pada OS Windows dan Microsoft Office. Keduanya memang jenis OS dan software yang user-friendly (mudah dipakai bagi pemula). Tapi bagaimanapun, keberadaan OS dan software alternatif lain juga perlu disampaikan untuk memperkaya wawasan peserta didik. Pada titik ini, peserta didik juga perlu diberi informasi penting bahwa OS Windows dan software semacam Microsoft Office tidaklah gratis!

Saya termasuk salah satu pelajar yang "dididik" untuk mendewakan Windows dan Microsoft Office. Akan tetapi, setelah sadar bahwa dua produk itu (sebenarnya) tidak gratis, pikiran saya mulai terusik. Ada sepercik kekhawatiran kalau-kalau rejeki saya menjadi kurang barokah jika saya tetap memakai produk bajakan itu untuk bekerja.

Saya juga teringat pada seabrek software di laptop yang masih banyak versi bajakannya. Menjelang akhir kuliah, saya mulai mencoba menginstal freeware-freeware gratis untuk mengganti software bajakan di laptop saya. InkScape, GIMP, OpenOffice, VLC Video Editor,  dan 7-Zip adalah beberapa contohnya.

Sayangnya, saya tidak bisa lepas dari ketergantungan pada OS Windows dan Mirosoft Office. Dua produk itu terlalu banyak dipakai dan bersinggungan langsung dengan pekerjaan saya sehari-hari. Demi meng-halal-kan legalitas, saya pun bergerilya mencari produk Windows dan Office yang harganya terjangkau (meski pada prakteknya tetap harus merogoh kocek dalam-dalam).

Akhirnya, saya pun mem-purchase OS Windows 8.1 dan Office 2013 Home and Student. Untuk kedua produk tersebut saya harus merogoh ‘tabungan’ hingga 2 juta lebih (hampir 3 juta). Awalnya, saya merasa sayang membuang uang sebanyak itu hanya demi dua keping CD yang bentuknya sama saja dengan CD kosongan yang dijual mas-mas fotokopian. Terlebih saat itu, saya sedang menimbun rupiah untuk biaya nikah. Well, kalau dipikir-pikir, mungkin saya cukup ‘bodoh’ karena mau membayar (baca: "membuang") jutaan rupiah hanya demi sebuah lisensi!?!?!?

Tapi setelah dipikir-pikir lagi, harga yang saya bayar untuk OS Windows dan Microsoft Office asli tidak lebih mahal dari harga smartphone yang saya pakai. Itu berarti, kalau kita mau, kita sangat mungkin membeli lisensi Windows dan Mocrosoft Office yang asli. Lha wong beli smartphone saja mampu, masak cuma buat OS dan software yang asli saja nggak sanggup?

Saya pikir, pembelian lisensi ini adalah investasi jangka panjang. Di satu sisi, saya mendapat produk yang legal untuk membantu kelancaran pekerjaan saya. Di sisi lain, saya juga lebih afdhol mencari rezeki dengan produk legal, tanpa harus membajak—yang boleh jadi bisa dipersoalkan dari sisi ke-barokah-annya.

*   * *


Kesimpulan

Saya tidak sedang mengatakan halal dan haram, lho ya. Saya tidak berkapasitas memberi fatwa. Saya hanya menyoroti masalah pembajakan ini dari sisi etika. Bahwa apapun alasannya, membajak suatu produk tetap sulit mendapat pembenaran.

Bayangkan, kita sudah membuat suatu produk X dengan jerih payah sendiri. Kita bekerja bertahun-tahun menciptakan produk itu melalui ribuan kali uji coba. Kemudian setelah produk X dipatenkan, kita menjualnya ke pasar dengan harga tertentu sebagai imbal jasa atas usaha pembuatan produk tersebut.

Selang seminggu kemudian, tetangga dari kampung sebelah juga menjual produk yang sama persis dengan produk X yang kita buat—hanya namanya saja yang sedikit berbeda, katakanlah produk KaWe. Apesnya, penjualan produk KaWe lebih menguntungkan daripada produk X buatan kita. Dan semua proses bisnis produk KaWe berjalan tanpa seizin kita.

Bagaimana perasaan kita selaku pembuat produk X asli? Marah, tentu saja. Kesal, karena jerih payah kita bertahun-tahun membuat produk X malah disalahgunakan tanpa izin oleh pihak lain.

Itu hanya gambaran awal, kenapa pembajakan dikatakan tidak etis. Kalau mau jujur, nurani kita juga pasti mengiyakan bahwa pembajakan adalah sesuatu yang tidak baik. Tapi kemudian, sisi lain dari diri kita mencoba ngeles:
Lah, ini program penting banget buat kerjaan saya. Saya nggak bisa kerja kalo nggak punya program ini. Kalo saya mau beli mana sanggup. Mahal. Jadi, sementara mbajak dulu aja, ya. Toh yang punya produk ini sudah tajir tujuh turunan.”

Ya, saya sendiri sangat mafhum betapa OS Windows sudah menggurita di negara ini. Di rumah, di sekolah, di kampus, di rumah sakit, dan di kantor-kantor, OS Windows selalu menjadi pilihan pertama untuk mengurusi administrasi. Sayangnya, hanya segelintir saja yang memakai produk asli. Sisanya terjerembab dalam lingkaran setan produk bajakan.

Kalau ada yang mengatakan negara kita termasuk ke dalam 10 negara dengan tingkat pembajakan software tertinggi, saya bisa memakluminya. Tapi, mengapa fakta "harga OS Windows dan Office asli tidak lebih mahal dari smartphone" belum menyentil kesadaran konsumen untuk mengusahakan produk yang asli? Logikanya, jika membeli smartphone terbaru saja mampu, mengapa OS Windows dan Office asli tidak?

Saya tidak menghakimi mereka yang memakai software bajakan. Menumbuhkan kesadaran untuk memakai produk legal dan menghargai hak cipta, membutuhkan proses yang tidak instan. Ada banyak faktor yang berperan di dalamnya seperti daya beli konsumen, wawasan, mentalitas masyarakat, dan kebijakan pemerintah terkait masalah pembajakan itu sendiri. Akan tetapi, satu hal yang pasti, semua kelindan masalah pembajakan ini senantiasa berpulang pada kesadaran masing-masing individu.

Saya menulis catatan ini karena saya menyadari, selama ini, saya telah menjadi ‘korban sistem’. "Sistem" yang monopolistis dan tidak berpihak pada ekonomi masyarakat kita pada umumnya. "Sistem" yang mendidik anak-anak untuk kadung kepenak memakai OS Windows dan Microsoft Office—yang notabene berharga mahal—tanpa alternatif lain. "Sistem" yang secara tidak langsung, memaksa kita untuk "membajak", demi bisa mengikuti arus dan survive menjalani pekerjaan sehari-hari tanpa menderita kemiskinan—gara-gara membayar lisensi produk asli.

Saya tidak bisa menyarankan jalan keluar apapun untuk masalah ini. Naif sekali jika saya berkoar-koar memaksa kalian memakai OS dan software asli di tengah jutaan pengguna komputer terjebak dalam dilema pemakaian produk bajakan. Boleh jadi, satu dua dari mereka juga merasakan kegelisahan yang sama seperti saya. Khawatir kalau-kalau rezekinya kurang barokah karena masih memakai OS dan software bajakan.

Saya sangat berharap ada pihak-pihak yang kompeten dalam masalah ini untuk memberi solusi. Dan saya akan sangat berterima kasih untuk setiap pihak yang tengah gencar melakukan gerakan GO open source. Saya akan dengan senang hati menerimanya sebagai upaya pembaruan dan pengentasan massal dari monopoli OS Windows dan masalah software bajakan yang dibiarkan marak tanpa solusi.[]

March 15, 2020Benny Prastawa

Benang Kusut Masalah Software dan OS Bajakan (1)



Phew, masalah software dan operating system (OS) bajakan adalah kasus usang. Sama usangnya dengan maraknya aktivitas pembajakan di negeri ini. Dari jaman kaset pita sampai era Youtube, pembajakan adalah sesuatu hal yang sudah pasti ada.

Di Indonesia, segala jenis produk bisnis bisa dibajak. Kaset, CD, film, sepatu, tas, kaos, buku, sampai perangkat-perangkat elektronik bermerk—semua bisa dibajak. Para pelaku pembajakan tidak peduli, apakah pemilik produk itu akan merugi atau tidak. Yang penting, si pembajak bisa untung  atau setidaknya bisa mendapatkan kesenangan dari produk yang dibajaknya.

*   * *


Pembajakan di Industri Musik

Pada era kaset pita dan CD, misalnya, para musisi mengeluhkan maraknya pembajakan lagu yang berdampak pada lesunya penjualan album mereka. Saat itu, internet belum semasif sekarang, dan layanan streaming musik semacam Youtube, iTunes, dan Spotify belum ada. Padahal, salah satu sumber penghasilan para musisi saat itu berasal dari laba penjualan album mereka yang berbentuk kaset pita atau CD. 

Dengan adanya pembajakan, minat konsumen untuk membeli produk yang asli menjadi berkurang. Orang-orang cenderung membeli kaset dan CD bajakan, meski kualitasnya lebih rendah.

Rendahnya kualitas kaset pita bajakan bisa dilihat dari kulitas audionya yang buruk—tidak bisa sejernih audio kaset pita asli. Sedangkan pada CD bajakan, tampilan video yang ditayangkan tidak cocok dengan audio yang diperdengarkan. Meski begitu, orang-orang tetap membeli produk bajakan tersebut dengan dalih klasik—harga yang lebih murah.

Pembajakan musik kian merajalela setelah maraknya teknologi internet di masyarakat. Dengan internet, konten musik bajakan bisa dengan mudah disebarkan dan diunduh siapapun. Akibatnya, angka penjualan kaset dan CD fisik para musisi berkurang drastis. Seperti yang dilansir Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), berdasarkan laporan dari Asosiasi Perusahaan Rekaman Indonesia (ASIRI), kerugian negara akibat tindakan pembajakan musik mencapai Rp1,84 triliun!

*    * *


OS dan Software Bajakan yang 'Dimaklumi'

Mentalitas "gampangan" memakai produk bajakan juga berimbas pada bidang software dan sistem operasi (OS). Dengan dalih klasik harga mahal, orang-orang mudah saja meminta teknisi komputer untuk menginstal software atau OS bajakan. Prinsipnya, asalkan laptop/komputer bisa dipakai, memakai produk bajakan pun tak mengapa.

Wajar saja jika isi laptop mahasiswa Indonesia bisa bikin mahasiswa Amerika geleng-geleng. Semua jenis software yang sangat utilized ada. Microsoft Office, Coreldraw, AdobePhotoshop, AutoCad, Vegas Pro, sampai Adobe Premiere Pro (yang harga lisensinya lebih dari 2 juta PER BULAN) bisa dijejalkan ke dalam laptop dan dibawa kuliah sehari-hari. Padahal, yaa...semua software tersebut sebatas produk bajakan saja.

Tidak heran, jika pembajakan OS dan software di Indonesia membawa kerugian yang tidak sedikit. Masih menurut data yang dilansir Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), berdasarkan laporan dari Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP), kerugian karena pembajakan software di Indonesia menembus angka Rp2,1 triliun! Nominal yang tidak bisa dibilang sedikit—tapi juga bisa "dimaklumi" mengingat posisi konsumen yang serba dilematis.

Di satu sisi, konsumen membutuhkan OS dan software-software berbayar untuk membantu pekerjaannya. Di sisi lain, harga lisensi OS dan software berbayar yang asli sangaaattt mahal. Belum lagi jika ada tambahan biaya lisensi bulanannya (seperti Adobe Premiere Pro), hal ini tentu saja sangat memberatkan konsumen yang daya belinya pas-pasan.

Memang tidak semua OS dan software berbayar itu mahal. Sebagian boleh dibilang terjangkau, karena tidak lebih mahal dari harga smartphone. Bahkan kini, sudah ada berbagai jenis freeware (perangkat lunak gratis) yang pengoperasiannya tidak jauh berbeda dengan software berbayar.

*    * *


pembahasannya lanjut ke sini.
March 15, 2020Benny Prastawa

Thursday, March 5, 2020

Merokok MEMBUNUHMU! Titik!


Merokok itu halal atau haram? Para pemuka agama ramai berdebat tentang masalah ini. Mengkaji seabrek kitab, literatur, dan menyelami setiap jengkal pendapat dari beberapa orang yang sangat mungkin berkontradiksi.

Di luar perdebatan nan melelahkan itu, jumlah perokok di kalangan pelajar (anak di bawah umur) kian meningkat. Ironis memang. Anak-anak itu—di usianya yang hijau—hanya sekedar mencoba-coba, mencari apresiasi dari kawanannya, ikut-ikutan para orang tua yang mereka jadikan panutan segala tingkah lakunya. Mereka, anak-anak itu, mencoba merokok sedari dini tanpan paham resiko candu yang menyertainya. Tanpa tahu, jika sudah ketagihan, merokok akan menjadi kebiasaan-kebutuhan yang teramat sulit dihentikan.

Merokok membunuhmu! Begitulah yang tertera di bungkus-bungkus rokok termutakhir. Merokok tidak lagi sekedar mengakibatkan kanker, serangan jantung, impotensi, gangguan kehamilan dan janin. Merokok MEMBUNUHMU. Tak tertolak!

Fakta empiris pun demikian. Silahkan bertanya pada dokter-dokter di rumah sakit terdekat di kota Anda, nasihat apa yang lebih sering dipesankan pada pasien, selain nasihat " JANGAN MEROKOK ???"

MeROKOK itu MEMBUNUHMU! Tak tertolak! Maka untuk apa susah payah mendebatkan sesuatu yang sudah jelas bahaya dan mudharatnya (kerugiannya). Jika membedakan halal haram terlampau rumit, maka lihatlah pada sisi manfaat-mudharatnya. Apakah merokok lebih besar manfaatnya atau mudharatnya?

Kalau ada yang membolehkan rokok dari sisi kultural atau karena tradisi, apakah bijak jika kita mengorbankan kesehatan yang tak tergantikan oleh materi sebanding dengan kepatuhan pada tradisi?

Saya tidak merokok. Dan saya harap akan ada lebih banyak lagi orang-orang yang tidak merokok. Karena sekali lagi, merokok MEMBUNUHMU![]