Thursday, July 14, 2016

Pelajaran Kematian dari Rumah Sakit


Jika kau tahu bahwa mati itu pasti,
kenapa kau masih sibuk bersenda gurau?
(Benny Prastawa)

Tempo hari, saya mengantarkan ibu saya membesuk salah satu famili tetangga di rumah sakit—sebut saja famili tetangga saya ini Bu Ratna. Menurut kabar dari para tetangga, Bu Ratna mengidap sakit kanker. Beliau sudah cukup lama mengidap kanker tersebut. Meski berbagai jenis pengobatan sudah dijalani, kondisinya tak kunjung membaik. Saat saya datang membesuk, kondisi fisik Bu Ratna sudah lemah. Beberapa kali Bu Ratna mengeluh badannya terasa sangat letih. Sekedar untuk berjalan saja, beliau harus dipapah atau memakai kursi roda. Bapak saya bilang, sel kanker Bu Ratna sudah mengenai paru-parunya.

Selama di rumah sakit, saya tidak tahu harus membicarakan apa tentang kondisi Bu Ratna. Di antara para pembesuk tidak ada yang seumuran dengan saya sehingga saya agak canggung membuka pembicaraan dengan orang yang lebih tua. Saya pun sibuk dengan pikiran-pikiran saya sendiri. Ada semacam perasaan deja vu setiap kali saya mengunjungi rumah sakit. Terkadang, kilasan-kilasan balik masa lalu membayang di benak saya, saat membesuk seseorang di rumah sakit.

Ini bukan kali pertama saya membesuk pasien yang kritis di rumah sakit. Beberapa kali saya mendapati wajah pasien yang terbaring tak sadarkan diri di bilik perawatan. Pemandangan ganjil tersebut kerap membuat saya membatin tentang harapan hidup si pasien, “Apakah si pasien masih bisa tertolong? Apakah masih ada harapan hidup bagi si pasien dengan kondisi seperti itu?

Setahun yang lalu, tepatnya di penghujung bulan ramadhan, tante saya terbaring kritis di rumah sakit karena diabetes. Kondisinya saat itu sulit diketahui, antara sadar dan tidak sadar karena pelupuk matanya sedikit terbuka. Sejak diopname, tante saya tidak bisa berbicara karena tenggorokannya terganggu. Akibatnya, tante saya juga kesulitan untuk makan sehingga asupan nutrisi ke tubuhnya berkurang. Setelah berjuang melawan penyakitnya, tepat di bulan syawal, nyawa tante saya tidak tertolong lagi.

Kondisi serupa juga menimpa guru teater saya. Beliau harus dirawat di rumah sakit selama beberapa minggu karena mengidap kanker. Saat saya membesuk ke rumahnya, beliau dalam kondisi tak sadarkan diri dengan tubuh yang semakin kurus. Pada akhirnya, setelah segala ikhtiar berobat ditempuh, kondisi guru teater saya tetap tidak tertolong hingga beliau menghembuskan nafas terakhir.

Hening…

Begitulah kematian yang menjadi ending cerita hidup manusia. Kematian adalah keniscayaan yang bersifat mutlak dan tak tertolak. Semua orang meyakini bahwa kelak mereka akan menjumpai kematian. Namun bagian yang paling menyesakkan dari kematian adalah kehadirannya yang selalu mendadak. Tak terhitung sudah berapa kali kita menjumpai peristiwa kematian (yang dalam terminologi Islam diistilahkan “kiamat kecil”).

Hari ini, misalnya, mungkin kita masih berkesempatan untuk menemui Si A. Tapi keesokan harinya, kita mendengar kabar Si A telah meninggal. Semua itu terjadi secara mendadak, tahu-tahu kita sudah berada di rumah duka—melihat Si A yang terbujur kaku dengan balutan kain kafan. Dalam hitungan jam, jenazah Si A sudah dibawa ke pemakaman. Saat itu, kita yang merasa kehilangan akan membatin, “Rasanya baru kemarin aku bertegur sapa dan berbincang hangat dengan Si A. Tapi kenapa Si A telah kembali menghadap-Nya?

Begitu juga dengan saya. Saat mendengar kabar bahwa tante saya meninggal, saya nyaris tidak percaya. Sebelumnya, saya cukup optimis jika penyakit tante saya bisa disembuhkan. Nyatanya, Tuhan menghendaki lain. Sakit yang diderita tante saya, menjadi “kendaraan terakhir” yang mengantarkannya menuju alam baka. Semua itu terjadi begitu cepat, mendadak, dan tanpa pemberitahuan atau firasat apapun.

*   *   *

Bayangan kematian dikesankan sebagai sesuatu yang mistis, gelap, penuh duka, penderitaan, isak tangis, dan perjalanan jauh yang entah berujung di mana. Tidak heran, jika sebagian kita merasa ngeri jika harus membicarakannya. Karena itu, sebagian orang memilih bersikap cuek terhadap kematian.

Masa bodohlah, toh kematian juga masih besok, masih bisa diurus nanti. Saya juga masih baik-baik saja sekarang,” kira-kira begitu pikir mereka yang lalai mengingat kematian.

Malangnya, seperti yang saya katakan tadi, kematian selalu datang mendadak. Kematian tidak mengenal bunyi “centung” seperti pesan yang masuk ke BBM kita. Kematian juga tidak mengenal notifikasi khusus seperti halnya di media sosial. Datangnya kematian lebih mirip peristiwa mati lampu, tahu-tahu “PETT…!”—dan seketika semuanya menjadi gelap.

Beruntunglah jika kita termasuk orang yang selalu ingat pada kematian. Orang-orang semacam ini ibarat orang yang sudah menyiapkan lilin sebelum mati lampu. Begitu lampu padam, mereka cuma perlu menyalakan lilin yang sudah disiapkan sebelumnya, tanpa harus repot meraba-raba seisi ruangan untuk mendapatkannya.

Tentu saja “lilin” dalam kasus ini bisa kita analogikan sebagai amal saleh dan kebajikan kita semasa hidup di dunia, sedangkan “mati lampu” kita artikan sebagai peristiwa kematian. Begitu peristiwa “mati lampu” (kematian) terjadi, kita sudah siap menyambutnya dengan bekal penerangan berupa “lilin” yang tak lain adalah buah kebajikan kita di dunia.

Meski begitu, tidak semua orang yang percaya kematian lantas sibuk berbuat baik atau semakin mendekatkan diri kepada Tuhan. Alih-alih tidak sedikit orang yang bersikap masa bodoh dan cuek, karena merasa “gilirannya” mati masih lama.

Dipikirnya, “Badan saya masih segar bugar begini, masak sih besok saya mati? Saya rajin mana mungkin saya …………….”

BRAKKK!!!!

Belum selesai ia berbicara, sebuah truk tronton keburu menggilasnya. Mati—seketika.

*   *   *

Ketika saya mulai menuliskan artikel ini, Bu Ratna diberitakan meninggal. Segala pengobatan medis dan alternatif yang ditempuh tidak bisa menolongnya. Perjumpaan saya dengan beliau di rumah sakit menjadi pertemuan terakhir. Saya pun hanya bisa mendoakan semoga Bu Ratna meninggal dengan khusnul khatimah dan mendapat tempat yang baik di sisi-Nya. Aamiin…


Semoga segala peristiwa kematian di sekitar kita, bisa menggugah kesadaran kita bahwa hidup di dunia ini sementara. Semoga kita juga dikaruniai kepekaan batin untuk menjadikan setiap peristiwa kematian sebagai iktibar dan pembelajaran untuk terus memperbaiki diri, memperbanyak ibadah, serta ikhlas melakukan amal saleh dan menolong sesama demi meraih “lilin” penerang di alam sana. []
July 14, 2016Benny Prastawa