Saturday, September 1, 2018

Pelajaran dari Senyum Karyamin


*** 

Pagi itu, bersama teman-temannya, Karyamin tengah bekerja mengangkut batu-batu dari sungai. Batu-batu yang sudah terkumpul dimasukkan ke dalam wadah yang harus dipikul dan dibawa ke atas bukit. Karyamin—yang sedari pagi belum makan—sudah terjengkang dua kali saat menapak naik ke bukit. Begitu Karyamin roboh, batu-batu yang sudah susah payah dikumpulkan tercecer berhamburan. Teman-teman Karyamin tergelak menertawakannya. Sial betul nasib Karyamin hari itu. Tapi, Karyamin tetap tersenyum—mencoba menertawakan dirinya sendiri.

Seorang teman menyarankan Karyamin pulang saja. Karyamin tampak kurang sehat dan butuh istirahat. Temannya yang lain berseloroh menyuruh Karyamin lekas pulang karena istrinya sendirian di rumah. Dua orang penagih hutang akan mendatangi rumah Karyamin.Tidak mungkin para penagih hutang itu hanya datang sekedar minta uang. Bisa saja terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada istri Karyamin.

Mendengar ocehan teman-temannya, Karyamin mendadak cemas bercampur cemburu. Pikiran-pikiran buruk terus berkecamuk dalam benaknya. Karyamin pun memutuskan pulang ke rumah meski saat itu kepalanya semakin berat dan pening.

Di tengah perjalanan pulang, perut Karyamin berkeruyuk hebat. Sedari pagi, ia belum makan. Seorang penjaja pecel di pinggir jalan menawarkan makanan pada Karyamin. Perut Karyamin semakin melilit. Jakun Karyamin naik turun menelan ludah. Karyamin sempat tergoda untuk makan nasi pecel, tapi urung karena Karyamin ingat hutangnya pada penjual pecel sudah banyak. Karyamin hanya tersenyum pada penjual pecel dan melanjutkan langkah ke rumah.

Belum sampai di rumah, Karyamin bertemu dengan Pak Lurah. Tanpa basa-basi, Pak Lurah mencecar Karyamin untuk segera membayar iuran warga desa. Katanya, hanya Karyamin yang belum berpartisipasi. Ironisnya, iuran tersebut—kata Pak Lurah—dipakai untuk membantu korban bencana kelaparan di Afrika. Mendengar hal itu, Karyamin pun terbahak keras-keras. Langkahnya terhuyung sempoyongan. Karyamin pun terperosok jatuh ke jurang di pinggir tebing.

*** 

Membaca cerpen “Senyum Karyamin” karangan Ahmad Tohari terasa seperti membaca sebuah narasi rohani yang mengusik relung batin. Ahmad Tohari memiliki spesialisasi dalam menghadirkan potongan potret kehidupan masyarakat kelas bawah dengan sangat detail. Nilai-nilai kesederhanaan dan kehidupan tradisional pedesaan selalu terselip dalam setiap karya sastra Ahmad Tohari. Unsur “kesederhanaan” dan potret kehidupan kaum miskin inilah yang selalu menyentil  pembaca agar lebih peka terhadap penderitaan mereka dan mensyukuri setiap rezeki kehidupan yang sedang dijalani. Dan bagi saya, gaya bercerita Ahmad Tohari selalu mampu menggugah hal tersebut.

Well, kehidupan ini memang dinamis. Ada kalanya kita mengalami pasang surut, baik dalam hal rezeki, perilaku, kesehatan, pergaulan, atau derajat ketakwaan kita pada Sang Khalik. Nasib kita juga tidak selamanya mujur. Terkadang, kita harus menghadapi sisipan-sisipan kejadian atau peristiwa yang tidak mengenakkan. Sesekali, kita akan merasa hari ini sial sekali atau ditimpa kemalangan beruntun. Semua itu wajar terjadi dalam roda hidup setiap anak Adam.

Tetapi, dalam menghadapi setiap manis getir kepingan nasib, kita selalu memiliki pilihan. Kita bisa memilih untuk lama berdiam meratap atau memilih untuk tetap tersenyum. Seperti Karyamin, kita perlu takzim belajar dari kearifannya, yang dalam kepedihan dan kefakiran pun bisa tetap tersenyum penuh syukur. Karena inilah salah satu bentuk kesabaran dan hikmah kehambaan manusia di hadapan Tuhannya.[]
September 01, 2018Benny Prastawa,