Sunday, December 1, 2019

Hidup Ini Memang Sementara Tapi....






Hidup di dunia ini memang sementara. Akan tetapi, kesementaraan itu tidak berarti kehidupan di dunia ini berhak untuk ditelantarkan. Hidup di dunia ini memang sementara. Hanya sekelebat waktu saja. Dibandingkan dengan akhirat, hidup di dunia ini tak lebih dari sekedar pagi ke sore hari, atau sore ke pagi hari. Akan tetapi, manusia terikat pada dimensi waktu di dunia yang jika diukur berdasarkan jangkauan umurnya, segmen hidup di dunia itu sangaaaaat...lama.

Aku heran dengan mereka yang begitu taat, sedemikian taatnya hingga keluarganya sendiri terabaikan. Siang malam hidupnya diabdikan untuk menekuni ketaatan tapi tanggung jawabnya kepada sesama tak kunjung ditunaikan.

Aku juga heran dengan mereka yang sibuk bekerja, sedemikian sibuknya hingga urusan ibadah terlupakan. Segala rutinitas dijalani tanpa tahu untuk apa semua pekerjaannya itu dilakukan? Bukankah ketika mati, semua harta benda akan tertinggal di dunia? Bukankah ketika mati, yang tersisa hanya “diri kita yang sejati”?

Kehidupan akhirat adalah kehidupan yang kekal dan niscaya. Akan tetapi, bagaimana keadaan kita di sana sangat ditentukan oleh bagaimana kita bersikap dan berperilaku selama hidup di dunia yang sementara ini.

Urusan dunia dan akhirat tidak bisa dimaknai secara parsial. Keduanya merupakan satu kesatuan—sebuah kausalitas yang sempurna di mana setiap manusia akan diberi ganjaran secara adil pada Hari Akhir.

Seorang bertanya, manakah yang lebih baik: mereka yang rajin beribadah tapi juga rajin menyakiti sesama, atau mereka yang jarang beribadah tapi baik budi pekertinya?

Bagiku, keduanya bukan pembandingan. Sama-sama bukan pilihan yang rasional karena menurutku, esensi dari kehidupan ini akan selalu terhubung dengan realitas di akhirat kelak. Apa yang kita “tanam” di dunia, akan kita “tuai” di akhirat. Sesederhana itu.

Orang yang gemar berjudi akan mendapat ganjarannya. Orang yang gemar bersedekah, akan mendapat ganjarannya. Orang yang gemar mencuri, akan mendapat ganjarannya. Pun orang yang gemar belajar akan menerima ganjarannya. Setiap laku hidup manusia akan selalu mendatangkan ganjaran yang kadarnya hanya bisa ditentukan oleh Yang Maha Adil.

Yang merasa sudah taat, jangan lantas besar kepala, merasa dirinya paling suci seakan sudah beroleh tiket surga. Bukankah mereka yang sombong—meski hanya sedikit–tidak akan masuk surga?

Yang merasa banyak maksiat, jangan lantas berhenti bertaubat. Jangan lantas berputus asa mengejar rahmat. Selama liang lahat belum “terlihat”, teruslah memperbaiki diri sepanjang hayat.

Karena begitulah, kehidupan di dunia ini harus selalu kita maknai keberadaannya. Bukan sekedar dijalani tanpa arti, melainkan dijalani dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Bahwa segala yang kita “tanam” di dunia akan kita “tuai” di ahirat. Bahwa setiap diri, akan mendapat ganjaran atas setiap perbuatannya. Dan karena diri ini “sejatinya” adalah milik Tuhan, maka kepada-Nya-lah kita akan kembali juga.[]

December 01, 2019Benny Prastawa