Wednesday, June 15, 2022

Kakek Tua Penjual Keripik di Masjid



Siang itu, saya dan istri sedang mampir ke sebuah masjid untuk sholat. Seperti biasa, istri saya sudah membawa berbagai bekal kudapan dan makan siang dari rumah. Sudah menjadi kebiasaannya, jika kami sedang bepergian dan di rumah sedang ada banyak masakan. Tak lama, kami pun segera membuka bekal dan menikmati makan siang bersama.


Di sekitar kami, tampak beberapa tukang sapu masjid yang lalu-lalang membersihkan halaman. Ada juga seorang satpam yang sibuk mondar-mandir berpatroli sambil sesekali membantu mobil yang akan masuk/keluar area parkir.


Satu-dua kali, satpam dan tukang-tukang sapu tadi melihat ke arah kami. Jika bukan karena Andra–sulung kami–yang sedang lelap di sebelah kami, mereka mungkin menyangka kami adalah ‘ABG amoral’ yang asyik pacaran di masjid. Masalah klasik manusia tentang “PERSEPSI”.


Usai makan dan sholat di masjid itu, kami bersiap melanjutkan perjalanan. Sejurus kemudian, seorang kakek menghampiri kami. Dengan bahasa Jawa krama yang alus sekali, kakek itu menawarkan keripik pada kami.


Saya dan istri sudah berkali-kali bertemu dengan penjaja makanan di tempat umum. Ada yang benar-benar berjualan, tapi tidak sedikit pula yang asal jual dan ‘memaksa’ beli.


Tapi kakek itu lain. Usianya mungkin sudah lebih dari 60 tahun. Kulitnya yang agak gelap berpeluh, menandakan tubuhnya sering diterpa terik. Dan ketika dia menawarkan keripik dagangannya, sorot matanya sangat tulus.


Tidak ada nada suara yang dilirih-lirihkan untuk memancing iba. Tidak ada pula kalimat fiktif yang tersirat dari tutur bahasa Jawa krama-nya yang sangat ‘alus’. Kakek itu, benar-benar tulus menawarkan dagangannya.


Istri saya langsung membeli beberapa bungkus keripik Kakek itu. Bukan karena iba, atau sekedar melarisi dagangannya. Istri dan saya, sama-sama tahu, jenis keripik yang ditawarkan Kakek itu memang enak. Apalagi bungkus kemasannya bersih, tidak kusut, dan tampak tidak asal bungkus.


Setelahnya, Kakek itu berterima kasih lalu menaiki sepedanya meninggalkan masjid. Tidak ada basa-basi apapun. Tidak ada ucapan-ucapan yang dilebih-lebihkan. Kakek itu tulus menawarkan dagangannya, sambil berharap dagangannya laku. Sesederhana dan sejujur itu.


. . .


Di rumah, saya dan istri mencicipi keripik Kakek tadi. Dan rasanya memang enak. Persis seperti dugaan kami.


Kakek penjual keripik di masjid tadi, betul-betul berjualan. Dia tidak asal jualan. Kakek itu hanya ingin dagangannya laku. Untuk itu, barang dagangan yang dijajakan dibuat berkualitas. Sesederhana itu. Dan kakek itu tidak menjadikan kesulitan hidupnya sebagai ‘komoditas promosi’ agar dagangannya laku.


Saya rasa, potret manusia-manusia yang tulus, ikhlas, dan jujur bekerja, seperti Kakek penjual keripik tadi, membuat bumi ini masih berputar dan langit terus mencurahkan rezeki-Nya, meski manusia seringkali abai untuk bersyukur.[]