Tuesday, August 1, 2017

Superhero di Pinggir Jalan

"Tak perlu topeng untuk menjadi seorang superhero.
Yang kau butuhkan hanya sebuah uluran tangan yang ikhlas,
demi menolong sesama."


Sejak kecil, saya dididik televisi untuk kenal akrab dengan tokoh superhero fiksi seperti BatmanSpidermanKamen RiderPower Rangers, sampai Bima Satria Garuda. Kebanyakan plot cerita superhero tersebut berkisah tentang “kebaikan melawan kejahatan”. Karena masih bocah, saya selalu tertarik mengikuti kisah petualangan para superhero tanpa bosan. Saking nge-fans-nya, saya gemar mengkoleksi beberapa mainan model para tokoh superhero tersebut. Sesekali, saya juga membeli "topeng" untuk kemudian bermain perang-perangan dengan teman dengan berperan sebagai salah satu tokoh superhero.

Saat itu, saya tidak peduli dengan plot cerita superhero yang terlalu fiktif dan mengada-ada. Saya tidak peduli bagaimana bisa seekor lalat alien datang ke bumi untuk kemudian mengacak-acak seisi kota secara membabi buta. Saya juga tidak berpikir mengapa para polisi tidak pernah turun tangan menangkap para monster itu langsung. Alih-alih sekumpulan manusia super berkostum anehlah yang menghajar para monster jahat. Tidak logis memang. Meski begitu, saya tetap asyik menontonnya. Hingga tanpa sadar saya begitu terinspirasi dengan cerita kepahlawanan para superhero.

Jika semasa bocah saya terbiasa menonton tokoh superhero fiksi, setelah beranjak dewasa saya mulai berpikir tentang tokoh superhero yang benar-benar ada di dunia nyata. Saya yakin, bumi yang kita tinggali sebenarnya baik-baik saja. Kita tidak sedang berperang melawan monster jahat atau sekawanan alien barbar yang turun ke bumi dengan pesawat kapsul. Alih-alih, dunia kita dipenuhi oleh banyak superhero. Di mana pun tempatnya dan kapan pun waktunya, ada saja orang-orang yang bisa berperan menjadi superhero. Salah satunya adalah tukang tambal ban di pinggir jalan.

Sejak ditemukannya teknologi ban oleh Dunlop, jasa tukang tambal ban menjadi sangat vital. Setiap saat, sering kita temui para pengendara malang yang mengalami kebocoran ban di tengah jalan. Pada saat itu, tidak sembarang orang bisa mengatasi masalahnya seketika. Diperlukan kecakapan teknik perbengkelan dan seperangkat mesin penambal untuk mengatasi masalah itu. Pada kasus ini, yang kita butuhkan adalah seorang tukang tambal ban.

Bayangkan, suatu hari kita sedang berkendara malam-malam. Tiba-tiba, ban motor kita bocor tertusuk garpu paku. Kita pun panik. Jalanan yang kita lalui sudah mulai lenggang. Penduduk sekitar sudah terlelap di kamar masing-masing. Tukang tambal ban tidak ada yang buka di sana sini. Hanya ada toko berjejaring yang pintunya terbuka 24 jam.

Jika kalian dihadapkan pada situasi seperti itu, apa yang akan kalian lakukan?
  1. Menghubungi kenalan terdekat untuk menjemput kita? Ya, itu sih solusi paling mudah dan praktis. Tapi bagaimana jika tidak ada seorang pun yang bisa menjemput kita karena hari sudah larut malam?
  2. Tetap mengemudikan kendaraan dengan ban bocor? Bisa saja, meski beresiko celaka, apalagi jika jarak ke tempat tujuan masih jauh.
  3. Meminta pemilik toko untuk mengantarkan kita pulang? Bisa saja, tapi saya tidak yakin kalian mau memilih opsi ini.
  4. Membawa motor ke kantor polisi? Ide konyol. Motor kita kan bocor, bukan kena tilang. Buat apa dibawa-bawa ke kantor polisi?
  5. Teriak-teriak meminta tolong sambil berharap diangkut mobil ambulans karena disangka orang gila???
Absurd!

Pada situasi seperti itu, tidak ada yang bisa menolong kita selain tukang tambal ban. Ya, simply, kita cuma butuh tukang tambal ban! Kita tidak bisa pergi ke toko jejaring kemudian membeli pembalut banyak-banyak untuk mengatasi kebocoran ban kita. Kita juga tidak bisa memaksa sembarang orang yang lewat untuk sekadar menambal ban kita. Satu-satunya orang yang kita butuhkan saat itu hanya seorang tukang tambal ban!

Karena itu, terpujilah para tukang tambal ban yang masih buka hingga larut malam. Keberadaan mereka sangat penting untuk menolong para pengendara malang yang mengalami kebocoran ban di tengah jalan. Saking berjasanya, tidak etis jika kita sampai misuh-misuh hanya karena tarif yang para tukang tambal ban tengah malam cenderung lebih mahal. Jika dipikir-pikir, anggap saja "impas" dengan jasa mereka menyelamatkan kendaraan kita.

Dalam tulisan ini, saya tidak sedang membanding-bandingkan profesi. Saya hanya mengajak untuk lebih menghargai profesi orang lain. Umumnya, kita terbiasa menilai suatu profesi berdasarkan besaran gaji atau penghasilan yang diperoleh. Tapi kita tidak bisa naif. Setiap profesi memiliki fungsinya masing-masing. Ibarat sistem pencernaan, setiap profesi di dunia ini ada yang berperan menjadi mulut, lambung, usus, pankreas, anus dan sebagainya. Bayangkan, betapa rusaknya sistem pencernaan kita jika anus itu tidak pernah ada.

Realitanya, manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan sesamanya untuk bertahan hidup. Betapapun kayanya, ktia tetap perlu bantuan orang lain, bahkan sekedar untuk makan. Dari mana kita mendapatkan beras dan segala lauk-pauk jika tidak ada seorang pun yang mau menjadi petani? Bagaimana kita membersihkan seisi kota jika tak ada seorang pun yang menjadi tukang sampah? Bagaimana kita bepergian jika tak ada seorang pun yang mau menjadi buruh pengaspal jalan? Pun bagamana jika ban mobil kita bocor tanpa ada seorang pun yang mau menjadi tukang tambal ban? Bayangkan kekacauan macam apa yang akan terjadi jika tidak ada seorang pun yang mau menjalani profesi-profesi semacam itu.

Dalam konteks profesi tukang tambal ban, kita tidak bisa menilai profesi tersebut hanya berdasarkan tingkat penghasilan yang diperolehnya. Kita tidak bisa naif menilai suatu profesi sedangkal itu. Ada sisi “kemanusiaan” yang bisa kita lihat dalam setiap profesi yang kita jalani. Tak peduli kita seorang guru, dokter, pengacara, polisi, buruh, pedagang, petani, maupun tukang tambal ban. Setiap profesi memiliki peranannya masing-masing dalam sistem kehidupan. Setiap profesi layak mendapat apresiasi selama itu halal dan tidak bertentangan dengan hukum. Karena sebaik-baiknya profesi, adalah profesi yang kita jalani dengan sepenuh keikhlasan dan sepenuh pengabdian. Tak tertolak.

Ada pesepakbola di kota Manchester yang digaji 300 ribu poundterling per minggu (setara dengan sekitar 5,6 milyar rupiah). Padahal kerjaannya pesepakbola itu ngapain sih? Bersih-bersih masjid? Mencangkul sawah? Menanam padi? Sama sekali tidak. Dia digaji karena keterampilannya menggiring bola melewati garis gawang. Sesederhana itu.

Bandingkan dengan sekawanan buruh kasar yang tengah bermandikan peluh mengaspal jalan di tengah terik matahari. Buruh-buruh itu tahu, penghasilan yang diperoleh dari pekerjaannya tidak sebesar pesepakbola di Manchester tadi. Mereka juga tahu jika profesinya boleh jadi tidak sekeren pesepakbola itu. Tapi, dunia ini membutuhkan tenaga mereka. Harus ada seseorang yang ikhlas menjadi buruh pengaspal jalan demi kelancaran transportasi umat manusia. Secanggih apapun kendaraannya, kita tetap membutuhkan jalan yang layak untuk kelancaran laju kendaraan kita.

Begitu juga dengan para tukang tambal ban. Selama peradaban kita mengenal ban dan roda, selama itu pula kita membutuhkan jasa para tukang tambal ban. Setidaknya, sampai para ilmuwan menemukan teknologi yang bisa membuat kita bepergian—tanpa perlu sepasang roda untuk berpijak. Dan bagi saya, para tukang tambal ban di pinggir jalan adalah para superhero yang sebenarnya. []

August 01, 2017Benny Prastawa

Saturday, July 1, 2017

Pelajaran dari Mobil Ambulans


“Kenapa tulisan ‘AMBULANCE’ di mobil ambulans ditulis terbalik? Karena kalau mobilnya yang dibalik, kasihan sopirnya dong.”

Saya membaca lelucon itu ketika masih duduk di bangku SD. Entah kenapa, sampai beranjak dewasa, saya masih mengingat lelucon itu. Tidak hanya mengingat, tapi sampai memikirkannya. Saat itu, internet belum ada. Jadi saya tidak bisa langsung mencari jawaban kenapa tulisan ambulans ditulis terbalik?

Saya baru menemukan jawaban lelucon itu ketika saya mengenal kaca spion dan menjadi pengendara motor aktif. Tentu saja, sejak awal saya percaya jika alasan membalik tulisan ambulans bukan untuk ngelawak atau sekedar gaya-gayaan. Jelas ada sesuatu yang penting di balik kesengajaan tersebut.

Ceritanya, suatu hari saya sedang mengendarai motor. Saat itu, sebuah mobil ambulans melaju kencang di belakang saya. Suara sirinenya meraung-raung memekakkan telinga. Saking bisingnya suara sirine seakan-akan mengatakan: “Minggir...minggir...ada orang sekarat woy...! Kasih jalan semuanya...minggir....!!!” Demi mendengar sirine itu, saya pun patuh dan memberi ruang jalan bagi ambulans itu.

Sebelum mobil ambulans itu menyalip, saya sempat melirik kaca spion motor. Mobil ambulans itu tampak melaju kencang. Dari kaca spion, saya bisa membaca tulisan “AMBULANCE” di bodi mobil ambulans dengan posisi tulisan normal (tidak terbalik).

“Ooh...jadi begitu,” pikir saya. Sejak saat itu, saya pun tahu mengapa tulisan AMBULANCE ditulis terbalik.

*   *   *

Terbaliknya tulisan “AMBULANCE” boleh jadi hanya segelintir hal sepele yang bisa memberi manfaat bagi keselamatan para pengguna jalan. Seringnya mobil ambulans menyelip kendaraan lain membuat mobil itu harus didesain sedemikian rupa agar mudah dalam menjalankan fungsinya. Karenanya, tampilan luar mobil ambulans dicat putih agar terlihat mencolok. Suara sirine yang memekakkan telinga berfungsi sebagai sinyal agar pengendara lain meminggirkan kendaraannya. Dan tulisan “AMBULANCE” sengaja ditulis terbalik agar keberadaan mobil ambulans terlihat dari kaca spion pengendara di depannya. Semua atribut itu memudahkan pengendara lain untuk mengetahui kedatangan mobil ambulans—dengan harapan agar si pengendara mau menepi dan memberi jalan pada mobil ambulans.

Itu tadi baru mobil ambulans. Di luar sana, ada banyak hal-hal sepele yang sengaja dibuat demi keselamatan pengguna jalan maupun pengendara kendaraan bermotor, mulai dari zebra cross, garis marka, kaca spion, lampu sein, portal pembatas, rambu, sampai lampu merah. Benda-benda tersebut memang sengaja didesain sedemikian rupa untuk keselamatan para pengguna jalan. Sayangnya, tidak sedikit di antara kita yang lebih suka mengabaikan manfaat benda-benda itu. alih-alih kita malah melanggarnya hingga dampaknya seringkali malah merugikan.

Di bawah ini saya buat beberapa toplist barang sepele yang malah ‘berbahaya’ jika diotak-atik hingga mengabaikan fungsi asalnya.

1.Spion Kiri
Dengan alasan tren, jamak kita jumpai motor-motor tanpa spion kiri. Padahal, spion kiri juga memiliki fungsi yang sama pentingnya dengan spion kanan, terutama ketika kita ingin menyelip, memotong jalur, atau belok ke kiri. Tidak harena jika Pak Polisi sering merazia para pengendara motor yang spionnya ‘buntung’. Selain karena alasan estetika, alasan keamanan dan keselamatan berkendara seharusnya menumbuhkan kesadaran dan menjadikan hal tersebut sebagai prioritas. Karena itu, tanpa dirazia pun spion motor yang kita miliki seharusnya tetap lengkap di kanan dan di kiri.

Dalam hal spion kiri, kita perlu meneladani para engendara mobil. Sejauh ini, belum pernah saya menjumpai mobil yang spionnya ‘buntung’. Kalau pun ada, boleh jadi si pemilik mobil baru saja menjadi korban sindikat pencuri spion. Bagi pengendara mobil, spion kanan maupun kiri sama vitalnya karena mempermudah sopir dalam mengamati ruang gerak di sekitar mobil.

2.Knalpot
Fungsi dasarnya sih hanya untuk membuang gas sisa pembakaran mesin motor. Namun, dengan alasan tren, knalpot dimodifikasi hingga mampu mengeluarkan bising sekuat sirine ambulans. Saya tidak melarang berkembangnya industri knalpot. Tapi mbok ya knalpot yang suka mbleyer-mbleyer malam-malam itu ditertibkan. Apalagi jika knalpot dibuat bising hanya demi gaya-gayaan atau pamer. Kalau motor kalian Ducati, KLX, atau moge bersilinder ribuan cc masih mending, Tapi kalau motor kalian ‘cuma’ Astr*a Gr*nd, dan kalian membangga-banggakan knalpot bisingnya, jujur saja, itu sangat konyol.

3.Lampu Kuning
Lampu kuning untuk kendaraan bermotor sudah didesain sedemikian rupa agar tidak menyilaukan pengendara dari lawan arah. Warna kuning dipilih karena warna ini lebih redup dan tidak membuat mata mengalami ‘kebutaan sejenak’ akibat memandang objek yang silau. Hal ini berbeda dengan lampu putih. Lampu putih pada kendaraan bisa menyebabkan kebutaan sejenak saat pengendara dari lawan arah melihatnya. Dengan kata lain, mengubah warna lampu menjadi putih, atau memakai lampu neon justru bisa merugikan pengendara lain. Tidak jarang kecelakaan terjadi karena warna lampu kendaraan yang dimodifikasi.

4.Ban Standar
Idealnya, merampingkan ukuran ban dilakukan pada sepeda ontel (sepeda kayuh). Dalam koteks sepeda ontel, semakin ramping ukuran ban, semakin nyamanlah sepeda itu. Tapi, jika kita memasang ban ramping untuk motor, apalagi motor sport, saya mulai menyangsikan keselamatan pengendara motor itu. Memakai ban ramping untuk sepeda motor memang terlihat gaya. Tapi soal kestabilan dan kekokohan motor di jalanan yang tidak rata, kita pantas ragu. Tunggu saja sampai ban motor itu mencium lubang di jalan. Saya tidak yakin jari-jari roda itu bisa selamat.—termasuk nyawa pengendara motor ber-ban ramping itu.

5. Kap Penutup Lampu Belakang
Pernah membuntuti sepeda motor yang kap penutup lampunya tidak ada? Saya pernah mengalami itu, ketika motor yang saya kendarai persis di belakang motor tanpa kap lampu. Saat itu, saya dibuat kesal karena motor di depan saya tampak seolah-olah sedang bergerak ke arah saya. Tapi selang beberapa saat, motor saya tidak kunjung berpapasan dengan motor itu. Saya pun kesal setelah mengetahui motor di depan saya tidak memasang kap penutup lampu belakangnya. Kekesalan saya bisa berlipat jika kap penutup lampu sein-nya juga tidak ada. Hal itu sangat menjengkelkan karena membuat pengendara lain tidak bisa membedakan antara lampu belakang dengan lampu sein.

*   *   *

Lima hal yang saya sebutkan tadi hanya sekelumit hal-hal sepele yang sering disepelekan di jalan. Meski sepele, hal-hal tersebut bisa saja membuat orang lain jengkel, bahkan sampai mengancam keselamatan mereka.

Yah, dalam konteks tulisan ini, saya tidak akan menyuruh kalian meniru mobil ambulans untuk menulis merk kendaraan secara terbalik. Saya juga tidak melarang kalian mengutak-atik kendaraan kalian. Itu hak setiap orang. Hanya saja, perlu kita ingat bahwa jalan raya bukan milik emak kita. Pertimbangkan juga kenyamanan dan keselamatan orang lain setiap kali kalian ingin mengutak-atik kendaraan kalian.

Di sekitar kita, bertebaran benda-benda yang sudah didesain sedemikian rupa sesuai dengan fungsinya masing-masing, entah bentuk, ukuran, suara, warna maupun daya tampungnya. Hal itu tidak (selalu) berarti modifikasi adalah tindakan ilegal. Belajar dari mobil ambulans, modifikasi yang dilakukan pada tulisan “AMBULANCE” secara langsung justru mendatangkan manfaat.


Tapi ada juga jenis modifikasi lain yang sifatnya untuk ‘gaya-gayaan’, sekedar untuk kesenangan pribadi hingga mengabaikan fungsi asli suatu barang. Jenis modifikasi seperti ini terkadang bisa membawa dampak negatif bagi orang lain—seperti lima modifikasi benda yang sudah saya tulis di atas. Jika memang serius ingin “bergaya”, bergayalah dengan aman. Kalau perlu, belajarlah bergaya dari para model. Pelajari cara mereka berlenggak-lenggok di atas catwalk—bukan berlenggak-lengok di jalanan yang malah membuat celaka banyak orang.[]
July 01, 2017Benny Prastawa

Wednesday, June 14, 2017

Menertawakan Sikap Sok Tahu


Aku membiarkan orang yang suka berbicara semau mereka.
Itu membuatku lebih mudah untuk tahu 
seberapa besar omong kosong mereka.
(Jackie Chan—Rush Hour 1)

Kejadian ini bermula saat pelajaran komputer di sekolah menengah. Saat itu, tugas yang harus dikerjakan para siswa (termasuk saya) adalah mengetik beberapa baris paragraf dan menyisipkan gambar melalui auto shape. Naskah yang diketik harus sama dengan naskah yang diberikan, termasuk tata letak gambar auto shape yang disisipkan. Berhubung saya pernah memakai mesin ketik manual sebelumnya, urusan ketik-mengetik ini tidak terlalu sulit.

Yang membuat saya risih, di sebelah saya, seorang teman tampak sibuk membicarakan salah satu siswa yang tidak jago komputer. Ia menertawakan cara siswa itu ketika membuat gambar smiley (gambar orang tersenyum). Lazimnya, kita cukup mencomot gambar smiley dari menu auto shape. Tapi siswa tadi berbeda. Dia justru membuat gambar smiley dengan menyusun bagian-bagiannya satu per satu. Karena caranya yang konyol, siswa itu pun menjadi bahan tertawaan teman-temannya di kelas.

Tidak hanya saya, kalian mungkin juga pernah memiliki teman, atau mungkin pernah mengalaminya sendiri ketika kalian ditertawakan orang lain karena tidak bisa melakukan suatu pekerjaan yang seharusnya mudah dilakukan. Ya, menertawakan orang yang tidak bisa melakukan pekerjaan sepele, mungkin terasa menyenangkan. Tapi, bagi sebagian orang, hal semacam itu bisa jadi sudah cukup mempermalukan dan melukai harga dirinya. Selain itu, sebagai orang terpelajar, menertawakan orang karena ketidakmampuannya juga terasa tidak etis. Bisa jadi, di kemudian hari, kita sendirilah yang kena batunya—menjadi bahan tertawaan orang karena tidak becus mengurus pekerjaan sepele (merawat bulu hidung misalnya).

Nah, daripada menertawakan orang lain karena ketidaktahuannya, saya lebih ‘suka’ menertawakan orang yang sok tahu. Sepanjang umur kalian, kalian pasti pernah bertemu dengan orang yang sok tahu. Orang yang sok tahu, biasanya banyak bicara dan banyak berlagak. Ia akan sibuk mengomentari banyak hal—bahkan tentang hal-hal yang tidak diketahuinya sekalipun.

Misalnya kita sedang ramai mengobrol tentang komputer. Kemudian, salah seorang teman yang sok tahu datang. Belum ada semenit bergabung, teman kita tadi langsung bicara banyak. Gaya bicaranya meyakinkan sekali, seakan-akan hanya dia yang tahu soal komputer. Sampai suatu waktu, topik obrolan membahas tentang RAM. Teman kita tadi menimpali, “Ngapain mahal-mahal beli RAM. Kalau RAM-nya rusak, ya tinggal download aja di internet. Lebih murah, asal nyambung internetnya.” Mendengar itu, teman kita tadi malah menjadi bahan tertawaan orang-orang di sekelilingnya.

Pada kasus yang lebih serius, orang yang sok tahu bisa sampai merugikan bahkan membahayakan keselamatan orang lain. Misalnya saja ketika kita sedang tersesat mencari alamat si A. Karena tak kunjung ketemu, kita pun bertanya pada seseorang yang kebetulan berada di situ. Dengan nada meyakinkan, orang itu menjelaskan rute-rute menuju tempat si A, belok sana, belok sini, sampai kita percaya bahwa apa yang dikatakannya benar.

Nyatanya, begitu kita mengikuti petunjuk orang itu, alamat si A belum ketemu juga. Tahulah kita bahwa orang yang kita tanyai tadi cuma sekedar sok tahu, karena dia sendiri masih terhitung warga baru di situ. Menyebalkan sekali bukan? Kalau memang tidak tahu, kenapa tidak jujur saja di awal?

Contoh nyata, saat televisi di rumah saya bermasalah. Beberapa channel yang biasanya ditonton, tiba-tiba hilang (tidak ada sinyal). Ibu saya pun menghubungi seorang teknisi yang dianggap cukup tahu masalah televisi. Begitu si teknisi datang, teknisi itu segera mencari tahu sumber masalahnya. Ada dugaan, pemrograman channel televisi di rumah saya bermasalah. Si teknisi pun mulai mengambil remote dan mengutak-atik menu pemrograman channel.

Berjam-jam kemudian, teknisi itu masih sibuk dengan pekerjaannya. Ibu saya masih menunggui si teknisi. Sampai akhirnya, setelah berjam-jam mengutak-atik televisi, teknisi itu pun angkat tangan. Hasilnya, hanya sebagian channel yang hilang yang berhasil dikembalikan.

Saat kebetulan saya pulang ke rumah, ibu saya mengadu tentang masalah televisi dan teknisi yang dimintai tolong tempo hari. Saya pun mencoba mencari tahu masalah televisi itu dengan Google. Setelah menemukan artikel yang cocok, saya pun mengikuti panduan artikel tersebut dan channel-channel yang hilang akhrinya bisa kembali.

Saya tidak mau berburuk sangka pada si teknisi. Boleh jadi, hanya kebetulan saja ia tidak mampu mengatasi masalah televisi di rumah saya. Yang saya sayangkan, jika memang si teknisi tidak tahu cara menyelesaikan pekerjaannya, mengapa ia tidak jujur saja di awal? Mengapa tidak berlapang dada dan mengakui ketidakmampuannya sejak awal? Alih-alih dengan sikap “sok tahu” itu, si teknisi tadi telah mempersulit urusan orang lain.

Pada dasarnya, kebanyakan manusia memiliki dorongan kuat untuk menciptakan kesan “sempurna” dalam dirinya. Manusia selalu ingin menampilkan segala kelebihan yang dimilikinya di depan orang-orang. Ketika orang-orang ramai memuji dan menyanjung, kita pun gembira. Di sisi lain, kita cenderung berusaha menyembunyikan segala kekurangan yang ada dalam diri kita. Kita tidak ingin orang-orang tahu kelemahan kita. Kita akan sangat ilfil ketika orang-orang nyinyir dan mencibir ketidakmampuan kita. Karena itu, kita pun berusaha menutupi kelemahan kita dengan berbagai cara.

Sikap sok tahu hanyalah segelintir cara yang biasa dilakukan seseorang untuk menutupi ketidakmampuan/ketidaktahuan kita pada sesuatu. Jika sikap sok tahu tidak cukup untuk menutupinya, maka kita cenderung akan banyak bicara sambil membual tentang banyak hal. Semua itu dilakukan demi agar orang lain tidak sempat mengendus ketidaktahuan kita. Jika kebetulan ada orang yang mengetahui omong kosong kita, lama-kelamaan orang itu akan risih jika berada di dekat kita.

Catatan ini tidak bermaksud menuduh kalian sebagai orang sok tahu. Catatan ini sekedar self reminder agar kita terhindar dari sikap sok tahu. Karena, sekali lagi, sikap sok tahu itu menyebalkan sekali. Sesekali, kita mungkin berhasil menutupi ketidaktahuan kita dengan sikap sok tahu. Tapi ketika kita kena batunya, maka orang lain akan segera menertawakan kita.

Alih-alih akan terasa lebih damai jika kita memilih untuk menjadi orang yang jujur dan apa adanya. Jika kita memang tidak tahu tentang suatu hal, maka katakan saja sejujurnya bahwa kita tidak tahu. Dan karena kita tida tahu, maka bertanyalah. Sikap semacam itu lebih aman dan lebih bijak untuk menjaga respek orang lain pada diri kita. Selain itu, dengan berlaku jujur, harga diri kita bisa lebih terjaga dan kita pun terhindar dari resiko mempersulit urusan orang lain karena sikap sok tahu. Semoga, kita semua dijauhkan dari tabiat sok tahu, dan dijauhkan dari orang-orang yang sok tahu beserta cocot tingkahnya yang menyebalkan dan merugikan. []
June 14, 2017Benny Prastawa

Saturday, April 22, 2017

Dokter Gigi


Jika kamu tidak pandai tersenyum,
lebih baik jangan jadi pedagang
(pepatah Cina)

Tempo hari, sakit gigi saya kambuh—tepatnya di geraham belakang sebelah kiri. Selama ini, geraham belakang saya memang bermasalah. Giginya berlubang karena tambalannya copot. Karena saya bukan ahli gigi saya hanya berpurba sangka—jangan-jangan kuman-kuman di dalam mulut saya sudah ‘beranak-pinak’ di lubang gigi itu. Pada akhirnya, kuman-kuman itulah yang menyebabkan sakit gigi saya kambuh. Gusi di sekitar geraham saya pun ikut membengkak. Rasa ngilunya luar biasa. Benarlah jika ada yang bilang: “sakit gigi lebih menyakitkan daripada sakit hati” (untuk saat ini, saya setuju dengan ungkapan itu).

Bagian paling menjengkelkan dari sakit gigi adalah ‘sensasi nyerinya’ yang menjalar. Bagian-bagian tubuh yang tidak ada sangkut-pautnya dengan gigi bisa ikut-ikutan sakit. Dari beberapa artikel yang pernah saya baca di internet, sakit gigi bisa menyebabkan demam, infeksi, peradangan, gusi berdarah, linu di sekitar kepala dan bahu, sampai gangguan sinusitis. Pada kasus saya, sakit gigi ini sukses mendatangkan demam, nyeri kepala, dan gangguan pencernaan (gara-gara nafsu makan saya anjlok). Biasanya, saya akan meminum paracetamol untuk meredakan rasa nyeri akibat sakit gigi. Tapi kali ini, paracetamol saja tidak cukup. Selang tiga hari kemudian, sakit gigi saya belum mereda. Saya pun memutuskan untuk segera ke dokter gigi.

Berbicara soal dokter gigi, saya punya seorang dokter gigi langganan—Bu In namanya. Saya sudah memakai jasa layanan Bu In sejak tahun 1995 atau sejak umur 3 tahun. Setiap kali gigi saya bermasalah, saya selalu pergi ke klinik Bu In. Sejauh ini, saya enggan beralih ke dokter gigi lain. Pikir saya, jauh lebih mudah dan aman jika saya memeriksakan gigi ke klinik Bu In karena semua rekam medis gigi saya ada di kliniknya. Karenanya, setelah dewasa pun saya tetap memakai jasa Bu In untuk merawat gigi saya.

Sejak kecil, riwayat gigi saya memang tidak beres. Kebiasaan saya mengunyah permen, membuat saya hampir kehabisan gigi. Gigi saya banyak yang tanggal dan berlubang di sana sini. Karenanya, tidak heran jika saya sudah menjadi pelanggan Bu In sejak berumur 3 tahun. Berkat klinik Bu In, gigi-gigi saya yang bermasalah pun bisa terselamatkan.

Pertama kali saya datang ke klinik Bu In bersama ibu saya. Ibu saya pernah bilang kalau dia membawa saya ke klinik Bu In agar saya tidak terlalu kesakitan saat diperiksa. Dan memang begitulah adanya. Sejak dulu, klinik Bu In terkenal dengan keramahannya melayani pasien anak-anak. Meski begitu, seperti bocah-bocah lain pada umumnya, saya tetap ketakutan melihat alat-alat perawatan gigi di ruang kerja Bu In, mulai dari lampu sorot berwarna kuning yang menyilaukan, penjepit, tang pencabut, dan tentu saja—bor gigi.

Dan tanpa terasa, dua puluh satu tahun berlalu. Saya kembali mengunjungi klinik Bu In untuk yang kesekian kalinya. Kali ini, saya butuh bantuannya untuk menambal gigi saya yang bolong. Begitu masuk ke ruang periksa, ada sebongkah perasaan nostalgia di benak saya. Pandangan saya tertumbuk pada sebuah kursi periksa di tengah ruangan—kursi empuk yang engselnya bisa bergerak otomatis naik-turun. Terbayang bagaimana saya dulu duduk di kursi itu, sambil bergidik ngeri menahan sakit saat giginya dicabut. Dan Bu In...ah, beliau masih seperti yang dulu. Wajah orientalnya masih tetap terlihat muda meski usianya mungkin hampir berkepala enam (saya katakan “mungkin”, karena saya tidak tahu usianya. Saya sungkan berbasa-basi menanyakan umur).

Saat memeriksa gigi saya, Bu In masih mempertahankan “cara-cara lama”. Pendekatan sugestifnya terhadap pasien masih sama dengan yang dulu dilakukannya sewaktu memeriksa saya. Kata-kata perintah Bu In sangat khas sehingga masih terngiang-ngiang di telinga saya.

Buka mulutnyaaa...

Gigit...”

Kumur-kumuuur...

Entah sengaja atau memang sudah kebiasaannya, Bu In sering memanjangkan suku kata terakhir saat memberi perintah pada pasieannya. Dengan cara itu, Bu In sukses mengesankan dirinya sebagai sosok yang ramah serta menjauhkan pasiennya dari rasa takut dan trauma. Tekanan dan intonasi suaranya yang lembut seakan-akan menggantikan peran morfin sebagai penghilang sakit—menenangkan. Gara-gara itu pula saya benar-benar kembali menjadi "bocah" di depan Bu In.

*   *   *

Bagi saya, keramahan pelayanan adalah hal terpenting dalam berbisnis. Pepatah Cina mengatakan "jika kamu tak pandai tersenyum, jangan menjadi pedagang." Karena semua orang pada dasarnya suka diperlakukan secara ramah. Keramahan pelayanan kalian adalah cara efektif menggaet pembeli. Tidak hanya itu, keramahan kalian bisa menumbuhkan kepercayaan pembeli yang membuatnya tidak ragu untuk kembali membeli barang di tempatmu. Tak peduli sebagus dan se-wah apapun barang jualannya, jika kalian bersikap judes nan amit-amit pada pembeli, saya tidak yakin si pembeli sudi datang ke tempatmu lagi.

Begitu juga dengan klinik Bu In. Alasan saya setia menjadi pelanggannya adalah keramahan pelayanannya. Saya pernah dibuat ilfil oleh seorang dokter yang judes dan bekerja setengah-setengah. Gara-gara itu, saya enggan kembali ke kliniknya. Jangankan periksa, menebus resepnya pun saya tidak sudi. Saya merasa diperlakukan seperti motor yang diservis. Tidak ada sentuhan humanis dan sugesti untuk menenangkan pasiennya. Karenanya, saya pernah bilang jika saya rela menebus harga yang sedikit lebih mahal demi sebuah keramahan pelayanan. Dan saya tidak akan merasa rugi karenanya.

Apa bedanya dengan klinik Bu In?

Tentu saja beda. Dokter yang satu memeriksa saya seperti motor butut di tempat bengkel servis, sementara Bu In memeriksa saya selayaknya benda hidup yang bisa bicara dan merasa. Tidak mengherankan jika klinik Bu In selalu ramai didatangi pasien. Bahkan meski di sebelah klinik Bu In sudah berdiri klinik dokter gigi baru, pelanggan setianya yang sudah “kadung krasan” (terlanjur nyaman) tetap memilih memeriksakan giginya di klinik Bu In—termasuk saya.

Meski begitu, tidak semua keramahan pelayanan berkonotasi positif. Ada juga jenis keramahan pelayanan yang menjengkelkan, misalnya di toko-toko swalayan berjejaring. Di toko-toko semacam itu, keramahan pelayanan yang kita terima terasa seperti sebuah “basa-basi sistematis”. Sebagai pelanggan, kita hampir selalu mendapatkan keramahan dan basa basi yang sama di toko-toko serupa. Alih-alih merasa nyaman, kita bisa dibuat ilfil karena pertanyaan-pertanyaan seperti: “Kartu membernya ada?” “Kembaliannya permen, ya?” “Kembaliannya mau disumbangkan?” “Terima kasih sudah berbelanja di sini...” “Dimulai dari nol, ya...”
Aaarghh....!#berisik (nutup kuping).

Sekalipun keramahan pelayanan penting, dalam praktek penggunaannya tetap harus memperhatikan konteks waktu, tempat, dan kondisi konsumen yang kita hadapi. Keramahan pramugari di pesawat, tidak akan cocok diterapkan di pom bensin. Keramahan pelayanan operator telepon seluler tidak akan cocok dipakai di toko-toko swalayan berjejaring. Pun dengan keramahan pelayanan di tidak akan cocok diterapkan di pasar. Karena di tempat-tempat itu, konsumen yang kita hadapi seringkali terburu-buru. Mereka tidak punya waktu memperhatikan keramahan dan kelembutan kata-kata kita. Dalam hal ini, jauh lebih efektif jika keramahan pelayanan itu ditunjukkan dengan bahasa tubuh (gesture), seperti senyum, jabat tangan, atau sekadar wajah yang ceria. Ini jelas lebih baik dan tidak se-lebay basa-basi ‘sok ramah’ yang kadang membuat ilfil pelanggan—ya seperti di toko-toko swalayan berjejaring itu. []


*Sampai saya menulis catatan ini, Bu In masih diberi umur panjang dan membuka praktek di kliniknya. Dan seperti ketika saya bocah dulu, klinik Bu In selalu ramai dikunjungi pasien. Semoga sehat selalu Bu In, agar gigi saya juga kembali sehat. Terima kasih klinik Tong Pang Bu In.

Friday, April 7, 2017

Nostalgia dan Obsesi yang Baru Kesampaian


Saya pertama kali berkenalan dengan telepon genggam (ponsel) saat masih SD. Kalau tidak salah ingat, sekitar tahun 2001. Saat itu, ponsel masih menjadi barang mewah di kampung saya. Saking mewahnya, di kompleks rumah saya hanya ada dua orang yang mampu membelinya. Wajar saja, karena saat itu harga pulsa terbilang sangat mahal (100 ribuan). Jika dikonversi ke nilai uang sekarang, mungkin nilainya setara setengah juta rupiah. Padahal, dengan harga ‘semahal’ itu, masa aktif yang kita peroleh cuma satu bulan. Tidak heran jika saat itu ponsel hanya bisa dimiliki oleh masyarakat ekonomi mapan—salah satunya adalah paman saya.

Ponsel paman saya terbilang sederhana. Bentuknya mungil, ramping, dan layarnya cuma selebar ibu jari orang dewasa. Karena bentuknya yang mungil dan lucu, saya sering meminjamnya setiap kali dolan ke rumah paman. Untungnya, paman saya tidak pelit meminjamkan ponselnya. Dan seperti bocah-bocah lain pada umumnya, saya lebih sering menghabiskan waktu untuk bermain game dengan ponsel itu.

Tahun demi tahun berganti. Perkembangan teknologi ponsel berlangsung sangat cepat. Teramat cepat, hingga setiap tahun seseorang bisa berganti ponsel dengan fitur yang jauh berbeda dibanding ponsel sebelumnya. Model ponsel pun semakin beragam sehingga masyarakat punya lebih banyak pilihan. Apalagi, sejak tahun 2003, jumlah operator seluler di kota saya semakin banyak. Masing-masing operator menyediakan beragam tarif promo sehingga harga pulsa semakin terjangkau.

Terjangkaunya harga pulsa berbanding lurus dengan semakin murahnya harga ponsel. Ponsel pun menjadi barang yang kian menjamur di masyarakat. Di setiap tempat, jamak terlihat orang yang sibuk berkirim SMS, menelpon, atau sekedar mengecek ponsel sambil menunggu angkutan umum. Tidak hanya orang-orang tua, anak-anak sekolah pun terlihat menenteng ponsel kesana kemari.

Saya beruntung karena larangan membawa ponsel tidak (atau mungkin belum) berlaku di sekolah. Sekolah saya masih membolehkan siswanya membawa ponsel, sebatas untuk berkomunikasi dengan orangtua agar lebih mudah mengurus jemputan. Karena pihak sekolah membolehkan, jadilah teman-teman saya ikut-ikutan membawa ponsel dengan berbagai model, ukuran, dan fitur masing-masing. Ada ponsel berukuran mini yang bisa disaku, ada ponsel berkamera, ponsel dengan MP3 Player, games interaktif, dan juga video player. Meski terdengar sedikit kampungan (khususnya bagi generasi android saat ini), fitur-fitur itu terbilang “sangat canggih” untuk ukuran ponsel saat itu.

Saya sendiri tidak neko-neko dalam hal ponsel. Saya membawa ponsel sekedar untuk memudahkan komunikasi dengan orangtua. Bukan untuk prestise pribadi apalagi pamer-pameran. Gimana mau pamer, lha wong ponsel saya malah cuma ‘lungsuran’ dari kakak saya. Soal fitur jangan tanya, ponsel saya cuma bisa SMS sama telepon. Bikin lagu juga bisa, cuma jarang saya utak-atiki. Nada deringnya juga masih monophonic dan ukurannya pun sangat tidak ramah di saku. Jika kalian bertanya “bagaimana caramu bersenang-senang dengan ponsel itu?” Jawaban saya cuma dua: “Bumper” dan “Space Impact”.

Begitulah—ketika sekolah saya tidak pernah bersentuhan dengan ponsel multimedia. Saya lebih sering meminjam ponsel teman jika ingin mendengarkan MP3, memutar video atau sekedar berfoto bersama. Saya sendiri sungkan meminta ponsel pada orangtua. Prinsip saya, selama sebuah barang masih bisa dipakai dan saya masih bisa merasakan manfaat dari barang tersebut, saya segan membeli barang yang baru. Karena itu, dalam urusan ponsel, bisa dibilang saya cukup ‘kudet’ (bahkan ikut-ikutan mig33 pun tidak pernah).

Terlepas dari kekudetan saya, ada satu jenis ponsel yang membuat saya melting saat itu. Tentu saja bukan jenis ponsel multimedia berkamera yang bisa “mendesah” keras-keras melainkan ponsel flip. Sejak saya mengenal jenis ponsel flip (ponsel dengan layar yang bisa dilipat), saya begitu terobsesi untuk memilikinya. Salah satunya, karena layar ponsel flip bisa dibuka dan ditutup. Entah kenapa, saya menganggap hal itu “keren” sekali (sama halnya dengan aktivitas ‘buka-tutup’ pintu kulkas untuk mengecek lampu kulkas—ajaib).

Obsesi saya pada ponsel flip boleh jadi karena saya terlalu terpengaruh serial Power Ranger yang rutin saya tonton tiap Minggu pagi. Dalam salah satu serialnya, para tokoh utama memakai gadget mirip ponsel flip untuk berubah menjadi Power Ranger. Tidak mengherankan jika kelak saya ingin mewujudkan gadget itu dalam bentuk nyata.

*   *   *

Hari ini, sudah sepuluh tahun lebih sejak masa-masa perkenalan saya dengan ponsel. Perkembangan terknologi ponsel sudah melampaui apa yang dulu cuma bisa saya bayangkan dalam film-film kartun. Layar sentuh, panggilan video, file transfer, dan internet adalah segelintir narasi fiksi yang telah mewujud menjadi kenyataan di era ponsel saat ini. Saya telah tiba di masa depan.

Ponsel tidak lagi semewah dulu ketika pertama kali muncul di kampung saya. Hampir semua orang menenteng ponsel sekarang. Tidak cukup satu, dua, tiga, bahkan lebih. Masing-masing orang mulai disibukkan dengan ponselnya yang semakin ‘pintar’. Cara mereka bersenang-senang dengan ponsel pun semakin beragam. Tidak ada lagi Bumper dan Space Impact. Tidak ada lagi ritus bangun dini hari demi mengejar telepon gratisan. Tidak ada lagi pesan yang tertunda karena kepenuhan memori SMS.

Ponsel masa kini sudah bertransformasi menjadi semacam ‘entitas’ tersendiri yang bahkan bisa menggerus kemanusiaan seseorang. Dan dengan segala silau kecanggihannya, saya mengikuti arus zaman—memakai ponsel android—hingga saya pun mulai melupakan obsesi memiliki ponsel flip. Setidaknya, hingga beberapa waktu yang lalu, saat saya pergi ke sebuah mall di pusat kota.

Saat itu, saya sedang mencari-cari ponsel (android) baru karena ponsel android saya yang lama sudah terlalu usang. Saking usangnya, sampai-sampai saya dibuat kesulitan karena tidak bisa menginstall Whatsapp di sana. Saat sedang berkeliling melihat-lihat, pandangan saya tertumbuk pada sebuah ponsel flip berwarna putih yang dipajang di kaca etalase.

DEG!

Layaknya seorang bocah yang takjub melihat pameran lumba-lumba, mata saya berbinar melihat ponsel flip itu. Seketika, saya terlibat perasaan nostalgia. Saya merasa kembali ke masa remaja saat saya menganggap ponsel flip sebagai barang yang “keren”. Saya membayangkan betapa elegannya memakai ponsel sambil membuka dan menutup layarnya. Obsesi saya memiliki ponsel flip pun kembali membuncah. “Saya harus memiliki ponsel itu suatu saat nanti,“ tekad saya.

*   *   *

Dan begitulah, setelah pertemuan tak disengaja dengan ponsel flip itu, saya ber-azzam kuat untuk membeli ponsel itu. Kini, setelah menyisihkan sebagian gaji, sebuah ponsel flip warna hitam telah berhasil saya dapatkan. Bukan sesuatu yang mewah memang, tapi sudah cukup membuat saya puas karena akhirnya obsesi saya ketika “bocah” telah terwujud. Terasa lebih puas karena saya mewujudkan obsesi itu dengan jerih payah saya sendiri.


Dengan hati-hati, saya keluarkan ponsel flip itu dari bungkusnya. Warnanya hitam pekat, elegan, meski agak licin dipegang. Saya pun bergegas memasang kartu SIM di dalamnya. Begitu saya membuka layarnya, ponsel flip itu menyala. Sebongkah perasaan membuncah menjalari sekujur tubuh saya. Dan entah kenapa, saat itu saya merasa—yah, sangat sangat—keren.[]
April 07, 2017Benny Prastawa

Tuesday, March 21, 2017

Gara-Gara The Beauty and The Beast


Sebenarnya, ini cerita lama. Dongeng klasik yang telah diceritakan turun-temurun, hingga keponakan kalian yang masih Balita bisa menebak endingnya. Cerita ini bermula dari seorang ‘kembang’ desa bernama Belle (baca "Bel"). Namanya juga kembang desa, Belle digambarkan sebagai perempuan cantik bertubuh sintal dengan berat badan proporsional. Tidak heran jika Emma Watson terpilih memerankan karakter si kembang desa. Meski sejujurnya, film ini jauh lebih mirip “Hermione Granger”-nya Harry Potter yang sedang kesasar di film Disney. 

Suasana desa tempat Belle berada sangat asri. Meski begitu, penduduk desa itu kurang terpelajar dan buta huruf. Pekerjaan sehari-hari masyarakat desa adalah bertani dan beternak. Tidak mengherankan jika adegan pertama film ini sangat cocok dengan sesi joget massal yang diiringi lagu “Anak Gembala” milik Tasya.

Belle tinggal bersama ayahnya—Pak Maunasi (atau "Maurice" dalam bahasa Inggris), seorang tukang jam “sia-sia” yang entah darimana ia mendapatkan uang. Dibilang sia-sia karena konyolnya, tidak ada seorang pun di film itu  yang terlihat memakai jam. Meski tinggal di sebuah desa kecil yang miskin dan serba terbelakang, Belle adalah seorang kutu buku (persis seperti Hermione di film Hary Potter). Ia sering menghabiskan waktunya untuk membaca buku-buku cerita di sebuah “PEPES” (perpustakaan desa) miskin yang koleksi bukunya kurang dari selusin.

Suatu hari datanglah seorang pemburu nan gagah bernama Gaspol (nama aslinya sih Gaston, tapi malah membuatku kebayang Julia Perez). Seperti namanya, Gaspol adalah seorang veteran perang suku yang banting profesi menjadi penjual gas. Kebetulan desa tempat Belle berada masih memakai kompor minyak. Belum ada satu pun warga yang memakai gas di desa itu. Karenanya, Gaspol mendapat tugas dari Dinas Sosial untuk mensosialisasikan penggunaan gas elpiji untuk keperluan dapur di desa Belle.

Sebelum berangkat, Gaspol memakai teropongnya untuk melihat-lihat suasana desa. Ia melihat suasana desa itu masih sangat asri meski asap dari kompor minyak mengepul di sana sini. Ketika ia memutar lensa teropongnya, "Oh!" mendadak Gaspol ngiler melihat Belle yang sedang menjemur daleman. Otak nakalnya bereaksi setelah melihat jemuran BH Belle yang berlabel “dobel XL”. Ia pun memutuskan untuk melamar Belle saat itu juga.

Sepanjang perjalanan, aroma bawang dari baju Gaspol membius gadis-gadis desa. Kegagahan Gaspol membuat para gadis desa itu kelojotan sambil menggelinjang, persis seperti jentik nyamuk di bak mandi. Setibanya di desa, Gaspol langsung mendatangi rumah Belle. Tanpa babibu, ia pun segera mengutarakan isi hatinya pada Belle.

“Bel, lu cantik banget sih! Gue mau kawin sama elu. Lu mau nggak kawin sama gue?” Gaspol ngomong sambil garuk-garuk kolor. Secara refleks, Belle pun mengeluarkan sepucuk tongkat hitam dari balik bajunya.

“AVADA KEDAVRA!”

Gaspol terpental jauh, hingga terperosok masuk ke kandang ayam. Belle beringsut masuk dan mengunci pintu rumahnya. “Dasar cowok mesum!” batin Belle

Alkisah setelah kejadian dengan Gaspol, Pak Maunasi (Ayah Belle) diceritakan tersesat di Hutan Terlarang. Badai salju turun dengan deras. Dari kejauhan, Pak Maunasi mendengar lolongan serigala. Bulu kuduknya pun meremang.

“Buset, sinetron GGS udah go international. Syutingnya sampai ke luar negeri,” gumam Pak Maunasi menenangkan diri. Belum sampai semenit, tiba-tiba, dari semak-semak, sekawanan serigala muncul. Sekawanan serigala itu berusaha mengejar kereta kuda yang dikendarai Pak Maunasi. Malang baginya, ikatan tali kudanya terlepas. Pak Maunasi pun terpelanting dari kereta kudanya. Bersamaan dengan itu, kawanan serigala sudah bersiap menerkam Pak Maunasi.

Sejurus kemudian, sesosok makhluk tinggi besar datang entah dari mana. Dari sela-sela bibirnya tampak sepasang taring meyeringai lengkap dengan tanduk yang menancap kokoh di kepalanya. Makhluk itu menghajar para serigala dengan membabi buta.

Selesai menghajar serigala, makhluk bertanduk itu kemudian mendatangi Pak Maunasi. Temaram sinar bulan membuat Pak Maunasi dapat melihat sosok itu dengan jelas. Tinggi, besar, bertanduk, berbulu lebat dengan muka mirip kambing. Pak Maunasi pun tergeletak tak sadarkan diri.

Di desa, Belle mulai mengkhawatirkan ayahnya yang belum pulang semalaman. Berkali-kali ia melongok beranda rumahnya, berharap ayahnya segera muncul dari balik pintu. Ketika ia kembali menengok beranda rumah, dilihatnya kuda ayahnya ketakutan sambil menenggak air banyak-banyak. Setelah cukup tenang, Belle meminta kuda itu untuk mengantarkannya ke tempat ayahnya.

Tak lama berselang, Belle berhenti di depan sebuah kastil. Kastil itu sangat tinggi, berwarna kehitam-hitaman—membuat Belle serasa kembali ke sekolah Hogwart. Begitu memasuki gerbangnya, Belle mendapati ayahnya sedang makan pagi.

“Pak, kamu ngapain di sini?” tanya Belle.

“Ah, Belle, ayok sini, makan-makan bareng Bapak. Yang punya kastil ini baik banget. Ini Bapak sampai dibikinin sarapan.

Alis Belle terangkat. Semalaman ia mengkhawatirkan bapaknya, eh, tahu-tahu si Bapak sudah duduk manis menikmati sarapan pagi. Belum selesai keheranannya, Bella dikejutkan dengan kedatangan pemilik kastil itu.

“WEDHUUUUUSSSSS.....!!!!” Bell berteriak histeris melihat wujud si pemilik kastil.

“Eh, tenang Neng. Kenalin, Gue Pangeran Kambing.”
Makhluk bertanduk itu mendekati Belle. Belle sedikit takut. Ia pun mengambil tongkat sihirnya untuk berjaga-jaga.

“Jangan deket-deket lu. Mau lu apain bokap gue?”

“Jangan salah paham, Belle. Justru Pangeran Kambing ini sudah nyelametin Bapak dari kawanan serigala. Semalam Bapak hampir jadi mangsa serigala. Untung Pangeran Kambing datang dan mengusir kawanan serigala itu.” Pak Maunasi menceritakan kejadian semalam.

“Betul itu. Maaf kalo penampilan gue nyeremin. Gue ini sebenernya Pangeran Tampan yang dikutuk gara-gara suka ngelike instagramnya Mimi Peri.”

“What??!!” Belle terbelalak.

“Sekarang gue tahu kesalahan gue. Gue udah insap. Gue tahu gue salah. Tapi itu dulu. Sekarang gue udah berubah kok. Gue cuma lagi nunggu orang yang tepat yang bakal mencintai gue apa adanya. Dengan begitu, kutukan gue bisa terlepas dan gue bisa balik lagi jadi Pangeran Tampan,” kata Pangeran Kambing sambil mengelus jenggot.

“Kamu dengar kan Belle. Bapak juga yakin dia pria baik-baik. Kamu bakalan cocok sama dia, Belle” Pak Maunasi kembali membujuk putrinya agar mau menikahi Pangeran Kambing.

“Aku masih waras Pak. Masak mau nikah sama Kambing? Kalo Belle nikahin dia, anak Belle nanti kayak apa? Jangan-jangan Belle beranak sapi, ato malah beranak tuyul!? Iihh....serem!”

BLAARRR....!!!

Pintu gerbang kastil itu pecah berkeping-keping. Dua sosok manusia tampak berjingkat memasuki kastil. Salah seorang dari dua sosok misterius itu berteriak lantang.

“Ah, rupanya lo di sini, Belle. Masih inget gue kan Belle? Gaspol ganteng nan keceh ini berdiri di sini menuntut keadilan cinta. Hahaha....” Gaspol terbahak-bahak sambil ngangkang berkacak pinggang. Agaknya, Gaspol masih menaruh dendam dengan penolakan Belle tempo hari.

Di sebelah Gaspol berdiri seorang dukun aliran hitam bernama Mbah Voldemort. Mbah Voldemort terkenal sebagai dukun paling sakti mandraguna di desanya. Sambil terkekeh, Mbah Voldemort mengusap-usap kepala botaknya. Baju hitamnya yang agak dekil berkibar-kibar tertiup angin, menyebarkan aroma dupa bercampur menyan yang khas.

“Seperti kata peribahasa, 'cinta ditolak dukun bertindak'. Dan kayak yang lo lihat, kali ini gue udah minta bantuan Mbah Voldermort buat ngerampungin urusan kita. Hahaha....” Gaspol mangap-mangap tertawa sambil menebar aroma jengkol ke segala penjuru. Belle dan Pak Maunasi sampai ingin muntah.

“Tidak usah buang waktu lagi. Mbah, singkirkan wanita jalang itu sekarang!” perintah Gaspol.
Sendiko dhawuh!” Mbah Voldemort merapal jampi-jampi gaib. Tubuhnya mulai melayang-layang. Dalam sekejap ia sudah menapak udara menuju tempat Belle berdiri.

Belum sempat menyentuh Belle, dengan sigap Pangeran Kambing menghadang Mbah Voldemort. “Nggak bakal gue biarin lo nyentuh Belle. Langkahin dulu mayat gue, Mbah!”

Pangeran Kambing dan Mbah Voldemort terlibat pertarungan sengit. Keduanya saling beradu mantra kutukan. Percikan-percikan mantra membuat ledakan yang menggetarkan kastil itu. Pertempuran keduanya tidak jauh beda dengan duel Goku vs Bejita di serial Dragon Ball. Sementara dua makhluk sakti itu berduel, Belle dan Bapaknya beringsut mencari tempat perlindungan di balik tembok. Sambil ngemil kacang dan makan pisang, Belle dan Bapaknya menonton duel Pangeran Kambing dan Mbah Voldemort.

Pangeran Kambing menyerang dengan membabi buta. Mbah Voldemort  kewalahan. Jurus andalan pun dilayangkan. Pangeran Kambing terpelanting jatuh terkena mantra Mbah Voldemort. Ia mulai terdesak. Mbah Voldemort  bersiap merapal mantra kutukan terakhir untuk menghabisi Pangeran Kambing. 

Sebuah bola api berpijar dari tongkat sihir Mbah Voldemort. Sambil komat-kamit Mbah Voldemort menembakkan bola api itu ke arah Pangeran Kambing. Dengan kekuatan terakhir, Pangeran Kambing berusaha menghindar. Diambilnya seonggok cermin yang ada di sebelahnya. Bola api itu memantul cermin dan berbalik mengenai Mbah Voldemort. Tubuh Mbah Voldemort terhampas dan tak bergerak lagi. Melihat jagoannya kalah, Gaspol yang sedari tadi berdiri di sudut kastil memilih lari pontang-panting, kabur.

Setelah dirasa aman, Belle segera berlari menghampiri Pangeran Kambing yang tergeletak. Tubuh Pangeran Kambing terluka di sana sini. Napasnya terengah-engah. Belle sempat berpikir memberinya napas buatan, tapi urung karena bau prengus Pangeran Kambing tak tertahankan lagi.

Belle merasa tidak akan bertemu Pangeran Kambing lagi. Belle mulai terisak. Air matanya memabasahi pelupuk matanya. “Mbing...jangan mati dulu dong. Gue nggak nyangka kalo lo bisa seberani ini. Gue terlalu menilai lo dari fisik semata. Sekarang gue sadar kalo cinta itu nggak melulu soal fisik. Lo udah nyadarin gue, Mbing.”

Pangeran Kambing hanya tersenyum mendengar kata-kata Belle. Tubuhnya tetap tidak bergerak. Belle pun mendekap tubuh Pangeran Kambing yang sekarat.
“Mbing...Nggak apa-apa kalo nanti gue kawin sama lo. Gue rela gue beranak sapi, kambing, atau unta sekalian. Yang penting gue dapet suami yang bisa ngelindungin gue, yang baik hati, dan gagah berani kayak lo. Gue cinta sama lo, Mbing...” suara Belle semakin parau, terisak.

CLING......

Seberkas sinar keemasan berpendar menyelimuti tubuh Pangeran Kambing yang tergolek lemas. Belle beringsut mundur, menatap bingung sekitarnya. Sinar keemasan itu semakin membesar dan menutupi seluruh tubuh Pangeran Kambing. Kemudian mengangkatnya melayang di langit-langit kastil.

Setelah sinar keemasan itu lenyap, Pangeran Kambing telah berubah menjadi sesosok Pangeran Tampan. Tanduk dan bulu lebatnya sudah hilang seperti baru di-Gillette. Belle hanya bisa ternganga melihat ketampanan Pangeran Kambing yang telah berubah wujud itu. Ternyata, ungkapan cinta yang tulus dari Belle telah berhasil melenyapkan kutukan Pangeran Kambing. Pangeran Kambing pun kembali ke wujud aslinya yang tampan dan gagah perkasa.

Akhirnya, Belle, Si Kembang Desa dan Si Kambing, eh, Sang Pangeran Tampan pun, menikah. Mereka pun hidup bahagia selama-lamanya. Dan film pun ditutup dengan lagu “Kemesraan”-nya Dewi Yul, diiring dengan joget India oleh para pemeran-pemeran film tersebut.

-TAMAT-
March 21, 2017Benny Prastawa

Tuesday, February 14, 2017

Scene Absurd di Upacara Pernikahan

          Mempelai pria sudah bersiap mengucapkan ikrar suci. Dengan muka bersemu merah, seulas senyum tersungging di bibir mempelai wanita. Sang Modin mulai sibuk merapal doa-doa.
          Ketika prosesi itu hampir selesai, dari kejauhan, seorang wanita nampak berlari tergopoh-gopoh. Tubuhnya bermandikan peluh layaknya pelari Jamaika yang mengkilat. Sambil melambaikan tangan, wanita itu terus berlari. Sesaat kemudian, belahan mulutnya terbuka dan wanita itu mulai berteriak:

          “Tungguuuuu..........!!!!”

          Dan acara pernikahan pun bubar seketika.

          -TAMAT-

***

Familiar dengan scene film atau plot novel seperti ilustrasi di atas? Ya, saya sudah beberapa kali mendapati film atau drama roman yang beralur seperti itu. Jika harus menyebut merk, setidaknya ada tiga film yang masih membekas dalam ingatan saya: Spiderman 2 (versi Tobey McGuire), 3 Idiot, dan Dealova.

Saya tidak tahu apakah ini semacam konspirasi agar si tokoh utama tidak perlu menikah dalam film? Kita tahu, ada banyak film di mana tokoh utamanya tidak memiliki status pernikahan yang jelas.

Jadi, saya berasumsi, kegagalan pernikahan si tokoh utama menjadikan jalan cerita yang lebih seru dan dramatis. Tokoh utama kembali bebas melajang dan menjalani lika-liku rumit percintaan. Ya, dengan cara itu si sutradara bisa menambah episode baru atau menambahkan karakter lain dalam film, tentu saja juga menaikkan rating filmnya. Bisa juga scene absurd itu sudah menjadi semacam “selera penonton”, yang bisa membuat tetap antusias mengikuti jalan cerita selanjutnya.

Sejujurnya, saya malah lebih respek jika alur cerita mengharuskan salah satu tokoh utama tewas tragis—seperti Leonardo DiCaprio di Titanic. Itu lebih keren, gentleman, gagah berani, dan menunjukkan betapa seorang Jack Dawson berani berkorban demi keselamatan Rose Ketekburi (saya lupa nama lengkapnya). Bandingkan dengan scene pernikahan yang rusak gara-gara ada seorang tamu yang datang tergopoh-gopoh berteriak “Tunggu...!!!” Absurd, sekaligus naif sekali.

Dalam dunia nyata pun demikian. Entah karena saya anak rumahan atau karena saya kurang update berita, tapi saya belum pernah mendengar pernikahan yang gagal gara-gara di tengah ijab qobul ada seorang ‘tuna asmara’ yang berteriak meminta pernikahan ditunda. Jika pun ada, saya yakin orang itu sudah buru-buru dibawa ke klinik kejiwaan terdekat.

Idealnya, sebuah pernikahan yang dikehendaki (bukan karena paksaan atau perjodohan yang keliru) akan berlangsung penuh khidmat, agung, dan romantis. Prosesi pernikahan bukanlah dagelan yang bisa seenak wudel dijadikan bahan olokan. Apalagi bagi kedua mempelai. Mereka harus tetap serius dalam mengikuti setiap rangkaian prosesinya. Pengucapan ikrar suci adalah sesuatu yang sakral. Berbeda halnya dengan ketika kita mengungkapkan cinta pada gebetan atau pacar. Levelnya jauh, jauh, melebihi itu.

Karena itu, sebelum tulisan ini menjadi semakin bodoh, saya hanya ingin mengucapkan selamat pada siapapun yang hari ini sudah menikah. Pahit manis kehidupan setelah menikah itu konsekuensi kalian. Sebuah bagian dari sistem resiko yang harus ditanggung dalam setiap pilihan hidup. Dengan tulisan ini, saya hanya berharap semoga dunia perfilman kita tidak lagi mengeksploitasi insiden-insiden konyol dalam pernikahan. Semoga novel-novel roman yang saya baca berikutnya tidak lagi membahas masalah pernikahan yang tertunda. Saya kok lebih senang jika endingnya berbahagia bagi kedua mempelai. So, nikah, ya nikah saja, peduli setan jika seorang tolol lari tergopoh-gopoh sambil berteriak “tungguuu...!” Boleh jadi, dia seorang narsis yang takut tidak kebagian frame dalam sesi foto bareng. []
February 14, 2017Benny Prastawa

Monday, January 2, 2017

Pikiran Anonim


Aku mulai bingung harus menulis apa. . .

Terkadang aku lelah sekali dengan semua pikiran-pikiran ini
January 02, 2017Benny Prastawa