Sunday, July 17, 2016

Pengajian 'Batman'


Tidak sepatutnya engkau memberi makanan
dengan bungkus kresek bekas yang lusuh
(Benny Prastawa)

Seringkali saya bertanya-tanya, siapa sih yang pertama kali menggagas ide pengajian sampai tengah malam? Bagi saya yang tidak betah melek, acara pengajian hingga larut malam adalah mimpi buruk. Acara tersebut biasanya membuat waktu tidur saya terganggu dan menurunkan daya konsentrasi saya keesokan harinya. Belum lagi jika pengajian tersebut diadakan sampai dini hari, saya malah khawatir para peserta pengajian melewatkan sholat Subuh.

Tentu saja tidak semua orang sama cemen-nya dengan saya. Bagi orang yang pada dasarnya kuat lek-lekan (begadang), pengajian sampai larut malam atau dini hari tidak menjadi soal. Mereka tetap kuat menjalankan ibadah sholat Subuh tanpa harus kesiangan. Karena itu, dalam tulisan ini saya tidak sedang menghakimi bahwa pengajian larut malam itu buruk. Tulisan ini hanya ingin menjelaskan bagaimana seharusnya masyarakat menyikapi acara pengajian yang diadakan hingga larut malam.

Pada dasarnya, tidak ada hukum normatif yang mengatur waktu pelaksanaan pengajian. Pengajian bisa dilakukan kapanpun tanpa batasan waktu. Tentu saja, dalam hal ini panitia pengajian akan mempertimbangkan waktu tertentu yang sekiranya bisa mendatangkan banyak peserta. Karena bagaimanapun, ketika kita berinisiatif membuat suatu acara, maka urusan peserta menjadi penting untuk dipikirkan.

Dibanding waktu-waktu yang lain, “malam hari” adalah waktu yang dirasa paling senggang bagi sebagian besar warga masyarakat. Di waktu itu, warga masyarakat biasa bersantai dan tidak lagi disibukkan dengan aktivitas bekerja. Karenanya, sangat logis jika malam hari dipilih sebagai waktu yang ideal untuk mengadakan pengajian.

Selain itu, harus kita akui bahwa sebagian masyarakat kita mempunyai kebiasaan lek-lekan (begadang). Biasanya penggemar lek-lekan senang mengisi waktunya untuk hal-hal yang kurang produktif, seperti menonton televisi, nongkrong, atau bermain kartu di pos ronda. Melihat realitas tersebut, kegiatan pengajian bisa dijadikan solusi alternatif agar kebiasaan lek-lekan di masyarakat menjadi lebih bermanfaat.

Kegiatan pengajian juga efektif untuk membina aspek rohani dan memperluas wawasan keagamaan warga masyarakat—khususnya masyarakat awam—yang tidak mendalamai ilmu agama secara intens. Sampai di sini, semuanya tidak ada masalah. Pengajian mendapat peran strategis untuk memperbaiki moral dan menggugah kesadaran beragama warga masyarakat.

Tapi ketika kita membahas timing pengajian yang diadakan hingga larut malam, hal ini membutuhkan pertimbangan tertentu. Bagaimanapun acara pengajian larut malam tidak lepas dari resiko. Selain resiko keamanan, resiko lain yang tidak kalah pentingnya adalah potensi gangguan kesehatan dan terlewatnya sholat Subuh.

Karena diadakan hingga larut malam, pengajian semacam ini akan mempengaruhi waktu istirahat kita. Bagi mereka yang biasa lek-lekan, hal ini mungkin tidak masalah. Namun bagi yang tidak biasa melek (terjaga hingga larut malam), maka aktivitas pengajian larut malam bisa menjadi sumber mudharat, entah itu gangguan kesehatan atau terlewatnya sholat Subuh.

Saya bisa memahami jika malam hari adalah waktu yang paling afdhal untuk mengumpulkan sebanyak mungkin warga masyarakat, karena pada periode tersebut tidak ada lagi kesibukan kerja. Faktanya, seringkali kita dapati jumlah peserta pengajian larut malam jauh lebih banyak daripada acara pengajian yang diadakan pada waktu lain seperti Minggu pagi atau selepas sholat Maghrib. Tentu saja hal ini bukan rumus pasti, karena erat kaitannya dengan kultur dan kondisi masyarakat setempat.

Karena itu, pilihan ada di tangan kita. Jika kita lebih afdhal mengikuti pengajian sampai larut malam, maka tidak ada masalah kita menghadirinya, selama acara itu tidak mendatangkan mudharat seperti gangguan kesehatan atau terlambat bangun Subuh. Tapi jika kita khawatir mendapat mudharat, maka ada baiknya kita pertimbangkan lagi untuk mengikuti pengajian sampai larut malam. Jangan sampai kita membuat panitia pengajian ‘berdosa’ karena kita terlambat bangun Subuh atau jatuh sakit setelah mengikuti acara pengajian tersebut.

Sekali lagi, tulisan ini tidak bermaksud melarang aktivitas pengajian. Sama sekali tidak. Bagaimanapun, pengajian tetap harus diadakan untuk menambah wawasan keagamaan masyarakat dan menggugah kesadaran umat untuk mengolah kembali sisi rohaninya di tengah arus kehidupan yang kian hedonis-materialistik. Bukankah kita memang diwajibkan untuk saling menasehati dalam kebaikan dan kesabaran?

Ironis rasanya, jika negara yang mayoritas penduduknya muslim justru sepi dari kegiatan-kegiatan keagamaan. Bersyukurlah, jika di tempat tinggal kita masih ada acara pengajian. Setidaknya, semangat untuk menyebarkan syiar Islam masih terjaga. Sayang sekali, jika satu-satunya pengajian di pemukiman kita hanya diadakan seminggu sekali, pada hari Jumat. Eh, itu kan khotbah Jumat, bukan pengajian.[]
July 17, 2016Benny Prastawa