Monday, November 14, 2016

Gadget!


Aku takut suatu saat gadget akan menghabisi kemanusiaan kita.

Jangan-jangan...
Ketika menolong orang, yang terpikir pertama kali adalah meliputnya, menguploadnya, kemudian mencari sensasi demi eksistensi, bukan fokus pada aktivitas berbagi.

Jangan-jangan...
Ketika bercakap-cakap, yang dibicarakan kemudian tidak pernah jelas. Lawan bicara diabaikan dengan atensi tertuju pada layar gadget. Entah itu wujud kesombongan atau sikap apatis. Nyatanya, banyak orang modern begitu kok. Anehnya, mereka merasa hal itu biasa dan baik-baik saja.

Jangan-jangan...
Ketika makan bersama, hidangan yang tersaji dibiarkan dingin. Semua perhatian tertuju pada gadget, bukan lantas mengambil sendok dan menikmati hidangan di atas piring. Beruntunglah, jika tidak ada lalat yang ikut termakan.

Jangan-jangan...
Ketika ada orang kecelakaan, boro-boro segera menolong—yang ada malah asik memotret korbannya dulu, baru kemudian menelpon ambulans.

Jangan-jangan...
Ketika ada kebakaran, yang ditelepon pertama kali bukan pemadam kebakaran, tapi wartawan. Begitu kita diliput, masuk TV, heboh sekali menguploadnya di youtube. Lumayan, buat dongkrak popularitas—katanya. Siapa tahu ada produser yang minat terus diajak main film.

Jangan-jangan...
Kitalah yang menjajah kemanusiaan kita sendiri. Dengan gadget di tangan, kita justru menggerus kemanusiaan kita sendiri. Apatis. Skeptis. Mudah terbawa isu. Menganggap apa yang tertera di gadget adalah kebenaran tunggal.

Jangan-jangan...
Ah, sudahlah. Aku hanya berharap bisa bertemu dengan lebih banyak orang yang benar-benar manusia. Merekalah orang-orang yang paham bagaimana memanusiakan manusia. Bukan manusia jadi-jadian yang setengah kemanusiaannya diberangus ‘iblis’ bernama “gadget!” []
November 14, 2016Benny Prastawa

Saturday, November 12, 2016

Alasan Kenapa Saya Menyukai Orang Ramah


Semasa bocah dulu, saya punya pengalaman kurang mengenakkan dengan orang yang temperamental. Saking traumanya, sampai-sampai saya sering illfeel jika bertemu dengan orang yang raut mukanya tidak ramah. Lebih parah lagi, saya jadi terlalu ‘perasa’ setiap kali melihat orang dengan ekspresi wajah cemberut. Mereka seringkali membuat saya berpikir “jangan-jangan orang itu cemberut karena marah sama saya...

Karena itu, saya sangat menghargai orang-orang ramah. Saya bisa berlama-lama ngobrol dengan orang yang ramah tanpa terbebani rasa sungkan dan takut salah. Umumnya, kita tentu lebih mudah akrab saat bergaul dengan orang yang ramah. Sebaliknya, saat bergaul dengan orang yang ketus dan dingin seringkali membuat kita ilfeel dan serba salah.

Orang-orang ramah cenderung menghargai lawan bicaranya. Mereka tahu bagaimana membuat lawan bicara merasa dirinya penting. Tidak heran jika kita bisa bersikap terbuka ketika berinteraksi dengan orang yang ramah. Pendeknya, keramahan tersebut adalah salah satu faktor penting untuk menciptakan hubungan sosial yang harmonis.

Ngomong-ngomong, saya kok jadi berandai-andai, apa jadinya jika instansi-instansi pemerintah diisi oleh pegawai-pegawai yang ramah?

Selama ini, kita justru lebih sering mendengar berbagai keluhan masyarakat tentang payahnya pelayanan pegawai instansi pemerintahan. Sebagian mengeluhkan ribetnya proses birokrasi. Sebagian lagi merasa “dipermainkan”—disuruh ke loket ini loket itu, ke dinas ini, ke dinas itu, tapi endingnya masalah yang diurus tidak kunjung selesai. Belum lagi jika ada oknum ‘nakal’ yang meminta pungli di sana sini. Lengkap sudah penderitaan kita. (Saya jadi senang jika ada lebih banyak kepala daerah seperti Ahok atau Ganjar yang menindak tegas oknum pegawai yang bekerja seenak perut).

Pemandangan yang jauh berbeda bisa kita temui di loket-loket bank atau customer service (CS) jasa penerbangan. Di tempat-tempat itu, keramahan menjadi salah satu standar operasional pelayanan (SOP) yang wajib diterapkan. Tidak heran, jika pegawai-pegawai di sana ramah-ramah. Sudah rupawan, cantik, ramah pula. Belum pernah saya mendapati teller bank yang marah-marah di depan nasabahnya. Begitu juga dengan CS jasa penerbangan, yang tetap tenang meski dimaki-maki pelanggannya ketika pesawat delay.

Sebaliknya, di instansi-instansi pemerintahan, saya lebih sering menjumpai pegawai-pegawai bertampang judes yang mengabaikan keramahan pelayanan (jangankan melempar senyum, bisa disapa saja kalian sudah beruntung). Di tempat-tempat itu, saya sering merasa diperlakukan layaknya “motor yang sedang diservis”. Di sana, saya cuma ditanya keperluannya apa, diberitahu begini begitu, diminta ke loket ini loket itu, kemudian selesai—antrian berikutnya. Tidak ada keramahan pelayanan yang membuat tamu merasa nyaman di sana,

Tentu saja saya tidak menggeneralisasi semua instansi pemerintahan seperti itu. Boleh jadi, saya cuma kurang beruntung, karena harus berurusan dengan pegawai yang judes. Sesekali, saya juga bertemu dengan pegawai yang ramah dan mau bersabar mendengarkan keluhan pengunjung. Pegawai-pegawai semacam itulah yang patut mendapat apresiasi lebih dan layak digaji tinggi oleh negara. Bukankah, seorang pegawai pemerintahan memang digaji dengan uang rakyat? Karena itu, kita berhak menuntut mereka untuk memberikan pelayanan terbaik—karena secara tidak langsung kitalah yang membayar mereka!

*   *   *

Seperti yang saya jelaskan di awal, saya sangat menghargai orang-orang ramah. Sedemikian tinggi penghargaan saya sampai-sampai saya tidak akan ragu untuk membayar lebih, demi mendapatkan keramahan pelayanan.

Sebagai contoh, di dekat rumah saya, ada sebuah warung langganan. Warung langganan saya itu terbilang cukup laris. Pemilik warung biasa menjalin keakraban dengan para pelanggannya. Ia tidak sungkan berbasa-basi dan melempar lelucon untuk mencairkan suasana. Karena itu, saya pun kerasan setiap kali berbelanja di sana dan tidak ragu menjadikannya warung langganan.

Di dekat warung langganan saya, ada juga warung lain yang barang dagangannya tidak jauh berbeda. Akan tetapi, saya jarang berbelanja di warung itu karena si pemilik warung kurang ramah. Seperti halnya pegawai instansi pemerintahan yang judes, pemilik warung itu hanya sekedar menanyakan keperluan saya, mengambilkan barang, menerima bayaran, kemudian mengakhiri transaksi. Tidak ada celetuk basa-basi atau lelucon ringan pencair suasana seperti halnya warung langganan saya.

Berhubung saya sangat menghargai keramahan pelayanan, saya tidak merasa rugi jika harus berbelanja di toko swalayan berjejaring. Meski secara ekonomi harganya lebih mahal, keramahan pelayanannya sebanding dengan harga yang dibayarkan. Bandingkan dengan pemilik warung yang judes tadi. Meski harganya lebih murah, sikap judesnya adalah 'nila setitik' yang membuat saya bergeming untuk belanja di sana.

Dari warung langganan dan toko swalayan berjejaring itu, saya pun berpikir: “Sudah seharusnya orang berdagang dengan pelayanan seperti itu”. Karena prinsipnya, ketika pemilik warung berhasil membuat pelanggannya merasa nyaman, maka besar kemungkinan si pelanggan akan kembali berbelanja di warung itu. Sebaliknya, jika pemilik warung pernah membuat kapok pelanggannya sekali saja, maka kecil kemungkinan si pelanggan akan kembali berkunjung ke warung itu.

Terlepas dari semua itu, bersikap ramah memang tidak mudah—lebih-lebih ketika suasana hati kita sedang tidak enak. Karena itu, kita bisa belajar dari para pegawai bank atau CS jasa penerbangan yang tetap bersikap ramah, meski perilaku pelanggannya tidak mengenakkan. Mereka mengajarkan kepada kita bahwa keramahan adalah “bahasa kasih” yang universal.

Kita tidak perlu risau jika keramahan kita tidak pernah digubris oleh orang lain. Karena dalam hening pun, Tuhan tahu ketulusan kita untuk bersikap ramah pada sesama. Bukankah kehidupan ini akan jauh lebih damai jika kita dikelilingi oleh orang-orang ramah? Siapa tahu, dengan keramahan itu, rezeki kita menjadi lebih lancar—sebagaimana yang terjadi pada pemilik warung langganan saya. Demikian. []
November 12, 2016Benny Prastawa

Friday, November 11, 2016

Esensi Pahlawan di Warung Makan


Buat saya, pahlawan bisa berarti siapa saja. Pahlawan tidak harus mereka yang gugur di medan perang. Pahlawan tidak harus mereka yang pergi mengangkat senjata. Pahlawan bisa berada di mana saja. Bahkan saat kau membalikkan kecoa yang terjengkang—maka kau pun sudah menjadi ‘pahlawan’—setidaknya bagi kecoa itu. Hinakah? Tentu saja tidak.  Karena bagi seorang pahlawan, keikhlasan menolong sesama adalah segalanya.

Berhubung saya belum pernah menulis tentang Hari Pahlawan, di postingan kali ini saya ingin membahas mengenai sosok ‘pahawan’. Sejenak, mari kita flashback pada hari di mana saya masih kuliah.

Bagi seorang mahasiswa (seperti saya), definisi ‘pahlawan’ tidak akan jauh dari ibuk-ibuk pemilik warung makan! (Saya pernah menulis tentang mereka di sini). Jika bukan karena regulasi-birokrasi dan intimidasi penguji skripsi, sudah pasti saya akan menuliskan “ibuk-ibuk pemilik warung makan” di halaman persembahan. Bukan bermaksud lebay—saya hanya ingin jujur mengatakan betapa besarnya peranan mereka, hingga saya bisa menjadi sarjana.

Sebagai seorang yang tidak jago masak, saya sangat tertolong dengan adanya warung-warung makan. Di tengah tugas kuliah yang menumpuk, kesibukan yang tidak berhenti, dan kerepotan proses memasak, ibuk-ibuk warung makan adalah solusi praktis mengatasi lapar yang tak tertahankan. Saya cukup mendatangi warung mereka, memilih menu, membayar sekian rupiah, menikmati hidangannya, dan urusan saya dengan rasa lapar pun selesai. Praktis, simpel, efektif, dan efisien—tentu saja.

Karena itu, ketika tersiar kabar penggerebekan warteg yang buka saat puasa, saya termasuk pihak yang ikut mukulin prihatin. Bagaimana tidak, keberadaan warung-warung makan membuat orang-orang kelaparan yang tidak jago masak (seperti saya) mendapatkan asupan gizi. Keberadaan warung makan juga membantu menolong orang-orang yang kelaparan di tengah perjalanan jauh. Sederhananya, keberadaan warung-warung makan terbukti memberikan solusi nyata untuk mengatasi masalah konstipasi dan malnutrisi di kalangan rakyat.

Saya tidak sedang beretorika. Ini serius!

Kalian tahu, di tengah pesatnya modernitas zaman, orang-orang berubah menjadi makhluk yang super sibuk. Saking sibuknya, orang bisa sampai lupa makan. Tidak heran, jika rumah sakit sering kebanjiran pasien tipus, diare, atau penyakit pencernaan lainnya—sedikit banyak diakibatkan oleh pola makan masyarakat modern yang kurang tertata.

Di satu sisi, kita tentu tidak mau jatuh sakit hanya gara-gara lupa makan. Di sisi lain, kita tidak suka memasak karena berpikir kegiatan itu buang-buang waktu. Karenanya, keberadaan warung-warung makan menghadirkan solusi instan bagi mereka yang ingin makan tanpa buang-buang waktu memasak—khususnya para mahasiswa dan musafir  yang tengah dalam perjalanan jauh.

Selain mereka, keberadaan warung-warung makan juga menolong kehidupan bayi-bayi montok yang kelaparan (dalam hal ini warung makan khusus bayi). Seperti yang kita tahu bersama, arus kehidupan modern memaksa kaum ibu-ibu untuk ikut bekerja. Jika mereka punya bayi, maka hampir dipastikan mereka tidak akan sempat membuatkan makanan bayi. Padahal, memasak makanan bayi bisa jadi sangat lama. Proses memasak harus terus dilakukan sampai menghasilkan tekstur makanan yang lembut.

Untungnya, warung-warung makan khusus bayi sudah banyak beredar di sekitar kita. Kini, ibu-ibu tidak perlu repot memasak makanan untuk bayinya. Cukup dengan membayar sekian rupiah, makanan bayi bisa segera terhidang. Praktis dan mudah. Ibu senang, bayi pun girang.

Dari contoh-contoh tersebut, ibuk-ibuk pemilik warung makan sudah memenuhi kriteria seorang ‘pahlawan’. Mereka memang tidak memegang senapan ataupun bambu rucing untuk berjibaku melawan penjajah. Tapi goresan pisau mereka di atas telenan sudah cukup menolong orang-orang yang kelaparan di sekitar kita. Racikan rempah-rempah mereka terbukti ampuh mengatasi berbagai penyakit sosial akibat perut yang lapar.

Akhirnya, pada Hari Pahlawan ini (lebih tepatnya kemarin), saya hanya ingin bilang:

Terpujilah, wahai ibuk-ibuk pemilik warung makan. Berkat kalian, bayi-bayi tidak sampai kekurangan nutrisi. Berkat kalian, orang-orang yang kelaparan di tengah jalan bisa makan. Berkat kalian, mahasiswa-mahasiswa bisa menjadi sarjana. Berkat kalian pula, gangguan perut yang bermacam-macam bisa terhindarkan.

Terima kasih ibuk-ibuk pemilik warung makan. Selamat Hari Pahlawan!!! (mari makaaann) []
November 11, 2016Benny Prastawa

Wednesday, November 9, 2016

Hukuman tanpa Kesalahan


Kemarin, blog saya hilang. Begitu mengecek Gmail saya, ternyata akunnya diblokir oleh Google. Saya sendiri tidak tahu kesalahan saya, karena selama ini saya merasa tidak melanggar Term of Use apapun. Saya tidak pernah ngaco membuat artikel cerita dewasa, tidak nyomot artikel dari blog tetangga, atau malah mengunggah konten porno.

Lalu apa salah saya? Lagipula, blog ini boleh dibilang masih baru. Belum banyak konten yang termuat di sini. Ibarat bayi, umur blog ini belum genap 2 bulan. Jadi sangat tidak adil jika blog yang baru seumur jagung ini ‘dimusnahkan’. Lebih pihak Google tidak menuliskan detail kesalahan saya. Inti email yang saya terima cuma: “Kamu melanggar peraturan, dan karena itu kamu dihukum!

Boleh jadi, seperti ini ya rasanya dituduh padahal kita yakin tidak melakukan kesalahan apapun. Ya, itu menyesakkan sekali. Bagaimana kita bisa menerima sebuah hukuman padahal kita yakin diri kita tidak bersalah?

Saya jadi teringat kasus kopi sianida yang menewaskan Mirna. Sampai detik ini, saya masih belum yakin (sejujurnya malah tidak percaya), jika tewasnya Mirna disebabkan oleh sianida yang ‘konon’ dimasukkan oleh Jessica. Ada begitu banyak plot hole yang tidak terjelaskan dalam kasus tersebut.

Saya pikir, jika sebuah kejahatan memang tidak terpecahkan karena kurangnya alat bukti, maka seperti kata Hotman Paris, kasus tersebut bisa dikatakan sebagai unsolved crime. Tapi apa daya, sejak awal, semua orang terlanjur beropini (lebih tepat digiring opininya), untuk mempercayai bahwa Mirna tewas setelah meminum kopi sianida. Padahal, jika kita menyelami persidangan Jessica, akan kita temukan beberapa kejanggalan di dalamnya. Terlebih, penanganan kasus itu sudah meninggalkan banyak ‘lubang’ sejak awal.

Ada dua hal yang sangat saya sayangkan dari kasus ini. Pertama, ketiadaan proses otopsi pada jenazah Mirna. Padahal, dari hasil otopsi itu kita bisa meyakini, apakah Mirna tewas karena sianida, atau karena hal lain. Kedua, penanganan TKP berjalan sangat lambat. Polisi malah baru bisa mengkondisikan TKP berjam-jam kemudian. Karena itu, sangat mungkin barang bukti seperti sianida (jika memang ada), sidik jari, dan gelas kopi yang dipakai Mirna hilang—atau setidaknya ‘dibersihkan’ dari jejak-jejak si pelaku.

Jika sudah begini, tinggal Jessica seorang yang dinilai paling mencurigakan. Jessicalah yang datang paling awal dan memesankan kopi. Jessica juga yang paling mungkin menuangkan racun. Jessica pula yang menaruh paper bag di atas meja, seakan-akan hal itu sengaja dilakukannya untuk menutupi CCTV. Media pun menghipnotis kita untuk berpikir “Jessica”, Jessica”, “Jessica”, dan pasti “Jessica” pelakunya. Pada akhirnya, Jessica harus menanggung ‘tuduhan umat’ yang menyeretnya ke jeruji besi.

Ah, tapi siapalah saya. Detektif bukan, jaksa bukan, polisi bukan, bahkan anaknya polisi juga bukan. Postingan ini juga tidak akan mengubah vonis hakim dan membebaskan Jessica. Saya memang bukan siapa-siapa. Dan karena saya bukan siapa-siapa, saya pantas bertanya, apa salah saya sampai-sampai akun Gmail saya diblokir?

Semoga semesta masih menghendaki adanya keadilan di antara umat manusia. Yang menghukum mereka yang bersalah dan membebaskan mereka yang tidak bersalah. Karena sungguh, menuduh seseorang tanpa kesalahan itu menyakitkan, dan dituduh tanpa bukti, itu sebuah kejahatan! []



***Paginya, buru-buru saya buka akun Gmail saya. Memang benar, akun saya terblokir sehingga saya harus melakukan verifikasi kode via nomor ponsel. Beberapa saat kemudian—Klontank!!! Akun Gmail saya sudah bisa dipulihkan. Saya pun bisa posting cerita nggak penting seperti ini lagi. Adakah yang pernah bernasib sama dengan saya?
November 09, 2016Benny Prastawa

Sunday, November 6, 2016

Fashion Nista


Mungkin sudah kodratnya—saya tidak pandai berbusana. Bukan berarti saya gila, lalu berkeliling kota tanpa busana. Maksud saya, saya merasa asing dengan dunia fashion. Bagi saya, urusan fashion ini boleh jadi merepotkan sekali. Ada beberapa aturan tidak tertulis soal fashion—khususnya tentang etika berbusana. Aturan yang saya maksud di sini adalah aturan-aturan seperti memakai baju hitam-hitam saat melayat, baju batik untuk kondangan, baju putih untuk kegiatan keagamaan, dan sejenisnya. Terlebih di lingkungan budaya kita yang mengedepankan nilai kepantasan dan kesopanan. Mau tak mau, saya harus memahami aturan tidak tertulis itu, demi menjaga kehormatan saya dalam berbusana.

Sayangnya, bentangan nasib tidak menghendaki saya menjalani kehidupan yang lurus-lurus saja. Sejauh ini, saya sudah beberapa kali terjerat ‘skandal’ salah kostum, mulai dari acara sederhana seperti buka bersama, sampai acara penting seperti hajatan pernikahan. Salah satu yang paling saya ingat adalah acara halal bi halal di SMP.

*   *   *

Dulu—dulu sekali (meski nggak dulu-dulu amat), sekolah saya mengadakan halal bi halal (sebuah tradisi bermaaf-maafan antara siswa dan guru sambil bersungkem keliling sekolah). Acara itu sudah menjadi rutinitas tahunan yang diadakan setelah libur lebaran. Semua murid harus berpartisipasi, baik yang muslim maupun non-muslim demi mempererat jalinan silaturahmi antarwarga sekolah.

Nah, sebelumnya, dalam acara itu, pihak sekolah tidak menginformasikan dresscode yang harus dipakai. Karena itu, saya pikir, sekolah membebaskan murid-muridnya untuk memakai dresscode apapun, selama masih sopan dan menutup lubang pusar. Berhubung saat itu masih dalam suasana lebaran, saya pikir acara halal bi halal akan dikemas secara religius, lengkap dengan pengajian atau semacamnya. Saya pun berencana memakai stelan baju koko putih agar terlihat matching dengan nuansa religiusnya.

Maka, hari itu dengan penuh kesadaran saya berangkat ke sekolah memakai stelan baju koko putih. Saya tidak sabar ingin bertemu dengan teman-teman setelah beberapa minggu libur lebaran. Ekspektasi saya, mereka pasti memakai baju koko, sama seperti saya. Tapi, ketika memasuki gerbang sekolah, tidak ada satupun murid yang terlihat memakai baju koko seperti saya. Semua murid memakai stelan putih-biru layaknya hari-hari biasa. Saya mencoba berpikir positif, mungkin saja mereka murid-murid yang tidak berlebaran.

Bermenit-menit setelahnya, saya mengamati murid-murid yang datang. Tak satu pun di antara mereka yang memakai baju koko seperti saya. Bahkan Bapak Ibu guru saya pun tidak. Dengan kata lain, cuma saya satu-satunya murid yang memakai baju koko hari itu! Mak klontank!!!

Begitu acara halal bi halal dimulai, saya tidak berani beranjak dari kelas. Saya sibuk merutuki diri sendiri, yang dengan konyolnya memakai ‘baju pesantren’ ke sekolah. Kenapa sejak awal tidak memakai seragam biasa saja?  gerutu saya. Pada akhirnya, acara halal bi halal yang seharusnya memperat silaturahmi itu, justru menjadi mimpi buruk yang mempermalukan saya seharian.

Belasan tahun setelah kejadian koko terkutuk itu, saya menghadiri acara resepsi di tempat tetangga. Berhubung yang punya hajat adalah tetangga saya sendiri, saya pikir saya akan sibuk beroperasi di dapur membantu para pelayan mengantar makanan dan mengambil piring-piring di meja. Karena itu, saya tenang-tenang saja memakai stelan Polo shirt dan celana kain, karena saya yakin, saya tidak akan muncul ke meja depan utuk menyambut tamu.

Begitu acara dimulai, ada satu momen di mana seluruh pelayan diminta ke meja depan untuk bersalaman dengan keluarga mempelai—termasuk saya. Meski sempat ragu, saya tetap mengikuti rombongan pelayan lain untuk bersalaman. Saat tiba di meja depan, saya sempat canggung karena para tamu undangan—termasuk tetangga saya—menatap saya dengan heran. Demi mengurangi kecanggungan, saya setengah cengengesan bersalaman dengan keluarga mempelai.

Selesai bersalaman, saya dan para pelayan lain kembali ke dapur. Sejurus kemudian, seorang teman karib mendatangi saya. Dengan jujur, ia menyodorkan ponselnya yang menampilkan pesan singkat dari nyokabnya, yang isinya meminta saya agar berganti pakaian.

Klontaaank!!!

Demi mengenyahkan sebongkah rasa malu yang menyesak, saya bergegas pulang dan berganti pakaian. Sejak saat itu, saya pun mentasbihkan diri untuk selalu memakai stelan batik dan celana kain jika menghadiri acara seperti kondangan dan sejenisnya. Saya tidak peduli, jika tamu undangan lain lebih keren memakai stelan dasi kupu-kupu atau dasi walang sangit. Saya bertekad untuk keukeuh memakai stelan batik jika pergi kondangan.

*   *   *

Pakaian adalah produk budaya. Jenis dan model pakaian akan selalu beradaptasi dengan kondisi lingkungan tempat pakaian itu berada. Dalam hal ini, ada batasan kesopanan dan kepantasan untuk setiap model pakaian. Stelan jas dalam acara pemakaman misalnya. Dalam budaya Barat, stelan seperti itu tidak akan dipermasalahkan karena sudah sewajarnya pelayat di sana memakai stelan itu. Tapi jika kita memakai stelan jas saat melayat di kampung, orang kampung bisa saja menilai kita kurang sopan.

Sama halnya dengan pemakaian bikini di pantai. Dalam budaya Barat, hal itu dianggap wajar. Tapi jika kita memaksa memakainya di sini, boleh jadi kita malah jadi bulan-bulanan massa. Karena itu, setiap busana memiliki tata nilai tertentu yang belum tentu sama dalam setiap masyarakat.

Sebagai orang Jawa, ada falsafah ajining raga dumunung saka busana. Artinya, pakaian yang kita kenakan  sangat berpengaruh pada citra diri kita secara keseluruhan. Memahami tata nilai dan etika berbusana menjadi penting agar kita mudah diterima sebagai bagian dari suatu masyarakat. Selain itu, memahami etika berbusana juga penting agar kita tidak sampai ‘salah kostum’.

Terlepas dari semua itu, saya pribadi merasa risih karena hidup di lingkungan masyarakat yang tidak terbiasa menerima perbedaan kaidah berbusana. Seperti kasus saya, pergi kondangan dengan Polo shirt dianggap tidak sopan. Bagaimana jika saat itu ada tamu undangan yang baru datang dari jauh dan tidak sempat membawa kemeja batik? Haruskah kita memintanya pulang untuk sekedar mengganti bajunya?

Mark Zukenberg bahkan menemui Presiden Jokowi dengan stelan kasual khas anak muda—kaos oblong dan celana jeans. Oh man, andai Mark Zuckenberg bukan CEO Facebook orang-orang pasti berpikir “Bah, betapa kurang ajarnya anak ini”.

Menurutnya, memikirkan baju apa yang akan dipakai dan menyesuaikannya dengan acara yang akan dihadiri, merupakan sesuatu yang “bodoh”. Bagi orang awam, jawaban Zuckenberg memang terdengar sembrono. Tapi jika kita mau memahami kesibukannya dan memikirkan urusan-urusan pentingnya, maka perkataan Zuckenberg ada benarnya. Orang-orang dengan kesibukan sepertinya, tidak akan rela membuang waktu hanya untuk mengurusi fashion.

Masih ingat almarhum Bob Sadino? Sebagai pengusaha sukses, Bob Sadino sering diundang dalam seminar-seminar bisnis. Dalam urusan fashion, Bob Sadino gemar memakai kemeja dengan bawahan celana pendek. Terang saja, penampilannya kerap dianggap nyeleneh oleh orang-orang yang belum mengenalnya. Bahkan Bob Sadino pernah diusir dari gedung DPR karena penampilan nyeleneh-nya itu.

Kultur masyarakat kita tidak terbiasa dengan ‘perbedaan’. Ketika ada orang yang berpenampilan berbeda, mereka langsung menghakimi orang tersebut tanpa memahami latar belakangnya. Padahal, apa yang kita lihat dari satu sisi belum tentu sebuah kebenaran. Berapa banyak asumsi kita yang keliru karena kita enggan mencari tahu seluk-beluk suatu masalah?

Sejujurnya saya iri dengan Mark yang bisa menemui Presiden Jokowi dengan kaos oblong. Begitu juga dengan Bob Sadino yang tetap enjoy memakai kemeja dan celana pendek di pertemuan-pertemuan resmi. Orang-orang mungkin akan menuduh mereka tidak punya etika. Tapi bagi saya, selama pakaian yang dikenakan masih memenuhi standar kesopanan yang universal, maka tidak ada yang perlu dipermasalahkan.

Ngomong-ngomong, saking ribetnya memikirkan fahion, saya jarang sekali bereksperimen dalam hal berbusana. Saya lebih sering memakai stelan yang netral-netral saja. Bagi saya, kaos oblong, jaket hooodie, dan celana jeans sudah lebih dari cukup. Kemana pun saya pergi, saya selalu enjoy dengan stelan fashion seperti itu. Bagaimanapun, saya tidak sudi membiarkan diri saya menjadi tontonan orang, hanya karena salah berbusana—persis seperti insiden ‘baju koko di sekolah’. []
November 06, 2016Benny Prastawa

Saturday, November 5, 2016

Nasehat 'Mbak'



Ada temanku yang jago matematika.
Ada pula temanku yang jago berbicara.
Temanku yang lain sangat fasih berbahasa Inggris.
Sebagian yang lain sibuk menekuni alat-alat musik dan membuat band.

Temanku juga banyak yang jago olahraga.
Basket, futsal, bulutangkis, sampai taekwondo, semua ada.
Yang mahir menulis cerpen pun tidak sedikit.
Ada juga segelintir teman yang serba bisa, multi talenta, bisa menyanyi dan menari.
Sepertinya menyenangkan sekali.

Sementara aku?

Ah, aku mah apa. Sepertinya aku harus mengingat-ingat lagi 'nasehat Mbak'

Tuesday, November 1, 2016

Menghargai Percakapan


“Hai!”

Aku mendongakkan kepala, menoleh ke arah sumber suara. Rupanya, temanku. 
Aku sudah menunggunya—sekitar sembilan ratus detik yang lalu.

“Sudah lama? Maaf aku terlambat,” katanya sambil mengambil tempat duduk.

“Ah, tak apa-apa. Belum lama kok.”

“Boleh kulihat bukunya?” temanku melirik ke arah buku bersampul kuning yang kupegang.

“Maaf? Oh, buku ini. Bukan buku terkenal kok,” kataku sambil mengulurkan buku itu padanya.

Temanku tampak tertarik. Ia pun sibuk membolak-balik halaman buku itu, mencoba mencari tahu isinya. Selagi temanku melihat-lihat buku itu, aku memanggil seorang pelayan untuk memesan minuman. Selesai menulis pesanan, pelayan itu beranjak ke counter.

“Jadi, bagaimana kabarmu?” aku membuka topik.

“Yah, seperti biasa. Banyak tugas kuliah. Sepertinya, aku kurang bisa menata waktu.”

“Kamu sibuk? Ah, maaf. Aku tak tahu kalau kau harus meluangkan waktu berhargamu untuk pertemuan yang mungkin tidak ada penting-pentingnya ini.”

“Tak apa. Toh, aku juga menginginkan pertemuan ini.” Temanku tampak memasukkan ponselnya ke dalam tas. 

Aku tidak mau percakapan kita terganggu dering ponsel,” katanya.

Aku mengangguk. Dan bermenit-menit kemudian, kami berdua telah larut dalam percakapan yang renyah. Sambil menyesapi minuman hangat di kafe itu, kami bercakap-cakap.

Drrtt.....drrrttt......!

Temanku mengeluarkan ponselnya dari tas. Sejenak, aku menangkap perubahan ekspresi wajahnya. Ada sebuah panggilan masuk, pikirku. Temanku membiarkan panggilan itu dan menaruh ponselnya di atas meja.

“Kenapa tak diangkat?” tanyaku.

“Uh, bukan panggilan penting.”

Aku mengangguk. Beberapa menit berselang, ponsel temanku bergetar lagi.

“Silahkan, angkat saja!”

Temanku meminta maaf dan mengambil ponselnya. Untuk beberapa saat dia menjawab panggilan itu di sudut ruangan agar tidak terganggu bising musik cafe.

Saat temanku kembali, ponselnya sudah dimasukkan lagi ke dalam tas. Percakapan kami pun berlanjut, tanpa dering ponsel dan tanpa bunyi notifikasi yang mengganggu. Selama dua jam itu, kami benar-benar bercakap-cakap satu sama lain.

Seperti biasa, selalu menyenangkan bisa berteman dengan orang seperti dia. Dalam hati aku berharap, “Semoga semesta menyisakan lebih banyak orang sepertinya. Orang-orang yang paham bagaimana menghargai sebuah percakapan.”[]

Friday, October 28, 2016

Saat Kenyataan Tidak Sesuai dengan Keinginan


Di antara mimpi dan realitas, selalu ada “harapan”
yang membuat kita lebih kuat dan tidak pernah letih untuk terus berupaya
(Benny Prastawa)

Dalam hidup ini, seringkali kita sulit menerima kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan atau keinginan kita. Jika kita seorang pelajar, tentu kita ingin mendapat nilai yang baik. Jika kita seorang petani, tentu kita ingin panen kita berlimpah. Jika kita seorang pedagang, tentu kita ingin usaha kita maju dengan omset jutaan. Demikian seterusnya.

Namun pada kenyataannya, jerih payah yang kita lakukan tidak selalu berbanding lurus dengan hasil yang diperoleh. Pada titik ini, semua usaha yang kita lakukan tampak sia-sia. Kita pun merasa Tuhan berlaku tidak adil.

Seorang pelajar, misalnya, menjelang ulangan umum dia telah belajar keras untuk mendapat nilai terbaik. Tidak cuma di sekolah, intensitas belajarnya ditambah dengan les dan privat. Segala bentuk soal latihan dilahapnya untuk menjamin bahwa si pelajar betul-betul menguasai materi. Si pelajar yakin bahwa ia akan lulus dengan nilai terbaik.

Pada hari berlangsungnya ujian, entah kenapa si pelajar merasa agak gugup. Perasaannya tidak tenang saat mengerjakan soal-soal ujian. Di tengah-tengah ujian, mendadak si pelajar merasa tidak enak badan. Pikirannya tidak mampu berkonsentrasi. Pada akhirnya, ujian hari itu tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Ketika hasil ujian dibagikan, si pelajar mendapati nilainya tidak sebagus harapannya. Meskipun tergolong tinggi, dia gagal mewujudkan keinginannya untuk meraih nilai terbaik. Sebagai seorang pelajar yang ambisius dengan segala kesempurnaan belajarnya, dia merasa hasil yang diterima tidak adil. Si pelajar merasa berhak mendapatkan hasil yang lebih baik. Tapi ujian telah usai, dan lembar nilai telah dibagi.

*   *   *

Tulisan ini tidak sedang mendoktrin kalian untuk berhenti berusaha. Ilustrasi di atas hanya gambaran kecil bagaimana usaha yang kita lakukan tidak selalu berbanding lurus dengan hasil yang kita harapkan. Yang ingin saya tekankan di sini adalah bagaimana kita menyiapkan diri untuk berlapang dada dengan hasil apapun yang kita peroleh. Sesempurna apapun usaha kita, sebaik apapun proses belajarnya, dan sematang apapun rencananya, semua itu tetap tidak menjamin 100 persen bahwa kita akan berhasil. Sekecil apapun peluangnya, selalu ada kemungkinan kita gagal. Karena kehidupan ini bukanlah persamaan matematika. Itu sebabnya, sebagai umat beragama kita diminta untuk selalu bertawakal. Kita harus mengakui bahwa ada ‘tangan-tangan tidak terlihat’ yang berkuasa penuh atas roda kehidupan di dunia. Kita harus legowo jika suatu saat jerih payah kita tidak sebanding dengan hasil yang kita peroleh.

Pertanyaannya, jika memang segala sesuatu sudah ditakdirkan dan segala hasil sudah ditetapkan Tuhan, lalu untuk apa kita menjalani kehidupan ini? Untuk apa kita berletih-letih bekerja, jika hasil dari usaha kita sudah ditentukan sebelumnya?

Seorang bijak pernah menasehati saya untuk belajar dari seekor burung yang terbang mencari makan di pagi hari. Beliau berkata “Seumur-umur, saya belum pernah mendapati burung yang mati karena kelaparan”.

Ya, meski Tuhan berkuasa penuh atas kehidupan yang kita jalani, sampai batas-batas tertentu Tuhan memberi kita kebebasan untuk memilih jalan usaha mana yang ingin kita tempuh. Karena hidup ini adalah PILIHAN. Setiap saat, kita dihadapkan pada pilihan-pilihan tindakan yang bisa kita ambil. Kita bisa memilih untuk giat bekerja atau tidur bermalas-malasan. Kita bisa memilih untuk sibuk belajar atau duduk melamun. Kita bisa memilih untuk sibuk berkarya atau diam menanti tua. Semua itu pilihan bebas kita. Tuhan tidak pernah membatasi kita dalam memilih jalan hidup yang ingin kita jalani.

Yang harus kita perhatikan adalah kenyataan bahwa untuk setiap pilihan, selalu ada ‘konsekuensi’ yang akan kita tanggung. Misalnya, pada kasus pelajar yang kita bahas sebelumnya. Pelajar itu mempunyai pilihan untuk sibuk belajar atau memilih untuk bermalas-malasan. Dalam hal ini, dia memilih untuk sibuk belajar. Terlepas dari kegagalannya meraih nilai terbaik, pelajar itu telah memilih pilihan terbaik yang bisa diambil. Pilihannya untuk tekun belajar memperbesar peluangnya mendapatkan takdir yang dia harapkan (nilai terbaik).

Memperbesar peluang untuk mendapatkan takdir yang kita harapkan—itulah jawaban logis dari usaha-usaha kita selama ini. Kita memang tidak bisa menjamin setiap usaha kita akan selalu berhasil. Tapi usaha-usaha tersebut memperbesar peluang kita untuk berhasil, dan memperkecil kemungkinan kita untuk gagal. Dengan katalain, kita hanya mampu mengontrol tindakan kita, bukan hasil akhir dari tindakan yang kita lakukan.

Contoh lain, misalnya pada saat kita mengendarai motor. Dalam hal ini, tindakan yang bisa kita kontrol adalah cara kita mengemudikan motor itu. Jika kita mengemudikannya dengan hati-hati dan mematuhi rambu-rambu lalu lintas, maka peluang kita untuk selamat sampai tujuan semakin besar. Jika pada akhirnya kita jatuh tersenggol kendaraan lain, maka itulah takdir. Kita tidak bisa mengontrol hal tersebut. Tapi setidaknya, dengan kita berhati-hati saat mengemudikan motor, hal itu jauh lebih baik bagi keselamatan kita daripada mengemudikan motor secara ugal-ugalan. Alih-alih tindakan itu justru memperbesar peluang kita tertimpa kecelakaan.

Karenanya, meski terkadang usaha kita tidak berbanding lurus dengan hasil yang kita dapatkan, kita harus selalu percaya bahwa tidak ada kerja keras yang sia-sia! Setiap kerja keras akan menuai kompensasinya. Boleh jadi si pelajar tidak mendapat nilai terbaik, tapi usahanya membuatnya menjadi pelajar yang lebih berprestasi daripada pelajar yang bermalas-malasan. Ketekunannya dalam belajar telah memperbesar kemungkinannya mendapatkan takdir yang lebih baik di masa mendatang.


Dalam kehidupan ini, totalitas kita dalam berupaya adalah ikhtiar terbaik untuk mewujudkan keinginan dan cita-cita. Apapun hasilnya, kita harus tetap percaya bahwa tidak ada kerja keras yang sia-sia. Setiap kerja keras pasti akan melatih kita untuk meningkatkan kualitas diri. Dengan begitu, daripada sibuk memikirkan hasil, alangkah bijaknya jika kita khusyu’ menikmati setiap jengkal prosesnya. Itulah cara terbaik untuk membuktikan sikap tawakal  kita. Dan itulah jawaban terbaik untuk menerima segala ketetapan-Nya.[]
October 28, 2016Benny Prastawa

Wednesday, August 31, 2016

Friday, July 22, 2016

Pokemon GO di Mata Bocah 90’s


Hei, Nak, jaman Bapak bocah dulu,
menangkap capung jauh lebih menyenangkan
daripada menangkap Pokemon.
(Son of 90’s)

Mengapa PokemonGO begitu populer? Tidak hanya anak-anak, bahkan orang dewasa pun ikut-ikutan berburu Pokemon. Padahal sebelumnya, belasan tahun yang lalu, Pokemon tidak lebih dari tontonan bocah yang tayang setiap hari Minggu. Kini, setelah belasan tahun berlalu, Pokemon kembali hadir dengan kemasan yang berbeda, melintasi batas negara dengan membawa segala kecanggihan teknologi peradaban modern. Masyarakat yang dulu memandang remeh Pokemon, kemudian tertarik untuk ikut-ikutan mencobanya.

Sebagai salah satu bocah 90’s (sebutan untuk mereka yang lahir sebelum tahun 2000), masa kecil saya boleh dikatakan beruntung. Saya masih sempat merasakan ‘habitat sosial’ yang sesuai dengan pola pikir dan tumbuh kembang anak-anak. Dalam hal musik, misalnya—saat itu, lagu anak-anak masih banyak diproduksi. Penyanyi-penyanyi cilik sering tampil di televisi sambil membawakan lagu-lagu tersebut—sebut saja Tasya, Joshua, Sherina dan Tina Toon. Lagu-lagu yang mereka bawakan juga masih bertema dunia anak. Belum pernah saya mendengar mereka menyanyikan lagu yang muatan liriknya berisi seloroh cabul atau cinta-cintaan ala orang dewasa.

Selain lagu anak-anak, saat itu, film-film kartun Jepang masih diperbolehkan tayang di stasiun televisi. Film-film tersebut terbilang lengkap karena belum ada adegan-adegan yang terkena sensor. Pada hari Minggu, bocah-bocah 90’s dimanjakan dengan berbagai film kartun. Mereka mempunyai banyak pilihan film kartun karena ada lebih dari satu stasiun televisi yang menayangkannya. Durasinya pun terbilang lama, mulai dari Subuh hinga menjelang siang. Karena itu, hari Minggu bisa dikatakan sebagai “Hari Surga” bagi bocah-bocah 90’s.

Nah, pada hari Minggu itulah, untuk pertama kalinya saya menonton kartun Pokemon. Kartun itu menceritakan tentang petualangan tiga orang bocah dengan Pokemonnya. Dalam petualangannya, ketiga bocah itu selalu diganggu oleh sosok lelaki berambut biru dan seorang perempuan berambut merah. Kedua tokoh antagonis itu selalu ditemani seekor Pokemon berbentuk kucing yang setia. Karena alur cerita yang membosankan, saya tidak pernah menjadi penggemar Pokemon.

Sebaliknya, saya lebih menyukai kartun Digimon (yang ditayangkan Ind*siar waktu itu). Dalam kartun ini, tensi yang disajikan jauh lebih menegangkan dengan plot twist yang cukup rumit. Sekuel pertamanya, “Digimon Adventure”, terbilang sangat sukses di pasaran dan berlanjut hingga dibuat 2 sekuel lanjutannya. Karena itu, tidak mengherankan jika saya lebih mengidolakan Digimon dan menganggap Pokemon sebagai versi KW dari Digimon.

Saat itu, sebagai bentuk kecintaan pada kartun favoritnya, bocah-bocah 90’s beramai-ramai mengoleksi tazoos* dan 2D miniature versi Digimon dan Pokemon. Mainan-mainan itu biasa diperoleh dari hadiah makanan ringan seperti Ch*ki, J*tzet, dan Cheet*z. Setelah terkumpul cukup banyak, tazoos dan 2D miniature akan dikembangkan menjadi alat permainan yang lebih seru, entah untuk berduel dengan teman, atau dirangkai menjadi berbagai macam model kreatif. Sebagian bocah juga mengkoleksi banyak produk mainan tersebut untuk diperjualbelikan.

Berhubung handphone (HP) dan game digital belum menjamur, saat itu, bocah-bocah 90’s terbiasa mencari kesenangan melalui permainan yang serba realistik—bisa dipegang, disentuh, dan dilempar. Selain tazoos dan 2D miniature, anak-anak 90’s cukup akrab dengan permainan tradisional seperti petak umpet, lompat tali, bermain kelereng, dan menerbangkan layang-layang. Jika sudah bosan, mereka biasa mencari binatang-binatang di alam terbuka seperti memancing, menangkap capung, dan berburu belalang. Semua aktivitas itu terasa sangat menyenangkan bagi bocah-bocah 90’s karena mereka bersentuhan langsung dengan objek permainan itu sendiri.

Saat itu, sebagian bocah yang orangtuanya cukup kaya bisa menikmati mainan modern seperti SEGA dan Nintendo. Tapi, bagi bocah-bocah lain yang tingkat ekonominya beragam, permainan konvensional tetap menjadi pilihan pertama. Ada lebih banyak kesenangan yang diperoleh melalui permainan fisik-realistik dibanding console digital. Rasa kebersamaan, kepedulian, dan solidaritas sesama teman adalah nilai-nilai moral yang tidak akan pernah bisa diperoleh dari console digital secanggih apapun teknologinya.

*   *   *
Kembali ke masalah Pokemon.

Hari ini, teknologi komunikasi telah berkembang pesat. Komputer dan ponsel pintar (smartphone) menjadi gadget wajib yang harus dimiliki setiap orang. Proses digitalisasi terjadi di setiap lini kehidupan masyarakat yang mendorong perubahan sosial budaya secara masif. Media hiburan bagi masyarakat, khususnya anak-anak, juga turut mengalami digitalisasi.

Sebagai perbandingan sederhananya:
Jika dulu bocah-bocah 90’s sibuk menerbangkan layang-layang, bocah-bocah masa kini sibuk menerbangkan drone.

Jika dulu bocah-bocah 90’s sibuk mencari kawannya yang ngumpet, bocah-bocah masa kini sibuk mencari-cari stop kontak dan wifi gratis.

Jika dulu bocah-bocah 90’s bermain perang-perangan dengan ‘pedang’ vynil yang bersinar, bocah-bocah masa kini sibuk bermain perang-perangan dengan menggosok layar smartphone.

Jika dulu bocah-bocah 90’s ramai berburu capung, bocah-bocah masa kini malah ramai berburu POKEMON!!!

Ah...Pokemon....

Setelah belasan tahun berlalu sejak serial kartun Pokemon ditayangkan di televisi swasta, Pokemon kini hadir dalam bentuk yang lebih nyata. Melalui konsep game berbasis Augmented Realistic (AR), PokemonGO telah berhasil memadukan unsur kesenangan dari permainan fisik-realistik ala bocah-bocah 90’s dengan permainan digital-modern ala bocah-bocah masa kini. Perpaduan kedua unsur tersebut membuat PokemonGO menjadi tren budaya yang menggejala di seantero dunia. Tidak mengherankan, seminggu setelah game ini dirilis, PokemonGO telah diunduh 10 juta kali di Android.

Bagi bocah-bocah 90’s yang dulu ngefans berat dengan Pokemon, game ini tentu menjadi sarana bernostalgia yang menarik. Kita bisa merasakan langsung bagaimana berpetualang mencari Pokemon dengan menggunakan peta dunia nyata. Dalam hal ini, konsep yang dipakai PokemonGO mirip dengan teknologi “Dragon Radar yang dipakai Goku dan Burma untuk mencari tujuh bola naga. Saat saya bocah, saya tidak pernah berpikir jika Dragon Radar bakal dimanfaatkan orang untuk berburu Pokemon.

*   *   *

Ada sebagian orang yang menganggap serius permainan PokemonGo. Orang-orang ini begitu terobsesi untuk mengumpulkan Pokemon, memenangkan duel, dan meraih poin tertinggi. Karena keasyikan bermain PokemonGO, tidak jarang mereka menemui kejadian buruk, mulai dari menabrak pohon, sampai terjatuh dari tebing. Kasus yang terdengar berlebihan memang. Hanya saja, kita memang perlu berhati-hati saat bermain PokemonGO, terutama dalam hal keselamatan diri.

Saya bukan bermaksud melarang kalian bermain PokemonGO. Seperti yang saya bahas sebelumnya, PokemonGO terbilang sukses menghadirkan konsep game digital yang mengkondisikan pemainnya untuk ke luar rumah—sesuatu yang tidak bisa dilakukan game digital konvensional. Dan seperti yang saya katakan, PokemonGO juga berhasil menjembatani modernitas game-game digital masa kini dengan kesenangan bocah-bocah 90’s dengan permainan fisik-realistiknya. Karena itu, tidak mengherankan jika kemudian PokemonGO menjadi game yang populer, hingga diunduh lebih dari 10 juta pengguna Android di minggu pertama perilisannya.

Hanya saja, sebagai seorang yang bertanggung jawab, kita harus ingat esensi pokok dari sebuah game adalah hiburan. Bagaimanapun, sebuah game tetaplah sebuah game yang diciptakan untuk tujuan bersenang-senang. Konyol sekali rasanya, jika kita menyikapi tantangan di dunia game layaknya kita menghadapi masalah di dunia nyata.

Setiap orang memiliki dimensi logika yang berfungsi untuk membedakan mana yang nyata dan mana yang tidak nyata. Kita harus bisa membedakan kedua hal ini dan mengkondisikan diri untuk berpikir “here and now”. Jika kita terlalu terobsesi dengan game PokemonGO, saya khawatir orang-orang menjadi terjebak dalam dunia digital ciptaannya sendiri, seperti halnya Anak-Anak Terpilih.

Bagi orang dewasa, saya rasa hal ini tidak perlu dicemaskan. Tapi bagi bocah-bocah, kesan yang diterima dari permainan PokemonGO tentu sangat berbeda. Saya khawatir asupan hiburan digital yang diterima bocah-bocah masa kini berpotensi mengubah karakter dasar mereka menjadi sosok yang egois, apatis, dan sungkan berempati pada kondisi sesamanya.

Pertanyaan saya, jika bocah-bocah masa kini sibuk bermain game dengan smartphone, kesenangan macam apa yang akan mereka dapatkan dari sana???

Kita semua tahu, kenangan masa kecil akan selalu terekam dalam pita memori kita. Sebagai bocah 90’s saya masih merasakan kenangan dari permainan yang saya mainkan saat itu. Saya masih ingat bagaimana serunya bermain petak umpet sambil beradu lari dengan bocah yang lain. Saya masih ingat perihnya jari yang lecet tergores senar saat bermain layang-layang. Saya juga masih ingat pakaian yang basah dan kaki-kaki yang penuh lumpur saat asyik bermain di bawah guyuran hujan. Lalu, bagaimana dengan bocah-bocah masa kini yang diasuh oleh smartphone dan PokemonGO-nya itu?

*   *   *

Berburu Pokemon jelas berbeda dengan berburu capung atau belalang. Berburu Pokemon jelas tidak sama dengan memancing atau menjala ikan. Berburu Pokemon juga tidak akan pernah seseru bermain lumpur di bawah guyuran hujan. Anak-anak adalah jenis manusia yang paling mengerti bagaimana caranya bersenang-senang. Karenanya, secara alami mereka selalu memiliki cara untuk menyenangkan dirinya sendiri.

Jika kecenderungan ini digantikan oleh objek digital yang tidak nyata, saya khawatir kelak ketika dewasa, anak-anak ini tidak terbiasa mengatasi masalah di dunia nyata. Bagaimanapun, segala kecanggihan teknologi digital ciptaan manusia tetap tidak akan mampu membeli “sensasi petualangan” yang sesungguhnya di dunia nyata.

Saya jadi teringat cerita Digimon Adventure. Serial kartun asal Jepang ini mengisahkan perjalanan “Anak-Anak Terpilih” (Taichi, Yamato, Sora, Jo, Kozhiro, Mimi, dan Takeru) yang terjebak dalam sebuah dunia digital. Di dunia itu, keselamatan Anak-Anak Terpilih sedang terancam karena adanya Digimon-Digimon jahat yang ingin menguasai dunia.

Anak-Anak Terpilih sadar, mereka tidak bisa tinggal di dunia digital selamanya. Mereka harus segera kembali ke dunia nyata karena ada orangtua dan sahabat yang telah menunggu kepulangan mereka. Anak-Anak Terpilih pun rela menempuh segala resiko petualangan demi mengembalikan dirinya ke dimensi realitas—tempat orangtua dan para sahabat menunggu.

Beruntung, sekawanan Digimon baik datang dan menolong Anak-Anak Terpilih. Para Digimon baik dan Anak-Anak Terpilih harus saling bekerjasama untuk mengalahkan para Digimon jahat sambil berusaha mencari jalan pulang ke dunia nyata. Dalam kondisi terdesak, para Digimon baik bisa berevolusi dan melipatgandakan kekuatannya demi melindungi Anak-Anak Terpilih dan mengembalikan mereka ke dunia nyata.

Seperti halnya cerita “Anak-Anak Terpilih” dalam serial Digimon Adventure, kita juga harus berjuang membebaskan diri dari perangkap dunia digital. Betapapun kerennya PokemonGO, kita harus tetap sadar bahwa kita memiliki tanggung jawab dan peran sosial di dunia nyata. Hal tersebut jauh lebih penting untuk diurus daripada menuruti ego mencari Pokemon.

Meski urusan ini tidak mudah, kita harus tetap sadar diri dan mulai mencoba untuk kembali pada dimensi realitas. Kita bisa mengakhiri segala candu ini dengan cara “mengalahkan para Pokemon jahat”—seperti halnya “Anak-Anak Terpilih” mengalahkan para digimon jahat demi mencari jalan pulang ke dunia nyata.[]


* tazoos: sejenis keping permainan berbahan dasar vynil lunak dengan pinggiran yang berlubang sebagai pengait. Bisa disusun atau dibentuk menjadi aneka macam model kreatif.

Thursday, July 21, 2016

19 Unsung Hero Saya Ketika Kuliah


“Bagaimana caranya menjadi ‘Pahlawan’?
Belajarlah, untuk tidak melulu memikirkan dirimu sendiri.”
(Benny Prastawa)

Akhir 2014 lalu, saya diwisuda. Saat itu, saya tidak tahu harus merasakan apa. Bangga, haru, senang, atau malah—biasa saja. Sejujurnya, saya jauh lebih lega dan bangga saat saya berhasil menyelesaikan skripsi dengan segala hiruk-pikuk revisinya. Alih-alih bangga, saya malah merasa biasa saja saat memakai toga dan mengenakan ‘jubah kebesaran’ (ya, kebesaran dalam artian yang sebenarnya).

Atas pencapaian itu, saya merasa perlu berterima kasih pada “mereka”. Selama 4,5 tahun menempuh studi di perguruan tinggi, “mereka” sering mengentaskan saya dari situasi yang serba sulit. Boleh jadi, kita sering memandang “mereka” sebelah mata. Kita sering mengabaikan “mereka”, bahkan menganggap remeh pekerjaannya hanya karena status profesi atau pendapatan yang kecil. Padahal, peranan “mereka” sangat vital dalam lika-liku kehidupan para mahasiswa di kampus. Jika bukan karena pertolongan “mereka”, saya dan para mahasiswa di planet ini tidak akan pernah ‘melihat matahari’.

Saya menyebutnya para “UNSUNG HERO”.

Berikut ini, saya tuliskan 19 orang atau pihak yang ikut berjasa melancarkan kuliah saya. “Mereka”, yang seharusnya tertulis di halaman kata pengantar skripsi saya—jika bukan karena batasan halaman dan persoalan regulasi.

*   *   *

(1)
Terima kasih kepada Mas-Mas Fotokopi yang telah membantu saya dalam menggandakan jodoh berbagai macam dokumen penting seperti handout, tugas, makalah, dan ratusan lembar skripsi saya. Sebegitu pentingnya peranan kalian sampai saya harus menempatkan kalian di posisi teratas.

(2)
Terima kasih kepada Ibuk-Ibuk Pemilik Warung Makan yang sudah mencukupi gizi saya selama kuliah. Berkat kalian, saya terhindar dari malnutrisi dan busung lapar. Entah apa jadinya seorang lajang yang tak bisa masak seperti saya, tanpa kehadiran warung makan kalian.

(3)
Terima kasih kepada Guru-Guru SD saya yang telah mengajari saya baca-tulis-hitung. Tanpa kalian, mungkin saya sudah terasing dari peradaban dan meringkuk di Rumah Sakit Ghrasia, di Sleman.

(4)
Terima kasih kepada Mas-Mbak Karyawan PT. ABDI Yogyakarta. Berkat ‘gadget’ dari kalian, saya bisa nyambung saat sidang dan ngobrol dengan dosen.

(5)
Terima kasih kepada Mamang Tukang Cukur yang telah sabar menghadapi rambut saya yang senewen. Karena jasa kalian, saya bisa tampil modis dan gaya, layaknya mas-mas di poster Top Collection.

(6)
Terima kasih kepada para Muadzin di masjid-masjid yang telah membantu mengingatkan saya perihal waktu sholat.

(7)
Terima kasih secara khusus saya sampaikan kepada Mas-Mas Penungu Warung Burjo. Berkat kalian, saya tidak harus mlarat-mlarat ke McD, KFC, Starbuck dan restoran cepat saji lainnya saat lapak ibuk-ibuk tutup.

(8)
Terima kasih kepada Bapak Kos yang telah memberi saya ruang kecil untuk nunut ngiyup. Semoga kos-kosannya tidak banjir lagi.

(9)
Oh iya, terima kasih juga kepada para Kuli Bangunan yang rela berpeluh-peluh membangun dan merenovasi kampus saya tercinta. Berkat para kuli, saya bisa kuli-ah. Semoga Tuhan membalas kalian dengan pahala jariyah.

(10)
Terima kasih kepada Para Tukang yang telah memasang jamban. Apapun modelnya (jongkok, duduk, atau berdiri), keberadaan kalian telah menyelamatkan milyaran orang dari sembelit dan pandemi penyakit, tak terkecuali saya dan segenap warga kampus lainnya.

(11)
Terima kasih kepada para Penjual Pulsa yang telah menyediakan pulsa dan paket internet. Kalian tahu, anak muda sekarang butuh pulsa layaknya pasien ICU butuh oksigen.

(12)
Terima kasih kepada Para Montir yang rela membuka bengkelnya hingga larut malam. Maafkan saya jika sering merepotkan kalian saat minta ‘isi angin’ karena uang yang saya bayarkan terlalu ‘kejam’ yang bahkan tidak mencukupi untuk membeli coffeemix di warung burjo.

(13)
Terima kasih kepada para Penjual Buku di Kompleks Taman Pintar yang telah membantu melengkapi referensi skripsi saya. Saya banyak belajar tentang sikap qana’ah, tawadhu, dan filsafat narimo ing pandum dari kalian.

(14)
Terima kasih kepada para Pembuat Es Batu. Karena es kalianlah, segala jenis teh dan jus yang saya minum menjadi lebih nikmat. Saat cuaca terik, es batu kalian sangat membantu.

(15)
Terima kasih kepada Mas-Mas Tukang Parkir yang setia menjaga motor saya selama diparkir di kampus. Maafkan, jika kalian mendapati keteledoran saya dalam memarkir motor sehingga tampak amburadul.

(16)
Terima kasih kepada Mas dan Mbak Penjaga Warnet Kampus. Kalian membantu saya mendapat hiburan dan pencerahan dari internet. Maaf jika saya sering datang larut malam atau pagi-pagi buta. Untung kalian belum kawin, sehingga tidak perlu cemas dipisuhi pasangan jika kalian mendapat shift malam.

(17)
Terima kasih kepada para Penjual Koran yang membantu saya mencari informasi yang teraktual.

(18)
Terima kasih kepada para Pengamen Angklung di Lampu Merah. Keberadaan kalian sering menghibur saya di tengah cuaca terik dan situasi mood yang tidak menentu.

(19)
Terima kasih kepada Mas-Mbak Alumni yang skripsi dan tesisnya saya jadikan bahan untuk membantu skripsi saya. Tulisan-tulisan kalian adalah 'Warisan Paling Berharga'  yang akan menolong adik-adik kelas kalian yang hilang arah karena skripsi.

*   *   *

Itulah para unsung hero yang telah berjasa mengantarkan saya menjadi sarjana. Dalam hal ini, saya merasa sangat berhutang budi pada mereka. Entah bagaimana saya bisa membalas semua jasa baik mereka. Di tulisan ini, saya hanya bisa mendoakan, semoga Tuhan Yang Maha Pengasih berkenan memberi mereka umur dan penghidupan yang penuh berkah, melapangkan rezekinya, dan memudahkan segala urusannya, Aamiin.

Kula—Benny Prastawa—wonten ing wekdal punika ngaturaken agenging panuwun.[]
July 21, 2016Benny Prastawa

Wednesday, July 20, 2016

Elegi Merconpati


“Tanpa resiko kehilangan nyawa,
tak mungkin ada petualangan.”
(Reinhold Messner)

Setiap kali lebaran, harapan saya cuma satu—semoga saya bisa berlebaran dengan damai tahun ini. Harapan yang terdengar konyol memang. Di saat orang lain sibuk bertukar pesan maaf, saya malah berharap bisa berlebaran dengan damai. Tapi saya tidak peduli. Kebisingan yang saya rasakan di hari lebaran sudah mencapai taraf mengganggu. Kebisingan itu telah mencederai esensi 'hari kemenangan' itu sendiri. Secara khusus, dalam tulisan ini, saya hanya akan membahas kebisingan yang ditimbulkan oleh ledakan mercon.

Entah siapa orang yang pertama kali menggagas ide tentang mercon. Pada dasarnya, mercon adalah salah satu jenis bahan peledak berdaya rendah. Hanya saja, bahan peledak itu telah dikemas sedemikian rupa sehingga ia lebih aman untuk dijadikan ‘mainan’ (walaupun sebenarnya setiap bahan peledak tetap saja berbahaya). Karenanya, bisa dibilang mercon adalah sebuah ‘seni’ dalam mengkreasikan bahan peledak demi keperluan entertainment.

Dalam kultur masyarakat kita, mercon sudah bersinonim degan kata “perayaan”. Karenanya, tidak mengherankan jika mercon selalu menjadi primadona dalam setiap edisi lebaran atau perayaan tahun baru. Betapapun berbahayanya, mercon tetap menjadi benda ‘sakral’ yang wajib disulut dalam setiap perayaan. Padahal, dari sisi utilitas, tidak ada manfaat yang jelas dari sebuah mercon, alih-alih benda tersebut lebih sering membawa ending tragis bagi para korbannya.

Jika kita mengetikkan kata “mercon” di Google, maka akan muncul seabrek berita tentang insiden ledakan mercon, lengkap dengan gambar para korbannya. Tak terhitung lagi berapa banyak korban yang berjatuhan karena terkena ledakan mercon, baik dari pihak pelaku peledakan maupun para peracik mercon itu sendiri. Kenyataan ini mengerikan sekali. Bayangkan, bagaimana bisa sebuah benda yang tidak jelas manfaatnya terus-menerus diproduksi, dipasarkan secara luas, dan menimbulkan begitu banyak petaka di masyarakat tanpa ada satu pun sistem yang bisa menghentikan peredarannya.

Sebagian orang mungkin berpikir bahwa meledakkan mercon adalah permainan yang menyenangkan. Bagi mereka, ada kepuasan tersendiri yang dirasakan ketika berhasil meledakkan mercon. Karena dianggap menyenangkan, orang mulai terbawa arus dan melalaikan resiko terburuk dari ledakan mercon. Tak peduli berapa pun banyaknya korban yang tewas atau menjadi cacat seumur hidup karena bermain mercon, benda itu tetap menjadi primadona dalam setiap perayaan. Hal ini persis seperti para pecandu miras oplosan yang terus menenggak minuman itu, meski korban yang menggelepar dengan mulut berbusa sudah jamak terjadi di mana-mana.

*   *   *

Berbicara masalah mercon, saya jadi teringat sebuah video di Youtube yang menayangkan detik-detik ledakan mercon ‘raksasa’ di daerah Pemalang, Jawa Tengah. Peristiwa itu terjadi pada bulan Juli 2013. Dalam video berdurasi sekitar dua setengah menit itu, tampak jelas bagaimana prosesi peledakan mercon ‘raksasa’ yang berujung petaka.

Awalnya, sebuah mercon ‘raksasa’ diarak beramai-ramai menuju areal persawahan (beberapa sumber mengatakan, tinggi mercon ‘raksasa’ itu mencapai 1,3 meter dengan diameter 20 sentimeter). Areal persawahan itu tampak cukup luas, sehingga cocok dijadikan tempat meledakkan mercon. Jika melihat banyaknya ceceran kertas sisa mercon di areal tersebut, sepertinya masyarakat di daerah itu sudah sering menggelar acara serupa sebelumnya.

Sesampainya di tempat peledakan, tiga orang pemuda bersiap menyulut mercon ‘raksasa’. Beberapa meter di sebelahnya, dua orang pemuda terlihat sibuk merekam suasana peledakan melalui kamera ponselnya. Begitu segala sesuatunya siap, mercon pun disulut. Dalam hitungan detik, mercon yang baru saja disulut langsung meledak hebat.

DAAARRRR!!!!

Suara ledakan terdengar sangat keras. Asap putih yang tebal segera menyelimuti lokasi ledakan. Kertas-kertas pembungkus mercon berhamburan di udara. Tiga orang yang menyulut mercon terkapar. Dua di antaranya (dikabarkan) tewas seketika. Warga yang awalnya ‘asyik’ menonton, tiba-tiba menjadi histeris. Mereka berhamburan menuju lokasi ledakan untuk menolong para korban yang tergeletak tak berdaya.

Sejurus kemudian, sebuah mobil pick up datang untuk melarikan para korban ke rumah sakit. Kondisi tubuh mereka tampak sangat mengenaskan. Salah seorang warga yang membantu evakuasi tampak menenteng potongan kaki salah satu korban sambil berkata, “Iki sikile, iki sikile…” (Ini kakinya, ini kakinya). Dan saya pun mulai mual untuk melanjutkan cerita ini.

*   *   *

Seperti yang saya katakan tadi, saya tidak habis pikir dengan orang yang meledakkan mercon. Meski mereka menganggap mercon adalah sarana hiburan, hal itu tidak mengubah fakta bahwa mercon telah menelan banyak korban jiwa, baik dari pihak pelaku peledakan maupun para peraciknya. Tapi para penggemar mercon tidak pernah jera. Setiap tahun, setiap lebaran, letup-letup mercon masih terus terdengar. Ironisnya, orang-orang dewasa malah ikut-ikutan latah, ‘mengompori’ anak-anak untuk meledakkan mercon sebagai wujud perayaan lebaran.

Pertanyaannya, mengapa orang senang meledakkan mercon?

Dalam asumsi saya, setidaknya ada 3 faktor utama yang membuat orang berpikir bahwa meledakkan mercon itu menyenangkan, yaitu: faktor ‘bahaya’, ‘gejolak adrenalin’, dan ‘sensasi kelegaan’.

Semua orang tahu bahaya ledakan mercon. Tapi terkadang manusia ingin ‘bermain-main’ dengan bahaya itu. Sebagian orang merasa tertantang untuk mendekatkan diri pada sebuah objek atau kondisi yang berbahaya, demi mendapatkan ‘sensasi berpetualang’. Hal serupa juga dialami oleh para pelaku olahraga ekstrim seperti jetski, panjat tebing, bungy jumping, dan penggemar wahana roller coaster. Jika kita termasuk salah satu di antara penikmat kegiatan ekstrim tersebut, kita bisa lebih mudah memahami ‘kesenangan’ yang dirasakan para penggemar mercon.

Ketika kita dihadapkan pada bahaya, maka hormon adrenalin akan meningkat. Hal ini memicu serangkaian mekanisme ‘pertahanan diri’ dalam tubuh kita, seperti meningkatnya denyut jantung dan mempercepat proses respirasi. Contoh dari proses ini adalah saat kita berlari kencang karena dikejar-kejar anjing. Selain itu, hormon adrenalin juga bisa memicu pelepasan stres. Itu sebabnya, orang-orang yang meledakkan mercon bisa tetap berwajah ceria karena sebagian stres dalam dirinya telah terlepas.

Dari penjabaran di atas, kita bisa memahami ‘kelegaan’ yang dirasakan para penggemar mercon ketika berhasil meledakkan sebuah mercon dan meloloskan diri dari bahaya terkena efek ledakannya. Hal ini, pada akhirnya, mendorong penggemar mercon untuk meledakkan mercon lagi dan lagi. Tanpa sadar, mereka tengah digiring untuk ‘berjudi’ dengan mempertaruhkan keselamatan dirinya sendiri.

Sebuah kesenangan sesaat yang ditukar dengan keselamatan diri atau bahkan nyawa adalah salah satu bentuk kebodohan. Tidak logis rasanya, jika kesenangan yang sifatnya sesaat harus dibayar dengan nyawa yang tidak sebanding harganya. Padahal, kita semua tahu, ada banyak jalan yang bisa ditempuh untuk meraih kesenangan hidup. Untuk apa mempertaruhkan keselamatan diri sendiri demi sebuah petualangan?

Karena itu, sebelum kalian ikut-ikutan meledakkan mercon, pikirkanlah baik-baik! Pikirkanlah orang-orang yang akan terganggu ketenteramannya karena suara mercon. Pikirkan juga keselamatan diri kita! Pikirkanlah, orang-orang yang menjadi cacat dan mati konyol terkena ledakan mercon! Pikirkanlah semua kekonyolan dan kebodohan yang ditimbulkan mercon. Karena di mana pun tempatnya, sebuah mercon tidak pernah ragu untuk meminta tumbal nyawa.[]
July 20, 2016Benny Prastawa