Saturday, July 16, 2016

Antrian Chaos dan Etika Mengantri


Kalau mengantri, jangan sampai manusia kalah sama bebek
(Pelajaran moral anak SD)

Setiap kali mengantri, prinsip saya sederhana: “Yang datang duluan, dilayani duluan.” Pada kenyataannya prinsip ini tidak selalu berlaku, terutama pada antrian konvensional tanpa nomor urut. Dalam antrian sejenis itu, situasi yang terjadi biasanya menjadi chaos (ricuh). Saya sering mengalaminya ketika jajan di kantin sekolah. Begitu bel istirahat berbunyi, anak-anak berlarian menuju kantin, saling serobot, berebut mengambil  makanan dan minuman, sambil meneriaki pemilik kantin. Entah berapa kali pemilik kantin kecolongan, karena dalam situasi chaos semacam itu, tangan-tangan jahil sering memanfaatkan situasi untuk ‘khilaf’ mengutil jajanan di kantin.

Berhubung saya bukan tipe orang yang ‘suka ribut’, saya lebih memilih menunggu chaos di kantin reda sebelum membeli jajan. Alasannya, saya malas berdesak-desakan dengan anak-anak yang lain serta khawatir akan salah membayar karena seringkali suara pemilik kantin kalah riuh dibanding teriakan anak-anak yang berebut jajanan. Saya sering seperti itu, jika bukan karena terpaksa.

Hampir tujuh tahun berlalu sejak saya resmi meninggalkan hingar bingar kantin sekolah sekolah. Saya pikir, saat saya dewasa nanti saya tidak perlu mengalami antrian chaos* seperti yang biasa terjadi di kantin sekolah. Nyatanya, antrian chaos masih terus terjadi di berbagai tempat. Biasanya, saya mengalami hal seperti itu di tempat-tempat yang memakai antrian konvensional (tanpa nomor urut), seperti di konter pulsa, tempat fotokopi, warung, dan rumah-rumah makan (agar lebih mudah dipahami, saya akan mengambil “warung” sebagai contoh).

Normalnya, jika kita ingin membeli sesuatu di warung, maka si pemilik warung akan menanyakan kebutuhan kita, mengambilkan barang yang dimaksud, dan kita cukup membayar harganya. Selesai. Di warung swalayan pun begitu, hanya bedanya kita diperbolehkan mengambil sendiri barang yang ingin dibeli sebelum membayar. Nah, pada proses pembayaran itulah antrian chaos sering terjadi, terutama pada saat warung ramai pembeli.

Dalam hal ini, saya sering ‘makan hati’ karena beberapa kali dinomorsekiankan oleh si pemilik warung meski saya jelas-jelas datang lebih dulu. Saya tidak habis pikir kenapa. Boleh jadi karena gesture saya yang wagu, atau mungkin tampang saya terlalu dingin, polos, dan innocent, sehingga layak dinomorsekiankan. Entahlah.

Bagi saya, sebenarnya tidak ada masalah jika harus dinomorsekiankan dalam antrian, selama orang-orang yang didahulukan adalah “orang-orang khusus” yang pantas didahulukan. Misalnya ibu-ibu yang repot menggendong anaknya, orang-orang renta, penyandang disabilitas, dan sejenisnya. Dalam kondisi itu, pemilik warung mempunyai alasan logis untuk mendahulukan mereka dan saya bisa memakluminya. Yang tidak bisa saya maklumi adalah ketika saya jelas-jelas datang lebih dulu, tapi dilayani belakangan tanpa ada uzur yang jelas.

Saya menduga, hal semacam itu terjadi karena kebiasaan saya yang “terlalu sungkan” pada pemilik warung. Ya, saya sering merasa sungkan jika harus menyela pemilik warung yang tengah melayani pelanggannya. Dalam standar etika saya, menyela pemilik warung yang tengah melayani pelanggannya adalah sebuah ketidaksopanan. Seharusnya, sebagai pelanggan, kita menghormati pemilik warung yang tengah sibuk melayani pelanggannya. Jika pemilik warung sudah mempersilahkan kita, barulah kita boleh bertransaksi dengannya.

Sayangnya, dalam sebuah antrian chaos, standar etika saya tidak berlaku. Dalam antrian chaos, para pembeli saling berjejalan dan berebut minta dilayani. Jika kita ingin didahulukan, maka kita harus pandai-pandai menyela dan meneriaki si pemilik warung agar dilayani—persis seperti anak-anak yang berebut jajanan di kantin sekolah. Dalam situasi tersebut, pada akhirnya saya lebih sering mengalah dan dinomorsekiankan.

Betapa pun kesalnya, saya merasa perlu mematuhi standar etika saya. Seperti yang saya sebutkan tadi, saya sangat sungkan menyela pemilik warung yang tengah melayani pelanggannya. Saya lebih afdhal menunggu pemilik warung mempersilahkan saya sebelum transaksi dimulai. Dengan begitu, saya merasa lebih nyaman karena tidak melanggar giliran pelanggan lain. Terdengar lebih etis, bukan?

Perkara antri-mengantri ini sepele sekali. Bagi sebagian orang, saling serobot dan melanggar giliran boleh jadi dianggap biasa. Tapi bagi sebagian yang lain, bisa saja hal itu membuatnya tersinggung. 

Masih ingat kasus mahasiswi di Yogyakarta yang di-bully para netizen karena mempermasalahkan antrian di SPBU? Seharusnya urusan tersebut selesai di SPBU, andai si mahasiswi tidak mengungkapkan kekesalannya dengan kata-kata bernada SARA di akun Path-nya. Kasus itu pelik sekali (atau mungkin sengaja dipelik-pelikkan) sampai-sampai Sri Sultan harus turut campur menanggapinya. Padahal jika kita mau memahami etika mengantri, bersedia untuk sabar dan menunggu, ekses buruk dari antrian chaos seperti yang menimpa mahasiswi tersebut bisa dihindari.

*   *   *

Di Jepang, anak-anak sekolah (terutama di tingkat sekolah dasar) diajarkan untuk berbaris rapi sebelum masuk kelas. Hal seperti itu rutin dilakukan setiap hari dan dianggap semacam kegiatan pembiasaan di sana. Urusan baris-berbaris ini memang tampak sepele. Tapi para pendidik di Jepang paham betul, bahwa melalui kebiasaan berbaris sebelum masuk kelas, anak-anak dapat belajar tentang sikap menghargai giliran, melatih kedisiplinan, dan membiasakan mereka untuk tertib di lingkungannya. 

Saya masih ingat, bagaimana guru SD saya mengajarkan etika mengantri pada murid-muridnya. Saat itu, para murid diminta untuk melihat gambar pak tani yang sedang menggiring sekawanan bebek. Dalam gambar itu, tampak bebek-bebek pak tani yang berbaris rapi di jalan. Di sebelah gambar pak tani dan bebeknya, ada gambar sekelompok manusia yang tengah ramai berebut antrian. Guru saya berpesan, “Kalau mengantri, jangan sampai manusia kalah sama bebek.” Sebuah ungkapan satire yang sangat relevan untuk menyindir perilaku orang yang tidak menghargai etika mengantri.

Sampai di sini, saya mulai khawatir. Jika kita masih meremehkan etika mengantri, maka sepuluh tahun mendatang, ketika jumlah penduduk Indonesia semakin membludag—mungkin menyentuh angka 400 juta jiwa—antrian chaos akan lebih sering terjadi. Saat itu, jangankan aksi saling serobot, perkelahian-perkelahian kecil dan adu jotos bisa saja terjadi. Saya membayangkan situasi saat itu akan mirip film pendekar tempo dulu yang gemar berkelahi di warung-warung makan.

Karena itu, agar ‘fantasi liar’ saya tidak beneran terjadi, saya harap para pemilik warung, toko, tempat fotokopi, dan rumah-rumah makan mulai bergegas menerapkan ‘teknologi nomor antrian’ demi menghindari antrian chaos. Kalau perlu, sediakan juga satpam atau satpol PP untuk membantu menertibkan para pelanggan yang kemrungsung minta dilayani. Boleh jadi, hanya dengan cara itulah, kita mau menghormati giliran dan mulai belajar etika mengantri.[]


*antrian chaos: istilah untuk menjelaskan situasi antrian yang ricuh, di mana para pengantri saling serobot dan berebut giliran, hingga menimbulkan kekacauan.
July 16, 2016Benny Prastawa