Thursday, June 25, 2020

Bergegas Mudik Berkemas Pandemic

Di pelosok kampung tempat orangtua saya tinggal, pandemi virus Corona nyaris tidak menghasilkan dampak se-paranoid daerah Kota. Kehidupan masyarakat kampung bisa dibilang tidak berubah meski pageblug Corona mengintai. Orang-orang masih jamak berkumpul, pasar-pasar masih ramai, bahkan acara lelayu pun masih dihadiri banyak orang dan nyaris tanpa "jaga-jarak".


Pagi-pagi sekali, orang-orang kampung sudah giat pergi bekerja. Ada yang ke pasar, ada yang ke sawah, ada yang menggembala ternak, ada pula yang tetap berdiam di rumah—membereskan segala sesuatunya sambil beranjangsana menemani anak-anak yang libur sekolah.


Boleh jadi, soal virus Corona ini memang kurang tersosialisasikan di kampung. Orang-orang kampung boleh jadi masih menganggap "Oh, virus Corona itu kan cuma terjadi di kota A, kota B, di sana, dan di sana. Di kampung aman-aman saja, kok." Apalagi setelah melihat fakta bahwa kampung mereka relatif aman dan belum ada warga yang positif Corona. Mereka pun merasa lebih tenang untuk tetap menjalani kehidupan normal seperti tidak ada pandemi apapun.


Sementara di Kota, kondisinya jauh berbeda. Hingar bingar pandemi Corona terlihat nyata di sini. Ancaman penularan virus datang dari sana sini. Orang-orang dilarang berkumpul dan disarankan berdiam di rumah.


Satu dua mobil ambulans berseliweran dengan sirine meraung. Petugas kesehatan dengan APD putih-putih khasnya mondar-mandir mengangkut pasien positif Corona. Sebagian malah cuma mengangkut jenazah saja. Rumah warga yang positif Corona dikelilingi pita kuning. Sementara para polisi dan tentara turut serta mengawal warga dan giat berpatroli selama pandemi.


Dalam hitungan minggu, semua sektor kehidupan masyarakat Kota terdampak. Roda bisnis mendadak berhenti. Harga-harga barang anjlok. Para pedagang kesulitan menjual barang akibat penurunan permintaan. Para pemilik usaha terancam gulung tikar. Karyawan-karyawan dirumahkan dan buruh-buruh di-PHK tanpa pesangon.


Di tengah perekonomian yang mendadak lesu, orang-orang Kota kelimpungan mencari jalan keluar. Sebagian yang memiliki tabungan dan kerabat dekat bisa bertahan. Tapi tidak sedikit pula yang harus menghadapi krisis sendirian. Benar-benar sendirian dan tanpa pegangan finansial yang cukup.


Dalam kondisi itu, wajar jika orang-orang Kota yang punya keluarga di Kampung, memilih untuk pulang. Betapapun pemerintah melarang, warga yang sudah tak tahan dengan himpitan Kota nekat mudik ke Kampung. Segala cara mereka tempuh demi mengembalikan ketenangan pikiran dan menjauhkan diri dari beban ekonomi yang menghimpit. Dan mudik adalah jawabannya.


Para pemudik itu membayangkan, kehidupan di Kampung pasti jauh lebih mendamaikan. Mereka tidak akan dipusingkan dengan hari-hari yang penuh kemacetan, makian serapah majikan, gaji yang tidak kunjung naik, cocot omelan pelanggan, air yang kotor, atau tagihan kontrakan yang jumlahnya semakin mencekik.


Di Kampung, mereka akan disuguhi pemandangan alam yang serba hijau nan asri dengan latar anak-anak yang tengah ramai bermain berkeliaran—bebas, tanpa takut terlindas truk atau ditangkap penculik.


Dan memang begitulah adanya. Kehadiran virus Corona—betapapun mengerikannya—seakan mengajarkan kita untuk mereset tombol kehidupan kita. Arus modernitas yang memanjakan kita selama ini, ternyata tidak cukup canggih untuk memupuk kebahagiaan. Di satu sisi, modernitas menawarkan segala kemudahan untuk memperoleh materi. Tapi, di sisi lain, kepemilikan materi itu sendiri tidak selalu berbanding lurus dengan kebahagiaan. Karena, ternyata, modernitas juga menuntut orang untuk MEMBAYAR LEBIH BANYAK.


Sementara di kampung, kita diajarkan untuk lebih nrimo dengan kondisi yang ada. Kita diajarkan untuk bergumul dengan peradaban yang serba terbatas. Tapi, di sisi lain, kita tidak akan dipusingkan dengan ongkos-ongkos yang mencekik seperti yang ditawarkan modernitas ala Kota.


Well, semua ini adalah realita hidup yang mesti kita pilih dan kita jalani. Tidak ada yang salah dengan peradaban modern ala kota. Atau tradisi sederhana ala di Kampung. Apapun itu, kita harus tetap sadar akan esensi nilai-nilai hidup kita sebagai manusia. Sudah selayaknya manusia—sebagai makhluk sosial—hidup tolong-menolong dengan sesamanya. Baik di Kampung atau di Kota, ada Corona atau tidak, jangan sampai kita kehilangan rasa kemanusiaan kita —apapun alasannya.[]


June 25, 2020Benny Prastawa

Sunday, June 21, 2020

Nuansa Sholat Jumat yang Berbeda di Tengah Pandemi Corona



Setelah dua bulan lebih ibadah sholat Jumat ditiadakan, memasuki pertengahan Juni ini, beberapa daerah sudah mengizinkan pelaksanaan sholat Jumat lagi. Tentu saja, kebijakan ini hanya berlaku untuk daerah-daerah yang tingkat penyebaran virus Corona-nya tidak parah. Sedangkan untuk daerah lain yang masih rawan, sholat Jumat—dan kegiatan keagamaan di masjid—untuk sementara masih ditiadakan.


Daerah-daerah yang sudah diizinkan menggelar sholat Jumat pun harus tetap mematuhi protokol kesehatan yang berlaku. Selain masker dan hand sanitizer wajib, jamaah juga dideteksi suhu badannya dan dipastikan sehat sebelum memasuki area masjid. Beberapa masjid bahkan sampai menyediakan plastik-khusus-sekali-pakai untuk menaruh alas kaki para jamaah.


Berhubung sholat Jumat mengundang kehadiran banyak orang, pembatasan jumlah jamaah menjadi keharusan, baik pembatasan jumlah maupun pembatasan jarak antar jamaah. Pembatasan ini juga tidak lepas dari keterbatasan daya tampung masjid.


Secara khusus, di dekat tempat tinggal saya, salah satu cara membatasi  jamaah adalah dengan sistem kupon sholat. Jamaah yang ingin sholat Jumat di masjid harus memiliki kupon tersebut. Kupon akan dibagikan sekitar satu jam sebelum adzan dan berlaku sekali pakai.


Nah, karena memakai sistem kupon, saya kadang bertanya-tanya, "Jamaah yang sudah bersuci rapi-rapi wangi ingin sholat Jumat, tapi nggak kebagian kupon gimana? Kan nggak mungkin jamaahnya dijejalkan masuk kayak di kereta komuter kepenuhan?"


Ya, mau bagaimana lagi. Protokol kesehatan yang harus dipatuhi memang seperti itu. Kesehatan dan keselamatan para jamaah adalah prioritas. Semuanya kembali ke kesadaran diri jamaah masing-masing.


Jadi, begitu tahu soal sistem kupon sholat tersebut, para jamaah pun mulai berinisiatif datang lebih awal demi kebagian kupon. Pemandangan ini kontras dengan sholat Jumat pada saat sebelum pandemi, di mana segelintir jamaah memilih berjalan santai menuju masjid meski Pak Khotib sudah berdiri di atas mimbar.


Nuansa sholat Jumat di tengah pandemi virus Corona ini memang berbeda. Ada secercah kerinduan rohani yang tersibak dari rona para jamaah. Apalagi, di tengah situasi yang serba krisis dan tidak menentu seperti sekarang.


Pemandangan para jamaah yang berduyun-duyun mendatangi masjid mengingatkan kita pada konsep fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan). Para jamaah yang sebelumnya malas-malasan menuju masjid, menjadi lebih bersemangat (berlomba-lomba mendapat tempat sholat) setelah pengadaan kupon sholat.


Boleh jadi, para jamaah memang merindukan momen sholat Jumat yang sudah berminggu-minggu ditiadakan. Mereka rindu untuk kembali duduk takzim di masjid sambil mengharap pencerahan dari isi khotbah Pak Khotib.


Hingga ketika sholat Jumat usai ditegakkan, mereka kembali "bertebaran" mencari rezeki-Nya dengan semangat dan spiritualitas yang terbarukan. Harapan akan penghidupan yang lebih baik, kembali menyala. Tak peduli betapapun beratnya situasi yang dihadapi saat ini.


***


Pandemi virus Corona memang telah mengubah banyak aspek kehidupan manusia. Segala krisis yang terhampar di tengah pandemi ini adalah ujian hidup yang nyata.


Dari perspektif religi, pandemi ini akan menguji kadar keyakinan kita kepada Tuhan. Apakah kita akan melangkah menjauh, atau segera berlari mendekat kepada-Nya.


Karena bagaimanapun, sehebat apapun kita, sekaya apapun kita, akan ada masa ketika kita diuji dengan kondisi serba sulit, sempit, terjepit, sedemikian hingga kita hanya bisa mengharap pertolongan dari-Nya. 


Dari situlah, Tuhan bisa menilai ibadah kita selama ini. Memastikan siapa saja di antara hamba-hamba-Nya yang benar-benar tulus ikhlas menyembah pada-Nya, mengabdi pada-Nya, serta memohon ampun dan pertolongan-Nya, demi mengharap keridhaan-Nya semata.[]


June 21, 2020Benny Prastawa

Thursday, June 18, 2020

Melulu Menyoal Virus Corona


Per Maret kemarin, blog ini melulu menyoal virus Corona dan uraian masalahnya. Membosankan memang. Apalagi di tengah kebijakan Work from Home (WFH), physical distancing, dan tagar #DiRumahAja. Semua hanya menambah suasana jenuh.


Sudah begitu, konten berita di media massa, TV, dan internet, juga sama saja. Kalaupun ada topik lain yang dibahas paling banter masalah New Normal—yang masih berhubungan juga dengan Corona.


Pantaslah orang-orang bosan! Sudah aktivitas ke luar dibatasi, tidak boleh liburan, tidak boleh kumpul sembarangan, tidak boleh mudik, suguhan berita di media pun serba monoton membahas Corona berbulan-bulan.


Mau tak mau, otak saya kembali gatal dan perlu menulis. Lha, gimana? Masifnya pemberitaan seputar Corona dan segala tetek bengeknya menghipnotis alam bawah sadar saya, membuat saya hanya memikirkan satu-satunya topik: C-O-R-O-N-A.


Saya menulis pun murni untuk melepas uneg-uneg yang mengganjal di otak. Ya, seperti halnya makanan yang perlu dicerna dan dibuang, semua informasi yang membanjiri otak juga harus kita saring dan kita "cerna".


Di era internet seperti sekarang, kemudahan mengakses informasi mendorong kita untuk melahap segala jenis informasi. Tetapi, tidak semua informasi itu perlu kita "cerna" atau kita pikirkan di otak.


Kita harus tetap memilah dan memilih informasi. Jika tidak, kita malah akan terbebani dengan informasi-informasi itu, lalu terjebak dalam situasi mental-psikis yang kurang sehat. Misalnya, bersikap paranoid, khawatir berlebihan, mudah berprasangka, sampai melakukan hal-hal ekstrim tanpa pertimbangan nalar.


Dalam konteks pandemi virus Corona ini, hal-hal ekstrim yang mungkin dilakukan orang adalah menimbun barang (masker, hand sanitizer, alat pelindung diri/APD, sembako, dll), menjarah toko, berbuat kriminal, kredit berlebihan, menjual barang-barang berharga sekaligus, mengucilkan tetangga yang positif Corona, kabur dari rumah sakit, sampai nekat menularkan virus ke orang lain.


Begitulah, daripada terjerumus dalam kondisi mental-psikis yang tidak sehat, maka cara termudah mengelola pikiran kita adalah dengan menulis. Blog ini hanya medium saja. Sarana termudah untuk mengaktualisasikan ide dan merapikan tulisan tangan saya yang jelek.


Apalagi, sejak awal pandemi virus Corona melanda, saya sudah kebanjiran pikiran yang tidak-tidak. Bingung. Situasi yang terlihat serba tidak pasti.


Yang pertama kali terbesit di benak saya adalah gambaran wabah-wabah terdahulu yang membantai jutaan umat manusia, seperti flu Spanyol, cacar, dan Black Death. Lalu, ada pula gambaran teori konspirasi, yang menyebut-nyebut virus ini sebagai senjata biologis.


Di sektor ekonomi malah lebih parah. Perusahaan-perusahaan terancam bangkrut. Pedagang mulai gulung tikar. Dan buruh-buruh kehilangan pekerjaannya. Tak peduli seberapa besar omset, gaji, dan laba yang mereka miliki sebelum pandemi, virus Corona menghantam siapa saja dari segala kelas ekonomi.


Kita pun seperti dipaksa memilih, antara menyelamatkan diri dari virus, atau menyelamatkan perekonomian kita agar dapur rumah tetap mengepul. Benar-benar pilihan yang sulit.


Benang kusut masalah Corona semakin semrawut ketika orang-orang mulai jenuh berdiam di rumah. Lebih-lebih buat mereka yang nganggur. Sudah nggak kerja, masih disuruh di rumah aja.


Orang-orang juga membutuhkan ruang untuk "bernapas". Mereka juga butuh uang untuk bisa makan. Mana bisa mereka dipaksa untuk terus di rumah. Ini manusia lho, ya, bukan bekicot. Kita tidak bisa cari makan sambil bawa-bawa rumah.


Di sisi lain, pemerintah akan terus membuat kebijakan untuk mengendalikan keadaan. Tapi, pada saat yang sama, masyarakat juga tidak bisa dipaksa untuk terus patuh pada kebijakan tersebut. Lebih-lebih jika kebijakan itu tidak mengakomodasi pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat—ya, seperti rasa jenuh tadi. Alih-alih, potensi pelanggaran aturan malah akan semakin tinggi.


Buktinya, meski pemerintah gencar menggalakkan pembatasan sosial dan menghimbau masyarakat agar di rumah saja, masih banyak warga yang tidak patuh. Masih banyak orang pergi ke luar untuk bekerja, berdagang, bahkan nekat piknik, meski situasi belum sepenuhnya aman. 


***


Pada dasarnya, rasa jenuh itu wajar. Ia bisa muncul ketika kita kurang beraktivitas, kurang berpikir, atau terlalu sering melakukan kegiatan yang sama (rutinitas) dalam waktu yang berdekatan tanpa jeda/libur.


Pandemi virus Corona ini, mau tak mau memaksa kita menghadapi kejenuhan yang belum pernah ada sebelumnya. Kita tidak bisa leluasa keluar rumah karena ancaman virus yang mengintai setiap saat. Padahal, aktivitas di dalam rumah tentu lebih terbatas dan rentan menimbulkan rasa jenuh.


Karena itu, situasi yang kita hadapi saat ini memang tidak sesederhana (maaf) mengupil. Cukup masukkan jari, korek upilnya, lalu habis perkara. Tidak segampang itu.


Jika hari ini kita dibebaskan sebebas-bebasnya untuk beraktivitas seperti biasa, yang akan terjadi justru lonjakan pasien positif Corona. Keputusan itu terlalu beresiko.


Bahkan kalaupun ada harapan untuk mencapai herd immunity, butuh berapa persen populasi untuk bisa mencapai herd immunity? Apakah daya tahan tubuh dan layanan kesehatan kita sudah cukup kuat untuk melakukan "perang terbuka" dengan virus Corona? Salah-salah, kebijakan ini malah akan menambah panjang daftar korban jiwa.


Well, saya jadi pening sendiri memikirkan kerumitan ini. Postingan ini pun (lagi-lagi) terjebak pada topik yang sama: C-O-R-O-N-A.


Bisa dikatakan, kehidupan normal kita baru benar-benar kembali ketika vaksin Corona sudah ditemukan! Jika vaksin sudah ada, maka herd immunity lebih mudah tercapai tanpa harus "menumbalkan" banyak korban jiwa.


Sayangnya, vaksin itu sendiri masih perlu  waktu lama sampai boleh diedarkan secara luas. Dengan kata lain, kita harus memaksa diri untuk menghadapi segala kesulitan, krisis, perubahan, dan kejenuhan akut sampai setidaknya vaksin ditemukan.


At least, dalam kondisi sulit ini, daripada pikiran kita jenuh membeku, tidak ada salahnya menulis. Dengan menulis, setidaknya otak kita akan dipaksa berpikir.


Hemat saya, menulis adalah cara termudah agar pikiran kita tidak stres akibat terlalu lama berdiam di rumah. Menulis akan membantu kita mengurai pikiran yang tidak-tidak. Para psikiater pun akan menyarankan pasiennya untuk menulis untuk meredakan tekanan dalam pikiran. Boleh jadi, kalian bisa terbantu dengan cara ini untuk, setidaknya, mengurangi rasa jenuh.[]


June 18, 2020Benny Prastawa

Thursday, June 11, 2020

Teori Konspirasi Bill Gates dan Corona yang Melelahkan Tanpa Manfaat


Bagi kalian yang pernah membaca novel Inferno karangan Dan Brown (atau menonton filmnya), tentu tidak asing dengan organisasi rahasia bernama Konsorsium. Diceritakan bahwa organisasi tersebut bergerak di bidang kesehatan dan menjalankan misi-misi rahasia tanpa sepengetahuan publik. Salah satu misi "mengerikan" Konsorsium adalah menjalankan program depopulasi umat manusia.

Program depopulasi (pengurangan populasi) tersebut tidak lepas dari masalah jumlah penduduk bumi yang semakin tak terkendali. Sementara jumlah sumber daya yang dibutuhkan untuk mendukung kelangsungan hidup manusia bersifat terbatas.

Kesenjangan antara tingkat populasi dan sumber daya alam ini dikhawatirkan akan memicu masalah-masalah kemanusiaan global seperti kelangkaan, paceklik, kelaparan, krisis ekonomi, kemiskinan, sampai peperangan. Atas dasar itulah, Konsorsium menilai bahwa populasi manusia harus dikendalikan—bagaimanapun caranya!

Sebagai organisasi rahasia, tentu saja Konsorsium tidak bisa terang-terangan membunuh orang di jalan untuk men-depopulasi manusia. Mereka cukup menciptakan seperangkat "produk mematikan" yang dapat bekerja dengan sendirinya untuk menekan jumlah manusia di bumi. Contoh "produk mematikan" Konsorsium yang paling umum adalah wabah penyakit.

But wait, bukannya Konsorsium itu organisasi kesehatan? Kok malah bikin penyakit?

Memang begitulah, cara paling efektif menyamarkan kedok kejahatan adalah membungkusnya dengan label kebaikan. Sama halnya dengan praktek dukun berkedok ustadz, preman berkedok petugas keamanan, penculik berkedok pengasuh bayi, atau mucikari berkedok penyalur jasa tenaga kerja.

Konsorsium pun memakai prinsip yang sama. Dari luar, mereka tampak seperti sedang menjaga kesehatan umat manusia sedunia.

Konsorsium mungkin memang menciptakan obat-obatan, vaksin, program imunisasi, melakukan riset kanker, atau menjadi pembicara dalam seminar kesehatan. Tapi, diam-diam, mereka juga mengerjakan serangkaian konspirasi licik untuk men-depopulasi umat manusia melalui penciptaan wabah penyakit.

Dari sini, kalian mungkin berpikir bahwa Konsorsium benar-benar ada. Kalian pasti curiga, wabah-wabah penyakit seperti AIDS, ebola, flu Spanyol, sampai Black Death—yang menelan jutaan korban jiwa—terjadi karena ulah Konsorsium.

Buktinya, wabah demi wabah terus terjadi, bahkan sampai hari ini, di tengah ilmu kedokteran dan teknologi medis yang sudah sedemikian maju. Tapi, sejauh ini, tidak ada fakta terverifikasi atau bukti konkret apapun yang membenarkan eksistensi organisasi "Konsorsium" yang disebut Dan Brown dalam novelnya.

Well, saya akui, teori konspirasi adalah jualan fiksi yang paling menarik. Sudah banyak novel atau film laris karena mengangkat tema konspirasi, terlepas dari konspirasi itu fakta atau hanya rekaan "cocoklogi" si pengarang saja. Inferno, Bourne, James Bond, Da Vinci Code, adalah beberapa contohnya.

Lalu mengapa orang-orang bisa percaya pada teori konspirasi?

Tentu saja karena tabiat manusia yang suka mencari kambing hitam atas segala persoalan pelik di dunia. Kita tahu, bahwa di sekitar kita, ada banyak peristiwa, kekacauan, kemelaratan, dan krisis berkepanjangan yang tidak terjelaskan. Dalam kondisi seperti itu, teori konspirasi menawarkan jawaban termudah untuk segala ketidakjelasan.

Salah satu caranya adalah dengan merangkai pembenaran-pembenaran sepihak dari sekelumit fakta—entah terverifikasi atau tidak—lalu menimpakan kesalahan pada sekelompok orang atau katakanlah organisasi rahasia.

Tabiat lain yang membuat kita mempercayai teori konspirasi adalah kesenangan kita ketika "dianggap sebagai sosok yang paling tahu".

 Ya, teori konspirasi dinarasikan sebagai teori yang konon hanya diketahui oleh segelintir orang saja. Tidak sembarang orang bisa memperoleh informasi tentang teori konspirasi ini.

Jadi, ketika kita tahu sebuah teori konspirasi, kita akan merasa bangga karena bisa memperoleh informasi yang konon hanya diketahui oleh segelintir orang. Setelah itu, tabiat pamer dan "keinginan untuk dianggap sosok paling tahu" mendorong kita untuk menyebarkannya—baik melalui media sosial, obrolan warung, mamang tukang sayur, pos ronda, sampai grup Whatsapp Bapak-Bapak.

***

Secara umum, sebuah teori konspirasi tidak hanya efektif untuk memanipulasi pandangan orang atas suatu hal, tapi juga efektif untuk menggiring opini masyarakat sesuai keinginan si pembuat teori konspirasi. Begitu orang-orang sudah sampai ke tahap "meyakini/percaya" pada sebuah teori konspirasi, maka cukup dengan sedikit provokasi saja, kekacauan (chaos) pun terjadi di masyarakat.

Misalnya (ini misalnya lho ya), ada teori konspirasi yang menyatakan bahwa Pak Gubernur sedang menjalankan misi "pembunuhan ekonomi wong cilik". Buktinya (ini kata si penghembus teori konspirasi), Pak Gubernur ditengarai mempersulit pengajuan kredit modal untuk para pelaku usaha kecil menengah.

Pak Gubernur juga mengizinkan pendirian mall-mall baru dan toko waralaba berjejaring tanpa batasan kuota. Selain itu, Pak Gubernur mudah saja bekerjasama dengan investor asing dan merekrut tenaga kerja asing untuk mengerjakan proyek-proyek pembangunan di daerahnya—yang semestinya bisa dikerjakan oleh investor dan tenaga kerja lokal.

Padahal, faktanya, Pak Gubernur tidak seperti yang dibicarakan teori konspirasi itu. Pak Gubernur bukan mempersulit pengajuan kredit modal usaha, tapi mencegah banyaknya kredit macet yang merugikan bank/lembaga keuangan akibat peminjam tidak bisa mengembalikan pinjaman.

Pak Gubernur memang mengizinkan pembangunan mall-mall baru dan toko waralaba berjejaring, tapi lokasi pendiriannya sudah dipertimbangkan karena menyasar kompleks pemukiman elit dan jauh dari lapak pelaku usaha kecil menengah.

Sementara untuk investor dan tenaga kerja asing, kebijakan itu hanya diambil pada segelintir proyek saja yang membutuhkan penanganan cepat, transparan, kredibel, dan harus teruji secara mutu. Investor asing lebih dipercaya karena reputasi, profesionalitas, kualitas produk, dan sisi permodalannya yang sehat.

Begitu pula dengan tenaga kerja asing, lebih dipercaya karena etos kerjanya, kemahiran teknik, dan yang terpenting memiliki mentalitas antikorup—sesuatu yang tidak bisa Pak Gubernur dapatkan jika memakai investor dan tenaga kerja lokal.

Sayangnya, meski faktanya Pak Gubernur persis seperti uraian tersebut, teori konspirasi bekerja dengan cara menggerus kepercayaan masyarakat kepada beliau. Teori konspirasi yang berhembus diedarkan secara masif lewat media sosial dan broadcast message (pesan berantai).

Sampai akhirnya, pada satu titik, masyarakat lebih percaya pada teori konspirasi daripada fakta. Mereka yakin bahwa Pak Gubernur adalah antek asing yang sedang menjalankan misi "pembunuhan ekonomi wong cilik". Akibatnya, Pak Gubernur pun tidak lagi dipercaya masyarakat dan kalah pada pemilihan kepala daerah periode berikutnya.

Dan begitulah teori konspirasi bekerja. Masalahnya, teori konspirasi berjalan di ranah abu-abu. Kita tidak pernah bisa memverifikasi kebenarannya 100 persen. Meski kita memiliki sederet fakta atau setumpuk bukti, kita tidak bisa membuat sebuah teori konspirasi menjadi kebenaran mutlak. Paling banter, kita hanya bisa mendiskusikannya.

Dalam teori konspirasi UFO misalnya. UFO atau "benda-asing-tak-dikenal" diyakini sebagai pesawat alien dari galaksi lain yang ingin menginvansi bumi. Di internet, kita bisa menemukan ribuan foto (yang diduga) penampakan UFO. Kita juga bisa menemukan cerita-cerita (yang katanya) ditulis oleh mereka yang pernah melihat UFO.

Teori konspirasi UFO menduga bahwa segala kerusakan, kekacauan, dan peperangan di bumi, disebabkan oleh ulah makhluk luar angkasa tersebut. Sayangnya, meski foto atau cerita kesaksian tentang UFO terus beredar, fakta keberadaan UFO itu sendiri masih menjadi misteri—sampai sekarang.

Bagi saya sendiri, teori konspirasi merupakan "hiburan fiksi" yang menarik. Ya, hanya sebatas hiburan saja. Karena memang orang awam akan kesulitan menemukan jejak bukti apapun untuk mengungkap kebenarannya. 

Memperdebatkan atau mengulik lebih dalam tentang teori konspirasi, hanya akan membuat kita kelelahan. Lagipula, apapun kesimpulan yang kita dapatkan dari pencarian itu, orang lain belum tentu akan percaya.

Karena, sekali lagi, kebenaran teori konspirasi memang bergerak di ranah abu-abu. Boleh jadi benar, boleh jadi tidak. Kalaupun saya percaya pada salah satu teori konspirasi, saya tidak akan memaksa orang untuk percaya.

Dulu, saat masih kuliah, saya sempat percaya teori konspirasi seputar organisasi bawah tanah seperti Illuminati atau Freemason. Organisasi itu diduga menyusup ke jaringan pemerintahan di seluruh negara dan mencoba mengendalikan dunia beserta semua urusannya. Saya sempat percaya, segala kebusukan dan kemelaratan perekonomian di negara berkembang adalah ulah Illuminati dan Freemason.

Tapi, semakin saya berumur, saya malah jadi kasihan pada Illuminati dan Freemason. Para penghembus teori konspirasi seakan-akan terjebak dalam generalisasi konyol dan mengkambinghitamkan organisasi rahasia tersebut dalam segala masalah.

Padahal, yang sebenarnya terjadi, isu konspirasi hanya trik politis/pengalih isu untuk lari dari tanggung jawab. Bahkan organisasi rahasia itu betulan ada, atau hanya rekaan fiktif tidak ada yang tahu pasti.

Tapi, bagi para penganut teori konspirasi, segala kesemrawutan tatanan kehidupan ini akan dikait-kaitkan dengan ulah organisasi bawah tanah (rahasia) yang sangat mbuh dan samar-samar itu.

Kalau ada krisis ekonomi, yang dipikirkan pertama kali "Wah, ini pasti ulah Freemason…". Kalau ada perang atau wabah penyakit, yang terceletuk: "Biang keroknya pasti Illuminati, nih…" dan seterusnya.

Karena itu, mengurusi tetek bengek teori konspirasi ibarat memindah air dengan tangan kosong. Hanya membuat lelah tanpa hasil. Alih-alih, kesan yang saya tangkap dari para penghembus teori konspirasi adalah: organisasi rahasia hanyalah "kambing hitam" pengalih isu atas ketidakmampuan dan ketidakberdayaan suatu pihak dalam menangani krisis.

***

Dan hari ini, di tengah pandemi virus Corona, salah satu pihak yang menjadi sasaran tembak penganut teori konspirasi adalah Bill Gates. Ya, Bill Gates yang itu—jenius komputer, pendiri Microsoft, dan mantan orang terkaya di bumi (yang mungkin akan tetap paling kaya jika kita berhenti memakai Windows bajakan).

Setelah mengundurkan diri dari Microsoft pada tahun 2000, Bill Gates memang aktif dalam berbagai kegiatan filantropi—salah satunya melalui lembaga amalnya Bill&Melinda Gates Foundation. Lembaga tersebut bergerak di bidang pendidikan, penanganan penyakit menular, dan pengentasan kemiskinan di negara berkembang.

Tahun 2015 lalu, Bill Gates pernah berbicara dalam acara TED Talks tentang ancaman wabah penyakit di masa depan. Beliau membahas masalah tersebut dengan berkaca pada wabah Ebola yang menyerang negara-negara di kawasan Afrika Barat pada tahun 2013-2014. Wabah tersebut memang tidak sampai menjadi pandemi global. Meski begitu, jumlah korbannya mencapai 11 ribuan orang.

Bill Gates pun menyampaikan kekhawatirannya jika di masa mendatang akan terjadi wabah penyakit yang lebih parah. Hal tersebut sangat mungkin terjadi, sekaligus beresiko tinggi karena sejauh ini, banyak negara—terutama negara-negara berkembang—yang tidak memiliki layanan kesehatan yang memadai. Jika sebuah wabah penyakit terjadi, kurangnya layanan kesehatan yang memadai akan memperparah penyebaran penyakit hingga berpotensi menjadi pandemi global.

Apesnya, prediksi Bill Gates tentang wabah penyakit malah terjadi betulan pada tahun 2020. Virus Corona jenis baru (SARS CoV-2) menyebar luas di seluruh dunia dan menjadi pandemi global seketika. Jutaan orang terpapar virus Corona dalam hitungan bulan saja.

Orang-orang pun mulai mengkait-kaitkan pandemi ini dengan pernyataan Bill Gates dalam acara Ted Talks sebelumnya. Apalagi, lembaga amal milik Bill Gates, Bill&Mellinda Gates Foundation, salah satunya memang bekerja di sektor kesehatan dan penanganan penyakit menular.

Ketika Bill Gates mendonasikan ratusan juta dollar untuk riset vaksin Corona, prasangka orang malah semakin menjadi-jadi. Teori konspirasi segera berhembus, seperti kentut diterpa topan tropis.

"Bagaimana mungkin Bill Gates bisa ngoceh soal wabah, lalu beberapa tahun kemudian wabah yang sebenarnya terjadi—kecuali dia sendiri yang merekayasanya…"

"Bill Gates pastilah orang yang merencanakan virus laknat ini…"

"Diam-diam, Bill Gates sudah punya vaksin Corona dan akan menjualnya ke penawar tertinggi…"

"Bill Gates ikutan donasi riset vaksin? Itu sih cuma gimmick sandiwara. Kan dia sendiri yang bikin Corona…"

"Pokoknya, jangan pakai vaksin-vaksin bikinan yayasannya Bill Gates. Di vaksin itu ada microchip yang diam-diam ditanamkan di dalam tubuh untuk mengintai aktivitas penduduk dunia…"

Dan begitulah, teori-teori konspirasi seputar virus Corona berkelindan menyerang Bill Gates. Tapi, seperti halnya teori konspirasi pada umumnya, kebenaran setiap teori selalu bergerak di ranah abu-abu. Tidak pernah ada bukti konkret yang menunjukkan bahwa lembaga milik Bill Gates yang merekayasa virus. Tidak ada fakta apapun yang menunjukkan keterkaitan antara donasi Bill Gates dan penimbunan vaksin untuk bisnis.

Meski begitu, masyarakat awam terlanjur terbawa arus informasi. Media sosial dan broadcast messages mempercepat penyebaran teori konspirasi tanpa batas. Dan di tengah pandemi virus Corona ini, Bill Gates-lah sasaran tembak para penyebar teori konspirasi.

Orang mungkin berpikir bahwa menjadi penyebar teori konspirasi adalah sesuatu yang "keren". Hal itu membuat dirinya terlihat smart karena mengetahui sesuatu yang hanya diketahui segelintir orang. Padahal, teori konspirasi bukanlah kebenaran mutlak. Salah-salah, penyebar teori konspirasi malah bisa terjerumus dalam tindakan penyesatan massa dan pencemaran nama baik.

Alangkah bijaknya, jika kita menahan diri dari menyebar teori konspirasi yang tidak jelas juntrungnya itu. Lagipula, sejujurnya, tidak ada manfaat yang jelas dari sebuah teori konspirasi, kok. Teori itu tak lebih dari sekedar " hiburan fiksi" yang menarik untuk didiskusikan atau mungkin diobrolkan saja sambil ongkang-ongkang ngopi.

Dalam konteks konspirasi Bill Gates dan virus corona ini, kalaupun benar Bill Gates adalah dalang dalam rekayasa virus Corona, siapa yang bisa membeberkan bukti dan fakta otentik tentang hal itu? Siapa yang bisa mengusut tuntas kasusnya lalu menyeret seorang Bill Gates ke pengadilan? Bisakah orang awam seperti kita membongkar kedok bisnis vaksin dalam penanganan pandemi Corona ini? Dan yang paling penting, bagaimana orang-orang bisa mempercayai kebenaran teori yang kita ajukan?

Pikirkan juga, bagaimana jika teori konspirasi yang terlanjur kita sebarkan sampai berbusa-busa itu ternyata KELIRU?

Bagaimana jika teori konspirasi—yang kita pamerkan agar kita dianggap paling berwawasan itu—ternyata tidak sesuai dengan fakta? Bagaimana jika pandemi virus Corona ini sama sekali tidak berhubungan dengan Bill Gates dan lembaga amalnya? Bukankah kita malah malu sendiri jadinya? Bukankah kita—dengan sepenuh kesadaran—terang-terangan terlibat dalam tindakan penyesatan massa dan pencemaran nama baik?


Lagipula, memperdebatkan teori konspirasi Bill Gates dan virus Corona ini benar-benar melelahkan tanpa manfaat apapun. Memperdebatkan masalah ini sampai mulut berbusa-busa tidak akan membuat virus Corona lenyap.

Kita bisa mendiskusikan segala konspirasi yang mungkin terjadi di balik penyebaran virus Corona. Tapi, pada saat kita sibuk berargumen dan berdebat kusir, di luar sana, masih banyak orang yang rentan tertular virus dan berpotensi menambah panjang daftar korban jiwa.

Well, mungkin kita perlu mengingat nasehat terkenal Sherlock Holmes karangan Sir Arthur Conan Doyle:

"Adalah kesalahan besar untuk berteori sebelum memiliki data."

Karena memang yang seharusnya kita lakukan adalah mempercayai teori berdasarkan fakta yang terverifikasi. Bukan malah sebaliknya, memelintir fakta seenak jidat sekena dengkul agar sesuai dengan teori (atau sekedar asumsi kita semata).

Teruntuk Om Bill Gates, "Panjenengan kedah sing sabar nggih…"[]


June 11, 2020Benny Prastawa

Friday, June 5, 2020

Seberapa Siapkah Kita Menghadapi Wabah?



Sudah dua bulan lebih pembatasan sosial dilakukan untuk mencegah perluasan virus Corona. Tak terhitung berapa banyak masyarakat yang terdampak, baik secara sosial, kesehatan, maupun ekonomi. Buruh-buruh ter-PHK tanpa pesangon. Pengusaha-pengusaha gulung tikar. Sekolah-sekolah masih terus diliburkan. Pasar-pasar dilarang buka. Sementara rumah sakit kian kewalahan menangani lonjakan jumlah pasien Corona yang belum menunjukkan tanda-tanda berhenti.

Jika kondisi ini dibiarkan berlarut-larut, semua lini kehidupan masyarakat akan terkena dampaknya. Kondisi serba kacau dan rusuh (chaos) mungkin saja terjadi. Di satu sisi, masyarakat sudah jenuh berdiam diri di rumah—terlebih bagi mereka yang menganggur. Kalau harus memilih, mereka akan mengabaikan resiko tertular virus asal bisa bekerja mendapat penghasilan, daripada berdiam di rumah (entah sampai kapan) dengan resiko krisis finansial jangka panjang. Bagaimanapun, urusan dapur juga perlu dipikirkan agar tetap mengepul.

Di sisi lain, untuk menutupi semua kalkulasi kerugian, pemerintah sudah menganggarkan lebih dari 1400 trilliun rupiah. Sulit membayangkan dari mana pemerintah mendapat dana sebesar itu. Apakah dari "sedekah" warga negaranya yang taat membayar pajak, apakah dari donasi rekening gendut para pejabat, apakah dari pengurangan gaji seluruh aparatur negara, atau malah dari hasil ngutang lembaga keuangan internasional macam Bank Dunia dan IMF—tidak ada yang tahu pasti (dan bukan urgensi kita untuk tahu). Yang jelas, pemerintah memang harus menyediakan anggaran, sebanyak yang bisa disiapkan, setidaknya sampai pandemi ini berakhir.

Ibarat orangtua yang mendapati anaknya sakit parah. Berapa pun biaya pengobatannya tetap akan mereka tebus. Repotnya, "anak" yang harus dipikirkan nasibnya ini jumlahnya lebih dari 250 juta jiwa. Lokasinya pun tersebar di antara pulau-pulau berbatasan laut lepas nan luas. Tidak ada solusi mudah menangani "keluarga" sebesar ini di tengah badai pandemi.

Amerika Serikat, negeri adidaya di seberang Pasifik itu, saat ini sudah mulai kolaps mencegah chaos di antara warga negaranya. Lebih dari 1,5 juta warganya terpapar virus dan 90an ribu orang tewas. Kebijakan pembatasan sosial (social distancing) dan lockdown sudah diambil untuk menekan penyebaran virus. Tapi warga tidak bisa dipaksa terus-terusan berdiam di rumah. Orang-orang tetap butuh mencari uang dan roda perekonomian harus kembali berputar jika tidak ingin terjadi krisis. 

Kondisi yang dialami Amerika Serikat tidak jauh beda dengan negara-negara berkembang yang juga kewalahan menangani pandemi Corona. Benarlah apa yang pernah dikhawatirkan Bill Gates bahwa kita tidak akan siap jika sebuah pandemi melanda. Tak peduli kita di negara maju atau negara berkembang.

Hal itu diutarakannya dalam acara TED Talks (2015). Kekhawatiran Bill Gates bermula setelah virus Ebola mewabah di kawasan Afrika barat sekitar tahun 2013-2014 lalu. Wabah tersebut cukup mengkhawatirkan dan telah merenggut tidak kurang dari 11ribu korban jiwa. Butuh waktu setahun lebih untuk menangani wabah tersebut sampai dinyatakan berakhir.

Dunia boleh dibilang "beruntung" karena sebaran Ebola terparah terlokalisasi di Afrika barat. Keterbatasan akses transportasi dan kondisi geografis yang mengisolasi benua itu dari dunia luar, secara tidak langsung mencegah menyebarnya virus secara massif ke seluruh dunia. Bayangkan, jika virus Ebola pertama kali mewabah di Cina—seperti halnya virus Corona. Dengan semilyar lebih jumlah penduduk serta akses transportasi yang luas, mudah saja bagi virus jenis apapun untuk menyebar dari Cina ke berbagai penjuru dunia.

***

Berabad-abad lalu, dua pertiga populasi Eropa pernah musnah karena terjangkit wabah "Maut Hitam" (Black Death). Wabah Black Death (sekarang disebut penyakit pes) menyebar luas ketika ilmu kedokteran dan pengobatan medis belum semaju sekarang. Antibiotik belum ditemukan. Vaksin belum ada. Pengetahuan tentang bakteri penyakit pun nihil.

Warga Eropa masih mengira penyakit itu disebabkan oleh kutukan roh jahat atau hukuman tuhan atas kedurhakaan manusia—semacam itulah. Karenanya, logis jika Black Death hampir memusnahkan seluruh populasi manusia di Eropa saat itu di tengah keterbatasan ilmu kedokteran dan pengobatan medis yang ada.

Memasuki abad 20, dunia kembali bergelut dengan wabah baru bernama Flu Spanyol (1918). Dengan pola interaksi manusia yang lebih intens lewat jalur dagang internasional, wabah flu Spanyol menyebar dengan cepat ke berbagai penjuru dunia. Dan sekali lagi, ilmu kedokteran dan pengobatan medis saat itu masih memiliki keterbatasan dalam menanganinya. Meski secara umum vaksin sudah ditemukan sejak 1778 (vaksin cacar), vaksin khusus untuk flu Spanyol belum ada saat itu. Diperkirakan 50-100 juta orang di seluruh dunia tewas akibat flu Spanyol.

Peperangan antara manusia dan wabah penyakit terus berlanjut. Polio, cacar, tetanus, difteri, campak, dan ebola adalah beberapa contoh penyakit yang terus-menerus kita hadapi. Hanya bedanya, kita sudah mulai bisa beradaptasi dan ilmu kedokteran semakin maju. Hal ini membantu proses penelitian setiap jenis penyakit sampai ke level pengobatan. Sampai akhirnya, ilmu kedokteran melompat jauh dengan penemuan antibiotik (1928) dan teknologi vaksin untuk pengobatan berbagai jenis penyakit akibat virus.

Sayangnya, betapapun kencangnya manusia beradaptasi dan berinovasi di bidang medis, kita tidak pernah bisa mencegah terjadinya wabah-wabah baru. Berkaca dari sejarah, selalu ada kemungkinan terjadinya wabah-wabah baru di masa mendatang. Wabah-wabah itu bisa disebabkan oleh penularan bakteri jahat maupun mutasi virus dari jenis virus yang pernah ada sebelumnya.

Buktinya, sejak memasuki milenium baru, wabah demi wabah silih berganti menjangkiti manusia. Tahun 2003, dunia harus menghadapi wabah sindrom pernapasan akut bernama SARS. Tahun 2007 dan 2009, giliran wabah flu burung dan flu babi yang mengancam nyawa manusia. Tahun 2012, wabah MERS dari kawasan Timur Tengah membuat kawasan itu untuk sementara tidak aman dikunjungi.

Setelahnya, pada tahun 2013, virus Ebola menjangkiti negara-negara Afrika barat dan menelan lebih dari 11 ribu korban jiwa. Tahun 2016, demam Zika mengancam kelompok ibu-ibu hamil di kawasan Amerika Selatan, Tengah, Asia, dan Pasifik tropis. Dan kini, tahun 2020, dunia kembali harus berhadapan dengan wabah baru yang belum ada vaksinnya bernama virus Corona.

Lalu, berapa banyak negara yang benar-benar siap dan mengalokasikan lebih banyak anggaran untuk mengantisipasi terjadinya wabah baru?

Berkaca dari pandemi Corona saat ini, banyak negara yang terkesan tidak siap menanggulangi wabah baru. Segala kebijakan penanganan diambil secara mendadak. Padahal, wabah tidak hanya berdampak pada kesehatan masyarakat, tapi juga melumpuhkan sektor-sektor kehidupan lain seperti sektor ekonomi dan sosial. Seyogyanya, setiap negara menyiapkan protokol khusus jika sebuah wabah baru terjadi—termasuk rencana anggarannya.

Memang ada negara-negara maju seperti Jepang, Kanada, Amerika Serikat, Inggris, Italia, Swedia, dan Jerman, yang mengalokasikan milyaran dollar untuk keperluan riset medis dan penanganan penyakit. Tapi, apakah alokasi tersebut merupakan prioritas? Apakah anggaran untuk riset medis dan penanganan penyakit lebih besar nilainya daripada anggaran untuk sektor ekonomi dan militer, misalnya?

Ironis memang, mengingat ancaman terjadinya wabah sama konkritnya dengan ancaman badai tornado atau gempa bumi. Nyatanya, hampir semua negara cenderung berfokus pada pembangunan infrastruktur dan perbaikan sektor ekonominya. Sebagian negara malah menganggarkan lebih banyak dana untuk memperkuat sektor militernya, membangun sistem anti rudal super canggih, membiayai dinas intelijen, dan sejenisnya—takut sekali jika ada sindikat teroris atau selusin jet tempur asing yang menyerang negaranya. Akan tetapi, begitu sebuah wabah baru melanda, "rudal-rudal" tersebut tidak mampu mengatasinya sama sekali.

***

Kemajuan ilmu kedokteran dan teknologi medis saat ini, sepertinya membuat kita cenderung pongah dan menggampangkan wabah. Kita bersikap seakan-akan semua penyakit sudah ada obatnya, tak perlu risau. Para dokter sudah berhasil mengatasi penyakit-penyakit mematikan seperti kanker, jantung koroner, atau diabetes. Penyakit-penyakit akibat virus juga sudah banyak yang ditemukan vaksinnya. Hal ini membuat kita abai terhadap ancaman terjadinya wabah baru yang sewaktu-waktu bisa terjadi.

Diam-diam, begitu virus SARS-CoV-2 merebak, wabah Corona pun menampar umat manusia seketika. Orang-orang yang tertular segera membanjiri kompleks rumah sakit. Para pasien dengan riwayat komplikasi semakin menderita karena virus memperparah penyakitnya. Tenaga medis kewalahan karena keterbatasan jumlah personel dan alat-alat medis yang diperlukan. Sementara itu, daya tampung rumah sakit juga terbatas. Situasi semakin sulit mengingat wabah yang mereka hadapi belum pernah dialami siapapun sebelumnya. Tidak ada satu pun obat penawar yang bisa menuntaskan gejala penyakit seketika.

Di titik ini, segala kemajuan medis yang dibangga-banggakan mendadak raib. Para ahli dan ilmuwan kesehatan harus berhenti sejenak untuk mempelajari jenis virus baru yang mewabah, melacak asal-usul/galur virus, melakukan serangkaian uji coba, sampai akhirnya menemukan vaksin yang bisa dipakai melawan virus tersebut.

Di tengah situasi sulit itu, pemerintah dipusingkan oleh krisis di segala bidang kehidupan masyarakat. Kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah tidak pernah mudah, karena selalu dihadapkan pada posisi dilematis. Di satu sisi, pemerintah ingin menyelamatkan sebanyak mungkin warganya dari ancaman pandemi. Tapi, di sisi lain, pemerintah juga tidak bisa membiarkan sektor perekonomian warganya terus-terusan terpuruk dihajar pandemi.

Pandemi virus Corona yang terjadi saat ini tentu harus kita jadikan pelajaran bersama, bagaimana menyikapi sebuah wabah. Kita harus sadar bahwa ancaman keamanan sebuah negara tidak hanya berupa ancaman terorisme, rudal, nuklir, atau bencana alam semata. Ada musuh-musuh tak kasat mata seperti bakteri jahat dan virus yang siap membuat kegaduhan baru dalam kehidupan umat manusia.

Alangkah bijaknya, jika setelah pandemi Corona ini, kita sudah cukup belajar mempersiapkan diri, menjaga kesehatan tubuh, menata alokasi anggaran, serta mengantisipasi segala kondisi darurat yang mungkin terjadi akibat pandemi. Kita pun hanya bisa berharap, semoga ilmu kedokteran dan pengobatan medis di masa mendatang lebih siap mengantisipasi terjadinya wabah baru, sehingga krisis multidimensional seperti yang kita hadapi saat ini tidak akan terjadi lagi.[]

June 05, 2020Benny Prastawa