Sunday, May 3, 2020

Kebutuhan Perut dan Keinginan Lidah saat Berbuka



Makanan yang paling enak adalah makanan yang kita makan ketika kita betul-betul merasa lapar. Terlepas dari menu makanan dan selera lidah kita masing-masing, semua pasti setuju jika makan ketika perut kelaparan akan terasa jauh lebih enak dibanding dengan makan ketika perut sebenarnya tidak terlalu lapar. Begitu pula dalam konteks minuman yang paling enak.

Sebagai contoh, bagi kebanyakan orang, pizza atau roti brownis memang enak. Tapi, bayangkan, bagaimana jika kalian makan pizza atau roti brownis setelah kekenyangan tiga porsi nasi pecel dan bakso beranak ukuran jumbo? Apakah kadar "enak" makanan pizza dan roti brownis tadi masih tetap sama?

Disadari atau tidak, ibadah puasa melatih kita untuk menata ulang pemahaman tentang esensi “makanan enak”, keinginan lidah, dan kebutuhan perut. Selama ini, kita berpikir bahwa makan itu urusan perut. Jika perut sedang lapar, kita tergerak mencari sesuatu untuk dimakan agar kenyang—normalnya begitu. Jadi, pada dasarnya, kebutuhan perut hanya satu: kenyang.

Tapi, kita sering lupa, bahwa sebelum mencapai perut, ada sekerat daging di rongga mulut yang kebutuhannya tidak hanya sekedar "kenyang"—tapi juga apa yang disebut dengan "enak", "lezat", "gurih", "manis", "delicious", dan sejenisnya. Dorongan keinginan lidah inilah yang sering membuat kita bingung memilih menu. Jika kita fokus pada kebutuhan perut (kenyang), kita tidak akan bermasalah harus makan di warung makan manapun. Karena yang terpenting, perut bisa kenyang.

Sementara jika kita fokus pada keinginan lidah, ada lebih banyak pertimbangan yang harus dipikirkan. Menunya apa, harganya berapa, rasanya bagaimana, dan seterusnya. Tapi jika kita fokus pada keduanya (keinginan lidah dan kebutuhan perut), yang terjadi kemudian adalah membengkaknya pengeluaran kita dalam tempo sekali makan.

Apa hubungannya dengan puasa?

Saat berpuasa, normalnya kita akan merasa lapar. Rasa lapar—sejatinya—adalah dorongan kebutuhan perut (bukan lidah). Perut kita sebenarnya tidak akan protes jika nanti hanya disantuni dengan nasi pecel atau dua tiga kerat gorengan di angkringan. Tapi, yang sering terjadi, begitu bedug Maghrib tiba, kita mendadak alpa pada kebutuhan perut, lalu mencampuradukkannya dengan keinginan lidah. Keinginan lidah inilah yang akhirnya mendorong kita untuk berbuka dengan segala hidangan yang enak, lezat, gurih, manis, dan segala cita rasa lain yang dinginkan lidah.

Secara ekonomis, perut kita tidak selalu meminta kita untuk membayar banyak, karena yang terpenting adalah kenyang. Tapi, karena kita punya lidah yang permintaannya macam-macam, kita tergoda untuk memenuhi semua keinginannya dengan makanan yang enak, lezat, gurih, manis, mewah, asem, pedas, dan sejenisnya. Anggaran belanja pun membengkak dan tanpa sadar kita menjadi lebih boros karenanya. Dengan kata lain, dorongan keinginan lidah inilah yang acapkali mengurasi isi dompet kita—bukan dorongan kebutuhan perut. Perut kita hanya minta dibikin kenyang agar tidak merasa lapar. Cukup. Sesederhana itu.

***

Membahas urusan ini mengingatkan saya semasa masih bocah dulu, ketika berbuka puasa di rumah Guru ngaji saya (selanjutnya disebut Guru saja). Jadi ceritanya, saat itu, di surau tempat saya biasa mengaji, ada kegiatan buka bersama. Meski saya biasa mengaji di sana, saya tidak rutin mengikuti acara buka bersama karena lokasi surau yang cukup jauh dari rumah saya. Saya biasa buka bersama sendiri bersama keluaga di rumah. Tapi suatu hari, karena penasaran, saya iseng saja ikut buka bersama di surau.

Dari rumah, saya sendirian mengikuti acara itu. Bocah-bocah lain di sekitar komplek rumah tidak ada yang ikut. Mungkin karena lokasi surau yang cukup jauh di perbatasan kampung dan jalanan yang gelap pada malam hari (saat itu, belum semua sudut kampung teraliri listrik).

Awalnya, saya ingin pulang setelah sholat Maghrib berjamaah. Tapi saat akan pulang, listrik di kampung saya malah padam. Bocah-bocah lain yang ikut buka bersama sudah menghambur pulang ke rumah masing-masing. Guru—yang tahu rumah saya cukup jauh—menawari saya berbuka di rumah beliau. Berhubung saat itu tidak ada bocah lain, saya pun menyanggupi ajakan Guru.

Rumah Guru tidak jauh dari surau—sekitar lima menit berjalan kaki. Bangunan rumah Guru tergolong sederhana dengan dinding anyaman bambu. Pada masa itu, rumah beranyam bambu banyak dijumpai di kampung saya. Jadi, saya pun sudah terbiasa dengan model bangunan semacam itu.

Setelah dipersilahkan masuk, Guru menyuguhkan segelas teh hangat pada saya. Temaram lampu teplok (sejenis lampu dinding tradisional berbahan bakar minyak tanah) menjadi satu-satunya penerangan di ruangan itu. Sejurus kemudian, Guru datang membawa hidangan-hidangan berbuka dan menaruhnya di meja.

Berhubung saya lapar, saya langsung melahap hidangan yang ada. Sampai saya menyadari, sayur yang Guru hidangkan tidak memakai penyedap. Hambar. Mungkin hanya ditambahkan sedikit garam. Sebelumnya, saya memang tidak pernah melahap sayur hambar tanpa rasa.

Di rumah, saya terbiasa makan dengan tambahan penyedap atau yang manis-manis. Ibu saya paham, jika saya—yang susah makan—hanya dapat menikmati jenis makanan semacam itu. Akan tetapi, demi menghormati Guru, saya tetap melanjutkan makan meski kurang nyaman dengan menu yang dihidangkan. (Kelak, saya baru tahu jika ada jenis orang tertentu yang memiliki pantangan memakan menu tertentu karena alasan kesehatan—misalnya makanan yang mengandung penyedap, gula, atau bahan-bahan yang memicu alergi).

Tentu saja saya tidak bermaksud merendahkan Guru dengan mengolok-olok hidangan tadi. Saya hanya mengungkapkan keadaan saya dengan segala “kebocahan” lidah saya saat itu. Alih-alih sejak momen buka puasa di rumah Guru, pandangan saya tentang makanan berubah total.

Saya menjadi sadar, jika ada orang lain yang menu makanannya "tidak enak" (saya beri tanda kutip karena maksud saya bukan untuk mengejek atau merendahkan menu makanan Guru dalam konteks catatan ini). Ada segelintir orang (bahkan banyak orang) yang karena alasan kesehatan atau karena masalah keuangan terpaksa menyantap menu makanan yang "tidak enak"—bahkan tidak bisa makan sama sekali.

Banyak pelajaran yang saya petik dari momen buka puasa di rumah Guru. Segala yang saya saksikan di sana, lebih dari sekadar hidangan berbuka semata, melainkan nilai-nilai kesederhanaannya, rasa tawadhu’ dan keikhlasan penerimaan seorang hamba atas segala rizki yang telah Tuhan berikan. Semua itu menyadarkan diri untuk tidak mencela hidangan apapun yang sudah tersaji di meja—tentu saja selama hidangan itu halal dan thayyib. Karena di luar sana, di sudut-sudut terpencil bumi ini, ada Saudara-Saudara kita yang tengah dihimpit keterbatasan, yang bahkan untuk makan sehari-hari pun belum tentu ada.

Itulah salah satu semangat egalitarianisme ibadah puasa yang semestinya bisa mengetuk empati kita, yakni untuk sama-sama merasakan keterbatasan orang lain. Karena mengusung semangat egalitarianisme, momen buka puasa mestinya kita lakukan dengan sewajarnya, sekadarnya, dan seadanya. Momen buka puasa juga mestinya kita lakukan dengan penuh perenungan diri dan rasa syukur atas rezeki yang Tuhan beri. Bukan malah sibuk berbuka-pora, dengan meluapkan segala keinginan lidah, selezat-lezatnya dan kemauan perut, sekenyang-kenyangnya. Ironis.[]


Saturday, May 2, 2020

Ujian Kemanusiaan di Tengah Pandemi Corona


Pernah dengar kota Guayaquil? Belum? Saya juga. Sampai kemudian muncul berita mayat-mayat korban virus Corona yang berserakan di pinggir jalan. Kota Guayaquil di Ekuador mendadak menjadi bahan pemberitaan media internasional karena kejadian tersebut.

Di kota itu, mayat-mayat korban virus Corona dibiarkan teronggok di pinggir jalan tanpa penanganan apapun. Warga setempat tidak tahu harus berbuat apa untuk mengevakuasi mayat-mayat itu karena takut tertular virus serta tidak adanya alat pengamanan diri yang memadai. Mayat-mayat yang terserak di pinggir jalan itu pun menjadi pemandangan horor tersendiri di Kota Guayaquil.

Masih di Ekuador—selain di pinggir jalan, ada pula kasus mayat-mayat korban virus Corona yang ditumpuk di toilet rumah sakit. Tindakan tersebut terpaksa dilakukan karena kapasitas kamar mayat rumah sakit sudah penuh. Pihak rumah sakit juga dibuat kewalahan dengan masifnya pertambahan pasien Corona setiap harinya. Sementara itu, jumlah petugas medis yang bisa mengevakuasi mayat juga terbatas. Akibatnya, mayat-mayat yang tidak tertampung di kamar mayat rumah sakit terpaksa dialihkan ke toilet—atau dibiarkan teronggok begitu saja di pinggir jalan.

Ekuador sendiri merupakan salah satu negara di Amerika Latin yang terdampak virus Corona paling parah. Pemerintah Ekuador menyebutkan jumlah korban virus Corona di sana sekitar 23.000 orang dengan 600-an lebih meninggal. Jumlah ini masih sangat mungkin bertambah seiring dengan laju pertambahan pasien Corona yang belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti.

Beralih ke dalam negeri. Awal Maret 2020, pemerintah Indonesia merencanakan adanya rumah sakit khusus untuk mengkarantina pasien Corona di Pulau Galang, Riau. Akan tetapi, kebijakan itu sempat mendapat penolakan warga. Meski saat itu pandemi Corona belum sebanyak sekarang, warga khawatir akan terjangkit virus  jika ada pasien Corona yang dikarantina di pulau tersebut. Pada akhirnya, setelah dimediasi, rencana pemerintah menjadikan Pulau Galang sebagai tempat karantina pasien Corona tetap berjalan.

Dalam kasus ini, kecemasan warga Pulau Galang bisa dipahami mengingat saat itu pemberitaan seputar keganasan virus Corona sedang marak. Virus tersebut dikabarkan telah melumpuhkan kota Wuhan di Cina, membuat lockdown seisi Italia, dan menjalar ke berbagai benua dalam hitungan hari saja. Siapapun tentu akan risau jika salah satu sudut kampungnya dijadikan tempat karantina. Jangan-jangan, virus Corona malah menjangkiti semua orang yang ada di sana.

Well, sampai batas tertentu, saya masih bisa memaklumi dua kasus tersebut.

Tapi, anehnya, begitu pandemi Corona benar-benar mewabah di Indonesia dan merenggut ratusan nyawa, tersiar kabar adanya penolakan jenazah korban virus Corona oleh warga.

Diberitakan bahwa di beberapa daerah, sempat ada kejadian iring-iringan ambulans pengangkut jenazah tiba-tiba dihadang oleh sekelompok warga yang tidak setuju dengan pemakaman jenazah itu. Warga takut jenazah korban virus Corona yang dimakamkan di kampung setempat akan membawa wabah baru. Meski petugas sudah meyakinkan bahwa prosedur penguburan jenazah aman dan sesuai protokol WHO (organisasi kesehatan dunia), warga tetap bersikeras menolak.

Dari sini, saya mulai bingung.

Jika Ekuador kelimpungan mengurusi jenazah karena keterbatasan petugas evakuasi, kita di sini kelabakan karena jenazah yang sudah siap kubur malah ditolak warga setempat. Padahal, di antara jenazah-jenazah itu, ada pula jenazah dokter dan tenaga medis yang berkorban nyawa demi menyelamatkan para pasien yang terjangkit virus Corona.

Orang-orang mengandalkan jasa mereka—para dokter dan tenaga medis itu—untuk menyelamatkan korban Corona. Bagaimana bisa ada segelintir orang yang setega itu menolak jasad mereka?

Saya tidak akan banyak berpurbasangka tentang alasan penolakan tersebut. Kurangnya sosialisasi, maraknya informasi yang keliru (hoax), ditambah ketakutan (paranoia) warga mungkin menjadi penyebab utamanya. Kombinasi ketiga faktor itu saja sudah cukup untuk menyulut tindakan provokatif seperti menolak pemakaman jenazah korban virus Corona.

Beberapa hari lalu, di RSUP Dr. Sardjito, Jogja, ada pasien yang tidak jujur dalam memberikan informasi terkait anggota keluarganya yang terkena Corona. Akibatnya, 53 tenaga medis di rumah sakit itu harus dikarantina karena ternyata pasien tersebut terindikasi sudah terpapar virus Corona dari anggota keluarganya.

Yang lebih parah lagi, ada pasien-pasien positif Corona yang memilih kabur dari rumah sakit. Bukannya sadar butuh dirawat, alih-alih mereka malah kabur sehingga berpotensi menulari banyak orang. Entah apa yang ada di benak para pasien yang kabur itu.

Rentetan "kasus-kasus konyol" tersebut, mestinya membuat kita bertanya-tanya apa yang salah dengan rasa kemanusiaan kita sendiri?

***

Wabah virus Corona ini setidaknya mencerminkan salah satu wajah asli manusia. Ketika suatu bencana atau musibah melanda, manusia akan terdorong untuk (hanya) menyelamatkan dirinya sendiri.

Kalaupun ada orang lain yang ikut diselamatkan, umumnya, itu adalah orang-orang terdekatnya, seperti anak, suami, istri, orangtua, atau siapapun yang kebetulan berada di dekatnya pada saat bencana atau musibah terjadi. Akan tetapi, prioritas utamanya—biasanya—adalah dirinya sendiri. Hal ini menjelaskan kenapa ada sekelompok orang yang sampai hati menyisihkan rasa kemanusiaannya, hanya agar diri sendiri dan orang-orang terdekatnya tidak tertular virus Corona.

Masalahnya, wabah ini memukul semua sektor kehidupan kita. Virus Corona tidak hanya mengancam kesehatan kita, tapi juga mengancam perekonomian kita. Situasi yang kita hadapi pun serba dilematis. Di satu sisi, kita harus menjaga kesehatan kita yang berharga. Tapi pada saat yang sama, kita juga harus melakukan sesuatu agar bisa tetap makan.

Selain itu, virus Corona adalah bencana global. Semua penduduk bumi merasakan akibatnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam situasi seperti ini, jelas sekali bahwa kita tidak akan menang menghadapi wabah ini sendirian! Kita tidak akan bisa mengalahkan wabah ini jika kita hanya berfokus pada keselamatan diri sendiri.

Sebagian orang mungkin merasa "hebat" karena memiliki cukup uang untuk—katakanlah—menyewa dokter pribadi dan menyediakan layanan kesehatan mandiri di rumah. Sebagian lagi merasa aman karena memiliki cukup tabungan dan makanan untuk bertahan hidup selama masa pandemi.

Tapi, ayolah, kita tidak hidup dalam semesta Resident Evil, di mana tokoh Alice bisa survive sendirian ketika umat manusia berubah menjadi zombie-zombie pemangsa. Di dunia nyata, kita membutuhkan kerjasama segenap umat manusia untuk mengatasi wabah global selevel virus Corona.

Lagipula, dunia yang kita tempati sekarang adalah dunia yang mementingkan konektivitas (keterhubungan) dan interdependensi (saling ketergantungan), baik antarindividu, antardaerah, maupun antarnegara. Segala kejadian, bencana, wabah, atau perilaku sekelompok orang di satu tempat, boleh jadi akan mempengaruhi situasi secara global.

Sebagai contoh, jika Amerika Serikat terkena inflasi, maka negara-negara yang berelasi dengannya juga akan bernasib sama. Jika harga minyak di Arab naik, maka harga minyak global pun akan terpengaruh. Atau bahkan misalnya Kongo menghentikan penambangan coltan di negaranya, industri ponsel dunia bakal kolaps seketika (coltan adalah bahan baku baterai ponsel, sementara Kongo memiliki 80 persen cadangan coltan dunia).

Hal ini mungkin terdengar berlebihan. Tapi, kita bisa berkaca dari wabah flu Spanyol yang terjadi pada awal abad ke-20. Saat itu, vaksin dan antibiotik belum ditemukan. Bahkan pengetahuan tentang virus pun belum ada. Akibatnya, lebih dari 50 juta orang di seluruh dunia tewas.

Kita mungkin berpikir, wabah tersebut bisa diatasi andai ilmu kesehatan serta teknologi medis saat itu sudah lebih maju. Tapi, hal yang tidak kalah pentingnya adalah kerjasama kolektif untuk mengatasi wabah secara global.

Kecakapan para tenaga medis, kecerdasan ilmuwan, dan kecanggihan teknologi medis memang sangat penting. Tapi semua itu punya rentang batasnya masing-masing.

Vaksin butuh waktu lama untuk ditemukan—paling cepat setahun. Dokter dan tenaga medis juga tidak serta merta kebal penyakit. Tidak sedikit di antara mereka yang turut meregang nyawa saat menangani pasien virus Corona. Sementara kapasitas rumah sakit dan ketersediaan petugas evakuasi jenazah juga terbatas (ingat, kasus mayat-mayat di jalanan kota Guayaquil yang dijelaskan di awal catatan ini).

Dengan segala keterbatasan tersebut, masyarakat awam perlu melakukan tindakan proaktif demi membantu mempermudah penanganan pandemi virus Corona. Kita harus memandang virus Corona sebagai wabah global sekaligus tanggungjawab bersama. Hal ini bisa dimulai dari lingkup diri sendiri, keluarga, sampai lingkungan sosial terdekat yang masih bisa kita jangkau.

Kita tidak bisa begitu saja bersikap egois dan hanya memikirkan keselamatan pribadi. Sementara pada saat yang bersamaan, kita malah menerabas aturan, himbauan, dan semua protokol kesehatan yang telah ditetapkan.

Tindakan-tindakan seperti menolak jenazah, tidak jujur saat dikarantina, melanggar larangan mudik, kabur dari rumah sakit, bahkan berbuat kriminal di tengah pandemi, semua itu hanya akan memperkeruh situasi yang sudah serba sulit ini. Boleh jadi, ada lebih banyak orang yang akan menderita karena keegoisan kita, daripada yang tercekam ketakutan karena virus Corona.

Jika kita tidak bisa ikut menangani pasien di rumah sakit, tidak bisa menyumbang ide dalam riset vaksin, atau tidak bisa menolong mereka yang terkena PHK, kita bisa tetap membantu—minimal—dengan mematuhi aturan-aturan dan protokol kesehatan yang telah ditetapkan pemerintah untuk menangani pandemi.

Sukur-sukur kalau kita bisa menggerakkan massa untuk membuat program "jaring pengaman sosial", seperti membagi-bagikan sembako, mendirikan lumbung pangan desa, memberi donasi tunai, menyumbang masker gratis, membantu pengadaan alat pengaman diri (APD), dan sejenisnya. Semua kegiatan sosial tersebut sangat penting untuk meringankan beban Saudara-Saudara kita, yang boleh jadi, sedang kesulitan di tengah pandemi Corona.

Karena, yang dibutuhkan saat ini tidak hanya vaksin saja. Kita juga perlu menumbuhkan rasa kemanusiaan kita, sikap empati, perasaan senasib sepenanggungan, dan kesadaran bahwa hakikat manusia selalu hidup bersama serta saling membutuhkan.

Virus Corona mungkin bisa merenggut ratusan ribu nyawa manusia seketika. Tapi, tolonglah, jangan sampai ia juga merenggut rasa kemanusiaan kita sebagai umat manusia.[]

May 02, 2020Benny Prastawa

Friday, May 1, 2020

Pandemi Corona, Sampai Kapan???


Sampai kapan wabah corona ini berlangsung? Sebulan lagi? Dua bulan? Setahun? Kiranya, hanya Tuhan yang tahu pasti. Yang jelas, semakin lama wabah ini menjalar, semakin cemas kita dibuatnya.

Mungkin kita yang tinggal di Indonesia bisa sedikit bernapas lega karena jumlah korban virus Corona di sini tidak separah negara-negara macam Cina, Italia, atau Amerika Serikat yang mencapai jutaan. Akan tetapi, persoalan virus Corona tidak hanya tentang berapa jumlah korbannya, daerah mana saja yang terpapar, atau bagaimana mengkarantina pasien agar sembuh. Kita juga perlu melihat dampak laten yang mungkin timbul gara-gara pandemi tersebut.

Secara kasat mata, virus Corona memang terus menambah jumlah korban yang dirawat. Tapi diam-diam, virus Corona juga menghancurkan sendi-sendi perekonomian masyarakat di seluruh dunia. Orang-orang kaya, miskin, pemilik modal, buruh, bangsawan elit sampai rakyat jelata, semua kelas sosial terkena imbas virus ini tanpa terkecuali. Kita pun menghadapi situasi yang serba dilematis antara mementingkan kesehatan tubuh yang berharga atau mementingkan kebutuhan ekonomi yang tidak kalah mendesaknya.

Penjelasannya begini.

Mulanya, kita menyikapi virus Corona dengan melakukan social distancing, pembatasan sosial berskala besar, atau lockdown (jika pandemi sangat parah). Tujuannya untuk menekan laju penyebaran virus dengan cara membatasi pergerakan dan interaksi antar orang. Sekolah-sekolah pun diliburkan. Instansi-instansi kedinasan memberlakukan work from home. Pasar-pasar dibatasi jam operasionalnya—sebagian malah sampai ditutup total. Kegiatan sosial yang melibatkan banyak orang dan aktivitas berkerumun dilarang. Jalanan pun menjadi lengang karena orang-orang memilih berdiam di rumah daripada kelayapan jauh-jauh yang beresiko tertular virus.

Selanjutnya, karena pergerakan dan aktivitas masyarakat dibatasi, roda perekonomian tidak berjalan secara normal. Permintaan pasar turun drastis, sementara penawaran barang mengalami surplus (kelebihan). Para pelaku usaha mulai kesulitan mengais laba karena tidak bisa menjual barang secara wajar. Pelanggan yang biasa membeli atau memesan barang pun bisa membatalkan semua kesepakatan/pesanan secara mendadak. Akibatnya, produksi berbagai jenis barang dan jasa terpaksa dihentikan untuk mencegah kerugian lebih lanjut.

Masalah tersebut bertumpuk dan beban terberat menimpa lapisan terbawah sektor usaha, yakni para buruh dan karyawan. Para pelaku usaha yang sudah megap-megap menjaga kelangsungan bisnisnya terpaksa merumahkan/memecat buruh dan karyawannya karena tidak sanggup membayar gaji dan pesangon.

Benang kusut masalah ini pun berlanjut. Para buruh dan karyawan yang dirumahkan/dipecat tidak siap dengan perubahan keuangan secara mendadak. Sementara itu, kebutuhan untuk makan diri sendiri dan keluarga terus berjalan. Belum lagi jika mereka memiliki beban tanggungan lain seperti cicilan kredit, tagihan kontrakan, biaya listrik, sampai biaya sekolah/kuliah anak-anak yang semuanya mencekik minta pelunasan.

Sebagian buruh/karyawan bisa tertolong karena memiliki uang tabungan yang memadai. Sebagian lagi terpaksa menjual atau menggadaikan barang-barang berharganya. Sebagian lagi banting setir, beralih profesi demi pendapatan harian yang jumlahnya tidak seberapa. Sisanya, benar-benar bingung harus melakukan apa agar dapur tetap mengepul.

Dalam krisis finansial yang menghimpit seperti ini, pertanyaan besarnya adalah berapa lama pandemi ini akan berlangsung???

Pembatasan sosial, lockdown, penutupan pasar, semua kebijakan itu bisa terus dilanjutkan dan dipaksakan oleh pemerintah. Tapi masyarakat juga punya batas toleransi. Jika pandemi terus berlangsung hingga berbulan-bulan ke depan, sementara tidak ada kebijakan pemerintah yang bisa menolong kelompok masyarakat terdampak, maka kita semua tengah berada di ambang krisis!

Di satu sisi, kita ingin menyelamatkan diri dari pandemi Corona. Tapi pada saat yang sama, kita juga harus menyelamatkan perekonomian kita agar semua orang bisa tetap makan.

Sementara itu, pilihan-pilihan solusi yang tersedia tidak bisa mengurai semua masalah sekaligus.

Vaksin masih butuh waktu lama untuk diciptakan. Buruh/karyawan yang dipecat tidak bisa begitu saja berdemo lalu mendapatkan hak-haknya secara tunai. Para pelaku usaha juga tidak bisa menodong pemerintah untuk membantu menghidupkan usahanya sekaligus.

Di sisi lain, pemerintah sendiri tengah sibuk memikirkan alokasi anggaran untuk mengatasi krisis yang menghampar di depan mata. Mau minta tolong negara lain, ya, sungkan (mungkin)—lha wong negara sekelas Amerika Serikat saja juga sedang kelimpungan menghadapi pandemi Corona, kok. Mau ngutang pun harus mikir-mikir dulu, karena hutangnya sendiri sudah terlanjur banyak.

Benang kusut pun semakin kusut hingga semakin sulit untuk diurai. Segala sesuatunya membuat pening isi kepala. Pusing. Pusing. Pusing. Hingga tanpa kita sadari, sisi kemanusiaan kita perlahan sudah terserak menjadi puing-puing.[]

May 01, 2020Benny Prastawa