Tuesday, November 20, 2018

Malu Dibilang Anak Mama


Aduh, apalah itu istilah “anak mama”. Anak muda memang selalu pintar membuat istilah. Ada teman kalian yang orangtuanya overprotektif, kalian lantas mengoloknya dengan panggilan “anak mama”. Ada teman kalian yang segalam macam urusan sering dicampuri orangtuanya, lalu kalian mengejeknya “anak mama”. Pun ketika teman kalian “terlalu rajin” membantu orangtuanya, (kenapa pula) kalian masih berseloroh bilang (dasar) “anak mama”?

*   *   *

Istilah “anak mama” biasanya muncul saat kalian remaja (sekitar SMP-SMA). Pada fase ini, kalian sudah tidak bisa disebut anak-anak, tapi juga belum sepenuhnya dewasa. Karena posisi kalian yang serba “nanggung” ini, ada perbedaan perlakuan orangtua yang bisa kalian terima. Ada orangtua yang memperlakukan anaknya seperti ketika ia masih kanak-kanak, ada pula orangtua yang sudah memberikan kepercayaan dan membiarkan anaknya berkembang seiring usianya.

Di satu sisi, remaja pada umumnya menginginkan kebebasan untuk bersikap. Remaja tidak ingin terlalu dikekang dan diatur-atur lagi layaknya anak SD. Jika remaja terlalu dikekang dan diatur-atur, ada kalanya ia akan bersikap emosional dan meledak-ledak. Hal ini adalah manifestasi dari “jiwa pemberontak” yang ada dalam diri remaja yang pasti dialami semua orang.

“Jiwa pemberontak” dapat berkembang menjadi energi kemandirian. Dengan cara ini, seorang remaja akan terdorong untuk berani mengambil inisiatif tindakan dan berusaha menyelesaikan segala persoalannya sendiri—tidak lagi gampang mengadu atau bergantung pada orangtua. Jika diarahkan dengan benar, “jiwa pemberontak” dalam diri remaja dapat mempercepat proses pendewasaan dan menjauhkannya dari sifat penakut, minder, atau cengeng.

Akan tetapi, jika “jiwa pemberontak” dalam diri remaja tidak tertangani dengan baik, maka ia cenderung akan mengekspresikannya dalam tindakan negatif seperti memalak teman, membolos, merokok, memakai narkoba, berpenampilan “bengal” (bertindik, tatto, rambut dikerok, dll), sampai melakukan tindak kriminalitas. Hal ini bisa terjadi jika seorang remaja tidak mendapatkan perhatian, peneladanan, dan pengarahan dari orang yang lebih dewasa di sekitarnya—tidak selalu orangtuanya—bisa juga dari lingkungan masyarakat tempat tinggalnya.

Karenanya, tidak sedikit orangtua sangat cemas saat anak-anaknya menginjak usia remaja. Sebagian di antara mereka berusaha memberikan kepercayaan pada si anak agar mau belajar dan berani mengambil sikap atas segala persoalan yang dihadapinya secara positif. Tapi tidak sedikit pula orangtua yang tetap melakukan proteksi (perlindungan) dan pengawasan yang mungkin—bagi si anak—dirasa terlalu berlebihan. Istilah “anak mama” pun muncul sebagai bentuk olok-olok bagi remaja yang orangtuanya terlalu ikut campur dalam setiap urusannya.

Sampai batas-batas tertentu, wajar saja remaja merasa malu jika orangtuanya terlalu ikut campur dalam urusannya. Remaja selalu ingin menghirup udara kebebasan yang mengizinkan mereka untuk belajar menentukan pilihan hidupnya sendiri. Tapi di sisi lain, remaja juga harus ingat bahwa orangtua adalah sosok yang harus dihormati. Betapapun “rewelnya” orangtua, seorang anak harus pandai menata sikap dan tidak mengurangi rasa hormat pada orangtuanya.

Teruntuk kalian yang sering diolok “anak mama”, olok-olok “anak mama” memang mengesalkan. Tapi, jangan jadikan hal itu sebagai alasanmu untuk menolak membantu orangtua. Jangan jadikan hal itu sebagai alasan untuk enggan mengantarkan ibu ke pasar (misalnya). Jangan jadikan itu sebagai pembenaran atas setiap pembangkangan dan sikap bandel kalian selama ini.

Belajarlah untuk berlapang dada menerima sikap dan perilaku orangtua kalian. Pahami, kenapa orangtua kalian berperilaku seperti ini, seperti itu, atau melarang ini, melarang itu. Bagaimanapun juga, kalian bisa tumbuh dewasa berkat orangtua kalian. Kalian bisa makan, minum, sekolah, dan tidur nyenyak, semua itu juga berkat orangtua kalian. Karenanya, selama orangtua kalian hidup, ada tanggung jawab moral bagi anak untuk selalu menghormati orangtuanya.

Jangan biarkan istilah “anak mama” menghalangi niat kalian utnuk berbakti pada orangtua. Lagipula, istilah “anak mama” itu FAKTA—bukan olok-olok jahil. Logikanya, jika kalian bukan “anak mama”, lalu kalian ini anak apa??? Anak sapi?[]

Kekuatan Terbesar Manusia


Ada banyak pasien yang divonis hidupnya tidak akan lama lagi, tapi mereka tetap rajin berobat dan berbuat. 

Ada banyak orang yang hidup dalam kungkung kefakiran, tapi mereka tetap menyeka peluh, bekerja dengan penuh kelapangan. 

Ada banyak orang yang sakitnya berlarut-larut, tapi mereka tetap tabah, tekun pergi ke dokter.

Ada banyak orang yang fisiknya tidak sempurna, lumpuh, tapi sibuk membuat karya yang bermakna bagi sesama.

Ada pula orang-orang yang tidak pusing memikirkan surga dan neraka, tapi tetap rajin beribadah dan beramal salih, ikhlas, semata mengharap ridha dari Tuhannya.

Kenapa?

Karena itulah kekuatan sejati harapan manusia.

Harapan memberikan tenaga bagi siapapun untuk tetap hidup.

Harapan membangkitkan keyakinan dalam diri manusia, bahwa esok, kesempatan baik itu akan datang.

Harapan menjadi jembatan akan terkabulnya doa-doa yang telah berpilin ke langit yang membuat manusia tetap percaya bahwa kehidupannya berarti.

Jika seseorang sudah tidak bisa membangun harapan, maka kehidupannya akan hampa. Ia akan rentan mengalami depresi. Rapuh, merasa bersalah, menganggap dirinya tidak berguna. Lelah, menyesal, kenapa dirinya harus dilahirkan.

Teramat banyak kasus bunuh diri karena hilangnya harapan. Jika seseorang masih menyimpan barang sekeping harapan, maka ia tidak mungkin nekat mengakhiri hidupnya.

Harapan adalah kekuatan terbesar manusia.

Yang dengannya, kita tetap memiliki kekuatan menjalani kehidupan dan menatap masa depan.

Kekuatan yang terus menjaga kita agar tetap sadar, bahwa episode kehidupan ini terlalu berharga untuk disia-siakan tanpa makna dan karya.[]
November 20, 2018Benny Prastawa

Saturday, November 10, 2018

Game Legendaris Satu-Satunya (2)

*Tulisan ini adalah lanjutan artikel sebelumnya di sini.

Master League adalah salah satu pilihan kompetisi dalam game Winning Eleven. Dalam Master League, kita bisa membangun sendiri sebuah klub sepakbola dengan pemain-pemain yang kita kumpulkan dari seluruh dunia. Secara berkala, pemain-pemain kita akan berkembang dan mengalami peningkatan skill seiring dengan pertambahan usia atau seberapa sering kita memainkan mereka. Dalam Master League, kita juga bertanggung jawab untuk mengelola keuangan klub. Kita tidak boleh sembarangan membelanjakan uang klub untuk membeli banyak pemain top sekaligus karena bisa mengakibatkan klub bangkrut (GAME OVER).

Di sinilah letak candu dan klimaks keseruan bermain Master League. Setiap kali musim transfer tiba, kita akan sibuk mencari dan merekrut pemain-pemain baru yang memiliki potensi untuk berkembang. Jika uang klub kita melimpah, kita bisa langsung merekrut pemain-pemain ber-skill top. Tapi jika uang klub terbatas, kita harus membidik pemain berharga murah yang bisa dipoles menjadi pemain berkualitas.

Saya dan Budi telah menghabiskan ratusan jam bersama dan melewati belasan musim kompetisi untuk bermain Master League. Berbagai masalah konyol telah kami lalui seperti salah menyimpan data, kehilangan data karena mati listrik sampai saling ngambek karena gol bunuh diri. Bagi kami berdua, ada kesenangan tersendiri ketika kami bisa merekrut pemain idola kami ke dalam klub yang kami mainkan. Ada pula jenis kesenangan lain yang kami rasakan ketika berhasil mengembangkan skill pemain, dari pemain yang mulanya ber-skill payah menjadi pemain top dengan skill level dewa. Meski sering dicibir karena cuma bisa bermain Winning Eleven, saya dan Budi tetap konsisten meneruskan permainan Master League.

Sering berjalannya waktu, saya tidak lagi intens bermain PS2 dengan Budi. Setelah lulus dari SMP, saya dan Budi melanjutkan studi di sekolah yang berbeda. Kami hanya sesekali main bareng jika sedang senggang, walau tidak seintens ketika masih menjadi teman sekelas. Klub kami di Master League yang telah kami jalankan selama belasan musim pun terbengkalai. Jika kebetulan kami bermain bareng, saya dan Budi lebih senang bertanding daripada bekerjasama melanjutkan Master League. Meski begitu, bagi saya pribadi, kompetisi Master League dalam game Winning Eleven telah menjadi candu yang kesenangannya sulit dienyahkan.

Candu ini pun berlanjut bahkan sampai saya kuliah. Bermodal sebuah kartu memori, saya bertualang ke berbagai tempat rental PS2 di sekitar kampus sekedar untuk menuntaskan hasrat saya bermain Master League. Seperti yang saya jelaskan tadi, ada kesenangan tersendiri ketika saya mendapati pemain-pemain di klub saya berkembang menjadi pemain top. Saya juga dikejar rasa penasaran untuk terus berburu pemain-pemain berbakat saat musim transfer dibuka. Hanya saja, saya mulai bosan dan kewalahan jika harus pergi ke tempat rental setiap kali ingin bermain Winning Eleven. Belum lagi jika mengingat biaya sampingan yang harus saya bayar untuk setap jam bermain di tempat rental. Saya sempat berpikir utnuk membeli konsol PS2 sendiri, tapi saya terlalu malas untuk menabung demi benda semacam itu. Saya pun memutuskan untuk berhenti bermain Master League di tempat rental.

Sampai suatu kali, secara tidak sengaja, saya mendapati file game Pro Evolutin Soccer 6 (PES6) dari situs Indowebster. PES6 sendiri merupakan salah satu game sepakbola seperti halnya Winning Eleven yang sama-sama dibuat oleh KONAMI. Jika Winning Eleven didesain khusus untuk konsol Playstation, maka PES didesain untuk lebih multi platform. Ada PES versi PC, smartphone, dan versi Playstation. Begitu mendapati file PES6, saya pun langsung mendownload dan menginstallnya. Ukuran file yang tidak terlalu besar (tidak sampai 100MB), memudahkan proses instalasi di laptop saya yang spesifikasinya tidak terlalu mewah.

Voila! Tanpa perlu mahal-mahal membeli konsol Playstation 2, sebuah game sepakbola bisa saya nikmati di laptop. Yang paling menggembirakan, tampilan grafis dan gameplay PES6 sangat mirip dengan Winning Eleven favorit saya. Begitu pula dengan kompetisi Master League-nya. Tanpa butuh waktu lama, saya pun segera membeli sebuah stik USB dan mulai memainkan game PES6. Saya merasa sangat beruntung bisa melanjutkan candu saya—membuat klub virtual di kompetisi Master League.

Saya menyadari, ada banyak game lain yang lebih populer dan sering disebut berkelas dibandingkan sekedar game sepakbola, sebut saja Ragnarok, Point Blank, Grand Thief Auto (GTA), Tekken, DOTA, dan Need for Speed. Tetapi, bagi saya, Winning Eleven tetap menjadi game sepakbola paling legendaris yang pernah saya mainkan. Kesederhanaannyalah yang membuat saya begitu menggandrungi Winning Eleven. Meski terlalu jadul dan kalah kelas dibanding game sepakbola kekinian seperti PES2018 atau FIFA2018, saya tetap tidak akan berpaling dan tetap menjadikan Winning Eleven sebagai game sepakbola legendaris. Dan PES6 di laptop saya telah banyak membantu menghadirkan sensasi nostalgia dan gelontoran adrenalin mencetak gol sambil bersabar membangun klub di Master League—kesenangan yang sama seperti ketika bermain Winning Eleven semasa bocah.[]
November 10, 2018Benny Prastawa

Game Legendaris Satu-Satunya (1)


Awalnya, saya bukan seorang maniak game. Saya tidak pernah serius mengikuti tren perkembangan game. Saya juga tidak pernah mengeluarkan uang sepeser pun hanya untuk menuruti keinginan bermain game, entah untuk bermain game online, pergi ke rental, atau membeli sendiri konsol game digital seperti Nintendo, SEGA, atau Playstation. Boleh dibilang, saya hanya kebetulan "nyasar" dan berkenalan dengan dunia game.

Sepanjang TK sampai SD kelas 5 (sekitar tahun 1997-2003), saya lebih akrab dengan permainan-permainan konvensional seperti layang-layang, petak umpet, kejar-kejaran, tik tir (adu kelereng), atau sekedar sepakbola. Sebenarnya, pada tahun-tahun itu, sudah banyak beredar konsol permainan digital, seperti Ding Dong, Nintendo, dan SEGA. Tapi semua itu terlalu mahal untuk ukuran kampung saya yang terletak di pelosok kabupaten. Untuk bisa menikmati konsol game semacam itu, anak-anak di kampung saya harus bersepeda ke kota yang berjarak belasan kilometer dari kampung saya. Karena itu, tidak ada teman-teman sebaya di kampung saya yang pernah bermain ke tempat persewaan konsol game digital seperti itu. Kalaupun ada konsol game digital yang masuk ke kampung saya, paling banter hanya sejenis permainan gameboard (baca: gimbot)—yang lebih sering membuat pemainnya nyeri kepala karena level kesulitannya hanya berupa peningkatan kecepatan grafis hitam-putihnya.

Saat SD, saya terbilang anak rumahan yang lebih senang bermain di rumah daripada mblayang (bepergian) ke luar. Saya hanya akan keluar jika ada teman-teman sebaya yang mengajak bermain di lapangan RT, semisal untuk bermain sepakbola atau petak umpet. Jika sedang tidak ada teman, saya bermain perang-perangan dengan koleksi miniatur tokoh kartun. Saya memiliki cukup banyak koleksi miniatur seperti ini. Tapi, jangan kira miniatur saya seperti action figure impor seharga jutaan rupiah. Miniatur saya hanya mainan bocah berbahan dasar plastik daur ulang. Itu pun juga hadiah dari makanan ringan seharga seribuan! Sepanjang tahun 1999 sampai 2002-an, makanan ringan yang dijual di warung-warung memang sering menyertakan hadiah langsung di dalam kemasannya. Selain uang dan kelereng, hadiah yang paling diincar anak-anak seperti saya adalah miniatur tokoh superhero. Saking penasarannya, tidak sedikit anak-anak yang memborong berbungkus-bungkus makanan ringan hanya demi mendapatkan hadiah langsungnya (jika beruntung, sih).

Kembali ke soal konsol game digital. Perkenalan saya dengan konsol game digital baru dimulai saat kelas 5 SD. Saat itu, seorang teman saya (beda sekolah), mengajak saya dolan ke rumahnya. Di rumah teman saya inilah untuk pertama kalinya saya melihat Nintendo dan SEGA. Teman saya memang terbilang cukup makmur sehingga bisa memiliki dua konsol game sekaligus. Koleksi kaset permainannya pun bejibun menumpuk di rak. Saya hanya bisa geleng-geleng kagum melihatnya. Contra, Metal Slug, dan Super Shoot Soccer adalah beberapa judul game yang pernah saya mainkan bersama teman saya itu. Tapi, sebagai gamer pemula, saya benar-benar payah. Saya lebih sering menonton teman saya bermain daripada ikut bermain.

Selang beberapa waktu, konsol game Playstation 1 (PS1) mulai menjamur di kampung saya. Konsol game ini memang berbeda dengan Nintendo atau SEGA. Pilihan permainannya jauh lebih banyak dengan pergerakan grafis yang lebih halus. Banyak teman SD saya yang kecanduan dan mulai mencuri-curi waktu untuk pergi ke rental PS1—termasuk anak-anak di sekitar rumah saya. Seringkali, pada jam biasa anak-anak berkumpul bermain, ada saja satu dua anak yang “menghilang” karena dolan ke tempat rental PS1. Banyak cerita seru tentang game-game yang mereka mainkan di tempat rental. Mendengar semua itu, saya pun tertarik mencoba pergi ke tempat rental.

Dasar anak rumahan, saya perlu waktu lama untuk bisa mencuri-curi waktu pergi ke tempat rental. Etika di rumah mengajarkan saya untuk selalu izin ke mana pun saya akan pergi. Karenanya, saya perlu alasan yang jelas dan meyakinkan untuk bepergian agak jauh dari rumah. Dengan dalih pergi bersepeda, sambil mencuri-curi waktu, saya bersama beberapa teman berhasil mblayang ke tempat rental PS1 yang berada di kampung sebelah (di kampung saya belum ada rental PS1). 

Setibanya di tempat rental, saya mulai menjajaki beberapa jenis game, mulai dari game sepakbola, pertarungan silat, sampai balap motor. Saya tidak terlalu menikmati permainan saya karena terganggu dengan keriuhan anak-anak lain yang menyemut di depan konsol gamenya masing-masing. Yang paling risih, ada pula segelintir anak yang bermain game (duel) sambil memasang uang taruhan. Edan. Setelah kunjungan pertama saya ke tempat rental, saya agak kapok dan hanya sesekali mengunjungi tempat itu lagi. Teman saya—yang tadi saya ceritakan memiliki Nintendo dan SEGA di rumahnya—juga pernah mengajak saya bertanding PS1. Dan saya, lagi-lagi tidak pernah menang darinya.

Karena tidak ada kenyamanan apapun yang saya dapat dari tempat rental PS1, saya pun berkomitmen untuk tidak lagi mengunjungi tempat-tempat seperti itu. Saya mulai berpikir jika tempat rental PS1 hanya cocok untuk anak-anak yang gagal dalam pelajaran di sekolah. Sayangnya, komitmen saya hanya bertahan sampai saya SMP.

Setelah lulus SD, saya memutuskan untuk mendaftar di salah satu SMP di pusat kota kabupaten. Karena lokasinya di pusat kota kabupaten, ada banyak pilihan rental PS1 dan media hiburan anak yang tersedia di sana. Jika di kampung hanya ada PS1, di kota kabupaten saya berkenalan dengan mesin Ding Dong dan beberapa rental game komputer. Sejak saat itu, wawasan saya tentang game berkembang pesat. Apalagi, beberapa teman SMP saya juga memiliki konsol game PS1 dan komputer PC sendiri di rumah. Sesekali, saya dolan ke rumah mereka untuk numpang bermain dengan konsol game mereka.

Seorang karib SMP saya, Budi namanya, adalah kompatriot saya dalam bermain game. Saya sering menghabiskan waktu untuk bermain PS1 bersama Budi. Berkat Budi, saya bertransformasi menjadi seorang penikmat game. Jika dulu saya berpikir “game itu dosa”, berkat Budi, saya mulai berpikir jika “game adalah selingan yang penting”. Jika dulu saya sering kalah bermain PS1, berkat Budi, keahlian permainan saya meningkat pesat.

Waktu bermain saya semakin lapang setelah saya tinggal bersama bibi saya di kota kabupaten. Saya numpang tinggal di rumah bibi karena rumahnya lebih dekat dengan SMP saya. Kebetulan rumah bibi saya tidak jauh dari rumah Budi. Saya pun semakin sering pergi ke rental PS1 bersama Budi. Sesekali, saya dan Budi juga mencoba-coba bermain rental game komputer untuk selingan.

Dari beragam game yang pernah saya coba, kegandrungan saya mengerucut pada game sepakbola Winning Eleven. Betapapun payahnya saya bermain, saya tidak pernah kapok untuk kembali memainkan game buatan KONAMI ini. Terlebih, setelah berkenalan dengan Budi, level permainan saya meningkat—meski saya lebih sering kalah jika bertanding dengan Budi.

Kebersamaan saya dan Budi dalam bermain Playstation terus berlanjut bahkan sampai kemunculan konsol game generasi terbarunya, yakni Playstation 2 (PS2). Dari sini, saya dan Budi—yang sama-sama gandrung dengan game Winning Eleven—mulai bekerjasama membuat klub sepakbola virtual sendiri dalam kompetisi Master League.[]

Lanjut ke sini.
November 10, 2018Benny Prastawa