Friday, October 28, 2016

Saat Kenyataan Tidak Sesuai dengan Keinginan


Di antara mimpi dan realitas, selalu ada “harapan”
yang membuat kita lebih kuat dan tidak pernah letih untuk terus berupaya
(Benny Prastawa)

Dalam hidup ini, seringkali kita sulit menerima kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan atau keinginan kita. Jika kita seorang pelajar, tentu kita ingin mendapat nilai yang baik. Jika kita seorang petani, tentu kita ingin panen kita berlimpah. Jika kita seorang pedagang, tentu kita ingin usaha kita maju dengan omset jutaan. Demikian seterusnya.

Namun pada kenyataannya, jerih payah yang kita lakukan tidak selalu berbanding lurus dengan hasil yang diperoleh. Pada titik ini, semua usaha yang kita lakukan tampak sia-sia. Kita pun merasa Tuhan berlaku tidak adil.

Seorang pelajar, misalnya, menjelang ulangan umum dia telah belajar keras untuk mendapat nilai terbaik. Tidak cuma di sekolah, intensitas belajarnya ditambah dengan les dan privat. Segala bentuk soal latihan dilahapnya untuk menjamin bahwa si pelajar betul-betul menguasai materi. Si pelajar yakin bahwa ia akan lulus dengan nilai terbaik.

Pada hari berlangsungnya ujian, entah kenapa si pelajar merasa agak gugup. Perasaannya tidak tenang saat mengerjakan soal-soal ujian. Di tengah-tengah ujian, mendadak si pelajar merasa tidak enak badan. Pikirannya tidak mampu berkonsentrasi. Pada akhirnya, ujian hari itu tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Ketika hasil ujian dibagikan, si pelajar mendapati nilainya tidak sebagus harapannya. Meskipun tergolong tinggi, dia gagal mewujudkan keinginannya untuk meraih nilai terbaik. Sebagai seorang pelajar yang ambisius dengan segala kesempurnaan belajarnya, dia merasa hasil yang diterima tidak adil. Si pelajar merasa berhak mendapatkan hasil yang lebih baik. Tapi ujian telah usai, dan lembar nilai telah dibagi.

*   *   *

Tulisan ini tidak sedang mendoktrin kalian untuk berhenti berusaha. Ilustrasi di atas hanya gambaran kecil bagaimana usaha yang kita lakukan tidak selalu berbanding lurus dengan hasil yang kita harapkan. Yang ingin saya tekankan di sini adalah bagaimana kita menyiapkan diri untuk berlapang dada dengan hasil apapun yang kita peroleh. Sesempurna apapun usaha kita, sebaik apapun proses belajarnya, dan sematang apapun rencananya, semua itu tetap tidak menjamin 100 persen bahwa kita akan berhasil. Sekecil apapun peluangnya, selalu ada kemungkinan kita gagal. Karena kehidupan ini bukanlah persamaan matematika. Itu sebabnya, sebagai umat beragama kita diminta untuk selalu bertawakal. Kita harus mengakui bahwa ada ‘tangan-tangan tidak terlihat’ yang berkuasa penuh atas roda kehidupan di dunia. Kita harus legowo jika suatu saat jerih payah kita tidak sebanding dengan hasil yang kita peroleh.

Pertanyaannya, jika memang segala sesuatu sudah ditakdirkan dan segala hasil sudah ditetapkan Tuhan, lalu untuk apa kita menjalani kehidupan ini? Untuk apa kita berletih-letih bekerja, jika hasil dari usaha kita sudah ditentukan sebelumnya?

Seorang bijak pernah menasehati saya untuk belajar dari seekor burung yang terbang mencari makan di pagi hari. Beliau berkata “Seumur-umur, saya belum pernah mendapati burung yang mati karena kelaparan”.

Ya, meski Tuhan berkuasa penuh atas kehidupan yang kita jalani, sampai batas-batas tertentu Tuhan memberi kita kebebasan untuk memilih jalan usaha mana yang ingin kita tempuh. Karena hidup ini adalah PILIHAN. Setiap saat, kita dihadapkan pada pilihan-pilihan tindakan yang bisa kita ambil. Kita bisa memilih untuk giat bekerja atau tidur bermalas-malasan. Kita bisa memilih untuk sibuk belajar atau duduk melamun. Kita bisa memilih untuk sibuk berkarya atau diam menanti tua. Semua itu pilihan bebas kita. Tuhan tidak pernah membatasi kita dalam memilih jalan hidup yang ingin kita jalani.

Yang harus kita perhatikan adalah kenyataan bahwa untuk setiap pilihan, selalu ada ‘konsekuensi’ yang akan kita tanggung. Misalnya, pada kasus pelajar yang kita bahas sebelumnya. Pelajar itu mempunyai pilihan untuk sibuk belajar atau memilih untuk bermalas-malasan. Dalam hal ini, dia memilih untuk sibuk belajar. Terlepas dari kegagalannya meraih nilai terbaik, pelajar itu telah memilih pilihan terbaik yang bisa diambil. Pilihannya untuk tekun belajar memperbesar peluangnya mendapatkan takdir yang dia harapkan (nilai terbaik).

Memperbesar peluang untuk mendapatkan takdir yang kita harapkan—itulah jawaban logis dari usaha-usaha kita selama ini. Kita memang tidak bisa menjamin setiap usaha kita akan selalu berhasil. Tapi usaha-usaha tersebut memperbesar peluang kita untuk berhasil, dan memperkecil kemungkinan kita untuk gagal. Dengan katalain, kita hanya mampu mengontrol tindakan kita, bukan hasil akhir dari tindakan yang kita lakukan.

Contoh lain, misalnya pada saat kita mengendarai motor. Dalam hal ini, tindakan yang bisa kita kontrol adalah cara kita mengemudikan motor itu. Jika kita mengemudikannya dengan hati-hati dan mematuhi rambu-rambu lalu lintas, maka peluang kita untuk selamat sampai tujuan semakin besar. Jika pada akhirnya kita jatuh tersenggol kendaraan lain, maka itulah takdir. Kita tidak bisa mengontrol hal tersebut. Tapi setidaknya, dengan kita berhati-hati saat mengemudikan motor, hal itu jauh lebih baik bagi keselamatan kita daripada mengemudikan motor secara ugal-ugalan. Alih-alih tindakan itu justru memperbesar peluang kita tertimpa kecelakaan.

Karenanya, meski terkadang usaha kita tidak berbanding lurus dengan hasil yang kita dapatkan, kita harus selalu percaya bahwa tidak ada kerja keras yang sia-sia! Setiap kerja keras akan menuai kompensasinya. Boleh jadi si pelajar tidak mendapat nilai terbaik, tapi usahanya membuatnya menjadi pelajar yang lebih berprestasi daripada pelajar yang bermalas-malasan. Ketekunannya dalam belajar telah memperbesar kemungkinannya mendapatkan takdir yang lebih baik di masa mendatang.


Dalam kehidupan ini, totalitas kita dalam berupaya adalah ikhtiar terbaik untuk mewujudkan keinginan dan cita-cita. Apapun hasilnya, kita harus tetap percaya bahwa tidak ada kerja keras yang sia-sia. Setiap kerja keras pasti akan melatih kita untuk meningkatkan kualitas diri. Dengan begitu, daripada sibuk memikirkan hasil, alangkah bijaknya jika kita khusyu’ menikmati setiap jengkal prosesnya. Itulah cara terbaik untuk membuktikan sikap tawakal  kita. Dan itulah jawaban terbaik untuk menerima segala ketetapan-Nya.[]
October 28, 2016Benny Prastawa