Monday, July 18, 2016

Melogika Urusan Cinta


Jatuh cinta itu pasti,
sakit hati itu pilihan
(Benny Prastawa)


Ilustrasi:
Santi, seorang gadis remaja yang baru setahun duduk di bangku SMA, jatuh cinta dengan Bondan, teman kelasnya. Di mata Santi, Bondan adalah tipe cowok yang sempurna. Tampan, cerdas, ramah, dan jago bermain basket. Kebetulan Bondan juga belum punya pacar, sehingga Santi tertarik untuk menjadi pacarnya.

Berbagai upaya dilakukan Santi demi mencari perhatian Bondan. Setiap hari, Santi berkirim pesan dengan Bondan. Sekali waktu, ia meminjam buku catatan Bondan dan memintanya untuk mengerjakan PR. Sebagai imbalannya, Santi sering mentraktir Bondan di kantin dan memberinya berbagai hadiah. Santi juga rela mengikuti ekskul basket meski dirinya tida begitu mahir dalam olahraga itu. Ia melakukannya, semata demi menemui Bondan dan mencuri-curi waktu mengobrol dengannya.

Bondan menanggapi perhatian Santi dengan bersikap ramah kepadanya. Setiap kali Santi membutuhkan bantuan, Bondan tak sungkan menolong Santi. Di sisi lain, Santi mengartikan keramahan dan kebaikan Bondan sebagai kode bahwa Bondan menaruh perasaan yang sama dengannya. Karena itu, beberapa bulan kemudian, Santi memberanikan diri untuk menyatakan cintanya pada Bondan. Saat itu, Santi sangat yakin ungkapan cintanya tidak akan bertepuk sebelah tangan.

“Maaf…aku hanya menganggap hubungan kita sebagai sebuah pertemanan, tidak lebih…” jawab Bondan lirih.

Santi terhenyak. Keceriaan di wajahnya seketika sirna. Harapannya yang terlanjur membuncah pun berceceran, bagaikan bongkahan stalagtit yang menghujam lubuk hati Santi keras-keras. Perih dan teramat menyakitkan. Santi kehabisan kata-kata. Ia tak menyangka segala upaya yang dilakukannya selama ini sia-sia. Sebelumnya, ia sangat yakin jika keramahan Bondan adalah bukti bahwa Bondan mencintainya.

Santi mengabaikan fakta bahwa pada dasarnya Bondan tidak hanya ramah pada Santi seorang. Bondan selalu ramah pada semua orang. Sayangnya, Santi menafsirkan keramahan Bondan sebagai sesuatu yang lain. Ia mengira, keramahan itu adalah sebuah sambutan dan jawaban untuk rasa cinta yang bergelayut di hati Santi. Dan kini, ia menyadari bahwa ia telah tertipu oleh perasaannya sendiri…

*   *   *

Saya yakin, cerita semacam itu jamak terjadi di sekitar kita. Mungkin saja beberapa di antara kalian pernah mengalami situasi yang sama menyesakkannya dengan Santi, atau malah lebih buruk. Ketika kita menaruh rasa pada seseorang, kita pasti berharap orang itujuga menaruh perasaan yang sama pada kita. Kita ingin orang itu juga menyukai kita sebagaimana kita menyukainya. Tapi cinta, bukanlah matematika. Ia terlalu rumit untuk dipahami dengan pendekatan logika karena seringnya ia menipu logika kita.

Dalam kasus Santi, ia jatuh cinta pada Bondan karena Bondan tampan, cerdas, ramah, dan jago main basket. Santi memiliki alasan yang logis mengapa ia bisa jatuh cinta. Kemudian, Santi mulai berharap dan memikirkan cara agar Bondan tertarik padanya. Santi melakukannya dengan cara memberi perhatian khusus pada Bondan, melebihi teman-teman cewek di kelasnya. Santi merasa usahanya akan berhasil karena menurutnya Bondan bersikap ramah dan selalu baik kepadanya. Oleh Santi, keramahan itu, diartikan sebagai jawaban “ya” sehingga tidak mungkin Bondan akan menolak Santi. Namun kenyataannya, Bondan tidak bisa menerima cinta Santi. Bondan hanya menganggap Santi sebagai teman, tidak lebih.

Jika kita memposisikan diri sebagai Santi, kita berhak merasa kecewa, dongkol, nyeseg, marah, sedih, hingga menangis getir dengan hati tersayat-sayat. Bagaimanapun cinta adalah rasionalitas yang sempurna. Sebagaimana kita mengambil pilihan dalam hidup, selalu ada konsekuensi logis atas pilihan yang kita ambil. Begitu juga dalam urusan cinta.

Ketika kita menyatakan cinta pada seseorang, ada dua konsekuensi logis yang bisa kita peroleh: “diterima”, atau “ditolak”. Kita tidak bisa memaksa keadaan agar orang itu menerima cinta kita. Alih-alih kita harus mempersiapkan diri untuk menghadapi kemungkinan penolakan. Karena jika kita tidak siap dan terlalu yakin dengan asumsi perasaan sendiri, maka boleh jadi penolakan itu akan jauh lebih menyakitkan.

Alangkah baiknya, jika kita menyikapi cinta dengan ‘angun’, menjaga kehormatan diri, bersabar, dan terus berusaha memperbaiki diri, hingga kelak kita pantas membersamai orang yang kita suka. Alih-alih daripada bersusah payah mencari perhatian dari orang yang kita suka secara terang-terangan. Bukankah menjengkelkan jika kita sudah mempeng curi-curi pandang, memberi hadiah ini itu, rela mengantar kesana kemari, tapi ending-nya malah ‘bertepuk sebelah tangan’. Malu.

Kata orang, cinta butuh pengorbanan. Ya, tentu saja, cinta membutuhkan pengorbanan. Karena pengorbanan adalah manifestasi (perwujudan) dari cinta itu sendiri. Kita tidak mungkin mengaku cinta, tanpa melakukan sesuatu untuk orang yang kita cintai. Hanya saja, kita perlu memahami bahwa ungkapan tersebut dimaksudkan untuk konteks cinta yang agung, penuh komitmen dan tanggung jawab. Pengorbanan cinta yang sejati, hanya pantas disematkan bagi mereka yang sudah menjalin cinta dalam bingkai hubungan yang dicatat negara dan direstui agama.

Jika dua orang mengaku cinta, tapi hubungan yang dijalaninya penuh tipu-tipu dan melanggar banyak batasan moral-agama, maka pengorbanan yang dilakukan tidak lebih dari sebuah ‘peyorasi’ dan kemunafikan atas nama cinta itu sendiri.

Setiap orang pasti pernah jatuh cinta. Tapi apakah cinta itu akan diungkapkan atau dipendam, itu pilihan kita. Begitu pula dengan patah hati dan bahagia, keduanya adalah konsekuensi logis yang bisa kita terima ketika kita jatuh cinta. Dan semua konsekuensi itu bergantung pada bagaiman kita menentukan pilihan hidup dan menyikapi perasaan cinta itu sendiri. Demikian. []