Friday, July 22, 2016

Pokemon GO di Mata Bocah 90’s


Hei, Nak, jaman Bapak bocah dulu,
menangkap capung jauh lebih menyenangkan
daripada menangkap Pokemon.
(Son of 90’s)

Mengapa PokemonGO begitu populer? Tidak hanya anak-anak, bahkan orang dewasa pun ikut-ikutan berburu Pokemon. Padahal sebelumnya, belasan tahun yang lalu, Pokemon tidak lebih dari tontonan bocah yang tayang setiap hari Minggu. Kini, setelah belasan tahun berlalu, Pokemon kembali hadir dengan kemasan yang berbeda, melintasi batas negara dengan membawa segala kecanggihan teknologi peradaban modern. Masyarakat yang dulu memandang remeh Pokemon, kemudian tertarik untuk ikut-ikutan mencobanya.

Sebagai salah satu bocah 90’s (sebutan untuk mereka yang lahir sebelum tahun 2000), masa kecil saya boleh dikatakan beruntung. Saya masih sempat merasakan ‘habitat sosial’ yang sesuai dengan pola pikir dan tumbuh kembang anak-anak. Dalam hal musik, misalnya—saat itu, lagu anak-anak masih banyak diproduksi. Penyanyi-penyanyi cilik sering tampil di televisi sambil membawakan lagu-lagu tersebut—sebut saja Tasya, Joshua, Sherina dan Tina Toon. Lagu-lagu yang mereka bawakan juga masih bertema dunia anak. Belum pernah saya mendengar mereka menyanyikan lagu yang muatan liriknya berisi seloroh cabul atau cinta-cintaan ala orang dewasa.

Selain lagu anak-anak, saat itu, film-film kartun Jepang masih diperbolehkan tayang di stasiun televisi. Film-film tersebut terbilang lengkap karena belum ada adegan-adegan yang terkena sensor. Pada hari Minggu, bocah-bocah 90’s dimanjakan dengan berbagai film kartun. Mereka mempunyai banyak pilihan film kartun karena ada lebih dari satu stasiun televisi yang menayangkannya. Durasinya pun terbilang lama, mulai dari Subuh hinga menjelang siang. Karena itu, hari Minggu bisa dikatakan sebagai “Hari Surga” bagi bocah-bocah 90’s.

Nah, pada hari Minggu itulah, untuk pertama kalinya saya menonton kartun Pokemon. Kartun itu menceritakan tentang petualangan tiga orang bocah dengan Pokemonnya. Dalam petualangannya, ketiga bocah itu selalu diganggu oleh sosok lelaki berambut biru dan seorang perempuan berambut merah. Kedua tokoh antagonis itu selalu ditemani seekor Pokemon berbentuk kucing yang setia. Karena alur cerita yang membosankan, saya tidak pernah menjadi penggemar Pokemon.

Sebaliknya, saya lebih menyukai kartun Digimon (yang ditayangkan Ind*siar waktu itu). Dalam kartun ini, tensi yang disajikan jauh lebih menegangkan dengan plot twist yang cukup rumit. Sekuel pertamanya, “Digimon Adventure”, terbilang sangat sukses di pasaran dan berlanjut hingga dibuat 2 sekuel lanjutannya. Karena itu, tidak mengherankan jika saya lebih mengidolakan Digimon dan menganggap Pokemon sebagai versi KW dari Digimon.

Saat itu, sebagai bentuk kecintaan pada kartun favoritnya, bocah-bocah 90’s beramai-ramai mengoleksi tazoos* dan 2D miniature versi Digimon dan Pokemon. Mainan-mainan itu biasa diperoleh dari hadiah makanan ringan seperti Ch*ki, J*tzet, dan Cheet*z. Setelah terkumpul cukup banyak, tazoos dan 2D miniature akan dikembangkan menjadi alat permainan yang lebih seru, entah untuk berduel dengan teman, atau dirangkai menjadi berbagai macam model kreatif. Sebagian bocah juga mengkoleksi banyak produk mainan tersebut untuk diperjualbelikan.

Berhubung handphone (HP) dan game digital belum menjamur, saat itu, bocah-bocah 90’s terbiasa mencari kesenangan melalui permainan yang serba realistik—bisa dipegang, disentuh, dan dilempar. Selain tazoos dan 2D miniature, anak-anak 90’s cukup akrab dengan permainan tradisional seperti petak umpet, lompat tali, bermain kelereng, dan menerbangkan layang-layang. Jika sudah bosan, mereka biasa mencari binatang-binatang di alam terbuka seperti memancing, menangkap capung, dan berburu belalang. Semua aktivitas itu terasa sangat menyenangkan bagi bocah-bocah 90’s karena mereka bersentuhan langsung dengan objek permainan itu sendiri.

Saat itu, sebagian bocah yang orangtuanya cukup kaya bisa menikmati mainan modern seperti SEGA dan Nintendo. Tapi, bagi bocah-bocah lain yang tingkat ekonominya beragam, permainan konvensional tetap menjadi pilihan pertama. Ada lebih banyak kesenangan yang diperoleh melalui permainan fisik-realistik dibanding console digital. Rasa kebersamaan, kepedulian, dan solidaritas sesama teman adalah nilai-nilai moral yang tidak akan pernah bisa diperoleh dari console digital secanggih apapun teknologinya.

*   *   *
Kembali ke masalah Pokemon.

Hari ini, teknologi komunikasi telah berkembang pesat. Komputer dan ponsel pintar (smartphone) menjadi gadget wajib yang harus dimiliki setiap orang. Proses digitalisasi terjadi di setiap lini kehidupan masyarakat yang mendorong perubahan sosial budaya secara masif. Media hiburan bagi masyarakat, khususnya anak-anak, juga turut mengalami digitalisasi.

Sebagai perbandingan sederhananya:
Jika dulu bocah-bocah 90’s sibuk menerbangkan layang-layang, bocah-bocah masa kini sibuk menerbangkan drone.

Jika dulu bocah-bocah 90’s sibuk mencari kawannya yang ngumpet, bocah-bocah masa kini sibuk mencari-cari stop kontak dan wifi gratis.

Jika dulu bocah-bocah 90’s bermain perang-perangan dengan ‘pedang’ vynil yang bersinar, bocah-bocah masa kini sibuk bermain perang-perangan dengan menggosok layar smartphone.

Jika dulu bocah-bocah 90’s ramai berburu capung, bocah-bocah masa kini malah ramai berburu POKEMON!!!

Ah...Pokemon....

Setelah belasan tahun berlalu sejak serial kartun Pokemon ditayangkan di televisi swasta, Pokemon kini hadir dalam bentuk yang lebih nyata. Melalui konsep game berbasis Augmented Realistic (AR), PokemonGO telah berhasil memadukan unsur kesenangan dari permainan fisik-realistik ala bocah-bocah 90’s dengan permainan digital-modern ala bocah-bocah masa kini. Perpaduan kedua unsur tersebut membuat PokemonGO menjadi tren budaya yang menggejala di seantero dunia. Tidak mengherankan, seminggu setelah game ini dirilis, PokemonGO telah diunduh 10 juta kali di Android.

Bagi bocah-bocah 90’s yang dulu ngefans berat dengan Pokemon, game ini tentu menjadi sarana bernostalgia yang menarik. Kita bisa merasakan langsung bagaimana berpetualang mencari Pokemon dengan menggunakan peta dunia nyata. Dalam hal ini, konsep yang dipakai PokemonGO mirip dengan teknologi “Dragon Radar yang dipakai Goku dan Burma untuk mencari tujuh bola naga. Saat saya bocah, saya tidak pernah berpikir jika Dragon Radar bakal dimanfaatkan orang untuk berburu Pokemon.

*   *   *

Ada sebagian orang yang menganggap serius permainan PokemonGo. Orang-orang ini begitu terobsesi untuk mengumpulkan Pokemon, memenangkan duel, dan meraih poin tertinggi. Karena keasyikan bermain PokemonGO, tidak jarang mereka menemui kejadian buruk, mulai dari menabrak pohon, sampai terjatuh dari tebing. Kasus yang terdengar berlebihan memang. Hanya saja, kita memang perlu berhati-hati saat bermain PokemonGO, terutama dalam hal keselamatan diri.

Saya bukan bermaksud melarang kalian bermain PokemonGO. Seperti yang saya bahas sebelumnya, PokemonGO terbilang sukses menghadirkan konsep game digital yang mengkondisikan pemainnya untuk ke luar rumah—sesuatu yang tidak bisa dilakukan game digital konvensional. Dan seperti yang saya katakan, PokemonGO juga berhasil menjembatani modernitas game-game digital masa kini dengan kesenangan bocah-bocah 90’s dengan permainan fisik-realistiknya. Karena itu, tidak mengherankan jika kemudian PokemonGO menjadi game yang populer, hingga diunduh lebih dari 10 juta pengguna Android di minggu pertama perilisannya.

Hanya saja, sebagai seorang yang bertanggung jawab, kita harus ingat esensi pokok dari sebuah game adalah hiburan. Bagaimanapun, sebuah game tetaplah sebuah game yang diciptakan untuk tujuan bersenang-senang. Konyol sekali rasanya, jika kita menyikapi tantangan di dunia game layaknya kita menghadapi masalah di dunia nyata.

Setiap orang memiliki dimensi logika yang berfungsi untuk membedakan mana yang nyata dan mana yang tidak nyata. Kita harus bisa membedakan kedua hal ini dan mengkondisikan diri untuk berpikir “here and now”. Jika kita terlalu terobsesi dengan game PokemonGO, saya khawatir orang-orang menjadi terjebak dalam dunia digital ciptaannya sendiri, seperti halnya Anak-Anak Terpilih.

Bagi orang dewasa, saya rasa hal ini tidak perlu dicemaskan. Tapi bagi bocah-bocah, kesan yang diterima dari permainan PokemonGO tentu sangat berbeda. Saya khawatir asupan hiburan digital yang diterima bocah-bocah masa kini berpotensi mengubah karakter dasar mereka menjadi sosok yang egois, apatis, dan sungkan berempati pada kondisi sesamanya.

Pertanyaan saya, jika bocah-bocah masa kini sibuk bermain game dengan smartphone, kesenangan macam apa yang akan mereka dapatkan dari sana???

Kita semua tahu, kenangan masa kecil akan selalu terekam dalam pita memori kita. Sebagai bocah 90’s saya masih merasakan kenangan dari permainan yang saya mainkan saat itu. Saya masih ingat bagaimana serunya bermain petak umpet sambil beradu lari dengan bocah yang lain. Saya masih ingat perihnya jari yang lecet tergores senar saat bermain layang-layang. Saya juga masih ingat pakaian yang basah dan kaki-kaki yang penuh lumpur saat asyik bermain di bawah guyuran hujan. Lalu, bagaimana dengan bocah-bocah masa kini yang diasuh oleh smartphone dan PokemonGO-nya itu?

*   *   *

Berburu Pokemon jelas berbeda dengan berburu capung atau belalang. Berburu Pokemon jelas tidak sama dengan memancing atau menjala ikan. Berburu Pokemon juga tidak akan pernah seseru bermain lumpur di bawah guyuran hujan. Anak-anak adalah jenis manusia yang paling mengerti bagaimana caranya bersenang-senang. Karenanya, secara alami mereka selalu memiliki cara untuk menyenangkan dirinya sendiri.

Jika kecenderungan ini digantikan oleh objek digital yang tidak nyata, saya khawatir kelak ketika dewasa, anak-anak ini tidak terbiasa mengatasi masalah di dunia nyata. Bagaimanapun, segala kecanggihan teknologi digital ciptaan manusia tetap tidak akan mampu membeli “sensasi petualangan” yang sesungguhnya di dunia nyata.

Saya jadi teringat cerita Digimon Adventure. Serial kartun asal Jepang ini mengisahkan perjalanan “Anak-Anak Terpilih” (Taichi, Yamato, Sora, Jo, Kozhiro, Mimi, dan Takeru) yang terjebak dalam sebuah dunia digital. Di dunia itu, keselamatan Anak-Anak Terpilih sedang terancam karena adanya Digimon-Digimon jahat yang ingin menguasai dunia.

Anak-Anak Terpilih sadar, mereka tidak bisa tinggal di dunia digital selamanya. Mereka harus segera kembali ke dunia nyata karena ada orangtua dan sahabat yang telah menunggu kepulangan mereka. Anak-Anak Terpilih pun rela menempuh segala resiko petualangan demi mengembalikan dirinya ke dimensi realitas—tempat orangtua dan para sahabat menunggu.

Beruntung, sekawanan Digimon baik datang dan menolong Anak-Anak Terpilih. Para Digimon baik dan Anak-Anak Terpilih harus saling bekerjasama untuk mengalahkan para Digimon jahat sambil berusaha mencari jalan pulang ke dunia nyata. Dalam kondisi terdesak, para Digimon baik bisa berevolusi dan melipatgandakan kekuatannya demi melindungi Anak-Anak Terpilih dan mengembalikan mereka ke dunia nyata.

Seperti halnya cerita “Anak-Anak Terpilih” dalam serial Digimon Adventure, kita juga harus berjuang membebaskan diri dari perangkap dunia digital. Betapapun kerennya PokemonGO, kita harus tetap sadar bahwa kita memiliki tanggung jawab dan peran sosial di dunia nyata. Hal tersebut jauh lebih penting untuk diurus daripada menuruti ego mencari Pokemon.

Meski urusan ini tidak mudah, kita harus tetap sadar diri dan mulai mencoba untuk kembali pada dimensi realitas. Kita bisa mengakhiri segala candu ini dengan cara “mengalahkan para Pokemon jahat”—seperti halnya “Anak-Anak Terpilih” mengalahkan para digimon jahat demi mencari jalan pulang ke dunia nyata.[]


* tazoos: sejenis keping permainan berbahan dasar vynil lunak dengan pinggiran yang berlubang sebagai pengait. Bisa disusun atau dibentuk menjadi aneka macam model kreatif.

Thursday, July 21, 2016

19 Unsung Hero Saya Ketika Kuliah


“Bagaimana caranya menjadi ‘Pahlawan’?
Belajarlah, untuk tidak melulu memikirkan dirimu sendiri.”
(Benny Prastawa)

Akhir 2014 lalu, saya diwisuda. Saat itu, saya tidak tahu harus merasakan apa. Bangga, haru, senang, atau malah—biasa saja. Sejujurnya, saya jauh lebih lega dan bangga saat saya berhasil menyelesaikan skripsi dengan segala hiruk-pikuk revisinya. Alih-alih bangga, saya malah merasa biasa saja saat memakai toga dan mengenakan ‘jubah kebesaran’ (ya, kebesaran dalam artian yang sebenarnya).

Atas pencapaian itu, saya merasa perlu berterima kasih pada “mereka”. Selama 4,5 tahun menempuh studi di perguruan tinggi, “mereka” sering mengentaskan saya dari situasi yang serba sulit. Boleh jadi, kita sering memandang “mereka” sebelah mata. Kita sering mengabaikan “mereka”, bahkan menganggap remeh pekerjaannya hanya karena status profesi atau pendapatan yang kecil. Padahal, peranan “mereka” sangat vital dalam lika-liku kehidupan para mahasiswa di kampus. Jika bukan karena pertolongan “mereka”, saya dan para mahasiswa di planet ini tidak akan pernah ‘melihat matahari’.

Saya menyebutnya para “UNSUNG HERO”.

Berikut ini, saya tuliskan 19 orang atau pihak yang ikut berjasa melancarkan kuliah saya. “Mereka”, yang seharusnya tertulis di halaman kata pengantar skripsi saya—jika bukan karena batasan halaman dan persoalan regulasi.

*   *   *

(1)
Terima kasih kepada Mas-Mas Fotokopi yang telah membantu saya dalam menggandakan jodoh berbagai macam dokumen penting seperti handout, tugas, makalah, dan ratusan lembar skripsi saya. Sebegitu pentingnya peranan kalian sampai saya harus menempatkan kalian di posisi teratas.

(2)
Terima kasih kepada Ibuk-Ibuk Pemilik Warung Makan yang sudah mencukupi gizi saya selama kuliah. Berkat kalian, saya terhindar dari malnutrisi dan busung lapar. Entah apa jadinya seorang lajang yang tak bisa masak seperti saya, tanpa kehadiran warung makan kalian.

(3)
Terima kasih kepada Guru-Guru SD saya yang telah mengajari saya baca-tulis-hitung. Tanpa kalian, mungkin saya sudah terasing dari peradaban dan meringkuk di Rumah Sakit Ghrasia, di Sleman.

(4)
Terima kasih kepada Mas-Mbak Karyawan PT. ABDI Yogyakarta. Berkat ‘gadget’ dari kalian, saya bisa nyambung saat sidang dan ngobrol dengan dosen.

(5)
Terima kasih kepada Mamang Tukang Cukur yang telah sabar menghadapi rambut saya yang senewen. Karena jasa kalian, saya bisa tampil modis dan gaya, layaknya mas-mas di poster Top Collection.

(6)
Terima kasih kepada para Muadzin di masjid-masjid yang telah membantu mengingatkan saya perihal waktu sholat.

(7)
Terima kasih secara khusus saya sampaikan kepada Mas-Mas Penungu Warung Burjo. Berkat kalian, saya tidak harus mlarat-mlarat ke McD, KFC, Starbuck dan restoran cepat saji lainnya saat lapak ibuk-ibuk tutup.

(8)
Terima kasih kepada Bapak Kos yang telah memberi saya ruang kecil untuk nunut ngiyup. Semoga kos-kosannya tidak banjir lagi.

(9)
Oh iya, terima kasih juga kepada para Kuli Bangunan yang rela berpeluh-peluh membangun dan merenovasi kampus saya tercinta. Berkat para kuli, saya bisa kuli-ah. Semoga Tuhan membalas kalian dengan pahala jariyah.

(10)
Terima kasih kepada Para Tukang yang telah memasang jamban. Apapun modelnya (jongkok, duduk, atau berdiri), keberadaan kalian telah menyelamatkan milyaran orang dari sembelit dan pandemi penyakit, tak terkecuali saya dan segenap warga kampus lainnya.

(11)
Terima kasih kepada para Penjual Pulsa yang telah menyediakan pulsa dan paket internet. Kalian tahu, anak muda sekarang butuh pulsa layaknya pasien ICU butuh oksigen.

(12)
Terima kasih kepada Para Montir yang rela membuka bengkelnya hingga larut malam. Maafkan saya jika sering merepotkan kalian saat minta ‘isi angin’ karena uang yang saya bayarkan terlalu ‘kejam’ yang bahkan tidak mencukupi untuk membeli coffeemix di warung burjo.

(13)
Terima kasih kepada para Penjual Buku di Kompleks Taman Pintar yang telah membantu melengkapi referensi skripsi saya. Saya banyak belajar tentang sikap qana’ah, tawadhu, dan filsafat narimo ing pandum dari kalian.

(14)
Terima kasih kepada para Pembuat Es Batu. Karena es kalianlah, segala jenis teh dan jus yang saya minum menjadi lebih nikmat. Saat cuaca terik, es batu kalian sangat membantu.

(15)
Terima kasih kepada Mas-Mas Tukang Parkir yang setia menjaga motor saya selama diparkir di kampus. Maafkan, jika kalian mendapati keteledoran saya dalam memarkir motor sehingga tampak amburadul.

(16)
Terima kasih kepada Mas dan Mbak Penjaga Warnet Kampus. Kalian membantu saya mendapat hiburan dan pencerahan dari internet. Maaf jika saya sering datang larut malam atau pagi-pagi buta. Untung kalian belum kawin, sehingga tidak perlu cemas dipisuhi pasangan jika kalian mendapat shift malam.

(17)
Terima kasih kepada para Penjual Koran yang membantu saya mencari informasi yang teraktual.

(18)
Terima kasih kepada para Pengamen Angklung di Lampu Merah. Keberadaan kalian sering menghibur saya di tengah cuaca terik dan situasi mood yang tidak menentu.

(19)
Terima kasih kepada Mas-Mbak Alumni yang skripsi dan tesisnya saya jadikan bahan untuk membantu skripsi saya. Tulisan-tulisan kalian adalah 'Warisan Paling Berharga'  yang akan menolong adik-adik kelas kalian yang hilang arah karena skripsi.

*   *   *

Itulah para unsung hero yang telah berjasa mengantarkan saya menjadi sarjana. Dalam hal ini, saya merasa sangat berhutang budi pada mereka. Entah bagaimana saya bisa membalas semua jasa baik mereka. Di tulisan ini, saya hanya bisa mendoakan, semoga Tuhan Yang Maha Pengasih berkenan memberi mereka umur dan penghidupan yang penuh berkah, melapangkan rezekinya, dan memudahkan segala urusannya, Aamiin.

Kula—Benny Prastawa—wonten ing wekdal punika ngaturaken agenging panuwun.[]
July 21, 2016Benny Prastawa

Wednesday, July 20, 2016

Elegi Merconpati


“Tanpa resiko kehilangan nyawa,
tak mungkin ada petualangan.”
(Reinhold Messner)

Setiap kali lebaran, harapan saya cuma satu—semoga saya bisa berlebaran dengan damai tahun ini. Harapan yang terdengar konyol memang. Di saat orang lain sibuk bertukar pesan maaf, saya malah berharap bisa berlebaran dengan damai. Tapi saya tidak peduli. Kebisingan yang saya rasakan di hari lebaran sudah mencapai taraf mengganggu. Kebisingan itu telah mencederai esensi 'hari kemenangan' itu sendiri. Secara khusus, dalam tulisan ini, saya hanya akan membahas kebisingan yang ditimbulkan oleh ledakan mercon.

Entah siapa orang yang pertama kali menggagas ide tentang mercon. Pada dasarnya, mercon adalah salah satu jenis bahan peledak berdaya rendah. Hanya saja, bahan peledak itu telah dikemas sedemikian rupa sehingga ia lebih aman untuk dijadikan ‘mainan’ (walaupun sebenarnya setiap bahan peledak tetap saja berbahaya). Karenanya, bisa dibilang mercon adalah sebuah ‘seni’ dalam mengkreasikan bahan peledak demi keperluan entertainment.

Dalam kultur masyarakat kita, mercon sudah bersinonim degan kata “perayaan”. Karenanya, tidak mengherankan jika mercon selalu menjadi primadona dalam setiap edisi lebaran atau perayaan tahun baru. Betapapun berbahayanya, mercon tetap menjadi benda ‘sakral’ yang wajib disulut dalam setiap perayaan. Padahal, dari sisi utilitas, tidak ada manfaat yang jelas dari sebuah mercon, alih-alih benda tersebut lebih sering membawa ending tragis bagi para korbannya.

Jika kita mengetikkan kata “mercon” di Google, maka akan muncul seabrek berita tentang insiden ledakan mercon, lengkap dengan gambar para korbannya. Tak terhitung lagi berapa banyak korban yang berjatuhan karena terkena ledakan mercon, baik dari pihak pelaku peledakan maupun para peracik mercon itu sendiri. Kenyataan ini mengerikan sekali. Bayangkan, bagaimana bisa sebuah benda yang tidak jelas manfaatnya terus-menerus diproduksi, dipasarkan secara luas, dan menimbulkan begitu banyak petaka di masyarakat tanpa ada satu pun sistem yang bisa menghentikan peredarannya.

Sebagian orang mungkin berpikir bahwa meledakkan mercon adalah permainan yang menyenangkan. Bagi mereka, ada kepuasan tersendiri yang dirasakan ketika berhasil meledakkan mercon. Karena dianggap menyenangkan, orang mulai terbawa arus dan melalaikan resiko terburuk dari ledakan mercon. Tak peduli berapa pun banyaknya korban yang tewas atau menjadi cacat seumur hidup karena bermain mercon, benda itu tetap menjadi primadona dalam setiap perayaan. Hal ini persis seperti para pecandu miras oplosan yang terus menenggak minuman itu, meski korban yang menggelepar dengan mulut berbusa sudah jamak terjadi di mana-mana.

*   *   *

Berbicara masalah mercon, saya jadi teringat sebuah video di Youtube yang menayangkan detik-detik ledakan mercon ‘raksasa’ di daerah Pemalang, Jawa Tengah. Peristiwa itu terjadi pada bulan Juli 2013. Dalam video berdurasi sekitar dua setengah menit itu, tampak jelas bagaimana prosesi peledakan mercon ‘raksasa’ yang berujung petaka.

Awalnya, sebuah mercon ‘raksasa’ diarak beramai-ramai menuju areal persawahan (beberapa sumber mengatakan, tinggi mercon ‘raksasa’ itu mencapai 1,3 meter dengan diameter 20 sentimeter). Areal persawahan itu tampak cukup luas, sehingga cocok dijadikan tempat meledakkan mercon. Jika melihat banyaknya ceceran kertas sisa mercon di areal tersebut, sepertinya masyarakat di daerah itu sudah sering menggelar acara serupa sebelumnya.

Sesampainya di tempat peledakan, tiga orang pemuda bersiap menyulut mercon ‘raksasa’. Beberapa meter di sebelahnya, dua orang pemuda terlihat sibuk merekam suasana peledakan melalui kamera ponselnya. Begitu segala sesuatunya siap, mercon pun disulut. Dalam hitungan detik, mercon yang baru saja disulut langsung meledak hebat.

DAAARRRR!!!!

Suara ledakan terdengar sangat keras. Asap putih yang tebal segera menyelimuti lokasi ledakan. Kertas-kertas pembungkus mercon berhamburan di udara. Tiga orang yang menyulut mercon terkapar. Dua di antaranya (dikabarkan) tewas seketika. Warga yang awalnya ‘asyik’ menonton, tiba-tiba menjadi histeris. Mereka berhamburan menuju lokasi ledakan untuk menolong para korban yang tergeletak tak berdaya.

Sejurus kemudian, sebuah mobil pick up datang untuk melarikan para korban ke rumah sakit. Kondisi tubuh mereka tampak sangat mengenaskan. Salah seorang warga yang membantu evakuasi tampak menenteng potongan kaki salah satu korban sambil berkata, “Iki sikile, iki sikile…” (Ini kakinya, ini kakinya). Dan saya pun mulai mual untuk melanjutkan cerita ini.

*   *   *

Seperti yang saya katakan tadi, saya tidak habis pikir dengan orang yang meledakkan mercon. Meski mereka menganggap mercon adalah sarana hiburan, hal itu tidak mengubah fakta bahwa mercon telah menelan banyak korban jiwa, baik dari pihak pelaku peledakan maupun para peraciknya. Tapi para penggemar mercon tidak pernah jera. Setiap tahun, setiap lebaran, letup-letup mercon masih terus terdengar. Ironisnya, orang-orang dewasa malah ikut-ikutan latah, ‘mengompori’ anak-anak untuk meledakkan mercon sebagai wujud perayaan lebaran.

Pertanyaannya, mengapa orang senang meledakkan mercon?

Dalam asumsi saya, setidaknya ada 3 faktor utama yang membuat orang berpikir bahwa meledakkan mercon itu menyenangkan, yaitu: faktor ‘bahaya’, ‘gejolak adrenalin’, dan ‘sensasi kelegaan’.

Semua orang tahu bahaya ledakan mercon. Tapi terkadang manusia ingin ‘bermain-main’ dengan bahaya itu. Sebagian orang merasa tertantang untuk mendekatkan diri pada sebuah objek atau kondisi yang berbahaya, demi mendapatkan ‘sensasi berpetualang’. Hal serupa juga dialami oleh para pelaku olahraga ekstrim seperti jetski, panjat tebing, bungy jumping, dan penggemar wahana roller coaster. Jika kita termasuk salah satu di antara penikmat kegiatan ekstrim tersebut, kita bisa lebih mudah memahami ‘kesenangan’ yang dirasakan para penggemar mercon.

Ketika kita dihadapkan pada bahaya, maka hormon adrenalin akan meningkat. Hal ini memicu serangkaian mekanisme ‘pertahanan diri’ dalam tubuh kita, seperti meningkatnya denyut jantung dan mempercepat proses respirasi. Contoh dari proses ini adalah saat kita berlari kencang karena dikejar-kejar anjing. Selain itu, hormon adrenalin juga bisa memicu pelepasan stres. Itu sebabnya, orang-orang yang meledakkan mercon bisa tetap berwajah ceria karena sebagian stres dalam dirinya telah terlepas.

Dari penjabaran di atas, kita bisa memahami ‘kelegaan’ yang dirasakan para penggemar mercon ketika berhasil meledakkan sebuah mercon dan meloloskan diri dari bahaya terkena efek ledakannya. Hal ini, pada akhirnya, mendorong penggemar mercon untuk meledakkan mercon lagi dan lagi. Tanpa sadar, mereka tengah digiring untuk ‘berjudi’ dengan mempertaruhkan keselamatan dirinya sendiri.

Sebuah kesenangan sesaat yang ditukar dengan keselamatan diri atau bahkan nyawa adalah salah satu bentuk kebodohan. Tidak logis rasanya, jika kesenangan yang sifatnya sesaat harus dibayar dengan nyawa yang tidak sebanding harganya. Padahal, kita semua tahu, ada banyak jalan yang bisa ditempuh untuk meraih kesenangan hidup. Untuk apa mempertaruhkan keselamatan diri sendiri demi sebuah petualangan?

Karena itu, sebelum kalian ikut-ikutan meledakkan mercon, pikirkanlah baik-baik! Pikirkanlah orang-orang yang akan terganggu ketenteramannya karena suara mercon. Pikirkan juga keselamatan diri kita! Pikirkanlah, orang-orang yang menjadi cacat dan mati konyol terkena ledakan mercon! Pikirkanlah semua kekonyolan dan kebodohan yang ditimbulkan mercon. Karena di mana pun tempatnya, sebuah mercon tidak pernah ragu untuk meminta tumbal nyawa.[]
July 20, 2016Benny Prastawa

Tuesday, July 19, 2016

Nasehat Bijak tentang Menemukan Bakat


Siang itu, saya sedang menunggui motor saya yang tengah diservis di sebuah bengkel. Suasana bengkel tampak sepi, hanya ada beberapa orang yang mengantri, termasuk saya. Saat saya mengantri, seorang perempuan dengan sepeda motornya mendatangi bengkel itu. Saya mengamati perempuan itu. Tubuhnya tidak setinggi perempuan lain seusianya. Saya membatin, perempuan itu mungkin mengidap dwarfisme, semacam gangguan hormonal pada tubuh yang mengakibatkan penderitanya tidak bisa tumbuh tinggi layaknya orang normal.

Sesaat setelah memarkir motornya, perempuan itu bergegas mendatangi meja resepsionis. Setelahnya, perempuan itu mengambil tempat duduk di sebelah saya. Awalnya, saya merasa agak canggung karena tidak biasa menghadapi fisiknya yang “berbeda”. Tapi melihat rona wajahnya, saya mulai berpikir bahwa perempuan itu adalah tipe orang yang ramah dan mudah bergaul.

Dugaan saya pun terbukti. Selang beberapa menit, saya dan perempuan itu sudah terlihat mengobrol. Dalam percakapan itu, saya memanggilnya “Mbak.”* Topik obrolan kami tidak jauh dari kuliah dan masalah akademis. Dari penuturannya, Mbak ini ternyata adalah seorang mahasiswi di sebuah perguruan tinggi ternama di Yogyakarta. Jika saya tidak salah ingat, dia kuliah di jurusan sastra. Begitu mendengar ceritanya, mau tak mau saya pun takjub.

Mbak berkata bahwa fisik bukanlah hambatan bagi kita untuk meraih sukses. Tubuhnya memang “berbeda”, namun Mbak tetap menjaga api semangatnya dan berusaha membuktikan kemampuannya. Umumnya, ketika seseorang dihadapkan pada keterbatasan tertentu—misalnya keterbatasan fisik—orang itu cenderung mengeluh dan merasa sudah tidak memiliki masa depan lagi. Pada kasus Mbak, tubuh kecilnya mungkin akan membuat orang memandangnya dengan sebelah mata. Mbak tidak dipercaya untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan sulit, betapapun hebatnya Mbak. Orang mungkin akan tetap meremehkannya. Tapi, Mbak berusaha menepis semua anggapan itu dan membuktikan bahwa dirinya bisa belajar sampai perguruan tinggi.

Di sela percakapan itu, Mbak menasehati saya:

Kerjakanlah pekerjaanmu sebaik-baiknya! Dengan begitu, kelak kau akan tahu di mana letak kelebihanmu.

DEG! Nasihat itu terasa menampar saya. Saat itu, saya memang tengah gelisah karena saya pun menjalani hidup sebagai “orang yang berbeda”—sama halnya dengan Mbak. Mendengar nasihat itu, saya merasa telah menemukan pelajaran yang sangat berharga. 

Dulu, saat saya sekolah, saya gelisah karena tak kunjung menemukan bakat. Di satu sisi, saya iri melihat teman-teman saya sudah mulai sibuk dengan bakat masing-masing. Saya iri melihat teman-teman saya yang mahir bermain musik. Saya iri melihat teman-teman saya yang jago matematika. Saya berpikir, betapa beruntungnya mereka bisa menemukan bakatnya—sementara saya masih luntang-luntung tidak jelas karena saya tidak memiliki kelebihan apapun.

Kegelisahan saya sudah bermula sejak masuk SMP. Demi menuruti rasa iri saya pada teman-teman, saya pun ‘kalap’ dan mencoba mengikuti banyak kegiatan (ekskul). Saya pernah mengikuti ekskul basket, tapi kemudian gagal karena memang tinggi badan saya tidak compatible

Saya pun beralih menekuni dunia musik karena berpikir cowok yang pintar main musik itu keren. Saat itu, instrumen yang saya pilih adalah gitar. Saya mencoba membeli gitar dan mempelajari teknik-teknik dasarnya. Tapi hingga saya menuliskan catatan ini, skill saya hanya bisa mentok di strumming (genjrengan) kunci dasar. #ironis

Gagal dalam dua bidang membuat saya mencari pelarian. Saya pun mengikuti ekskul jurnalistik. Ya, ekskul yang isinya belajar nulis dan membuat majalah dinding. Saya pikir, mungkin dari sana saya akan menemukan sesuatu. 

Di ekskul itu, saya mulai merasa nyaman. Saya menemukan dunia di mana saya tidak harus memakai kelebihan fisik untuk berkembang. Sejak sat itu, muncul angan-angan dalam diri saya bahwa “menulis adalah kelebihan saya”. Menulis adalah pelarian yang selama ini saya cari. Karenanya, sejak sekolah menengah saya pun mencoba belajar blog—meski pada prakteknya saya hanya seumur jagung mengurusnya. (Maklum, saat itu koneksi internet masih cukup mahal dan saya belum punya laptop sendiri untuk menulis).

Ngomong-ngomong, perjalanan saya di ekskul jurnalistik tidak mulus-mulus amat. Kenyataan bahwa saya adalah satu-satunya lelaki yang ada di ekskul itu membuat saya harus bermuka tebal di sana. Padahal, saya punya sindrom “gugup ketika berhadapan dengan wanita”.

Tapi saya bersyukur karena dari ekskul jurnalistik saya bisa mengembangkan kemampuan menulis. Sayangnya, karena saya tidak konsisten menulis, kemampuan saya tidak berkembang. Saya mengalami stagnansi, sampai akhirnya ketika kuliah saya baru menemukan kembali minat menulis dan membuat blog lagi (blog saya yang lama bisa dilihat di sini). Sementara itu, perjalanan saya dalam mencari “kelebihan” masih terus berproses sampai saya menulis catatan ini.

*   *   *

Boleh jadi kalian juga mengalami kegelisahan seperti saya karena tidak memiliki bakat khusus. Saat remaja, kita berangan-angan memiliki bakat yang bisa dibanggakan di hadapan teman-teman. Saat beranjak dewasa, kita ingin mentransformasikan bakat itu sebagai sebuah “kelebihan” untuk menolong orang banyak. Kita pun mencari kelebihan itu dengan tekun belajar, aktif di organisasi, mengikuti kegiatan ekskul, dan banyak membaca buku sesuai minat kita. Namun kenyataannya, seringkali bakat atau “kelebihan” yang kita cari belum juga tampak.

Kerjakanlah pekerjaanmu sebaik-baiknya!
Dengan begitu, kelak kau akan tahu di mana letak kelebihanmu.

Ya, mengerjakan aktivitas apapun dengan sebaik-baiknya adalah pilihan logis untuk menemukan “kelebihan” dalam diri kita. Nasihat Mbak mengajarkan kita bahwa untuk sampai pada sebuah pencapaian prestisius, kita harus berfokus pada prosesnyaMengerjakan suatu pekerjaan dengan sebaik-baiknya adalah formulasi terbaik agar kita tahu di mana minat kita dan peran yang bisa kita emban dalam kehidupan ini.

Ironisnya, sebagian kita memilih pasrah pada takdir. Kita membiarkan diri kita didikte oleh lingkungan dan keputusan orang lain. Ketika kita mendapat nasib baik, kita menganggapnya keberuntungan. Tapi ketika kita mendapat nasib buruk, maka kita menyebutnya kemalangan dan kegagalan.

Padahal, sejujurnya, kitalah yang menganiaya diri kita sendiri. Boleh jadi, kita pula yang tidak mau berupaya mengubah keadaan. Kita terlalu lemah dan bersikap cemen saat menemui kegagalan. Betapa pun sulitnya kondisi kita, semesta sudah menyediakan segala sumber daya bagi kita untuk mengubah nasib.

Keberuntungan, kesuksesan, dan kebahagiaan, bukanlah lotre yang bisa kita dapatkan secara cuma-cuma. Kita memiliki kuasa dan sumber daya untuk mencapai semua itu. Terkadang, keberuntungan memang hadir dan mengubah drastis nasib seseorang. Namun keberuntungan hanya akan menghampiri mereka yang siap menjemputnya dan sibuk berusaha!

Sebagai contoh, orang mungkin berpikir Bill Gates adalah orang paling “beruntung” di dunia. Lha wong kuliah saja nggak selesai, kok bisa jadi orang paling kaya seplanet Bumi. Dalam hal ini, kita mungkin lupa, bahwa apa yang kita sebut “keberuntungan” itu, bisa diraih Bill Gates karena kerja keras dan inovasinya yang tiada henti. Kita mengabaikan fakta bahwa Bill Gates hanya tidur 8 jam dalam seminggu saat mengambangkan Windows untuk pertama kalinya.

“Kerjakanlah pekerjaanmu sebaik-baiknya!
Dengan begitu, kelak kau akan tahu di mana letak kelebihanmu.”

Selagi kita masih muda, ada baiknya kita mempelajari banyak hal. Kita bisa memulai dari hal-hal yang kita suka, seperti hobi atau kegiatan lain yang menurut kita menyenangkan dan bermanfaat. Betapapun kita memiliki kekurangan dan keterbatasan, kita tidak boleh menyerah dan berhenti belajar, karena belajar adalah proses seumur hidup.

Kerjakanlah pekerjaan apapun dengan sebaik-baiknya, hingga kelak kita menyadari kelebihan kita. Semoga dengan kelebihan itu, kita bisa mengambil peran penting dalam kehidupan ini dan bertransformasi menjadi pribadi yang bermanfaat bagi sesama. Karena yakinlah, Tuhan tidak pernah menciptakan manusia untuk menjalani kehidupan yang sia-sia. []


* Pertemuan saya dengan Mbak terjadi 2 atau 3 tahun yang lalu. Saya tidak begitu ingat ucapan persisnya. Namun intinya kurang lebih sama dengan apa yang saya tuliskan. Sampai saat ini saya tidak tahu siapa persisnya Mbak yang saya temui di bengkel itu. Selama bercakap-cakap dengannya, saya hanya memanggilnya dengan kata sapaan “Mbak”. Dan memang hanya “Mbak”, tanpa tambahan nama di belakangnya. Semoga Tuhan memberkati usianya dan membantunya meraih impian-impiannya. Aamiin...

Monday, July 18, 2016

Si Gemuk dan Si Kurus


“Sebaik-baik urusan adalah yang pertengahan,
tidak sedikit, dan tidak berlebihan”
(pepatah)


Alkisah Si Gemuk dan Si Kurus sedang dalam perjalanan menuju ke pasar. Keduanya berjalan beriringan dengan langkah yang lambat-lambat. Pasar yang dituju masih setengah jam perjalanan. Si Kurus yang tampak mulai bosan, sesekali mengomel pada Si Gemuk.

“Woy, Muk, bisa lebih cepat tidak? Jalanmu sudah seperti keong di sawah saja.”
Si Gemuk diam saja. Nafasnya masih terengah-engah. Kedua tangannya sibuk menyeka peluh di dahinya.

“Ini sudah kecepatan penuh. Bisa saja aku memaksakan diri, tapi setengah perjalanan dari sini, kau harus menggendongku.”

Si Kurus menggelengkan kepala kemudian menghela napas panjang. Si Gemuk berjalan gontai. Langkah kakinya melambat.

“Kamu beruntung, Rus. Badanmu ringan. Kamu tidak akan mudah letih seperti diriku.”

“Wah, jangan salah. Begini-begini aku juga bisa capek kalau terus-terusan berjalan lambat sepertimu. Kenapa tidak kau percepat saja langkahmu, agar kita tidak keburu pingsan sebelum tiba di pasar.”

Si Gemuk menggelengkan kepala. “Ngomong-ngomong, aku tidak pernah minta dikasih badan gemuk begini. Mauku sih, badanku tidak segemuk ini. Yang sedang-sedang sajalah.”

“Begitu pun denganku. Aku juga tidak pernah minta dikasih badan kurus kering seperti ini. Kau tahu, wanita sekarang lebih doyan pria gemuk?” Wajah Si Kurus mendadak serius. Sementara Si Gemuk malah tersenyum geli.

“Ah, kau mencoba menghiburku?”

“Tentu saja tidak. Aku serius. Sudah beberapa kali aku mengamati, dan mensurvei kebanyakan wanita sekarang suka dengan pria yang badannya berisi.”

“Berisi dompetnya maksudmu?”

Kedua orang itu tertawa lepas.

“Mungkin kau benar, wanita suka pria yang berisi. Tapi bukan pria yang terlalu gemuk sepertiku.” Si Gemuk menepuk-nepuk perutnya.

“Hmm…enak juga jadi gemuk sepertimu, Muk. Tenagamu jauh lebih kuat dalam hal angkat-angkut. Sementara aku, mengangkat segalon air saja sudah kewalahan.”

“Memang. Tapi orang gemuk tidak bisa sembarangan makan. Orang gemuk harus pilih-pilih makanan. Kalau salah pilih, bisa-bisa kita malah menimbun penyakit. Kau lebih santai karena bisa makan apapun tanpa perlu khawatir terkena penyakit macam-macam. Stroke lah, darah tinggi, kanker, dan sejenisnya.”

“Memang, tapi, meski aku merasa sudah banyak makan, badanku tak kunjung gemuk juga. Aku juga kesulitan mencari baju yang cocok denganku. Baju-baju yang dijual di pasar terlalu besar. Aku sering kedoodran memakainya. Kau tahu, aku jadi mirip layang-layang saat angin kencang bertiup.”

“Haha…ya tentu saja. Orang-orang berpikir kau akan terbang dihempas angin jika memakai baju yang tidak pas ukurannya.”

Si Kurus terkekeh. “Ngomong-ngomong, mungkin kau perlu obat cacing, Rus. Orang kurus sepertimu bisa jadi model iklan obat cacing terkenal. Kalau mau laku, aku bisa meminta petugas dinas kesehatan untuk menambahkan fotomu di pojok banner dengan tulisan “Berantas Cacingan!

Sekali lagi, Si Kurus terkekeh. “Imajinasimu terlalu liar, Muk. Siapa pula yang akan membayar model ‘sapu lidi’. Aku malah sudah lupa dengan obat cacing. Saat bocah, aku pernah dipaksa meminumnya. Meski sudah meminumnya, badanku tetap tidak gemuk-gemuk juga.”

Sejenak, suasana menjadi hening. Desir angin membelai pohon jati yang tumbuh di sepanjang jalan. Beberapa daun jati tampak berguguran memenuhi ruas-ruas jalan yang berdebu.

“Jadi, semua orang punya masalahnya masing-masing, Rus?”

“Maksudmu? Dalam hal apa?”

“Maksudku seperti yang kita bicarakan barusan, orang gemuk punya masalahnya sendiri, dan orang kurus juga punya masalahnya sendiri.”

“Ya, tentu saja begitu. Masalah membuktikan bahwa kita ini hidup. Satu-satunya tempat di dunia yang tidak ada masalah cuma kuburan.“

Si Gemuk menenggak botol minuman yang diselipkan di tas kecilnya. Ia menawarkan botol minuman itu pada Si Kurus.

“Karena hidup ini banyak masalah, kita dianjurkan untuk saling menolong, bukan saling menghina, mencaci, dan merendahkan kelemahan masing-masing.”

“Bijak sekali kau, Muk. Kupikir kau berpikiran sempit seperti orang-orang kebanyakan.”

“Sepertinya mereka perlu diajar etika dan empati.”

“Menurutku, itu tidak akan mudah, sampai mereka menyadari kelemahannya sendiri.”

Si Gemuk mengangguk, mengamini kata-kata Si Kurus. Pasar yang mereka tuju sudah nampak di hadapan mereka.[]
July 18, 2016Benny Prastawa

Melogika Urusan Cinta


Jatuh cinta itu pasti,
sakit hati itu pilihan
(Benny Prastawa)


Ilustrasi:
Santi, seorang gadis remaja yang baru setahun duduk di bangku SMA, jatuh cinta dengan Bondan, teman kelasnya. Di mata Santi, Bondan adalah tipe cowok yang sempurna. Tampan, cerdas, ramah, dan jago bermain basket. Kebetulan Bondan juga belum punya pacar, sehingga Santi tertarik untuk menjadi pacarnya.

Berbagai upaya dilakukan Santi demi mencari perhatian Bondan. Setiap hari, Santi berkirim pesan dengan Bondan. Sekali waktu, ia meminjam buku catatan Bondan dan memintanya untuk mengerjakan PR. Sebagai imbalannya, Santi sering mentraktir Bondan di kantin dan memberinya berbagai hadiah. Santi juga rela mengikuti ekskul basket meski dirinya tida begitu mahir dalam olahraga itu. Ia melakukannya, semata demi menemui Bondan dan mencuri-curi waktu mengobrol dengannya.

Bondan menanggapi perhatian Santi dengan bersikap ramah kepadanya. Setiap kali Santi membutuhkan bantuan, Bondan tak sungkan menolong Santi. Di sisi lain, Santi mengartikan keramahan dan kebaikan Bondan sebagai kode bahwa Bondan menaruh perasaan yang sama dengannya. Karena itu, beberapa bulan kemudian, Santi memberanikan diri untuk menyatakan cintanya pada Bondan. Saat itu, Santi sangat yakin ungkapan cintanya tidak akan bertepuk sebelah tangan.

“Maaf…aku hanya menganggap hubungan kita sebagai sebuah pertemanan, tidak lebih…” jawab Bondan lirih.

Santi terhenyak. Keceriaan di wajahnya seketika sirna. Harapannya yang terlanjur membuncah pun berceceran, bagaikan bongkahan stalagtit yang menghujam lubuk hati Santi keras-keras. Perih dan teramat menyakitkan. Santi kehabisan kata-kata. Ia tak menyangka segala upaya yang dilakukannya selama ini sia-sia. Sebelumnya, ia sangat yakin jika keramahan Bondan adalah bukti bahwa Bondan mencintainya.

Santi mengabaikan fakta bahwa pada dasarnya Bondan tidak hanya ramah pada Santi seorang. Bondan selalu ramah pada semua orang. Sayangnya, Santi menafsirkan keramahan Bondan sebagai sesuatu yang lain. Ia mengira, keramahan itu adalah sebuah sambutan dan jawaban untuk rasa cinta yang bergelayut di hati Santi. Dan kini, ia menyadari bahwa ia telah tertipu oleh perasaannya sendiri…

*   *   *

Saya yakin, cerita semacam itu jamak terjadi di sekitar kita. Mungkin saja beberapa di antara kalian pernah mengalami situasi yang sama menyesakkannya dengan Santi, atau malah lebih buruk. Ketika kita menaruh rasa pada seseorang, kita pasti berharap orang itujuga menaruh perasaan yang sama pada kita. Kita ingin orang itu juga menyukai kita sebagaimana kita menyukainya. Tapi cinta, bukanlah matematika. Ia terlalu rumit untuk dipahami dengan pendekatan logika karena seringnya ia menipu logika kita.

Dalam kasus Santi, ia jatuh cinta pada Bondan karena Bondan tampan, cerdas, ramah, dan jago main basket. Santi memiliki alasan yang logis mengapa ia bisa jatuh cinta. Kemudian, Santi mulai berharap dan memikirkan cara agar Bondan tertarik padanya. Santi melakukannya dengan cara memberi perhatian khusus pada Bondan, melebihi teman-teman cewek di kelasnya. Santi merasa usahanya akan berhasil karena menurutnya Bondan bersikap ramah dan selalu baik kepadanya. Oleh Santi, keramahan itu, diartikan sebagai jawaban “ya” sehingga tidak mungkin Bondan akan menolak Santi. Namun kenyataannya, Bondan tidak bisa menerima cinta Santi. Bondan hanya menganggap Santi sebagai teman, tidak lebih.

Jika kita memposisikan diri sebagai Santi, kita berhak merasa kecewa, dongkol, nyeseg, marah, sedih, hingga menangis getir dengan hati tersayat-sayat. Bagaimanapun cinta adalah rasionalitas yang sempurna. Sebagaimana kita mengambil pilihan dalam hidup, selalu ada konsekuensi logis atas pilihan yang kita ambil. Begitu juga dalam urusan cinta.

Ketika kita menyatakan cinta pada seseorang, ada dua konsekuensi logis yang bisa kita peroleh: “diterima”, atau “ditolak”. Kita tidak bisa memaksa keadaan agar orang itu menerima cinta kita. Alih-alih kita harus mempersiapkan diri untuk menghadapi kemungkinan penolakan. Karena jika kita tidak siap dan terlalu yakin dengan asumsi perasaan sendiri, maka boleh jadi penolakan itu akan jauh lebih menyakitkan.

Alangkah baiknya, jika kita menyikapi cinta dengan ‘angun’, menjaga kehormatan diri, bersabar, dan terus berusaha memperbaiki diri, hingga kelak kita pantas membersamai orang yang kita suka. Alih-alih daripada bersusah payah mencari perhatian dari orang yang kita suka secara terang-terangan. Bukankah menjengkelkan jika kita sudah mempeng curi-curi pandang, memberi hadiah ini itu, rela mengantar kesana kemari, tapi ending-nya malah ‘bertepuk sebelah tangan’. Malu.

Kata orang, cinta butuh pengorbanan. Ya, tentu saja, cinta membutuhkan pengorbanan. Karena pengorbanan adalah manifestasi (perwujudan) dari cinta itu sendiri. Kita tidak mungkin mengaku cinta, tanpa melakukan sesuatu untuk orang yang kita cintai. Hanya saja, kita perlu memahami bahwa ungkapan tersebut dimaksudkan untuk konteks cinta yang agung, penuh komitmen dan tanggung jawab. Pengorbanan cinta yang sejati, hanya pantas disematkan bagi mereka yang sudah menjalin cinta dalam bingkai hubungan yang dicatat negara dan direstui agama.

Jika dua orang mengaku cinta, tapi hubungan yang dijalaninya penuh tipu-tipu dan melanggar banyak batasan moral-agama, maka pengorbanan yang dilakukan tidak lebih dari sebuah ‘peyorasi’ dan kemunafikan atas nama cinta itu sendiri.

Setiap orang pasti pernah jatuh cinta. Tapi apakah cinta itu akan diungkapkan atau dipendam, itu pilihan kita. Begitu pula dengan patah hati dan bahagia, keduanya adalah konsekuensi logis yang bisa kita terima ketika kita jatuh cinta. Dan semua konsekuensi itu bergantung pada bagaiman kita menentukan pilihan hidup dan menyikapi perasaan cinta itu sendiri. Demikian. []

Sunday, July 17, 2016

Kerancuan Paham


Laki-laki yang baik adalah untuk wanita yang baik. Dan sebaliknya, wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik. Tapi, hei, bukankah ada istri baik yang suaminya brengsek ampun-ampunan? Pun bukankah ada suami baik tapi istrinya binal ampun-ampunan?


Oh, begitulah, jika konteks suatu ayat tidak dipahami secara utuh. Yang terjadi kemudian adalah kerancuan paham. Bukan ayat-Nya yang salah, pemahaman kita terhadap konteks ayat itulah yang perlu dibenahi.[]
July 17, 2016Benny Prastawa

Pengajian 'Batman'


Tidak sepatutnya engkau memberi makanan
dengan bungkus kresek bekas yang lusuh
(Benny Prastawa)

Seringkali saya bertanya-tanya, siapa sih yang pertama kali menggagas ide pengajian sampai tengah malam? Bagi saya yang tidak betah melek, acara pengajian hingga larut malam adalah mimpi buruk. Acara tersebut biasanya membuat waktu tidur saya terganggu dan menurunkan daya konsentrasi saya keesokan harinya. Belum lagi jika pengajian tersebut diadakan sampai dini hari, saya malah khawatir para peserta pengajian melewatkan sholat Subuh.

Tentu saja tidak semua orang sama cemen-nya dengan saya. Bagi orang yang pada dasarnya kuat lek-lekan (begadang), pengajian sampai larut malam atau dini hari tidak menjadi soal. Mereka tetap kuat menjalankan ibadah sholat Subuh tanpa harus kesiangan. Karena itu, dalam tulisan ini saya tidak sedang menghakimi bahwa pengajian larut malam itu buruk. Tulisan ini hanya ingin menjelaskan bagaimana seharusnya masyarakat menyikapi acara pengajian yang diadakan hingga larut malam.

Pada dasarnya, tidak ada hukum normatif yang mengatur waktu pelaksanaan pengajian. Pengajian bisa dilakukan kapanpun tanpa batasan waktu. Tentu saja, dalam hal ini panitia pengajian akan mempertimbangkan waktu tertentu yang sekiranya bisa mendatangkan banyak peserta. Karena bagaimanapun, ketika kita berinisiatif membuat suatu acara, maka urusan peserta menjadi penting untuk dipikirkan.

Dibanding waktu-waktu yang lain, “malam hari” adalah waktu yang dirasa paling senggang bagi sebagian besar warga masyarakat. Di waktu itu, warga masyarakat biasa bersantai dan tidak lagi disibukkan dengan aktivitas bekerja. Karenanya, sangat logis jika malam hari dipilih sebagai waktu yang ideal untuk mengadakan pengajian.

Selain itu, harus kita akui bahwa sebagian masyarakat kita mempunyai kebiasaan lek-lekan (begadang). Biasanya penggemar lek-lekan senang mengisi waktunya untuk hal-hal yang kurang produktif, seperti menonton televisi, nongkrong, atau bermain kartu di pos ronda. Melihat realitas tersebut, kegiatan pengajian bisa dijadikan solusi alternatif agar kebiasaan lek-lekan di masyarakat menjadi lebih bermanfaat.

Kegiatan pengajian juga efektif untuk membina aspek rohani dan memperluas wawasan keagamaan warga masyarakat—khususnya masyarakat awam—yang tidak mendalamai ilmu agama secara intens. Sampai di sini, semuanya tidak ada masalah. Pengajian mendapat peran strategis untuk memperbaiki moral dan menggugah kesadaran beragama warga masyarakat.

Tapi ketika kita membahas timing pengajian yang diadakan hingga larut malam, hal ini membutuhkan pertimbangan tertentu. Bagaimanapun acara pengajian larut malam tidak lepas dari resiko. Selain resiko keamanan, resiko lain yang tidak kalah pentingnya adalah potensi gangguan kesehatan dan terlewatnya sholat Subuh.

Karena diadakan hingga larut malam, pengajian semacam ini akan mempengaruhi waktu istirahat kita. Bagi mereka yang biasa lek-lekan, hal ini mungkin tidak masalah. Namun bagi yang tidak biasa melek (terjaga hingga larut malam), maka aktivitas pengajian larut malam bisa menjadi sumber mudharat, entah itu gangguan kesehatan atau terlewatnya sholat Subuh.

Saya bisa memahami jika malam hari adalah waktu yang paling afdhal untuk mengumpulkan sebanyak mungkin warga masyarakat, karena pada periode tersebut tidak ada lagi kesibukan kerja. Faktanya, seringkali kita dapati jumlah peserta pengajian larut malam jauh lebih banyak daripada acara pengajian yang diadakan pada waktu lain seperti Minggu pagi atau selepas sholat Maghrib. Tentu saja hal ini bukan rumus pasti, karena erat kaitannya dengan kultur dan kondisi masyarakat setempat.

Karena itu, pilihan ada di tangan kita. Jika kita lebih afdhal mengikuti pengajian sampai larut malam, maka tidak ada masalah kita menghadirinya, selama acara itu tidak mendatangkan mudharat seperti gangguan kesehatan atau terlambat bangun Subuh. Tapi jika kita khawatir mendapat mudharat, maka ada baiknya kita pertimbangkan lagi untuk mengikuti pengajian sampai larut malam. Jangan sampai kita membuat panitia pengajian ‘berdosa’ karena kita terlambat bangun Subuh atau jatuh sakit setelah mengikuti acara pengajian tersebut.

Sekali lagi, tulisan ini tidak bermaksud melarang aktivitas pengajian. Sama sekali tidak. Bagaimanapun, pengajian tetap harus diadakan untuk menambah wawasan keagamaan masyarakat dan menggugah kesadaran umat untuk mengolah kembali sisi rohaninya di tengah arus kehidupan yang kian hedonis-materialistik. Bukankah kita memang diwajibkan untuk saling menasehati dalam kebaikan dan kesabaran?

Ironis rasanya, jika negara yang mayoritas penduduknya muslim justru sepi dari kegiatan-kegiatan keagamaan. Bersyukurlah, jika di tempat tinggal kita masih ada acara pengajian. Setidaknya, semangat untuk menyebarkan syiar Islam masih terjaga. Sayang sekali, jika satu-satunya pengajian di pemukiman kita hanya diadakan seminggu sekali, pada hari Jumat. Eh, itu kan khotbah Jumat, bukan pengajian.[]
July 17, 2016Benny Prastawa

Saturday, July 16, 2016

Antrian Chaos dan Etika Mengantri


Kalau mengantri, jangan sampai manusia kalah sama bebek
(Pelajaran moral anak SD)

Setiap kali mengantri, prinsip saya sederhana: “Yang datang duluan, dilayani duluan.” Pada kenyataannya prinsip ini tidak selalu berlaku, terutama pada antrian konvensional tanpa nomor urut. Dalam antrian sejenis itu, situasi yang terjadi biasanya menjadi chaos (ricuh). Saya sering mengalaminya ketika jajan di kantin sekolah. Begitu bel istirahat berbunyi, anak-anak berlarian menuju kantin, saling serobot, berebut mengambil  makanan dan minuman, sambil meneriaki pemilik kantin. Entah berapa kali pemilik kantin kecolongan, karena dalam situasi chaos semacam itu, tangan-tangan jahil sering memanfaatkan situasi untuk ‘khilaf’ mengutil jajanan di kantin.

Berhubung saya bukan tipe orang yang ‘suka ribut’, saya lebih memilih menunggu chaos di kantin reda sebelum membeli jajan. Alasannya, saya malas berdesak-desakan dengan anak-anak yang lain serta khawatir akan salah membayar karena seringkali suara pemilik kantin kalah riuh dibanding teriakan anak-anak yang berebut jajanan. Saya sering seperti itu, jika bukan karena terpaksa.

Hampir tujuh tahun berlalu sejak saya resmi meninggalkan hingar bingar kantin sekolah sekolah. Saya pikir, saat saya dewasa nanti saya tidak perlu mengalami antrian chaos* seperti yang biasa terjadi di kantin sekolah. Nyatanya, antrian chaos masih terus terjadi di berbagai tempat. Biasanya, saya mengalami hal seperti itu di tempat-tempat yang memakai antrian konvensional (tanpa nomor urut), seperti di konter pulsa, tempat fotokopi, warung, dan rumah-rumah makan (agar lebih mudah dipahami, saya akan mengambil “warung” sebagai contoh).

Normalnya, jika kita ingin membeli sesuatu di warung, maka si pemilik warung akan menanyakan kebutuhan kita, mengambilkan barang yang dimaksud, dan kita cukup membayar harganya. Selesai. Di warung swalayan pun begitu, hanya bedanya kita diperbolehkan mengambil sendiri barang yang ingin dibeli sebelum membayar. Nah, pada proses pembayaran itulah antrian chaos sering terjadi, terutama pada saat warung ramai pembeli.

Dalam hal ini, saya sering ‘makan hati’ karena beberapa kali dinomorsekiankan oleh si pemilik warung meski saya jelas-jelas datang lebih dulu. Saya tidak habis pikir kenapa. Boleh jadi karena gesture saya yang wagu, atau mungkin tampang saya terlalu dingin, polos, dan innocent, sehingga layak dinomorsekiankan. Entahlah.

Bagi saya, sebenarnya tidak ada masalah jika harus dinomorsekiankan dalam antrian, selama orang-orang yang didahulukan adalah “orang-orang khusus” yang pantas didahulukan. Misalnya ibu-ibu yang repot menggendong anaknya, orang-orang renta, penyandang disabilitas, dan sejenisnya. Dalam kondisi itu, pemilik warung mempunyai alasan logis untuk mendahulukan mereka dan saya bisa memakluminya. Yang tidak bisa saya maklumi adalah ketika saya jelas-jelas datang lebih dulu, tapi dilayani belakangan tanpa ada uzur yang jelas.

Saya menduga, hal semacam itu terjadi karena kebiasaan saya yang “terlalu sungkan” pada pemilik warung. Ya, saya sering merasa sungkan jika harus menyela pemilik warung yang tengah melayani pelanggannya. Dalam standar etika saya, menyela pemilik warung yang tengah melayani pelanggannya adalah sebuah ketidaksopanan. Seharusnya, sebagai pelanggan, kita menghormati pemilik warung yang tengah sibuk melayani pelanggannya. Jika pemilik warung sudah mempersilahkan kita, barulah kita boleh bertransaksi dengannya.

Sayangnya, dalam sebuah antrian chaos, standar etika saya tidak berlaku. Dalam antrian chaos, para pembeli saling berjejalan dan berebut minta dilayani. Jika kita ingin didahulukan, maka kita harus pandai-pandai menyela dan meneriaki si pemilik warung agar dilayani—persis seperti anak-anak yang berebut jajanan di kantin sekolah. Dalam situasi tersebut, pada akhirnya saya lebih sering mengalah dan dinomorsekiankan.

Betapa pun kesalnya, saya merasa perlu mematuhi standar etika saya. Seperti yang saya sebutkan tadi, saya sangat sungkan menyela pemilik warung yang tengah melayani pelanggannya. Saya lebih afdhal menunggu pemilik warung mempersilahkan saya sebelum transaksi dimulai. Dengan begitu, saya merasa lebih nyaman karena tidak melanggar giliran pelanggan lain. Terdengar lebih etis, bukan?

Perkara antri-mengantri ini sepele sekali. Bagi sebagian orang, saling serobot dan melanggar giliran boleh jadi dianggap biasa. Tapi bagi sebagian yang lain, bisa saja hal itu membuatnya tersinggung. 

Masih ingat kasus mahasiswi di Yogyakarta yang di-bully para netizen karena mempermasalahkan antrian di SPBU? Seharusnya urusan tersebut selesai di SPBU, andai si mahasiswi tidak mengungkapkan kekesalannya dengan kata-kata bernada SARA di akun Path-nya. Kasus itu pelik sekali (atau mungkin sengaja dipelik-pelikkan) sampai-sampai Sri Sultan harus turut campur menanggapinya. Padahal jika kita mau memahami etika mengantri, bersedia untuk sabar dan menunggu, ekses buruk dari antrian chaos seperti yang menimpa mahasiswi tersebut bisa dihindari.

*   *   *

Di Jepang, anak-anak sekolah (terutama di tingkat sekolah dasar) diajarkan untuk berbaris rapi sebelum masuk kelas. Hal seperti itu rutin dilakukan setiap hari dan dianggap semacam kegiatan pembiasaan di sana. Urusan baris-berbaris ini memang tampak sepele. Tapi para pendidik di Jepang paham betul, bahwa melalui kebiasaan berbaris sebelum masuk kelas, anak-anak dapat belajar tentang sikap menghargai giliran, melatih kedisiplinan, dan membiasakan mereka untuk tertib di lingkungannya. 

Saya masih ingat, bagaimana guru SD saya mengajarkan etika mengantri pada murid-muridnya. Saat itu, para murid diminta untuk melihat gambar pak tani yang sedang menggiring sekawanan bebek. Dalam gambar itu, tampak bebek-bebek pak tani yang berbaris rapi di jalan. Di sebelah gambar pak tani dan bebeknya, ada gambar sekelompok manusia yang tengah ramai berebut antrian. Guru saya berpesan, “Kalau mengantri, jangan sampai manusia kalah sama bebek.” Sebuah ungkapan satire yang sangat relevan untuk menyindir perilaku orang yang tidak menghargai etika mengantri.

Sampai di sini, saya mulai khawatir. Jika kita masih meremehkan etika mengantri, maka sepuluh tahun mendatang, ketika jumlah penduduk Indonesia semakin membludag—mungkin menyentuh angka 400 juta jiwa—antrian chaos akan lebih sering terjadi. Saat itu, jangankan aksi saling serobot, perkelahian-perkelahian kecil dan adu jotos bisa saja terjadi. Saya membayangkan situasi saat itu akan mirip film pendekar tempo dulu yang gemar berkelahi di warung-warung makan.

Karena itu, agar ‘fantasi liar’ saya tidak beneran terjadi, saya harap para pemilik warung, toko, tempat fotokopi, dan rumah-rumah makan mulai bergegas menerapkan ‘teknologi nomor antrian’ demi menghindari antrian chaos. Kalau perlu, sediakan juga satpam atau satpol PP untuk membantu menertibkan para pelanggan yang kemrungsung minta dilayani. Boleh jadi, hanya dengan cara itulah, kita mau menghormati giliran dan mulai belajar etika mengantri.[]


*antrian chaos: istilah untuk menjelaskan situasi antrian yang ricuh, di mana para pengantri saling serobot dan berebut giliran, hingga menimbulkan kekacauan.
July 16, 2016Benny Prastawa