Sunday, December 1, 2019

Hidup Ini Memang Sementara Tapi....






Hidup di dunia ini memang sementara. Akan tetapi, kesementaraan itu tidak berarti kehidupan di dunia ini berhak untuk ditelantarkan. Hidup di dunia ini memang sementara. Hanya sekelebat waktu saja. Dibandingkan dengan akhirat, hidup di dunia ini tak lebih dari sekedar pagi ke sore hari, atau sore ke pagi hari. Akan tetapi, manusia terikat pada dimensi waktu di dunia yang jika diukur berdasarkan jangkauan umurnya, segmen hidup di dunia itu sangaaaaat...lama.

Aku heran dengan mereka yang begitu taat, sedemikian taatnya hingga keluarganya sendiri terabaikan. Siang malam hidupnya diabdikan untuk menekuni ketaatan tapi tanggung jawabnya kepada sesama tak kunjung ditunaikan.

Aku juga heran dengan mereka yang sibuk bekerja, sedemikian sibuknya hingga urusan ibadah terlupakan. Segala rutinitas dijalani tanpa tahu untuk apa semua pekerjaannya itu dilakukan? Bukankah ketika mati, semua harta benda akan tertinggal di dunia? Bukankah ketika mati, yang tersisa hanya “diri kita yang sejati”?

Kehidupan akhirat adalah kehidupan yang kekal dan niscaya. Akan tetapi, bagaimana keadaan kita di sana sangat ditentukan oleh bagaimana kita bersikap dan berperilaku selama hidup di dunia yang sementara ini.

Urusan dunia dan akhirat tidak bisa dimaknai secara parsial. Keduanya merupakan satu kesatuan—sebuah kausalitas yang sempurna di mana setiap manusia akan diberi ganjaran secara adil pada Hari Akhir.

Seorang bertanya, manakah yang lebih baik: mereka yang rajin beribadah tapi juga rajin menyakiti sesama, atau mereka yang jarang beribadah tapi baik budi pekertinya?

Bagiku, keduanya bukan pembandingan. Sama-sama bukan pilihan yang rasional karena menurutku, esensi dari kehidupan ini akan selalu terhubung dengan realitas di akhirat kelak. Apa yang kita “tanam” di dunia, akan kita “tuai” di akhirat. Sesederhana itu.

Orang yang gemar berjudi akan mendapat ganjarannya. Orang yang gemar bersedekah, akan mendapat ganjarannya. Orang yang gemar mencuri, akan mendapat ganjarannya. Pun orang yang gemar belajar akan menerima ganjarannya. Setiap laku hidup manusia akan selalu mendatangkan ganjaran yang kadarnya hanya bisa ditentukan oleh Yang Maha Adil.

Yang merasa sudah taat, jangan lantas besar kepala, merasa dirinya paling suci seakan sudah beroleh tiket surga. Bukankah mereka yang sombong—meski hanya sedikit–tidak akan masuk surga?

Yang merasa banyak maksiat, jangan lantas berhenti bertaubat. Jangan lantas berputus asa mengejar rahmat. Selama liang lahat belum “terlihat”, teruslah memperbaiki diri sepanjang hayat.

Karena begitulah, kehidupan di dunia ini harus selalu kita maknai keberadaannya. Bukan sekedar dijalani tanpa arti, melainkan dijalani dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Bahwa segala yang kita “tanam” di dunia akan kita “tuai” di ahirat. Bahwa setiap diri, akan mendapat ganjaran atas setiap perbuatannya. Dan karena diri ini “sejatinya” adalah milik Tuhan, maka kepada-Nya-lah kita akan kembali juga.[]

December 01, 2019Benny Prastawa

Friday, November 1, 2019

Time(care)less



Hakikat Waktu
Pada dasarnya, manusia adalah makhluk fana yang keberadaannya ditentukan oleh dimensi ruang dan waktu. Berbicara soal waktu, tentu saja berbicara soal roda kehidupan itu sendiri. Karena itu, mengingat dan merenungi hakikat waktu adalah kunci memaknai kehidupan ini.

Hidup manusia bergantung pada penggunaan waktunya. Kehidupan manusia berawal dari waktu nol (t = 0) dan akan terus berputar hingga berakhir pada saat kematian menjelang. Jadi, waktu hidup kita dijatah oleh Yang Memiliki Waktu. Tidak ada seorang pun yang bisa lolos ketika waktunya tiba.

Manusia tidak bisa menghentikan waktu. Kita tidak bisa membuat satu jam berlalu lebih cepat dibanding semenit. Bahkan kira tidak bisa mengembalikan waktu sedetik yang baru saja berlalu. Akan tetapi, semesta mengizinkan kita untuk memanfaatkan waktu yang ada, baik untuk hal-hal yang berguna maupun yang sia-sia.

Seperti halnya udara, tanah, dan air, waktu memiliki entitasnya sendiri. Jika manusia dan tetumbuhan membutuhkan oksigen untuk hidup, waktu tidak membutuhkan zat penopang lain untuk eksis. Dalam kondisi apapun, waktu akan terus berputar, bergerak, berderak, menghisap setiap peradaban dan dimensi zaman yang dibangun manusia.

Waktu menelan peradaban Mesir kuno, menenggelamkan Firaun dan kaum Nuh, menyebarkan Islam hingga berjaya berabad-abad, membawa Eropa pada renaissance, menciptakan mesin terbang, menemukan gelombang radio dan telepon, membantai jutaan Yahudi di hollocaust tragedy, meluluh-lantakkan Hiroshima-Nagasaki, membawa Neil Armstrong ke bulan, memulai revolusi industri, menghadirkan komputer, dan menciptakan internet dalam dinamika peradaban modern yang terus berpacu dengan kecerdasan buatan (artificial intelligence).

Itulah kehebatan waktu yang selalu bergerak maju tanpa bisa dihentikan oleh apapun. Waktu selalu membawa efek perubahan sosial budaya dalam masyarakat, baik melalui penemuan, peperangan, alih fungsi lahan, teknologi, perpindahan kekuasaan, maupun bencana alam.


Waktu dan Kualitas Diri
Jika kalian ingin tahu kualitas diri seseorang, lihatlah dari bagaimana caranya memanfaatkan waktu.

Seorang yang rajin selalu berkata, "Waktu yang tepat untuk bertindak adalah SEKARANG." Dimensi waktu bagi mereka adalah saat ini. Tidak ada istilah MENUNDA bagi orang-orang rajin. Setiap tugas dan pekerjaan yang datang akan segera diselesaikannya. Tidak ada kata nanti, untuk apa-apa yang bisa diselesaikan saat ini.

Sementara seorang yang malas selalu berkata, "Ah...itu gampang, bisa diurus NANTI." Dimensi waktu bagi mereka adalah nanti. Tidak ada ukuran waktu yang jelas untuk memaknai kata nanti. Bisa jadi segera, bisa jadi lama. Para pemalas selalu lekat dengan aktivitas MENUNDA PEKERJAAN. Setiap tugas dan pekerjaan yang datang tidak selalu langsung dikerjakan, alih-alih disepelekan, dibiarkan menumpuk hingga membuat mereka kelimpungan sendiri merampungkanya esok hari.

Tinggal jalan mana yang akan kita pilih. Apakah jalan orang rajin atau jalan orang pemalas. Yang jelas, waktu tidak akan pernah berkompromi pada siapapun. Waktu akam terus bergulir, tak peduli jika semua manusia memintanya berhenti. Tidak ada sedetik pun waktu yang bisa kita kembalikan.

Ada satu jenis waktu yang sering membuat kita lalai karena eksistensinya yang begitu samar dan halus, yakni waktu LUANG. Ketika semua pekerjaan sudah diselesaikan, beban-beban kewajiban sudah berguguran, akan tiba saatnya waktu luang.

Waktu luang adalah jebakan waktu yang membelit kita seperti hutang rentenir. Semakin banyak waktu luang yang kita miliki, semakin banyak tagihan yang harus kita bayarkan di masa depan.


Waktu Luang Masa Muda
Masa muda adalah masa di mana kita memiliki begitu banyak waktu luang. Ketika tanggung jawab mencari nafkah belum hadir, ketika rutinitas kantor belum membelit, dan selama kewajiban mengurus anak-suami/istri belum tiba, maka ada banyak waktu luang yang bisa dimanfaatkan.

Sayangnya, masa muda adalah masa yang melenakan. Ketika fisik, stamina, dan kreativitas sedang bagus-bagusnya, banyak anak muda yang memilih menghabiskan masa mudanya untuk kesenangan sesaat tanpa makna, seperti nongkrong, pacaran, main game, ngobrol/chat, dan travelling suka-suka.

Semua itu dilakukan hanya demi menyenangkan keinginan indrawi semata dengan motivasi "umur panjang", karena bagi anak muda, kemudaannya adalah anugerah melenakan yang mendorong mereka untuk tidak mengkhawatirkan batas usia dan menganggap dirinya "immortal".

Saat masa muda yang memuat banyak sekali waktu luang itu tidak dimanfaatkan, maka sangat mungkin kehidupan mereka akan lebih sulit di masa depan.

Pengecualian ada jika kita bisa memanfaatkan waktu luang untuk berkegiatan positif. Waktu luang bisa diubah menjadi keuntungan jika kita "menghidupkan" waktu melalui kegiatan-kegiatan positif nan bermanfaat. Bukan malah menyibukkan diri dalam kubangan aktivitas nihil manfaat dengan dalih "membunuh waktu".

Karena waktu memang tidak bisa dibunuh. Tugas kita hanya melanjutkan segmen kehidupan di dunia ini dengan sebaik-baiknya, dengan jatah waktu yang kita miliki.[]

#backDate
November 01, 2019Benny Prastawa

Wednesday, September 25, 2019

Tentang Tujuan Saya Membuat Blog Ini



Sejak awal tujuan saya ngeblog adalah untuk menjaga kadar kewarasan nalar saya. Memang ada masa-masa di mana saya terbesit untuk ngeblog demi popularitas, demi traffic, demi mengatrol jumlah pageviews, sampai berharap bisa lolos adsense. Tapi semua itu mentah. Dengan motivasi yang muluk-muluk seperti itu, saya malah mandeg, dan sulit sekali menelurkan artikel di blog.

Blog pertama yang saya garap serius adalah buah pelarian saya dari tekanan skripsi yang tak kunjung kelar. Lewat blog itu, saya tumpahkan semua uneg-uneg yang berjejalan di otak. Saya bebaskan jari saya mengetik apapun yang mengganjal benak, sambil terus menyemangati diri agar tidak menyerah menghadapi ujian hidup.

Saya menulis topik apapun, tentang sekolah, tentang masa kecil, tentang agama, tentang pilihan hidup, sampai masalah psikis gara-gara skripsi. Dengan cara itu, saya lebih mudah menelurkan tulisan, meski dengan tata bahasa yang lumayan semrawut. Blog pertama saya pun tidak jelas juntrungnya karena tidak membahas satu topik secara spesifik. Gado-gado, dan (harus diakui) kurang enak dibaca karena kualitas tulisan yang asal jadi, ecek-ecek, dan penuh typo di mana-mana.

Meski begitu, berkat blog tersebut saya berhasil mengurai sebagian beban psikis dan menangkal perasaan tertekan karena rasa cemas dan takut. Dalam hal ini, saya tidak main-main. Menulis adalah cara paling ampuh untuk mengurangi masalah psikis. Bahkan mendiang B.J. Habibie pun pernah menulis hanya untuk meredakan kesedihannya setelah istrinya meninggal dunia.

.   .   .

Jadi, konyol sekali jika ada yang berpikir saya ngeblog demi mencari teman baru apalagi sampai mencari kenalan perempuan. Demi Tuhan, saya sudah memiliki seorang putra dan satu-satunya yang saya pikirkan sekarang adalah apa yang akan saya wariskan padanya setelah saya meninggal nanti. Memikirkan itu saja saya sudah pusing, boro-boro menulis di blog hanya demi tujuan receh, seperti mencari kenalan perempuan.

Karena itu, seiring bertambahnya usia, saya harus sadar diri. Jatah hidup di dunia ini tidaklah lama, apalagi setelah dikurangi 8 jam per hari hanya untuk istirahat (tidur). Malang sekali jika ketika saya meninggal, putra saya hanya menghadiri upacara pemakaman, berkirim doa, tahlilan, lalu habis perkara. Malang sekali jika yang tersisa sepeninggal saya hanya kumpulan foto dan video keluarga yang boleh jadi hanya akan menambah duka ketika dibuka. Saya ingin orang tahu (terutama putra saya) tentang sejarah dan idealisme hidup yang ingin saya wujudkan dalam hidup ini.

Saya juga ingin putra saya memahami pemikiran saya, sedemikian hingga dia menyadari apa yang saya harapkan darinya dan bagaimana dia akan mandiri dalam menghadapi permasalahan hidupnya sendiri secara bijaksana.

Jasad saya boleh jadi sudah membusuk di tanah, tapi pemikiran saya bisa tetap dibaca oleh putra saya yang akan hidup di era serba digital. Karena saya bukan penulis yang bisa produktif menerbitkan buku, menulis di blog adalah cara termudah untuk mendokumentasikan ide tanpa khawatir ditolak editor. Dan karena tulisan tangan saya boleh jadi malas terbaca dan rentan rusak, menulis di blog adalah alternatif terbaik untuk menjaga tulisan saya tetap eksis selama Google tidak menutup blogger.com

Meski terdengar idealis, saya berharap catatan ini bisa mengklarifikasi segala bentuk prasangka dan fitnah tentang tujuan saya membuat blog.[]




Friday, September 6, 2019

Secuil Catatan dari Buku Gapailah Mimpimu



Apapun yang kamu inginkan lebih dari apapun juga dalam hidup ini, itulah yang dapat kamu miliki. Jika kamu mengharapkan yang terburuk, kamu akan memperoleh yang terburuk. Jika kamu mengharapkan yang terbaik, kamu akan memperoleh yang terbaik. Jika kamu berpikir benar, hal-hal akan berjalan dengan benar.

Kamu dapat memikirkan jalan keluarmu dari kegagalan dan ketidakbahagiaan. Kamu dapat memikirkan jalanmu menuju keberhasilan dan kebahagiaan. Hidupmu terutama tidak ditentukan oleh kondisi-kondisi dan keadaan diluar dirimu tetapi oleh pemikiran yang biasa memenuhi pikiranmu (Norman Vincent Peale).

Salah satu penyakit kronis tertua yang diidap oleh peradaban manusia adalah 'penyakit dalih'. Para pakar mengatakan bahwa hidup ini tidak membayar berapa banyak yang kau ketahui, tetapi berapa banyak yang kau lakukan. Begitupun, kehidupan ini membayar atas upah, bukan atas dalih atau alasan !

Seorang petani kehilangan seekor kuda kesayangannya. Ia mengeluh dan mengatakan kalau ia tengah ditimpa nasib buruk. Beberapa hari kemudian kudanya yang hilang itu datang membawa kuda lain yang lebih bagus. Petani itu gembira dan bersyukur karena mendapat nasib baik.

Anak petani tersebut kemudian bermain-main dengan kuda baru yang bagus itu, dia terjatuh dan kakinya patah. Si petani bersedih dan menganggap ia tengah ditimpa nasib buruk. Tak lama setelah itu, prajurit kerajaan mendatangi desa-desa untuk mengumpulkan para pemuda yang akan dilatih berperang untuk pertempuran dengan musuh. Sang petani bersyukur lagi karena anaknya yang sedang sakit tak dibawa ke dalam perang.

Kita seringkali memutuskan dan menganggap sesuatu sebagai nasib baik atau buruk dengan cepat tanpa sempat merenungkan maknanya dan dengan gampangnya mengatakan hitam atau putih tapi kemudian bingung untuk membedakan keduanya. Hidup bukanlah undian tapi memiliki hukumnya sendiri seperti sistem tabur tuai.

Decca Recording Company menolak The Beatles dengan argumen tidak menyukai musiknya selain itu popularitas pop sedang merosot. Tapi The Beatles membuktikan kehadirannya berhasil mengguncang dunia dan lagu mereka menjadi karya abadi.

33 penerbit pernah menolak naskah buku Chicken Soup for the Soul dengan argumen hanya berisi kumpulan cerita dan tidak akan disukai orang, tapi buku seri ini telah diterbitkan dalam 30 bahasa dunia dan angka penjualannya mencapai seratus juta eksemplar.

Saat berumur 10 tahun, pukul 3.30 dini hari dengan tubuh menggigil kedinginan Walt Disney sudah bekerja sebagai pengantar koran. Dia memutuskan untuk mendapat penghasilan dari kesukaannya yaitu menggambar kartun. Walaupun orang disekitarnya mencibir tapi dia tetap yakin walau telah sekian lama usahanya tersebut tanpa hasil.

Tapi karena usahanya, akhirnya ada seorang pendeta terkesan dan menaruh simpati akhirnya diberi kesempatan untuk menggambar poster dan pengumuman. Ia tinggal di gudang gereja dengan para tikus. Dia sangat kesepian dan dalam kesepiannya itu dia bersahabat dengan dua tikus yang diwujudkan dalam minny mouse dan micky mouse.

Jangan terlalu cepat menolak sesuatu hanya karena sesuatu itu 'tak seperti biasanya'. Dan kalau apa yang kamu ciptakan ditolak berkali-kali, buka berarti apa yang kamu ciptakan itu tidak berharga.
Apakah kamu ingin hidup terbebas dari segala macam masalah dan steril dari berbagai persoalan?
Ada sebuah komplek pemukiman yang penduduknya benar-benar tidak mengalami masalah, tidak pernah diganggu oleh dering telepon, gonggongan anjing, suara bel rumah, berita di media, gunjingan antar tetangga, harga kebutuhan yang terus naik, sulitnya bekerja, kerasnya persaingan. Kamu ingin bergabung dengan mereka?komplek yang diceritakan tadi adalah komplek pemakaman.

Masalah adalah anugerah Tuhan dan merupakan eksistensi tanda kehidupan. Jika kamu tidak lagi mempunyai masalah, barangkali kamu perlu bersujud dan menanyakan "Tuhan, apa Engkau tidak percaya aku lagi ya? Berikan aku sedikit masalah, karena aku masih hidup..."

Yang paling penting untuk kamu ingat pada saat memulai adalah jangan pernah membiarkan orang lain yang tidak percaya dengan kemampuanmu meremehkan impian-impianmu.

Dunia ini penuh sesak dengan orang-orang yang berpandangan negatif. Mereka punya seribu satu alasan kenapa impianmu tidak berhasil, tetapi mereka siap bergabung denganmu jika kamu berhasil. Karena itu tetaplah yakin dengan kemampuanmu dan ubahlah impianmu menjadi kenyataan (Barbara Grogan).

Setiap hari ribuan mimpi indah dihancurkan dan ribuan bunga yang siap mekar diinjak dan diludahi. Tapi jangan hiraukan mereka. Tetaplah teguh pada janji hatimu. Bahkan kalau seandainya dunia mencibirmu, tetaplah yakin bahwa Tuhan dilangit tengah tersenyum kepadamu.

*GAPAILAH MIMPIMU - Hoeda Manis

***

Hanya secuil kutipan itu yang bisa saya dapatkan dari mesin pencari. Buku berjudul "Gapailah Mimpimu" terbitan Dahara Press sekitaran 2000an sudah tidak dicetak ulang. Entah kenapa, meski saya rasa, secara isi buku ini masih relevan dengan konteks masalah kekinian, buku tersebut tidak dicetak lagi meski oleh penerbit yang berbeda.

Meski begitu, secuil catatan itu rasanya sudah menggambarkan kata-kata motivasi terbaik yang ingin disampaikan penulis lewat buku tersebut. Dan saya jadikan ssbagai self reminder pribadi.[]
September 06, 2019Benny Prastawa

Thursday, August 1, 2019

Ngomong-Ngomong tentang Sir Ian McKellen


Salah satu aktor favorit saya adalah Sir Ian McKellen. Entah daya magis apa yang dimilikinya, tapi setiap peran yang dimainkannya selalu ikonik. Contohnya perannya sebagai Gandalf di film The Lord of The Ring, sebagai Magneto di film-film X-Men, dan sebagai Leigh Teabing dalam The Da Vinci Code. 

Bagi saya, Ian McKellen memiliki kecakapan akting yang terlalu mumpuni sebagai aktor kawakan. Jika kalian cermat, Ian McKellen selalu menampilkan detil-detil kecil yang menguatkan ekspresinya saat berakting. Ia bisa memanipulasi gerakan otot wajahnya, bentuk bibirnya, pandangan mata, sampai naik turunnya alis sesempurna mungkin sehingga penampilannya selalu meyakinkan. Itu sebabnya, tidak heran jika peran-peran yang dimainkan Ian McKellen selalu ikonik.

Ketika kita membicarakan Gandalf, maka Gandalf yang diingat adalah Gandalf-nya Ian McKellen. Saat kita membahas Magneto, maka yang terlintas adalah Magneto-nya Ian McKellen. Saking terbiusnya dengan akting aktor Inggris ini, saya bahkan selalu berpikir bahwa sosok Dumbledore di Harry Potter adalah Ian McKellen juga.

Disadari atau tidak, salah satu kunci sukses film-film superhero Marvel adalah karakterisasi tokoh-tokohnya yang sangat kuat. Setiap aktor dan aktris yang memerankan tokoh superhero Marvel selalu menghayati perannya dengan baik sehingga keberadaan mereka menjadi ikonik dan nyaris mustahil digantikan (jika bukan karena sakit atau meninggal).

Yang bisa menjadi Ironman, ya cuma Robert Downey Jr. Yang bisa menjadi Captain America, ya cuma Chris Evans. Yang bisa menjadi Hawkeye, ya cuma Jeremy Renner. Bagi sutradara film, ia tidak bisa begitu saja mengganti sosok yang sudah kadung melekat dengan perannya, seperti menunjuk Tom Cruise untuk memerankan Captain America, misalnya. Betapapun Tom Cruise tidak kalah tampan dari Chris Evans, sosok Captain America sudah kadung melekat dan ikonik ketika diperankan Chris Evans. Penonton akan merasa aneh, jika Captain America diperankan Tom Cruise yang notabene lebih dikenal dengan perannya sebagai Ethan Hunt di film-film Mission Impossible.

Terlepas dari hal itu, secara subjektif, saya selalu menikmati akting Sir Ian McKellen dibanding para aktor lainnya. Meski sama-sama ikonik, ada perbedaan kecakapan level akting yang menjadi pembeda antara Ian McKellen dengan para aktor lainnya. Ada detil-detil kecil, entah apa itu, yang membuat peran Ian McKellen di film-filmnya lebih meyakinkan, berkharisma, tapi tetap enak ditonton berulang-ulang tanpa mengeluh bosan.

Jika melihat latar belakangnya, wajar saja jika Sir Ian McKellen menjadi salah satu aktor pilih tanding. Ia sudah lama bergelut di dunia sastra, teater, dan akting. Sebelum berusia 9 tahun, sudah belajar teater di Bolton Little Theater. Ketika kuliah di St. Chatarine's College Cambridge, ia terus mengasah kemampuan aktingnya dengan tampil dalam pertunjukan-pertunjukan opera bersama Marlowe Society. McKellen muda pernah mementaskan 23 peran dalam rentang 3 tahun. Tahun 1970-1980an, Ian McKellen rutin mengisi pertunjukan teater prestisius di Royal Shakespeare Company dan Royal National Theatre. Tawaran untuk bermain film pun segera berdatangan melihat kemampuan aktingnya. Mulai dari The Promise (1969), Priest of Love (1981), dan The Keep (1983).

Bisa dipahami kenapa Ian McKellen bisa menyajikan kualitas akting yang mumpuni sampai memperhatikan detil-detil terkecilnya. Dan pengalamannya pun berbicara. Dengan jam terbang yang tinggi, dipadu pengetahuan seputar dunia akting yang mendalam, tidak berlebihan rasanya jika kita menyebut Sir Ian McKellen sebagai salah satu aktor terbaik yang pernah dimiliki Hollywood.[]
August 01, 2019Benny Prastawa

Thursday, March 7, 2019

Menjadi Pengangguran yang Sewaras-Warasnya Pengangguran

Suatu hari, dua sahabat yang dulu satu almamater bertemu di sebuah warung kopi...
Jarwo     : “Halo, Bro. Gimana kabarnya?”
Paiman  : “Kabar gue baik, sob. Masih bernapas.”
Jarwo     : “Kerja apa, bro, sekarang?”
Paiman  :“Gue sekarang freelance.”
Jarwo     : “Ooh...nganggur ya...”
Paiman  : (-_-) . . . . jlebh

.   . . 

“Kerja apa” adalah salah satu basa-basi yang paling potensial menggugah tensi lawan bicara (setelah basa-basi “kapan kawin”). Basa-basi semacam itu sangat mungkin menimbulkan ketidaknyamanan bagi lawan bicara. Terlebih jika basa-basi itu ditujukan pada pemuda waras, berusia produktif, alumni perguruan tinggi ternama dengan titel mentereng, tapi terpaksa menjalani status pengangguran.

Jika lawan bicaranya memang seorang pengangguran, boleh jadi ia akan tersinggung atau merasa tidak enak dengan basa-basi “kerja apa”. Sementara jika lawan bicaranya bukan pengangguran, tapi status pekerjaannya kalah mentereng dibanding si penanya, maka situasi obrolan boleh jadi menjadi kurang nyaman. Si penanya bisa dianggap sedang pamer kesuksesan atau sekedar ingin merendahkan pekerjaan lawan bicaranya. Karena itu, saya pribadi selalu berusaha menghindari topik obrolan seputar pekerjaan jika sudah bertemu teman lama.

Pada dasarnya, tidak ada seorang waras pun di dunia ini yang ingin jadi pengangguran. Selama tubuh masih perkasa dan badan masih menyatu hayat, setiap orang pasti ingin bekerja. Agama pun mengajarkan kita untuk tekun bekerja dan membenci para penganggur yang berpangku tangan.

Sayangnya, karena alasan tertentu, tidak semua orang waras yang sehat jasmani rohani bisa bekerja. Ada saja kejadian, keadaan, dan putaran nasib yang memaksa seseorang menjadi pengangguran—boleh jadi sejenak, boleh jadi tidak. Tentu saja, ini adalah salah satu segmen hidup yang paling “menyebalkan” tapi harus dilalui oleh siapapun sebelum memulai fase baru bersama pekerjaan impian.

Selain “menyebalkan”, menjalani nasib sebagai pengangguran juga tidak mudah. Ada semacam sanksi sosial yang kita rasakan jika setiap hari luntang-luntung tidak jelas. Ada celetuk basa-basi yang tidak enak jika kita hanya berdiam di rumah, alih-alih pergi ngantor atau jualan ke pasar. Belum lagi jika memikirkan desakan ekonomi, desakan sosiologi, dan desakan “biologi” yang kadang menuntut untuk dipenuhi. 

Beruntung jika keluarga kita tergolong mampu, sehingga bisa menalangi sebagian kebutuhan harian kita. Jika tidak, kitalah yang harus berdikari, prihatin, melamar pekerjaan ke sana ke mari, sampai kerja-kerja “serabutan”, demi memastikan kompor dan gas 3kg di dapur bisa dipakai.

Selain terlihat buruk dari segi kemasyarakatan, status pengangguran juga terlihat buruk dari segi kebahasaan. Lebih-lebih bagi kelompok pemuda usia produktif. Maksud saya, jika kita otak-atik, kata “pemuda” itu sendiri tidak ada enak-enaknya jika digabung dengan kata “pengangguran”. Buktinya, setiap kita mengetik “pemuda pengangguran” di Google, maka hasilnya cenderung mengarah pada konten negatif.

.   . .

-  Niat Melamar Gadis Pujaan, Pemuda Pengangguran Ini Justru Dipolisikan...
-  Nekat Curi Mobil, Pemuda Pengangguran Dibekuk Polisi...
-  Pemuda Pengangguran Diciduk Polisi, Ini Penyebabnya...
-  Curi Mobil Teman Sendiri, Pemuda Pengangguran Diamankan...
-  Diduga Berbuat Zina, Pemuda Pengangguran Ditangkap Warga...
Pemuda Pengangguran, Harusnya Kerja Malah Jualan Sabu...
-  Faktor Ekonomi, Pemuda Pengangguran Bobol Rumah Tetangga...
-  Curi HP Penjaga Warkop, Pemuda Pengangguran Dibekuk Polisi...
-  Alasan Ekonomi, Pemuda Pengangguran Nekat Curi Angkot...
-  Teler Berat, Pemuda Pengangguran Pukuli Remaja Di Masjid...
Pemuda Pengangguran Kepergok Bobol Kantor, Babak Belur Dimassa...
-  .............. 
-  .............. 
-  ..............  (silahkan lanjutkan sendiri)

.   . .

Melihat kenyataan itu, saya jadi teringat sebuah sesi Stand Up Comedy yang dibawakan Cak Lontong. Pada sesi itu, Cak Lontong berceloteh, “Pengangguran yang tahu diri, mencari PEKERJAAN. Tapi pengangguran yang tidak tahu diri, mencari HIBURAN”.

Meski disambut gelak tawa yang riuh dari penonton, kelakar Cak Lontong banyak benarnya. Seorang pengangguran yang sadar dirinya sehat, fisiknya normal, otaknya waras, masih muda, tidak memiliki beban tanggungan, tapi tidak memiliki pekerjaan, sudah semestinya bergegas mencari pekerjaan. Itu jika si penganggur sedang sadar (atau dalam falsafah Jawa disebut “eling”).

Tapi bagaimana jika si penganggur sedang tidak eling?
Yaah, kondisinya tidak akan jauh-jauh dari kasus-kasus yang terindeks Google  tadi. Dan karena kondisinya sedang tidak eling, hidup si penganggur juga jadi serba tidak eling. Tidak eling pada peran dan tanggung jawab sosialnya. Tidak eling pada orangtua yang gelisah memikirkan masa depannya. Tidak eling pada kebutuhan-kebutuhan yang memburu untuk dipenuhi. Bahkan tidak eling pada hakikat hidup ini sementara—boleh jadi esok lusa dirinya sudah teronggok tidak bernyawa. Kesibukan para pengangguran yang tidak eling ini—ya, seperti kata Cak Lontong tadi—mencari hiburan. Karena hiburan adalah pelarian paling menyenangkan dan menenangkan.

Sementara para pengangguran tidak tahu diri mencari hiburan, para pengangguran yang tahu diri bergegas mencari pekerjaan. Jiwa-jiwa mereka yang tansah eling mendorong mereka untuk tidak berpangku tangan menunggu nasib. Baris demi baris Curriculum Vitae (CV) ditulis dengan optimis.  Lamaran demi lamaran dikirimkan dengan sepenuh harapan. Tak apa jika kelak harus gagal, setidaknya aku gagal dalam perjuangan—begitu prinsipnya.

Beruntung sekali jika kalian termasuk golongan “bejo” yang tidak pernah mencicip status pengangguran. Katakanlah, begitu lulus sekolah menengah, kalian langsung dapat kerja di sebuah perusahaan bonafit. Atau begitu wisuda universitas, kalian bergegas mendaftar CPNS, lolos seleksi, lalu prenges-prenges menjadi pegawai negeri. Amboi.

Nyatanya, dunia kerja kekinian tidak semulus angan-angan utopis kita. Bursa kerja mengharuskan kita melalui jalan berdarah-darah untuk bisa memenangkan persaingan. Ketatnya persaingan kerja ini berbanding lurus dengan semakin meningkatnya angka kelahiran bayi—yang berarti meningkatnya jumlah pesaing kita di masa depan.

Setiap tahunnya, para “lulusan segar” (fresh graduated) dari berbagai jurusan dan latar belakang pendidikan saling sikut memperebutkan lowongan kerja yang jumlahnya tidak seberapa—katakanlah tiga lowongan kerja diperebutkan seribu-dua-ratus-delapan-puluh-empat orang(!). Mau, tak mau, persaingan kerja seketat itu memaksa sekawanan manusia untuk legowo menjadi “pengangguran”, sebagai konsekuensi logis karena kalah dalam persaingan kerja. Sebuah “keniscayaan zaman” yang semestinya bisa kita maklumi bersama.

Karena itu, hal terpenting yang harus dilakukan para pengangguran adalah menata pola pikir (mindset) mereka. Mindset ini akan menentukan mentalitas dan perilaku si penganggur selama menjalani waktu-waktu luangnya. Seorang pengangguran yang cenderung pada mindset negatif, akan terjebak pada perilaku yang negatif pula. Narkoba, depresi, asusila, pencurian, perkelahian, dan aktivitas hura-hura adalah segelintir contohnya. Alih-alih jika mindset si penganggur positif, maka fase menganggur akan dijalani dengan optimisme, keyakinan, serta pengharapan baik—bahwa kelak dirinya akan mendapat pekerjaan impian, sambil terus meningkatkan kualitas diri sembari menunggu lowongan atau kesempatan kerja itu datang.

Setiap orang memiliki kebebasan untuk memilih cara bagaimana mengatur jalan pikirannya sendiri,” kata Napoleon Hill. Meski tampak sepele, urusan menata mindset atau pola pikir ini tidak kalah pentingnya bagi para pengangguran. Mindset yang positif harus dibangun agar mereka tidak terperosok dalam kubang depresi. Jika dalam rentang waktu tertentu si penganggur tidak kunjung mendapat pekerjaan, padahal kebutuhan hariannya mendesak untuk dipenuhi, si penganggur akan menghadapi masalah. Belum lagi jika si penganggur tidak memiliki keluarga atau pihak lain yang bisa menalangi kebutuhannya untuk sementara. Siapapun yang berada dalam situasi seperti ini sangat mungkin terkena depresi.

Jadi, daripada sibuk berbasa-basi “kerja apa”, jauh lebih baik jika kalian mengobrolkan hal lain yang lebih menyenangkan dan tidak ada sangkut pautnya dengan urusan dapur rumah. Atau jika baru gajian, kenapa tidak kalian traktir saja teman kalian makan? Hal itu jauh lebih baik untuk menjaga perasaan teman kalian terlepas dari apapun pekerjaan mereka.

Toh, kalau dipikir-pikir, untuk apa pula kita harus tahu pekerjaan orang lain? Jika kebetulan yang ditanya punya pekerjaan, memang tidak ada masalah. Tapi jika yang ditanya malah sedang nganggur, bagaimana? Atau kalau pekerjaannya mentok di office boy, tukang sapu, tukang parkir, atau petugas SPBU, kalian mau apa? Masak iya, kalian bisa sampai tidak merasa bersalah untuk melanjutkan percakapan?

Karena sungguh, pengangguran bukanlah sebuah aib. Bukan pula sebuah tabu yang mesti ditertawakan. Ia hanya sebuah fase di mana seseorang harus lebih banyak bersabar—“Oh, mungkin belum waktunya bagi saya. Saya harus lebih gigih berusaha”. Ia hanya sebuah masa ketika cita-cita, harapan, dan pekerjaan impian harus saling berjarak—sejenak.[]


March 07, 2019Benny Prastawa

Saturday, March 2, 2019

Dilarang Membaca di Sekolah



Hari itu, Jono agak kesal pada guru ekonominya. Buku Sejarah Indonesia Modern karangan M. C. Ricklfes miliknya disita. Gurunya menganggap Jono tidak memperhatikan pelajaran, alih-alih asyik membaca buku sejarah. Jono juga dituduh berlaku kurang hormat karena sudah menyepelekan gurunya. Dalam hati, Jono tidak terima dengan tuduhan itu. Jono berusaha membela diri.

“Saya kan tidak berbuat gaduh di kelas. Saya juga tidak bikin onar atau mengganggu teman-teman saya. Saya hanya membaca buku karena saya senang membaca. Apa salahnya membaca? Bukankah tujuan saya sekolah untuk belajar?”
Gurunya menimpali, “Ya, tidak ada yang salah dengan hobimu membaca. Tapi waktu membacamu yang salah. Etika sekolah ini mengharuskan murid memperhatikan guru saat pelajaran berlangsung!”
“Tapi saya tidak punya banyak waktu membaca, Pak.” Jono mengulurkan tangan meminta bukunya.
“Peraturan tetap peraturan. Ada waktu lain untuk membaca tapi bukan di jam pelajaran saya. Buku ini terpaksa saya sita,” kata guru ekonomi itu sambil membawa buku Jono.

Jono mendengus sebal. Baginya, penyitaan bukunya tidak adil. Jono merasa lebih berminat pada pelajaran sejarah daripada ekonomi. Bagi Jono, selama tujuannya untuk belajar, tidak ada masalah jika murid “mencuri waktu” pelajaran sekedar untuk membaca buku—meski buku yang dibaca tidak ada kaitannya dengan pelajaran saat itu. Lagipula yang dibaca Jono adalah buku sejarah, bukan komik receh atau majalah porno. Tapi Jono bisa apa? Murid hanya tunduk patuh pada guru dan peraturan sekolah. Jika sudah begini, apa bedanya sekolah dengan perbudakan?*

.   . .

Boleh jadi, ada banyak murid seperti Jono di luar sana—kedapatan membaca buku yang tidak nyambung saat pelajaran (buku yang tidak nyambung ini selanjutnya disebut “buku-lain”). Di satu sisi, sang guru berdalih jika pelajarannya penting dan harus diperhatikan. Sementara murid beralasan jika dirinya merasa berhak membaca buku-lain karena aktivitas tersebut tidak mengganggu proses pembelajaran. Kalaupun ada pihak yang paling merugi dengan aktivitas membaca buku-lain, orang itu tidak lain adalah si murid sendiri—karena sangat mungkin gara-gara membaca buku-lain, si murid tidak paham materi pelajarannya.

Membaca buku-lain memang berpotensi mendistraksi fokus murid pada pelajaran yang sedang berlangsung. Pelajaran-pelajaran yang membutuhkan konsentrasi lebih, seperti matematika, akan menjadi lebih sulit jika murid tidak berkonsentrasi dalam memahami konsep-konsepnya. Apalagi jika belajar matematika sambil diselingi membaca buku-lain. Sampai batas-batas tertentu, guru memang berhak meluruskan waktu membaca para muridnya demi menjaga fokus mereka pada pelajaran yang tengah berlangsung.

Akan tetapi, guru juga harus mafhum bahwa murid bukan seperti sapi yang langsung patuh begitu dicocok hidungnya. Murid memiliki hak untuk menentukan minat belajarnya, termasuk menentukan bagaimana caranya akan belajar. Murid berhak untuk merasa jenuh terhadap mata pelajaran tertentu. Murid juga berhak mengantuk ketika sebuah pelajaran berjalan monoton tanpa variasi metode pembelajaran. Akibatnya, banyak cara dilakukan murid untuk keluar dari kondisi yang serba menjemukan tersebut, misalnya dengan mengobrol dengan teman, bermain ponsel, berjalan-jalan, gaduh, sampai membaca buku-lain. Hal-hal semacam itu wajar dilakukan murid di tengah pelajaran—terutama ketika memasuki jam-jam siang.

Bagi saya, murid yang membaca buku-lain saat pelajaran lebih bisa dimaafkan daripada murid yang berbuat gaduh atau asyik bermain ponsel di bawah laci! Kita semua tahu, tingkat literasi orang Indonesia sangat rendah. Berdasarkan survey Program for International Student Assessment (PISA) tahun 2015, Indonesia berada di peringkat 62 dari 70 negara dalam urusan literasi. Sementara survey CCSU (Central Connecticut State University) tahun 2016 malah menempatkan Indonesia pada peringkat kedua dari bawah di antara 61 negara—hanya setingkat di atas Botswana! Karenanya, ketika saya melihat satu dua murid yang asyik membolak-balik halaman buku, saya tidak merasa prihatin, alih-alih saya merasa girang dan berterima kasih. “Puji Tuhan, ternyata masih ada bocah-bocah Indonesia yang mau membaca buku...” batin saya.

Semestinya, ada perlakuan khusus bagi murid-murid yang tertangkap basah sedang membaca buku-lain ketika pelajaran. Jenis atau genre buku-lain yang dibaca patut dijadikan pertimbangan, apakah perlu sampai disita atau tidak. Lagipula, seperti kata Jono, waktu membaca yang dimilikinya tidak banyak. Hal ini terutama karena jam belajar di sekolah yang semakin padat dan nyaris “merampas” waktu istirahat murid. Sampai batas tertentu, hal ini bisa dibenarkan.

Salah satu alasannya karena kebijakan full day school. Kebijakan ini berdampak pada meningkatnya waktu belajar murid di sekolah. Tujuannya memang positif—menambah waktu belajar demi melihat murid-murid menjadi lebih pintar dan terhindar dari aktivitas-aktivitas nirfaedah jika pulang sekolah lebih awal. Tapi konsekuensinya, dengan waktu belajar yang lebih banyak, murid menjadi lebih sering pulang sore. Apalagi jika si murid mengikuti les atau ekskul di sekolah. Akibatnya, sesampainya di rumah, murid sudah terlalu capek. Dalam kondisi itu, jangankan untuk belajar, sekedar menahan kantuk saja boleh jadi tidak betah.

Pertanyaannya, jika sudah begitu, kapan si murid bisa menyalurkan hobinya membaca buku? Kapan mereka mengkhatamkan berlembar-lembar novel kesukaannya? Apakah dua hari di akhir pekan bisa membantu murid menyalurkan hasrat membacanya? Apakah dua kali jeda istirahat di sekolah akan cukup? Apakah semua itu cukup? Boleh jadi tidak. Lebih-lebih jika murid sudah mencapai tahap menyukai aktivitas membaca. Pilihan yang paling masuk akal bagi murid adalah membawa buku bacaan ke sekolah lalu membacanya di sela-sela waktu pelajaran. Oh, tapi peraturan sekolah melarang murid membaca buku-lain saat pelajaran. Murid harus mengikuti dan memperhatikan pelajaran yang sedang berlangsung. Well, di sinilah letak dilemanya.

Jika murid dibebaskan membaca buku-lain di tengah pelajaran, bagaimana murid akan memahami pelajaran yang diterangkan gurunya? Padahal materi yang sedang diterangkan sangat penting (untuk bahan ujian nasional, misalnya). Tapi jika murid dilarang membaca buku-lain, apakah “memasung” minat baca murid adalah cara yang bijak? Jangan-jangan, karena dilarang membaca, murid malah tidak berminat lagi membaca buku.

Sistem pendidikan di Indonesia memang doyan menjejali murid dengan seabrek bahan pelajaran. Semua itu harus dikuasai murid, setidaknya sampai murid mencapai batas kriteria ketuntasan minimal. Khusus untuk mata pelajaran yang diujian-nasionalkan, fokus belajar murid benar-benar diarahkan ke mata pelajaran tersebut. Tidak peduli apakah murid menaruh minat pada pelajaran itu atau di pelajaran lainnya, murid tetap wajib menguasai semua materi pada mata pelajaran yang akan diujian-nasionalkan. Tidak ada “demokrasi” dalam pendidikan kita yang membebaskan murid memilih pelajaran A atau pelajaran B. Semua jenis mata pelajaran dengan segala kekusutan materinya harus dikuasai murid. Tidak ada alasan dan tidak ada tawar-menawar di sini. Tidak peduli murid bosan atau tidak, lelah atau tidak, suka atau tidak, mereka harus pandai dalam semua mata pelajaran (titik). Pada akhirnya, semua beban belajar itu mendorong murid mencari pelarian di tengah pelajaran, seperti dengan berbuat gaduh, ngobrol, bermain ponsel di laci, atau membaca buku-lain.

Karenanya, dilema membaca buku-lain saat pelajaran hanya akan berputar-putar seperti lingkaran setan. Di tengah upaya meningkatkan semangat literasi para murid, kita dihadapkan pada realitas akar masalah yang sangat sistemik, melibatkan banyak faktor, ketergantungan pada kebijakan penyelenggara pendidikan, masalah candu gadget yang merajalela, serta keengganan mendalami masalah ini secara serius demi mencari win-win solution. Sementara semua kekusutan itu terjadi, murid-murid yang mencuri waktu membaca buku-lain—seperti Jono—akan semakin mempertanyakan:

Jika setiap keinginan membaca dibatasi, minat belajar dipaksakan, dan buku-buku bacaan disita—sebenarnya—buat apa aku sekolah? Mencari ilmu, menjadi pintar, mencari ijazah, atau sekedar menjadi ‘budak’ yang melayani ambisi, gengsi, dan keinginan para orang tua?”[]


*Cerita Jono hanya ilustrasi fiktif untuk membantu pembaca memahami konteks masalah yang dibicarakan pada tulisan ini.
March 02, 2019Benny Prastawa

Saturday, February 23, 2019

Film Batman Terbaik (2)


The Dark Knight
Gila! Itulah hal pertama yang terbesit di benak saya begitu selesai menonton sekuel kedua dari trilogi Batman karya sutradara Christoper Nolan. Bagaimana tidak? Sebuah film superhero yang biasanya berplot sederhana, ditransformasikan menjadi sebuah film bergenre crime, dibumbui drama percintaan yang tragis, dan dipadu akting psikopat tokoh antagonis peraih Piala Oscar. Tidak heran jika The Dark Knight dinobatkan sebagai salah satu film superhero terbaik sepanjang masa karena berhasil mengubah standar film superhero di kancah perfilman Hollywood.

Setelah sukses mereset karakter Batman di film Batman Begins, otak jenius Nolan kembali bekerja untuk membuat sisi kepahlawanan Batman menjadi lebih terang. Di film yang kedua ini, Nolan mencoba menghadirkan konflik yang jauh lebih rumit dan melibatkan lebih banyak pergolakan batin para tokohnya.

Diceritakan bahwa setelah Batman muncul, kondisi kota Gotham telah berubah. Para penjahat tidak lagi leluasa bergerak karena takut dihajar Batman. Kota Gotham menjadi semakin “tidak ramah penjahat” dengan adanya seorang jaksa muda idealis bernama Harvey Dent. Secara terang-terangan, Dent berdiri melawan para penjahat, mengadili mereka tanpa takut disuap, dan berhasil memenjarakan separuh mafia kota Gotham. Prestasi Dent membuat dirinya dielu-elukan seluruh warga Gotham. Mereka menjuluki Dent sebagai “Ksatria Putih” kota Gotham.

Di sisi lain, Bruce Wayne alias Batman tengah mengalami pergolakan batin yang cukup rumit. Teman masa kecil Bruce, Rachel, adalah sosok yang diharapkan Bruce menjadi kekasihnya. Rachel—yang sudah tahu bahwa Bruce adalah Batman—pernah berkata, “Jika tiba hari di mana Gotham tidak lagi membutuhkan Batman, maka kita bisa hidup bersama”. Bruce berpikir bahwa Gotham sudah tidak lagi membutuhkan Batman karena mereka sudah memiliki Harvey Dent. Menurut Bruce, keberadaan Dent sudah cukup untuk mengatasi para penjahat di kota Gotham. Karenanya, Bruce menunggu Rachel untuk menepati janji yang dulu pernah diucapkannya.

Bruce tidak sadar jika Rachel sudah menjalin hubungan dengan Harvey Dent. Berbeda dengan Bruce, Rachel berpikir bahwa Gotham tetap membutuhkan Batman karena para penjahat dan pemimpin mafia masih banyak yang berkeliaran. Karena itu, Rachel merasa memiliki pembenaran untuk membiarkan Bruce menjalankan perannya sebagai Batman. Ia tidak ingin urusan pribadinya membebani Bruce selama menjadi sosok Batman.

Pemikiran Rachel tidak keliru. Para mafia di kota Gotham memang belum habis. Meski separuh lebih anggotanya berhasil dipenjarakan Harvey Dent, komplotan mafia yang tersisa bekerja sama untuk kembali menguasai kota Gotham. Demi mencapai tujuan tersebut, mereka berencana melenyapkan Batman. Para komplotan mafia meminta bantuan seorang pria misterius bernama Joker. Tidak ada seorang pun yang menyadari bahwa Joker adalah seorang psikopat berbahaya yang sangat kejam. Joker inilah yang nantinya mendalangi semua kerusuhan dan pembantaian di kota Gotham.

Berbeda dengan penjahat pada umumnya, Joker tidak melakukan aksi kriminal demi mendapatkan uang atau kekuasaan. Joker memiliki mentalitas seorang penjahat murni yang melakukan kejahatan semata-mata karena ingin melihat dunia menjadi kacau. Setelah mengetahui keberadaan Batman di kota Gotham, hal pertama yang Joker lakukan adalah memancing Batman untuk mengungkapkan identitasnya. Joker pun mulai memprovokasi Batman dengan cara menghabisi para polisi, hakim, jaksa, dan beberapa warga sipil Gotham.

Melihat kebrutalan Joker, Bruce Wayne alias Batman berencana mengungkapkan identitasnya pada warga Gotham. Bruce merasa bersalah karena keberadaan Batman justru menjadi penyebab terbantainya warga Gotham. Akan tetapi, dalam sebuah konferensi pers, tiba-tiba saja Dent mengaku bahwa dirinya adalah Batman. Dent bahkan terang-terangan meminta Joker untuk menangkapnya. Kenekatan Dent membuat Bruce alias Batman (yang asli) harus melindunginya karena Joker sudah pasti mengincar nyawa Dent untuk dihabisi.

Malam berikutnya, Joker menyerang iring-iringan mobil yang membawa Harvey Dent. Dengan bantuan anak buahnya, Joker menembaki iring-iringan mobil tersebut tanpa ampun. Tentu saja Batman tidak tinggal diam. Rencana Joker sudah diprediksi sebelumnya oleh Batman. Batman pun segera bergerak dan menghadang Joker. Pertempuran Joker dan Batman tak terhindarkan lagi. Dalam pertempuran itu, Joker berhasil dipojokkan dan digiring ke kantor polisi Gotham.

Sesampainya di kantor polisi, Joker diinterogasi oleh Batman. Selama proses interogasi, Joker dipaksa untuk mengatakan perihal rencana jahatnya. Joker malah ngoceh panjang lebar sambil mempermainkan Batman. Batman pun terpaksa menghajar Joker agar mau membuka mulut. Di akhir interogasi, Joker mengatakan bahwa komplotannya telah berhasil menyuap oknum polisi untuk menculik Harvey Dent dan—Rachel. Nama terakhir yang disebut Joker membuat Batman kalap. Emosi Batman semakin meledak-ledak setelah Joker mengatakan bahwa di lokasi penyekapan telah dipasang sejumlah bom. Tanpa pikir panjang, Batman pun bergegas menyelamatkan Rachel.

Akan tetapi, semuanya sudah terlambat. Sebelum sampai di lokasi penyekapan, bom yang dipasang Joker meledak. Rachel tewas, sementara Harvey Dent menderita luka bakar parah di bagian wajahnya. Sementara Batman—sebagai Bruce Wayne—ia sangat terpukul oleh insiden itu. Bagaimanapun  Rachel adalah teman masa kecilnya. Sebagai anak tunggal, Bruce sering kesepian karena tidak memiliki teman bermain di rumah. Rachel mengisi kekosongan itu dan sesekali dolan bersama Bruce. Ketika beranjak dewasa, sangat wajar jika Bruce menginginkan teman masa kecilnya itu menjadi pendamping hidupnya. Begitu mendapati Rachel menjadi korban kebrutalan Joker, Bruce merasa bersalah—sama seperti ketika orangtuanya ditembak perampok.

Kematian Rachel sempat memadamkan semangat Bruce untuk menjadi sosok Batman. Bruce berpikir, sudah terlalu banyak korban berjatuhan akibat keberadaan Batman. Jika Batman tidak ada, boleh jadi situasinya akan membaik—setidaknya meminimalisir korban jiwa. Tapi pelayan setia keluarga Wayne yang bernama Alfred menyadarkan Bruce. Alfred bercerita tentang pengalaman militernya dulu ketika menghadapi sekawanan perampok di hutan Myanmar. Alfred mengibaratkan Joker seperti sekawanan perampok itu—kumpulan psikopat yang melakukan kejahatan hanya untuk melihat dunia menjadi kacau. Orang-orang seperti Joker tidak boleh dibiarkan. Perlahan, semangat Bruce untuk kembali menjadi Batman membara.

Berbeda dengan Bruce, Harvey Dent tidak memiliki sosok penyemangat seperti Alfred. Dirinya tumbuh besar sebagai bocah yatim-piatu yang sempat menjalani kerasnya himpitan ekonomi. Kematian Rachel mengubah total perangai Dent. Joker yang tahu Dent masih hidup, mendatangi Dent di rumah sakit kota Gotham. Joker memprovokasi dan berhasil menggugah sisi gelap Dent. Diam-diam, Dent pun berubah. Harvey Dent bukan lagi Ksatria Putih kota Gotham seperti dulu.

Teror Joker ternyata mampu mengintimidasi warga Gotham. Warga Gotham beramai-ramai ingin pindah karena merasa kotanya sudah tidak aman lagi. Pelabuhan kota Gotham mendadak dibanjiri calon penumpang yang tidak lain adalah warga Gotham yang ingin meninggalkan kota itu. Tanpa mereka sadari, Joker sudah punya rencana jahat lain bagi warga Gotham. Joker telah  memasang dua bom di kapal yang mengangkut warga Gotham. Bom yang satu dipasang di kapal yang membawa warga Gotham biasa. Sedangkan bom yang satunya dipasang di kapal yang mengangkut para penjahat dari penjara. Masing-masing kapal juga sudah dilengkapi dengan alat pemicu bom. Begitu Joker memberitahu keberadaan bom dan alat pemicunya, timbul pergolakan sengit di antara warga Gotham di kapal yang satu, dengan para penjahat di kapal yang lainnya. Masing-masing berpikir untuk saling meledakkan kapal yang lain.

Sementara itu, Bruce yang telah kembali mengenakan jubah Batmannya berencana membuat perhitungan dengan Joker. Dengan bantuan teknologi radar ciptaan Lucius Fox, Batman bisa menemukan markas Joker dengan mudah. Satu per satu anak buah Joker dilumpuhkan. Sampai akhirnya, Batman bertatap muka langsung dengan Joker. Keduanya segera terlibat pertarungan sengit. Meski begitu, dengan kecanggihan senjatanya, Batman tidak mendapat kesulitan berarti untuk mengalahkan Joker. Joker malah tertawa gembira ketika Batman berhasil menangkapnya. Secara terang-terangan, Joker mengaku bahwa dirinya tidak berniat untuk memenangi adu jotos dengan Batman. Sejak awal Joker tahu dirinya tidak akan mungkin memenangi duel fisik dengan Batman. Karena itu, Joker hanya menciptakan “kondisi tertentu” yang bisa memprovokasi dan menghancurkan lawan-lawannya.

Joker pun berbicara panjang lebar tentang rencana jahatnya bagi warga Gotham di kapal penumpang. Dengan penuh keyakinan, Joker memprediksi bahwa tengah malam nanti warga Gotham di kapal akan saling meledakkan satu sama lain. Masing-masing kapal sudah dilengkapi dengan alat pemicu bom. Penumpang yang ingin meledakkan kapal yang lain hanya perlu menekan tombol pada alat pemicunya saja. Batman terkejut mendengar rencana Joker. Tapi, saat itu, Batman tidak bisa melakukan apapun karena sedang berada jauh dari kapal-kapal yang membawa bom.

Dugaan Joker meleset. Tidak ada seorang pun yang berani menekan alat pemicu bom. Warga Gotham biasa maupun para penjahat sama-sama mengurungkan niat untuk saling meledakkan satu sama lain. Setetes nurani dan belas kasih telah menyelamatkan warga Gotham dari potensi kehancuran yang mengerikan. Batman pun menyebut Joker keliru dalam menilai rasa kemanusiaan warga Gotham.

Sekali lagi, Joker tertawa lepas. Ia berkata bahwa permainannya belum selesai. Joker pun menyebut-nyebut soal “Ksatria Putih” kota Gotham. Dari gelagat Joker, Batman segera teringat pada Harvey Dent.

Joker benar-benar tampil sebagai seorang mastermind kejahatan layaknya Jim Moriarty—musuh bebuyutan Sherlock Holmes. Rencana jahatnya tidak pernah bisa diprediksi. Setiap kali satu rencana gagal, rencana yang lain telah siap beranak-pinak. Kematian Rachel dimanfaatkan Joker untuk memprovokasi Harvey Dent. Tanpa Batman sadari, ketika ia bertarung dengan Joker, Dent tengah sibuk membantai para polisi yang diduga terlibat dalam penculikan Rachel. Dan orang terakhir yang akan Dent habisi adalah rekan Batman di kepolisian—Komisaris Gordon.

Begitu menemukan lokasi Dent, Batman mendapatinya sedang menyekap keluarga Komisaris Gordon. Anak laki-laki Gordon disandera dengan todongan pistol. Dent mengancam akan menembak anak tersebut sebagai pembalasan atas kematian Rachel. Menurut Dent, Gordon adalah orang yang paling bertanggung jawab atas kematian Rachel. Karenanya ia merasa pantas membalas dendam pada keluarga Gordon.

Dent yang kalap sudah siap menarik pelatuk pistolnya. Sementara Gordon memohon belas kasih Dent agar membebaskan anaknya. Tapi, sesaat sebelum pistol meletus, Batman berhasil mendorong Dent hingga terjatuh dari atap gedung. Nyawa anak Gordon berhasil diselamatkan, tapi tidak dengan Dent. Dent tewas dalam insiden itu.

Kematian Dent bisa menimbulkan masalah baru. Sebagai jaksa kota Gotham, kematian Dent akan membuat para penjahat yang ditangkapnya bebas dari tuntutan hukum. Lagi-lagi, kejeniusan Joker harus diakui. Selain berhasil membangkitkan sisi gelap Dent, Joker juga berhasil membuka peluang bagi para penjahat untuk lolos dari jerat hukum.

“Joker tidak boleh menang!” kata Batman dengan geram. Gordon dan Batman pun membuat rencana untuk menutupi kematian Dent. Batman meminta Gordon untuk memberitahu polisi bahwa Batmanlah yang membunuh Harvey Dent. Langkah itu perlu dilakukan agar tindakan Dent membantai beberapa orang polisi bisa tersamarkan. Batman tidak keberatan menanggung kesalahan Dent. Bagaimanapun, Dent pernah menjadi pahlawan bagi kota Gotham meski pada akhirnya—karena provokasi Joker—Dent berubah menjadi monster yang mengerikan. Karenanya, Batman merasa perlu menyelamatkan sisi kepahlawanan Dent. Tak mengapa dirinya harus menjalani kehidupan sebagai buronan polisi dan dimusuhi seluruh warga Gotham. Batman sudah siap dengan segala resikonya. Bagi Batman, ada nilai-nilai keadilan dan kepahlawanan yang lebih penting untuk diselamatkan.

*** 

Saya harus menonton The Dark Knight beberapa kali untuk bisa memahami kelindan konflik-konfliknya. Untuk ukuran film superhero, The Dark Knight menyajikan muatan plot cerita yang sangat kompleks. Sosok Joker yang diperankan mendiang Heath Ledger memang sangat menonjol dalam fim ini. Totalitas aktingnya sangat, sangat, layak diganjar Piala Oscar. Meski begitu, Nolan tidak lupa untuk tetap memprioritaskan sisi kepahlawanan Batman sebagai protagonis utama.

Di akhir film, penonton bisa menyimpulkan bagaimana Batman rela menjadi buronan polisi dan dibenci seluruh warga Gotham demi melindungi nama baik Harvey Dent. Padahal, Batman sendiri adalah sosok yang telah banyak berjasa bagi kota Gotham. Tapi Batman tidak peduli dengan nama baik dan citra dirinya. Secara heroik, Batman rela menanggung kesalahan Dent demi memperjuangkan nilai-nilai kebenaran.

Seperti dalam film Batman Begins, sosok Batman dalam The Dark Knight tetap konsisten ditampilkan secara manusiawi. Batman alias Bruce Wayne juga dapat merasakan sedih dan terpukul atas kematian Rachel—satu-satunya wanita yang pernah berjanji akan mendampinginya jika kelak Gotham tidak lagi membutuhkan Batman. Yang menyesakkan, sebenarnya Rachel telah memilih untuk menikahi Harvey Dent. Rachel berencana memberitahu Bruce tentang hal itu lewat sepucuk surat. Surat itu dititipkannya kepada Alfred—pelayan keluarga Wayne. Tapi ternyata, sebelum Bruce membuka surat itu, Rachel sudah lebih dulu tewas.

Demi menjaga perasaan Bruce, Alfred—yang sudah membaca isi surat dari Rachel—terpaksa menyimpan surat tersebut. Hingga akhir film, surat itu tidak pernah sampai di tangan Bruce. Tindakan Alfred menyembunyikan surat Rachel membuat Bruce tetap fokus memerangi Joker. Andai Bruce sudah membaca surat Rachel, padahal sehari sesudahnya Rachel tewas, entah seperti apa pergolakan batin di benak Bruce. Boleh jadi, semangat Bruce untuk menegakkan keadilan sebagai Batman akan segera padam.

Nolan memang jenius. Sebuah film yang sarat adegan kriminal, dipermanis dengan sisipan kisah roman yang tragis dan mengharu biru. Hal itulah yang menjadi salah satu poin lebih dari The Dark Knight karena konsisten menampilkan sosok superhero yang sangat manusiawi. Di balik kostum hitamnya, Batman tetaplah seorang bocah bernama Bruce Wayne yang merindukan sentuhan lembut kasih sayang.

Bagi saya, The Dark Knight bukanlah sebuah film superhero. The Dark Knight memang berkisah tentang kepahlawanan Batman. Tapi, lebih dari itu, The Dark Knight menunjukkan potret masyarakat yang tengah berjuang menjaga nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, dan kebajikan di tengah kehidupan kota yang sarat kriminalitas dan kebobrokan moral. Karenanya, saya pikir tidak akan ada yang keberatan jika The Dark Knight sangat, sangat, layak ditasbihkan sebagai salah satu film superhro terbaik yang pernah dibuat.[]
February 23, 2019Benny Prastawa