Wednesday, December 1, 2021

Memetik Hikmah Berbagi dari Kegiatan Donasi yang Absurd



Saat sekolah dulu, ada kegiatan penggalangan barang bekas layak pakai. Entah siapa yang menggagas kegiatan tersebut, apakah OSiS atau pihak sekolah, saya kurang tahu. Yan jelas, barang-barang yang terkumpul nantinya akan didonasikan—kalau tidak salah ke panti asuhan.

Saya baru pertama kali menjumpai kegiatan donasi semacam itu. Jadi, yang langsung terlintas di pikiran saya adalah barang bekas apa yang saya miliki yang akan disumbangkan?

Saya pun mulai mengacak-acak rumah, mencari-cari barang bekas. Saya dapati beberapa potong pakaian dan buku-buku pelajaran lawas yang jelas tidak akan terpakai lagi. Barang-barang itu saya kemas, dan hari berikutnya saya bawa ke sekolah untuk disumbangkan.

Dalam kegiatan donasi ini, tidak ada ketentuan kriteria/kondisi barang bekas yang diterima. Hanya ada keterangan "layak pakai", itu saja. Karenanya, begitu barang-barang bekas dari siswa terkumpul, "Ruang Pengumpulan Barang" mendadak menjadi "Ruang Pengepulan Barang".

Barang-barang bekas dari para siswa—termasuk saya—ternyata barang bekas betulan. Pakaian-pakaian bekas nampak menggunung memenuhi sudut-sudut ruangan. Sementara barang-barang lain, entah apa (mungkin buku-buku bekas), dikemas dalam wadah plastik dan kardus yang berjubel di sana sini.

Singkatnya, kebanyakan barang bekas itu jauh dari kata "layak pakai". Dan karena tidak layak pakai, barang-barang itu pun tidak layak disumbangkan. Pihak sekolah pasti malu jika menyumbangkan setumpuk pakaian kumal pada panti asuhan.

Akhirnya, barang-barang bekas itu pun dibiarkan teronggok di ruang pengumpulan sampai berbulan-bulan. Hingga saya lulus meninggalkan sekolah, saya tidak tahu kelanjutan nasib barang-barang itu.

Ternyata, tidak hanya saya yang mengabaikan kata "layak pakai" dalam kegiatan donasi tadi. Siswa-siswa yang lain agaknya juga lebih mengutamakan kata "bekas"-nya daripada "layak pakai". Dan dengan segala "kebocahan" para siswa, kegiatan donasi yang sebenarnya bermakna posiif malah menjadi arena PENGEPULAN BARANG BEKAS (betulan).

.  .  .

Mengajarkan konsep berbagi tidak cukup hanya dengan prinsip memberi. Ada dimensi keikhlasan dan kerelaan berkorban di dalamnya yang membuat aktvitas berbagi menjadi lebih bermakna.

Kita tidak akan sampai pada inti pemahaman aktivitas berbagi, jika kita hanya sudi memberi sesuatu yang bersifat "sisa". Bagaimana kita bisa memahami "kerelaan" dalam memberi, jika barang yang kita berikan adalah sesuatu yang bahkan kita sendiri pun enggan menerimanya?

Dalam konteks memberi atau berdonasi, tentu saja ada perbedaan derajat kemuliaan antara mereka yang mendonasikan barang-barang berharganya, dengan mereka yang hanya mendonasikan "barang-barang sisa".

Seorang pedagang kecil yang memberi 100 ribu rupiah pada seorang pengemis tua, boleh jadi memiliki derajat kemuliaan yang lebih tinggi, daripada seorang eksekutif tajir yang memberi nominal uang yang sama pada pengemis tua tadi.

Mengapa?

Bagi pedagang kecil itu, uang 100 ribu setara dengan separuh keuntungan hariannya—yang tidak menentu. Sementara bagi eksekutif tajir, uang 100 ribu bukan apa-apa karena setiap bulannya ia bisa mendapat gaji sampai puluhan juta.

Di situlah letak perbedaan pemberian di antara keduanya. Kadar "ke-berharga-an" barang yan diberikan sangat mungkin berbeda, meski sama secara kuantitas.

Dan ketika kita sudi memberikan sesuatu milik kita yang berharga pada orang lain, dan kita ikhlas melakukannya, kita baru bisa memahami makna memberi yang seutuhnya.Tentu saja, pemberian yang dimaksud di sini adalah pemberian yang positif, bukan pemberian karena paksaan, ancaman, atau tuntutan sosial tertentu.

Pada kasus donasi di sekolah saya tadi, kenapa para siswa tidak mau memberi pakaian-pakaian terbaiknya? Kenapa para siswa—termasuk saya—malah memberi pakaian-pakaian bekas betulan yang jauh dari "layak pakai"? Kenapa para siswa enggan memberi koleksi buku atau komik-komik kesukaannya daripada buku-buku kumal untuk disumbangkan?

Ketika saya beranjak dewasa, saya merasa malu pada diri saya sendiri setiap kali mengingat kegiatan donasi yang "absurd" ini. Seharusnya saya bisa lebih ikhlas memberikan barang-barang yang masih layak pakai betulan. Yah, meski hal itu bisa dimaklumi karena segala "kebocahan" saya saat itu.

Lagipula, kalau dipikir-pikir, kegiatan donasi "absurd" tadi juga ada manfaatnya. Meski kegiatan itu "gagal" menularkan spirit berdonasi, setidaknya kegiatan itu sukses mengurangi onggokan pakaian bekas di lemari para siswa.[]


-backdate-

Monday, November 1, 2021

Makna Keadilan dan Keseimbangan yang Hakiki

Di mana ada orang-orang miskin, ada orang-orang kaya yang sibuk menikmati harta bendanya dan abai untuk memberi dan berbagi.

Di mana ada orang-orang bodoh, ada orang-orang pintar yang tidak tahu bagaimana mengajarkan ilmunya dan membuat wawasannya nermanfaat bagi orang lain.

Di mana ada orang-orang jahat, ada orang-orang baik yang sibuk memeranginya, memprotesnya, menihilkannya, tapi tidak sadar bahwa seringkali orang jahat bisa muncul dari orang baik yang hidupnya tersakiti.

Di mana ada orang-orang menderita, ada orang-orang yang tengah asyik bersukacita, bergembira ria dengan segala kesenangan dunianya, yang hatinya terlalu keras untuk bersimpati pada nestapa orang lain.

Kenapa kehidupan ini tidak pernah sama rata dan sama rasa? Kenapa harus ada pihak yang "kalah" dan "sengsara" ketika pihak yang lain "bersukacita" dan "berpesta pora"? Kenapa peradaban manusia tidak pernah sukses menciptakan  potret kehidupan di mana semua orang kaya raya, semua orang pandai cendekia, dan semua orang hidup sejahtera bahagia?

Boleh jadi, karena memang begitulah makna "keseimbangan" yang sebenarnya. Agar umat manusia mau belajar dan tergerak hatinya untuk saling menolong sesama, saling meringankan beban sesama, tidak egois memikirkan kepentingannya, tidak apatis terhadap ligkungannya, tidak pongah dengan raihan kejayaannya, tidak abai untuk berdoa dan bersyukur, serta tidak lupa pada kesejatian dirinya yang fana yang tidak akan membawa apapun ketika berpulang pada-Nya. Sambil terus menjaga nyala harapan bahwa kehidupan esok akan lebih baik.[]
November 01, 2021Benny Prastawa

Friday, October 1, 2021

Ogah Basa-Basi Pekerjaan Orang Lain


Bagi saya pribadi, basa-basi seputar pekerjaan adalah hal yang tabu. Entah basa-basi itu ditujukan pada saudara, tetangga, teman lama, atau siapapun. Basa-basi seperti 'kerja di mana' memang terdengar biasa. Tapi pertanyaan semacam itu bisa jadi rumit bagi si penjawab.


Kenapa?


Karena pekerjaan adalah urusan privat yang berkaitan langsung dengan status sosial seseorang di masyarakat.


Tidak semua orang memiliki pekerjaan yang menyenangkan. Tidak semua orang memiliki pekerjaan yang prestise-nya membanggakan dan bisa mendongkrak status sosialnya. Tidak semua orang mau urusan pekerjaannya diketahui orang lain. Bahkan tidak sedikit pula orang yang tidak memiliki pekerjaan sama sekali.


Jika orang yang ditanya punya jenis pekerjaan yang jelas, tidak akan ada masalah. Tapi bagaimana jika pekerjaan orang itu terdengar 'rendahan' atau 'menyedihkan'? Bagaimana pula jika yang ditanya malah sedang nganggur, baru saja dipecat, atau malah pekerjaannya berkaitan dengan sindikat kriminal yang tengah diburu polisi?


Pernahkah kita memikirkan hal itu sebelum berbasa-basi menanyakan pekerjaan orang lain?


Sebagian orang mungkin memilih untuk membual saja ketika ditanya tentang pekerjaannya.. Kalau perlu, mereka bisa melebih-lebihkan pekerjaannya agar tampak keren, terpandang, makmur, dan terhindar dari ejek-cela orang lain. Dan hal itu sah-sah saja dilakukan, karena itu hak mereka sebagai penjawab.


Lagipula, tidak ada manfaat konkrit yang bisa kita peroleh jika kita tahu pekerjaan orang lain. Paling banter kita cuma membatin, 'Oh, si anu kerja di situ, si anu kerjaannya itu, gajinya mungkin segini segitu...'


Mengetahui pekerjaan orang lain malah lebih bermanfaat bagi pihak-pihak tertentu, seperti para petugas Dinas Sosial yang sedang mensurvey penerima bantuan sosial, atau bankir yang tengah pusing mempertimbangkan pengajuan kredit nasabahnya agar tidak macet.


Salah-salah, kita malah terjebak pada rasa iri jika terlalu banyak tahu pekerjaan orang lain. Salah-salah kita malah merasa rendah diri setelah tahu pekerjaan orang lain lebih mapan dan menjanjikan kemakmuran finansial. Salah-salah kita malah terlalu sibuk mendengki dan mencemburui pencapaian orang lain, hingga lupa untuk mensyukuri apa-apa yang sudah dimiliki.


Mari tanyakan pada diri sendiri, untuk apa kita berbasa-basi menanyakan pekerjaan orang lain? Apakah sekadar untuk membuka topik obrolan? Sekedar basa-basi ingin tahu? Atau apa?


Kalau boleh berpendapat, hanya ada dua kemungkinan untuk orang-orang yang gemar sekali* berbasa-basi menanyakan pekerjaan orang lain.


Yang pertama, orang kaya tukang pamer yang sedang mencari perbandingan kemakmuran dan kesuksesan finansial orang lain. Yang kedua, orang menyedihkan yang tidak bahagia dengan pekerjaannya sendiri lalu sibuk mencari orang-orang yang lebih menderita hidupnya dibandingkan dirinya.[]


-backdate-



*saya katakan 'gemar sekali' untuk merujuk pada orang-orang yang kepo-nya keterlaluan terhadap pekerjaan orang lain. Orang-orang yang menanyakan pekerjaan orang lain dengan tujuan yang spesifik tidak termasuk (tujuan dar pertanyaannya tidak didorong oleh rasa kepo, niat pamer/menyindir, atau mengasihani diri)

October 01, 2021Benny Prastawa

Wednesday, September 1, 2021

Rumus Kerja Keras dan Kekayaan


Apakah kerja keras adalah kunci sukses menuju kekayaan? Tentu saja, YA. Tapi, kerja keras bukan satu-satunya cara.


Ketika kita berbicara tentang kekayaan, ada banyak faktor yang saling mempengaruhi dan ada lebih banyak sudut pandang yang bisa dipakai untuk melihatnya. Kita tidak akan sampai pada pemahaman yang utuh tentang kekayaan jika hanya memakai satu sudut pandang—karena akan kalian temui banyak pertentangan/kontradiksi setelahnya.



Misalnya, jika saya mengatakan kerja keras adalah kunci menuju kekayaan, kalian bisa langsung 'menyangkal' dengan menyodorkan realitas ada banyak orang yang tampak bekerja keras banting-tulang dari subuh hingga larut malam tapi tidak kunjung kaya. Sementara ada segelintir orang yang sepertinya malas-malasan, sering bangun kesiangan, kerja sesukanya, tidak pernah diburu waktu ke kantor, tapi penghasilannya berlipat-lipat digit nol-nya.



Artinya, kerja keras memang bukanlah satu-satunya cara untuk menjadi kaya. Kerja keras harus dipahami sebagai sebuah sikap atau mentalitas yang bisa membuat orang menjadi kaya, bukan sebuah prasyarat mutlak yang jika dikerjakan akan langsung membuat orang menjadi kaya.



Memang ada orang yang kaya raya meski tampaknya bekerja biasa-biasa atau malah terkesan malas-malasan. Tapi, ada lebih banyak orang yang menjadi kaya karena KERJA KERAS—yang telah dilakukannya sebelumnya. Hal terakhir inilah yang sering luput dari perhatian kita.



Kita tidak pernah benar-benar mengikuti perjalanan hidup Si Kaya itu. Kita hanya bisa melihat sisi luar kekayaannya saja. Mungkin dari megah rumahnya, banyak mobilnya, meriah pestanya, frekuensi liburannya, bagus bajunya, montok anak-anaknya, atau atribut kemakmuran lain yang kasat mata.



Kita mungkin mengabaikan fakta, bahwa dulunya, Si Kaya itu juga pernah mengalami fase kerja keras banting-tulang dari pagi hingga malam, sebelum sukses meraih kekayaannya saat ini. Kita hanya tertarik melihat produk akhir kekayaannya, tapi mengabaikan serangkaian proses yang mendahuluinya.



Orang kaya yang memiliki mentalitas kerja keras, akan lebih survive menghadapi perubahan zaman dibanding orang kaya yang malas, yang hanya mengandalkan warisan, keberuntungan, atau ketergantungan pada keahlian orang lain.



Sebagai contoh, ada dua karyawan yang bekerja di sebuah biro jasa wisata, karyawan A dan karyawan B. Keduanya sama-sama memperoleh gaji yang besar karena biro jasa wisata tempat mereka bekerja sangat laris.


Bedanya, karyawan A memiliki keahlian yang lebih unggul dibandingkan karyawan B. Karyawan A juga selalu bekerja keras dan meningkatkan skill-nya dibanding karyawan B yang lebih suka malas-malasan dan bekerja seenaknya. Karyawan B merasa aman dari pemecatan karena pimpinan biro jasa wisata itu masih terhitung saudara ayahnya.



Tiba-tiba, datanglah pandemi COVID-19. Pemerintah memberlakukan pembatasan perjalanan dan lockdown. Mobilitas masyarakat menjadi berkurang. Kegiatan pariwisata lokal dan internasional pun lumpuh seketika.



Biro jasa wisata tadi juga terkena imbasnya lalu mengalami kebangkrutan. Pimpinan biro yang masih saudara ayah karyawan B tidak bisa melakukan apa-apa untuk menyelamatkan bisnisnya. Karyawan A dan karyawan B pun sama-sama kehilangan pekerjaannya.



Di tengah-tengah krisis akibat pandemi, karyawan A menggunakan keahliannya untuk membuka bisnis sendiri dari rumah. Awalnya memang tidak mudah. Tapi, dengan mentalitas kerja keras yang dimiliki, karyawan A sukses membuat bisnisnya berkembang dan membuat kekayaannya bertahan.



Berbeda dengan karyawan B yang gemar bekerja seenaknya. Karena selama ini kekayaannya tidak ditopang oleh keahlian yang cukup, ditambah lagi pendapatannya tertolong oleh unsur nepotisme/ketergantungan pada orang lain, karyawan B kesulitan untuk tetap bertahan di tengah krisis. Mentalitas karyawan B yang enggan bekerja keras, memperkeruh krisis yang dialaminya. Ia pun kesulitan untuk mempertahankan kekayaannya.



Ilustrasi cerita ini hanya gambaran untuk menunjukkan bahwa JANGAN PERNAH MEREMEHKAN KERJA KERAS SIAPAPUN.



Kerja keras memang bukan satu-satunya kunci dan syarat penentu kekayaan. Tapi orang kaya yang tetap mau bekerja keras, lebih mungkin mempertahankan kekayaannya di tengah perubahan zaman yang bagaimanapun juga.



Lebih-lebih, bagi mereka yang merasa belum kaya—kerja keras adalah pilihan paling realistis agar selangkah lebih dekat menuju kekayaan. Kerja keras saja memang belum tentu akan membawa kita pada raihan kekayaan tertentu. Tapi, kerja keras adalah sikap yang jauh lebih terhormat daripada bermalas-malasan.



Terlepas dari semua itu, tidaklah bijak jika kita selalu mengukur nilai kerja keras dari raihan materi atau kekayaan semata. Tidak adil jika kita memandang mereka yang berhasil mengumpulkan lebih banyak uang sebagai orang yang lebih mulia kerja kerasnya. Sementara mereka yang mendapat lebih sedikit uang—meski telah gigih bekerja keras—kita anggap remeh tanpa penghargaan apapun.



Pasti ada balasan terbaik bagi orang-orang yang tetap gigih bekerja keras meski imbal materi yang diterimanya belum sesuai ekspektasi matematisnya. Tentunya, selama kerja keras itu bertujuan positif, ditempuh dengan cara-cara yang baik, dan dilakukan dengan sepenuh keikhlasan.


Semesta menjadi saksi bagi manusia-manusia yang tetap ikhlas bekerja keras. Dan biarkan Tuhan Yang Maha Pemurah yang memberi ganjaran terbaik bagi mereka.[]




-backdate-

September 01, 2021Benny Prastawa