Monday, November 14, 2016

Gadget!


Aku takut suatu saat gadget akan menghabisi kemanusiaan kita.

Jangan-jangan...
Ketika menolong orang, yang terpikir pertama kali adalah meliputnya, menguploadnya, kemudian mencari sensasi demi eksistensi, bukan fokus pada aktivitas berbagi.

Jangan-jangan...
Ketika bercakap-cakap, yang dibicarakan kemudian tidak pernah jelas. Lawan bicara diabaikan dengan atensi tertuju pada layar gadget. Entah itu wujud kesombongan atau sikap apatis. Nyatanya, banyak orang modern begitu kok. Anehnya, mereka merasa hal itu biasa dan baik-baik saja.

Jangan-jangan...
Ketika makan bersama, hidangan yang tersaji dibiarkan dingin. Semua perhatian tertuju pada gadget, bukan lantas mengambil sendok dan menikmati hidangan di atas piring. Beruntunglah, jika tidak ada lalat yang ikut termakan.

Jangan-jangan...
Ketika ada orang kecelakaan, boro-boro segera menolong—yang ada malah asik memotret korbannya dulu, baru kemudian menelpon ambulans.

Jangan-jangan...
Ketika ada kebakaran, yang ditelepon pertama kali bukan pemadam kebakaran, tapi wartawan. Begitu kita diliput, masuk TV, heboh sekali menguploadnya di youtube. Lumayan, buat dongkrak popularitas—katanya. Siapa tahu ada produser yang minat terus diajak main film.

Jangan-jangan...
Kitalah yang menjajah kemanusiaan kita sendiri. Dengan gadget di tangan, kita justru menggerus kemanusiaan kita sendiri. Apatis. Skeptis. Mudah terbawa isu. Menganggap apa yang tertera di gadget adalah kebenaran tunggal.

Jangan-jangan...
Ah, sudahlah. Aku hanya berharap bisa bertemu dengan lebih banyak orang yang benar-benar manusia. Merekalah orang-orang yang paham bagaimana memanusiakan manusia. Bukan manusia jadi-jadian yang setengah kemanusiaannya diberangus ‘iblis’ bernama “gadget!” []
November 14, 2016Benny Prastawa

Saturday, November 12, 2016

Alasan Kenapa Saya Menyukai Orang Ramah


Semasa bocah dulu, saya punya pengalaman kurang mengenakkan dengan orang yang temperamental. Saking traumanya, sampai-sampai saya sering illfeel jika bertemu dengan orang yang raut mukanya tidak ramah. Lebih parah lagi, saya jadi terlalu ‘perasa’ setiap kali melihat orang dengan ekspresi wajah cemberut. Mereka seringkali membuat saya berpikir “jangan-jangan orang itu cemberut karena marah sama saya...

Karena itu, saya sangat menghargai orang-orang ramah. Saya bisa berlama-lama ngobrol dengan orang yang ramah tanpa terbebani rasa sungkan dan takut salah. Umumnya, kita tentu lebih mudah akrab saat bergaul dengan orang yang ramah. Sebaliknya, saat bergaul dengan orang yang ketus dan dingin seringkali membuat kita ilfeel dan serba salah.

Orang-orang ramah cenderung menghargai lawan bicaranya. Mereka tahu bagaimana membuat lawan bicara merasa dirinya penting. Tidak heran jika kita bisa bersikap terbuka ketika berinteraksi dengan orang yang ramah. Pendeknya, keramahan tersebut adalah salah satu faktor penting untuk menciptakan hubungan sosial yang harmonis.

Ngomong-ngomong, saya kok jadi berandai-andai, apa jadinya jika instansi-instansi pemerintah diisi oleh pegawai-pegawai yang ramah?

Selama ini, kita justru lebih sering mendengar berbagai keluhan masyarakat tentang payahnya pelayanan pegawai instansi pemerintahan. Sebagian mengeluhkan ribetnya proses birokrasi. Sebagian lagi merasa “dipermainkan”—disuruh ke loket ini loket itu, ke dinas ini, ke dinas itu, tapi endingnya masalah yang diurus tidak kunjung selesai. Belum lagi jika ada oknum ‘nakal’ yang meminta pungli di sana sini. Lengkap sudah penderitaan kita. (Saya jadi senang jika ada lebih banyak kepala daerah seperti Ahok atau Ganjar yang menindak tegas oknum pegawai yang bekerja seenak perut).

Pemandangan yang jauh berbeda bisa kita temui di loket-loket bank atau customer service (CS) jasa penerbangan. Di tempat-tempat itu, keramahan menjadi salah satu standar operasional pelayanan (SOP) yang wajib diterapkan. Tidak heran, jika pegawai-pegawai di sana ramah-ramah. Sudah rupawan, cantik, ramah pula. Belum pernah saya mendapati teller bank yang marah-marah di depan nasabahnya. Begitu juga dengan CS jasa penerbangan, yang tetap tenang meski dimaki-maki pelanggannya ketika pesawat delay.

Sebaliknya, di instansi-instansi pemerintahan, saya lebih sering menjumpai pegawai-pegawai bertampang judes yang mengabaikan keramahan pelayanan (jangankan melempar senyum, bisa disapa saja kalian sudah beruntung). Di tempat-tempat itu, saya sering merasa diperlakukan layaknya “motor yang sedang diservis”. Di sana, saya cuma ditanya keperluannya apa, diberitahu begini begitu, diminta ke loket ini loket itu, kemudian selesai—antrian berikutnya. Tidak ada keramahan pelayanan yang membuat tamu merasa nyaman di sana,

Tentu saja saya tidak menggeneralisasi semua instansi pemerintahan seperti itu. Boleh jadi, saya cuma kurang beruntung, karena harus berurusan dengan pegawai yang judes. Sesekali, saya juga bertemu dengan pegawai yang ramah dan mau bersabar mendengarkan keluhan pengunjung. Pegawai-pegawai semacam itulah yang patut mendapat apresiasi lebih dan layak digaji tinggi oleh negara. Bukankah, seorang pegawai pemerintahan memang digaji dengan uang rakyat? Karena itu, kita berhak menuntut mereka untuk memberikan pelayanan terbaik—karena secara tidak langsung kitalah yang membayar mereka!

*   *   *

Seperti yang saya jelaskan di awal, saya sangat menghargai orang-orang ramah. Sedemikian tinggi penghargaan saya sampai-sampai saya tidak akan ragu untuk membayar lebih, demi mendapatkan keramahan pelayanan.

Sebagai contoh, di dekat rumah saya, ada sebuah warung langganan. Warung langganan saya itu terbilang cukup laris. Pemilik warung biasa menjalin keakraban dengan para pelanggannya. Ia tidak sungkan berbasa-basi dan melempar lelucon untuk mencairkan suasana. Karena itu, saya pun kerasan setiap kali berbelanja di sana dan tidak ragu menjadikannya warung langganan.

Di dekat warung langganan saya, ada juga warung lain yang barang dagangannya tidak jauh berbeda. Akan tetapi, saya jarang berbelanja di warung itu karena si pemilik warung kurang ramah. Seperti halnya pegawai instansi pemerintahan yang judes, pemilik warung itu hanya sekedar menanyakan keperluan saya, mengambilkan barang, menerima bayaran, kemudian mengakhiri transaksi. Tidak ada celetuk basa-basi atau lelucon ringan pencair suasana seperti halnya warung langganan saya.

Berhubung saya sangat menghargai keramahan pelayanan, saya tidak merasa rugi jika harus berbelanja di toko swalayan berjejaring. Meski secara ekonomi harganya lebih mahal, keramahan pelayanannya sebanding dengan harga yang dibayarkan. Bandingkan dengan pemilik warung yang judes tadi. Meski harganya lebih murah, sikap judesnya adalah 'nila setitik' yang membuat saya bergeming untuk belanja di sana.

Dari warung langganan dan toko swalayan berjejaring itu, saya pun berpikir: “Sudah seharusnya orang berdagang dengan pelayanan seperti itu”. Karena prinsipnya, ketika pemilik warung berhasil membuat pelanggannya merasa nyaman, maka besar kemungkinan si pelanggan akan kembali berbelanja di warung itu. Sebaliknya, jika pemilik warung pernah membuat kapok pelanggannya sekali saja, maka kecil kemungkinan si pelanggan akan kembali berkunjung ke warung itu.

Terlepas dari semua itu, bersikap ramah memang tidak mudah—lebih-lebih ketika suasana hati kita sedang tidak enak. Karena itu, kita bisa belajar dari para pegawai bank atau CS jasa penerbangan yang tetap bersikap ramah, meski perilaku pelanggannya tidak mengenakkan. Mereka mengajarkan kepada kita bahwa keramahan adalah “bahasa kasih” yang universal.

Kita tidak perlu risau jika keramahan kita tidak pernah digubris oleh orang lain. Karena dalam hening pun, Tuhan tahu ketulusan kita untuk bersikap ramah pada sesama. Bukankah kehidupan ini akan jauh lebih damai jika kita dikelilingi oleh orang-orang ramah? Siapa tahu, dengan keramahan itu, rezeki kita menjadi lebih lancar—sebagaimana yang terjadi pada pemilik warung langganan saya. Demikian. []
November 12, 2016Benny Prastawa

Friday, November 11, 2016

Esensi Pahlawan di Warung Makan


Buat saya, pahlawan bisa berarti siapa saja. Pahlawan tidak harus mereka yang gugur di medan perang. Pahlawan tidak harus mereka yang pergi mengangkat senjata. Pahlawan bisa berada di mana saja. Bahkan saat kau membalikkan kecoa yang terjengkang—maka kau pun sudah menjadi ‘pahlawan’—setidaknya bagi kecoa itu. Hinakah? Tentu saja tidak.  Karena bagi seorang pahlawan, keikhlasan menolong sesama adalah segalanya.

Berhubung saya belum pernah menulis tentang Hari Pahlawan, di postingan kali ini saya ingin membahas mengenai sosok ‘pahawan’. Sejenak, mari kita flashback pada hari di mana saya masih kuliah.

Bagi seorang mahasiswa (seperti saya), definisi ‘pahlawan’ tidak akan jauh dari ibuk-ibuk pemilik warung makan! (Saya pernah menulis tentang mereka di sini). Jika bukan karena regulasi-birokrasi dan intimidasi penguji skripsi, sudah pasti saya akan menuliskan “ibuk-ibuk pemilik warung makan” di halaman persembahan. Bukan bermaksud lebay—saya hanya ingin jujur mengatakan betapa besarnya peranan mereka, hingga saya bisa menjadi sarjana.

Sebagai seorang yang tidak jago masak, saya sangat tertolong dengan adanya warung-warung makan. Di tengah tugas kuliah yang menumpuk, kesibukan yang tidak berhenti, dan kerepotan proses memasak, ibuk-ibuk warung makan adalah solusi praktis mengatasi lapar yang tak tertahankan. Saya cukup mendatangi warung mereka, memilih menu, membayar sekian rupiah, menikmati hidangannya, dan urusan saya dengan rasa lapar pun selesai. Praktis, simpel, efektif, dan efisien—tentu saja.

Karena itu, ketika tersiar kabar penggerebekan warteg yang buka saat puasa, saya termasuk pihak yang ikut mukulin prihatin. Bagaimana tidak, keberadaan warung-warung makan membuat orang-orang kelaparan yang tidak jago masak (seperti saya) mendapatkan asupan gizi. Keberadaan warung makan juga membantu menolong orang-orang yang kelaparan di tengah perjalanan jauh. Sederhananya, keberadaan warung-warung makan terbukti memberikan solusi nyata untuk mengatasi masalah konstipasi dan malnutrisi di kalangan rakyat.

Saya tidak sedang beretorika. Ini serius!

Kalian tahu, di tengah pesatnya modernitas zaman, orang-orang berubah menjadi makhluk yang super sibuk. Saking sibuknya, orang bisa sampai lupa makan. Tidak heran, jika rumah sakit sering kebanjiran pasien tipus, diare, atau penyakit pencernaan lainnya—sedikit banyak diakibatkan oleh pola makan masyarakat modern yang kurang tertata.

Di satu sisi, kita tentu tidak mau jatuh sakit hanya gara-gara lupa makan. Di sisi lain, kita tidak suka memasak karena berpikir kegiatan itu buang-buang waktu. Karenanya, keberadaan warung-warung makan menghadirkan solusi instan bagi mereka yang ingin makan tanpa buang-buang waktu memasak—khususnya para mahasiswa dan musafir  yang tengah dalam perjalanan jauh.

Selain mereka, keberadaan warung-warung makan juga menolong kehidupan bayi-bayi montok yang kelaparan (dalam hal ini warung makan khusus bayi). Seperti yang kita tahu bersama, arus kehidupan modern memaksa kaum ibu-ibu untuk ikut bekerja. Jika mereka punya bayi, maka hampir dipastikan mereka tidak akan sempat membuatkan makanan bayi. Padahal, memasak makanan bayi bisa jadi sangat lama. Proses memasak harus terus dilakukan sampai menghasilkan tekstur makanan yang lembut.

Untungnya, warung-warung makan khusus bayi sudah banyak beredar di sekitar kita. Kini, ibu-ibu tidak perlu repot memasak makanan untuk bayinya. Cukup dengan membayar sekian rupiah, makanan bayi bisa segera terhidang. Praktis dan mudah. Ibu senang, bayi pun girang.

Dari contoh-contoh tersebut, ibuk-ibuk pemilik warung makan sudah memenuhi kriteria seorang ‘pahlawan’. Mereka memang tidak memegang senapan ataupun bambu rucing untuk berjibaku melawan penjajah. Tapi goresan pisau mereka di atas telenan sudah cukup menolong orang-orang yang kelaparan di sekitar kita. Racikan rempah-rempah mereka terbukti ampuh mengatasi berbagai penyakit sosial akibat perut yang lapar.

Akhirnya, pada Hari Pahlawan ini (lebih tepatnya kemarin), saya hanya ingin bilang:

Terpujilah, wahai ibuk-ibuk pemilik warung makan. Berkat kalian, bayi-bayi tidak sampai kekurangan nutrisi. Berkat kalian, orang-orang yang kelaparan di tengah jalan bisa makan. Berkat kalian, mahasiswa-mahasiswa bisa menjadi sarjana. Berkat kalian pula, gangguan perut yang bermacam-macam bisa terhindarkan.

Terima kasih ibuk-ibuk pemilik warung makan. Selamat Hari Pahlawan!!! (mari makaaann) []
November 11, 2016Benny Prastawa

Wednesday, November 9, 2016

Hukuman tanpa Kesalahan


Kemarin, blog saya hilang. Begitu mengecek Gmail saya, ternyata akunnya diblokir oleh Google. Saya sendiri tidak tahu kesalahan saya, karena selama ini saya merasa tidak melanggar Term of Use apapun. Saya tidak pernah ngaco membuat artikel cerita dewasa, tidak nyomot artikel dari blog tetangga, atau malah mengunggah konten porno.

Lalu apa salah saya? Lagipula, blog ini boleh dibilang masih baru. Belum banyak konten yang termuat di sini. Ibarat bayi, umur blog ini belum genap 2 bulan. Jadi sangat tidak adil jika blog yang baru seumur jagung ini ‘dimusnahkan’. Lebih pihak Google tidak menuliskan detail kesalahan saya. Inti email yang saya terima cuma: “Kamu melanggar peraturan, dan karena itu kamu dihukum!

Boleh jadi, seperti ini ya rasanya dituduh padahal kita yakin tidak melakukan kesalahan apapun. Ya, itu menyesakkan sekali. Bagaimana kita bisa menerima sebuah hukuman padahal kita yakin diri kita tidak bersalah?

Saya jadi teringat kasus kopi sianida yang menewaskan Mirna. Sampai detik ini, saya masih belum yakin (sejujurnya malah tidak percaya), jika tewasnya Mirna disebabkan oleh sianida yang ‘konon’ dimasukkan oleh Jessica. Ada begitu banyak plot hole yang tidak terjelaskan dalam kasus tersebut.

Saya pikir, jika sebuah kejahatan memang tidak terpecahkan karena kurangnya alat bukti, maka seperti kata Hotman Paris, kasus tersebut bisa dikatakan sebagai unsolved crime. Tapi apa daya, sejak awal, semua orang terlanjur beropini (lebih tepat digiring opininya), untuk mempercayai bahwa Mirna tewas setelah meminum kopi sianida. Padahal, jika kita menyelami persidangan Jessica, akan kita temukan beberapa kejanggalan di dalamnya. Terlebih, penanganan kasus itu sudah meninggalkan banyak ‘lubang’ sejak awal.

Ada dua hal yang sangat saya sayangkan dari kasus ini. Pertama, ketiadaan proses otopsi pada jenazah Mirna. Padahal, dari hasil otopsi itu kita bisa meyakini, apakah Mirna tewas karena sianida, atau karena hal lain. Kedua, penanganan TKP berjalan sangat lambat. Polisi malah baru bisa mengkondisikan TKP berjam-jam kemudian. Karena itu, sangat mungkin barang bukti seperti sianida (jika memang ada), sidik jari, dan gelas kopi yang dipakai Mirna hilang—atau setidaknya ‘dibersihkan’ dari jejak-jejak si pelaku.

Jika sudah begini, tinggal Jessica seorang yang dinilai paling mencurigakan. Jessicalah yang datang paling awal dan memesankan kopi. Jessica juga yang paling mungkin menuangkan racun. Jessica pula yang menaruh paper bag di atas meja, seakan-akan hal itu sengaja dilakukannya untuk menutupi CCTV. Media pun menghipnotis kita untuk berpikir “Jessica”, Jessica”, “Jessica”, dan pasti “Jessica” pelakunya. Pada akhirnya, Jessica harus menanggung ‘tuduhan umat’ yang menyeretnya ke jeruji besi.

Ah, tapi siapalah saya. Detektif bukan, jaksa bukan, polisi bukan, bahkan anaknya polisi juga bukan. Postingan ini juga tidak akan mengubah vonis hakim dan membebaskan Jessica. Saya memang bukan siapa-siapa. Dan karena saya bukan siapa-siapa, saya pantas bertanya, apa salah saya sampai-sampai akun Gmail saya diblokir?

Semoga semesta masih menghendaki adanya keadilan di antara umat manusia. Yang menghukum mereka yang bersalah dan membebaskan mereka yang tidak bersalah. Karena sungguh, menuduh seseorang tanpa kesalahan itu menyakitkan, dan dituduh tanpa bukti, itu sebuah kejahatan! []



***Paginya, buru-buru saya buka akun Gmail saya. Memang benar, akun saya terblokir sehingga saya harus melakukan verifikasi kode via nomor ponsel. Beberapa saat kemudian—Klontank!!! Akun Gmail saya sudah bisa dipulihkan. Saya pun bisa posting cerita nggak penting seperti ini lagi. Adakah yang pernah bernasib sama dengan saya?
November 09, 2016Benny Prastawa

Sunday, November 6, 2016

Fashion Nista


Mungkin sudah kodratnya—saya tidak pandai berbusana. Bukan berarti saya gila, lalu berkeliling kota tanpa busana. Maksud saya, saya merasa asing dengan dunia fashion. Bagi saya, urusan fashion ini boleh jadi merepotkan sekali. Ada beberapa aturan tidak tertulis soal fashion—khususnya tentang etika berbusana. Aturan yang saya maksud di sini adalah aturan-aturan seperti memakai baju hitam-hitam saat melayat, baju batik untuk kondangan, baju putih untuk kegiatan keagamaan, dan sejenisnya. Terlebih di lingkungan budaya kita yang mengedepankan nilai kepantasan dan kesopanan. Mau tak mau, saya harus memahami aturan tidak tertulis itu, demi menjaga kehormatan saya dalam berbusana.

Sayangnya, bentangan nasib tidak menghendaki saya menjalani kehidupan yang lurus-lurus saja. Sejauh ini, saya sudah beberapa kali terjerat ‘skandal’ salah kostum, mulai dari acara sederhana seperti buka bersama, sampai acara penting seperti hajatan pernikahan. Salah satu yang paling saya ingat adalah acara halal bi halal di SMP.

*   *   *

Dulu—dulu sekali (meski nggak dulu-dulu amat), sekolah saya mengadakan halal bi halal (sebuah tradisi bermaaf-maafan antara siswa dan guru sambil bersungkem keliling sekolah). Acara itu sudah menjadi rutinitas tahunan yang diadakan setelah libur lebaran. Semua murid harus berpartisipasi, baik yang muslim maupun non-muslim demi mempererat jalinan silaturahmi antarwarga sekolah.

Nah, sebelumnya, dalam acara itu, pihak sekolah tidak menginformasikan dresscode yang harus dipakai. Karena itu, saya pikir, sekolah membebaskan murid-muridnya untuk memakai dresscode apapun, selama masih sopan dan menutup lubang pusar. Berhubung saat itu masih dalam suasana lebaran, saya pikir acara halal bi halal akan dikemas secara religius, lengkap dengan pengajian atau semacamnya. Saya pun berencana memakai stelan baju koko putih agar terlihat matching dengan nuansa religiusnya.

Maka, hari itu dengan penuh kesadaran saya berangkat ke sekolah memakai stelan baju koko putih. Saya tidak sabar ingin bertemu dengan teman-teman setelah beberapa minggu libur lebaran. Ekspektasi saya, mereka pasti memakai baju koko, sama seperti saya. Tapi, ketika memasuki gerbang sekolah, tidak ada satupun murid yang terlihat memakai baju koko seperti saya. Semua murid memakai stelan putih-biru layaknya hari-hari biasa. Saya mencoba berpikir positif, mungkin saja mereka murid-murid yang tidak berlebaran.

Bermenit-menit setelahnya, saya mengamati murid-murid yang datang. Tak satu pun di antara mereka yang memakai baju koko seperti saya. Bahkan Bapak Ibu guru saya pun tidak. Dengan kata lain, cuma saya satu-satunya murid yang memakai baju koko hari itu! Mak klontank!!!

Begitu acara halal bi halal dimulai, saya tidak berani beranjak dari kelas. Saya sibuk merutuki diri sendiri, yang dengan konyolnya memakai ‘baju pesantren’ ke sekolah. Kenapa sejak awal tidak memakai seragam biasa saja?  gerutu saya. Pada akhirnya, acara halal bi halal yang seharusnya memperat silaturahmi itu, justru menjadi mimpi buruk yang mempermalukan saya seharian.

Belasan tahun setelah kejadian koko terkutuk itu, saya menghadiri acara resepsi di tempat tetangga. Berhubung yang punya hajat adalah tetangga saya sendiri, saya pikir saya akan sibuk beroperasi di dapur membantu para pelayan mengantar makanan dan mengambil piring-piring di meja. Karena itu, saya tenang-tenang saja memakai stelan Polo shirt dan celana kain, karena saya yakin, saya tidak akan muncul ke meja depan utuk menyambut tamu.

Begitu acara dimulai, ada satu momen di mana seluruh pelayan diminta ke meja depan untuk bersalaman dengan keluarga mempelai—termasuk saya. Meski sempat ragu, saya tetap mengikuti rombongan pelayan lain untuk bersalaman. Saat tiba di meja depan, saya sempat canggung karena para tamu undangan—termasuk tetangga saya—menatap saya dengan heran. Demi mengurangi kecanggungan, saya setengah cengengesan bersalaman dengan keluarga mempelai.

Selesai bersalaman, saya dan para pelayan lain kembali ke dapur. Sejurus kemudian, seorang teman karib mendatangi saya. Dengan jujur, ia menyodorkan ponselnya yang menampilkan pesan singkat dari nyokabnya, yang isinya meminta saya agar berganti pakaian.

Klontaaank!!!

Demi mengenyahkan sebongkah rasa malu yang menyesak, saya bergegas pulang dan berganti pakaian. Sejak saat itu, saya pun mentasbihkan diri untuk selalu memakai stelan batik dan celana kain jika menghadiri acara seperti kondangan dan sejenisnya. Saya tidak peduli, jika tamu undangan lain lebih keren memakai stelan dasi kupu-kupu atau dasi walang sangit. Saya bertekad untuk keukeuh memakai stelan batik jika pergi kondangan.

*   *   *

Pakaian adalah produk budaya. Jenis dan model pakaian akan selalu beradaptasi dengan kondisi lingkungan tempat pakaian itu berada. Dalam hal ini, ada batasan kesopanan dan kepantasan untuk setiap model pakaian. Stelan jas dalam acara pemakaman misalnya. Dalam budaya Barat, stelan seperti itu tidak akan dipermasalahkan karena sudah sewajarnya pelayat di sana memakai stelan itu. Tapi jika kita memakai stelan jas saat melayat di kampung, orang kampung bisa saja menilai kita kurang sopan.

Sama halnya dengan pemakaian bikini di pantai. Dalam budaya Barat, hal itu dianggap wajar. Tapi jika kita memaksa memakainya di sini, boleh jadi kita malah jadi bulan-bulanan massa. Karena itu, setiap busana memiliki tata nilai tertentu yang belum tentu sama dalam setiap masyarakat.

Sebagai orang Jawa, ada falsafah ajining raga dumunung saka busana. Artinya, pakaian yang kita kenakan  sangat berpengaruh pada citra diri kita secara keseluruhan. Memahami tata nilai dan etika berbusana menjadi penting agar kita mudah diterima sebagai bagian dari suatu masyarakat. Selain itu, memahami etika berbusana juga penting agar kita tidak sampai ‘salah kostum’.

Terlepas dari semua itu, saya pribadi merasa risih karena hidup di lingkungan masyarakat yang tidak terbiasa menerima perbedaan kaidah berbusana. Seperti kasus saya, pergi kondangan dengan Polo shirt dianggap tidak sopan. Bagaimana jika saat itu ada tamu undangan yang baru datang dari jauh dan tidak sempat membawa kemeja batik? Haruskah kita memintanya pulang untuk sekedar mengganti bajunya?

Mark Zukenberg bahkan menemui Presiden Jokowi dengan stelan kasual khas anak muda—kaos oblong dan celana jeans. Oh man, andai Mark Zuckenberg bukan CEO Facebook orang-orang pasti berpikir “Bah, betapa kurang ajarnya anak ini”.

Menurutnya, memikirkan baju apa yang akan dipakai dan menyesuaikannya dengan acara yang akan dihadiri, merupakan sesuatu yang “bodoh”. Bagi orang awam, jawaban Zuckenberg memang terdengar sembrono. Tapi jika kita mau memahami kesibukannya dan memikirkan urusan-urusan pentingnya, maka perkataan Zuckenberg ada benarnya. Orang-orang dengan kesibukan sepertinya, tidak akan rela membuang waktu hanya untuk mengurusi fashion.

Masih ingat almarhum Bob Sadino? Sebagai pengusaha sukses, Bob Sadino sering diundang dalam seminar-seminar bisnis. Dalam urusan fashion, Bob Sadino gemar memakai kemeja dengan bawahan celana pendek. Terang saja, penampilannya kerap dianggap nyeleneh oleh orang-orang yang belum mengenalnya. Bahkan Bob Sadino pernah diusir dari gedung DPR karena penampilan nyeleneh-nya itu.

Kultur masyarakat kita tidak terbiasa dengan ‘perbedaan’. Ketika ada orang yang berpenampilan berbeda, mereka langsung menghakimi orang tersebut tanpa memahami latar belakangnya. Padahal, apa yang kita lihat dari satu sisi belum tentu sebuah kebenaran. Berapa banyak asumsi kita yang keliru karena kita enggan mencari tahu seluk-beluk suatu masalah?

Sejujurnya saya iri dengan Mark yang bisa menemui Presiden Jokowi dengan kaos oblong. Begitu juga dengan Bob Sadino yang tetap enjoy memakai kemeja dan celana pendek di pertemuan-pertemuan resmi. Orang-orang mungkin akan menuduh mereka tidak punya etika. Tapi bagi saya, selama pakaian yang dikenakan masih memenuhi standar kesopanan yang universal, maka tidak ada yang perlu dipermasalahkan.

Ngomong-ngomong, saking ribetnya memikirkan fahion, saya jarang sekali bereksperimen dalam hal berbusana. Saya lebih sering memakai stelan yang netral-netral saja. Bagi saya, kaos oblong, jaket hooodie, dan celana jeans sudah lebih dari cukup. Kemana pun saya pergi, saya selalu enjoy dengan stelan fashion seperti itu. Bagaimanapun, saya tidak sudi membiarkan diri saya menjadi tontonan orang, hanya karena salah berbusana—persis seperti insiden ‘baju koko di sekolah’. []
November 06, 2016Benny Prastawa

Saturday, November 5, 2016

Nasehat 'Mbak'



Ada temanku yang jago matematika.
Ada pula temanku yang jago berbicara.
Temanku yang lain sangat fasih berbahasa Inggris.
Sebagian yang lain sibuk menekuni alat-alat musik dan membuat band.

Temanku juga banyak yang jago olahraga.
Basket, futsal, bulutangkis, sampai taekwondo, semua ada.
Yang mahir menulis cerpen pun tidak sedikit.
Ada juga segelintir teman yang serba bisa, multi talenta, bisa menyanyi dan menari.
Sepertinya menyenangkan sekali.

Sementara aku?

Ah, aku mah apa. Sepertinya aku harus mengingat-ingat lagi 'nasehat Mbak'

Tuesday, November 1, 2016

Menghargai Percakapan


“Hai!”

Aku mendongakkan kepala, menoleh ke arah sumber suara. Rupanya, temanku. 
Aku sudah menunggunya—sekitar sembilan ratus detik yang lalu.

“Sudah lama? Maaf aku terlambat,” katanya sambil mengambil tempat duduk.

“Ah, tak apa-apa. Belum lama kok.”

“Boleh kulihat bukunya?” temanku melirik ke arah buku bersampul kuning yang kupegang.

“Maaf? Oh, buku ini. Bukan buku terkenal kok,” kataku sambil mengulurkan buku itu padanya.

Temanku tampak tertarik. Ia pun sibuk membolak-balik halaman buku itu, mencoba mencari tahu isinya. Selagi temanku melihat-lihat buku itu, aku memanggil seorang pelayan untuk memesan minuman. Selesai menulis pesanan, pelayan itu beranjak ke counter.

“Jadi, bagaimana kabarmu?” aku membuka topik.

“Yah, seperti biasa. Banyak tugas kuliah. Sepertinya, aku kurang bisa menata waktu.”

“Kamu sibuk? Ah, maaf. Aku tak tahu kalau kau harus meluangkan waktu berhargamu untuk pertemuan yang mungkin tidak ada penting-pentingnya ini.”

“Tak apa. Toh, aku juga menginginkan pertemuan ini.” Temanku tampak memasukkan ponselnya ke dalam tas. 

Aku tidak mau percakapan kita terganggu dering ponsel,” katanya.

Aku mengangguk. Dan bermenit-menit kemudian, kami berdua telah larut dalam percakapan yang renyah. Sambil menyesapi minuman hangat di kafe itu, kami bercakap-cakap.

Drrtt.....drrrttt......!

Temanku mengeluarkan ponselnya dari tas. Sejenak, aku menangkap perubahan ekspresi wajahnya. Ada sebuah panggilan masuk, pikirku. Temanku membiarkan panggilan itu dan menaruh ponselnya di atas meja.

“Kenapa tak diangkat?” tanyaku.

“Uh, bukan panggilan penting.”

Aku mengangguk. Beberapa menit berselang, ponsel temanku bergetar lagi.

“Silahkan, angkat saja!”

Temanku meminta maaf dan mengambil ponselnya. Untuk beberapa saat dia menjawab panggilan itu di sudut ruangan agar tidak terganggu bising musik cafe.

Saat temanku kembali, ponselnya sudah dimasukkan lagi ke dalam tas. Percakapan kami pun berlanjut, tanpa dering ponsel dan tanpa bunyi notifikasi yang mengganggu. Selama dua jam itu, kami benar-benar bercakap-cakap satu sama lain.

Seperti biasa, selalu menyenangkan bisa berteman dengan orang seperti dia. Dalam hati aku berharap, “Semoga semesta menyisakan lebih banyak orang sepertinya. Orang-orang yang paham bagaimana menghargai sebuah percakapan.”[]