Wednesday, February 26, 2020

Ilusi Hidup Enak


Ada ungkapan “Kecil dimanja, remaja dipuja, muda kaya raya, tua banyak harta, mati masuk surga.” Amboi, enak sekali kalau hidup kita selalu makmur seperti itu. Sejak kecil hidup enak, saat besar tambah enak, sampai mau mati pun masih sempat enak-enakan.

Tapi sayangnya, kehidupan serba makmur seperti itu adalah mission impossible. Dalam hidup ini, kita tidak bisa selamanya memperoleh hal-hal yang menyenangkan. Meskipun kita ini anak raja dengan harta melimpah tidak habis sepuluh turunan, mustahil kita bisa terus-menerus diliput kenyamanan tanpa penderitaan. Kehidupan ini, akan tetap menyodorkan berbentuk-bentuk ketidaknyamanan dan cobaan bagi manusia, sesuai kadarnya masing-masing.

Kalau kita hidup hanya untuk menuruti yang senang-senang saja, apa bedanya kita dengan bayi? Bayi mengerjakan segala sesuatu hanya untuk memenuhi rasa senangnya. Tidak lebih. Apakah logis, jika kita lebih memilih ‘menjadi bayi’—seunur hidup—untuk bisa menetek manisnya ‘susu kehidupan’ hingga tanpa sadar maut menjemput kita saat lagi enak-enaknya tidur?

Seringkali kita dipaksa, atau memang terpaksa untuk melakukan sesuatu yang tidak kita senangi karena hal itu memang harus kita lakukan. Pasien kanker, misalnya, mau tak mau harus minum obat dan menjalani kemoterapi yang menyakitkan agar sembuh. Pasien gagal ginjal, untuk tetap hidup harus rutin "cuci darah" dengan biaya jutaan rupiah. Orang ingin makan, juga perlu bekerja untuk mendapatkan makanan itu. Minimal, bekerja untuk mendapat sejumlah uang yang nantinya dipakai untuk membeli makanan.

Belajar—itu juga tidak mengenakkan. Orang belajar butuh kerja keras dan memutar otak. Kalau salah dimarahi, kalau tak lulus ujian malu. Tapi kalau kita tidak mau belajar, tidak mau sekolah, tidak punya ijazah, tidak punya skill, yaaa...kita mau jadi apa? Apa cukup dengan ongkang-ongkang kaki dan luntang-luntung tidak jelas di trotoar?

Tidak ada yang benar-benar gratis di dunia ini. Segala sesuatunya membutuhkan usaha untuk memperolehnya—yang boleh jadi, prosesnya tidak selalu menyenangkan. Bahkan (maaf) untuk buang air besar saja, mau tak mau kita harus melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan. Duduk/jongkok bermenit-menit, menahan bau WC dan bau tinja kita sendiri, sambil sesekali ngeden agar proses ekskresi lebih lancar. Begitu selesai, kita masih harus menyentuh "area bawah" untuk membersihkannya dari sisa kotoran yang tersisa.

Kalau boleh memilih, pengennya sih, kita cukup ekskresi lewat keringat saja—tiidak usah repot-repot buang air. Untuk mengatasi keringat, cukup diseka dengan handuk atau tisu. Kalau bau, tinggal diolesi deodorant, habis perkara. Mudah dan praktis. Tapi, kalau orang hidup tidak pernah buang air, yang terjadi kemudian malah rentetan penyakit. Sembelit, wasir, diare, usus buntu, sampai gagal ginjal contohnya.

Hidup memang tak selamanya bertabur hal-hal yang kita suka. Bahkan kalau mau jujur, ada lebih banyak hal yang tidak kita suka, tapi harus kita lakukan demi menopang kehidupan kita dan memberi manfaat bagi sesama. Kalau pun ada tempat di bumi yang bebas dari hal-hal yang tidak menyenangkan, tempat itu bernama "kompleks pemakaman".

At least, bersabarlah dengan hal-hal yang tidak kita suka. Pandai-pandailah memaknai hal-hal yang tidak kita suka. Boleh jadi, ada kebaikan yang dapat kita peroleh saat kita menekuni sesuatu yang tidak kita suka. Selama apa yang kita lakukan dan usahakan itu bernilai positif, tidak ada salahnya kita bersabar menekuni segala prosesnya—yang boleh jadi tidak menyenangkan.[]

Karena boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” (2: 216)
February 26, 2020Benny Prastawa

Tuesday, February 25, 2020

Ulang Tahun Setiap Hari



Tidak perlu menunggu setahun sekali untuk merayakan ulang tahun. Kita bisa memilih merayakan ulang tahun setiap hari. Jika kita menyadari, setiap hari kita mengalami fase hidup-mati-hidup. Persis seperti konsep kebangkitan atau kelahiran kembali. Ketika kita beranjak tidur, kita sebenarnya sedang berproses menuju fase setengah mati. Kondisi kita ketika tidur mirip orang mati di mana kesadaran kita hilang dan kita tidak mampu lagi mengontrol tubuh kita.

Ketika kita terbangun, kita merasakan badan segar kembali. Paru-paru seakan terisi penuh dengan udara segar. Beban di kepala mereda. Kita pun bersiap menjalani hari dengan berbagai aktivitas selanjutnya.

Berulangnya siklus dari bangun sampai tidur lagi sebenarnya mengajarkan kita jika setiap hari yang kita lalui adalah anugerah. Kita bersyukur karena masih diberi kesempatan oleh Tuhan untuk melanjutkan kehidupan hari ini. Dan sebagai wujud rasa syukur, kita menunjukkannya dengan aktivitas bekerja dan menolong sesama. Begitulah esensi perayaan ulang tahun yang sejati.[]


February 25, 2020Benny Prastawa

Males Travelling



Travelling itu menyenangkan. Bisa untuk menyegarkan pikiran, mengenal lokasi baru, mencicipi kuliner beragam cita rasa, melihat sisi kehidupan masyarakat lain, sampai menuntaskan hasrat berpetualang. Jika kalian masih muda, energik, dan merasa memiliki ongkos berlebih, kalian tentu tertarik untuk travelling ke tempat-tempat baru.

Travelling tidak harus mahal. Kalian pergi ke kota sebelah saja sudah bisa dibilang travelling. Atau kalau kalian naik gunung (walau gunungnya tidak tinggi-tinggi amat), itu juga sudah travelling. Kalau pas lebaran, kalian mudik, lalu di kampung halaman main-main lumpur bareng sapi di sawah—seru sekali—itu juga travelling. Hemat saya, semua aktivitas tadi bisa dibilang travelling jika tujuannya untuk bepergian dalam rangka menyenangkan diri atau mencoba pengalaman baru.

Dewasa ini, orang mau travelling sangat gampang. Dengan internet, kita bisa merencanakan travelling jauh-jauh hari sebelumnya. Tidak hanya merencanakan, kita bisa sampai menentukan akomodasi transportasinya, tempat menginap, dan semua fasilitas wisata yang dibutuhkan.

Semuanya bisa disediakan oleh aplikasi-aplikasi travelling di smartphone, seperti tiket.com, traveloka, dan pegipegi. Hanya dengan "ngelus-elus" layar smartphone, kita bisa langsung memesan hotel, membeli tiket kereta/pesawat, memilih tempat duduk, sampai menambah saldo uang jajan sekaligus dalam hitungan menit!

Dua puluh tahun lalu, orang harus mikir-mikir kalau ingin travelling. Kondisinya tidak seperti sekarang yang serba murah dan praktis. Dulu, untuk mendapatkan tiket kereta atau sewa kamar hotel saja, kita bisa sampai rebutan.

Ongkos yang diperlukan juga rentan membengkak karena banyaknya biaya tak terduga yang muncul selama travelling. Belum adanya teknologi GPS saat itu, menyebabkan banyak orang yang kesasar sebelum sampai ke tempat tujuan. Gara-gara kesasar itulah, mereka harus naik lebih banyak angkutan umum untuk melanjutkan perjalanan—yang otomatis membuat bengkak ongkos perjalanan.

Itu baru soal kesasar. Belum lagi jika menghitung ongkos komunikasinya—dalam hal ini nelpon dan kirim SMS. Dua puluh tahun lalu, komunikasi jarak jauh pada umumnya dilakukan dengan ponsel biasa (belum ada smartphone). Untuk satu SMS, biayanya 350 rupiah. Terlihat murah, tapi kalian tidak mungkin hanya mengirim 10 SMS saja selama travelling. Boleh jadi kalian membutuhkan lebih banyak ongkos komunikasi untuk mengabari kerabat, rekan, atau kenalan selama perjalanan. Mungkin juga karena terpaksa, kalian harus naik taksi yang bisa dipesan lewat telepon—yang tentunya menguras habis saldo pulsa.

Biaya perjalanan yang rentan membengkak menjadi salah satu alasan mengapa orang tempo dulu tidak lazim melakukan travelling ke tempat antah berantah yang belum pernah dikunjungi. Aktivitas travelling baru dilakukan jika-dan-hanya-jika mereka memiliki tujuan yang jelas—seperti karena tuntutan pekerjaan, perintah atasan, urusan bisnis, atau mudik lebaran.

Berarti orang tempo dulu nggak pernah travelling, dong?

Bukan tidak pernah, tapi sangat membatasi aktivitas travellingnya dengan persyaratan dan pertimbangan tertentu. Misalnya, destinasi travelling harus jelas dan lokasinya (minimal) sudah pernah dikunjungi oleh orang yang ingin travelling itu. Selain itu, moda transportasi untuk sampai ke lokasi harus jelas. Dari rumah naik apa, turun di stasiun mana atau terminal apa, terus naik bus apa atau ojek jurusan mana agar cepat sampai lokasi. Semua itu harus dipikirkan masak-masak sebelum berangkat travelling.

Karena itu, kemudahan yang ditawarkan aplikasi travelling pada saat ini mengakibatkan perubahan gaya hidup kita. Adanya teknologi GPS dan peta digital (seperti Google Maps) memudahkan kita mencari letak suatu tempat secara akurat tanpa takut kesasar lagi. Kita tidak khawatir mengunjungi tempat-tempat baru karena informasi tentang rute, jalan, dan moda transportasi yang dibutuhkan untuk sampai ke sana sudah tersedia di peta digital.

Sementara itu, aplikasi-aplikasi pendukung travelling seperti traveloka dan tiket.com memudahkan kita untuk merencanakan akomodasi perjalanannya—moda transportasi apa yang akan dipakai dan di mana kita akan menginap. Travelling pun menjadi tren gaya hidup baru yang digandrungi masyarakat, terutama anak-anak muda.

Setiap orang memiliki tujuan travelling yang beragam. Ada yang iseng sekedar menghabiskan waktu luang, ada yang karena ingin pamer di media sosial, ada yang memang karena tuntutan profesi, ada pula yang TANPA TUJUAN apapun—cusss...yang penting pergi ke tempat antah berantah—berpetualang.

Karena sudah menjadi tren gaya hidup, secara tidak langsung, kebiasaan travelling pun berbanding lurus dengan merebaknya gaya hidup konsumtif di kalangan anak muda. Akhir pekan ini ke kota ini, akhir pekan depan ke kota itu, akhir pekan bulan depannya lagi ke kota sebelahnya kota ini, dan seterusnya. Jika semua keinginan travelling dituruti (didukung dengan tersedianya banyak UANG dan waktu luang), maka perilaku konsumtif tidak terhindarkan lagi demi mengakomodasi semua kebutuhan perjalanannya.

Err...but wait...tidak semua travelling mahal-mahal kok…..

Iya, memang tidak semua travelling mahal. Tapi karena saking mudahnya pesan tiket, saking praktisnya booking hotel, dan saking gampangnya order/jajan kuliner ini itu, tanpa sadar kita "dikondisikan" untuk berbelanja lebih banyak melalui segala kemudahan akomodasi travelling yang ditawarkan.

Hukum ekonomi berbicara, ketika sebuah perilaku sosial menjadi tren budaya, akan ada peluang besar untuk meraup laba di dalamnya. Ketika aktivitas travelling menjadi budaya pop yang digandrungi banyak orang, bisnis travelling pun bermunculan. Jumlah bangunan/lahan yang beralihfungsi menjadi hotel bertambah. Penyedia jasa transportasi online (seperti gojek dan grab) semakin untung dengan gelontoran laba milyaran dollar. Begitu juga dengan para pemilik usaha kuliner yang semakin berkembang dan terkerek omset hariannya. Pola yang sama bisa kita jumpai pada setiap perayaan tahun baru, hari valentin, atau ketika lebaran.

Tapi, bagaimanapun juga travelling tetap soal selera. Ada sebagian orang yang kurang tertarik pada aktivitas bepergian. Ada beberapa orang yang lebih memilih "travelling" di rumah sendiri, menikmati waktu bersama keluarga dengan tenang, atau sekedar duduk-duduk di beranda sambil menyesap teh dan membaca buku yang bagus. Jika hari libur datang, maka waktu luang mereka akan dihabiskan untuk me time bersama teman, keluarga, atau pasangan.

Bagi mereka, ada ketenangan batiniah tersendiri dengan menjauh dari hiruk-pikuk masyarakat. Ada kenyamanan pribadi yang dirasakan ketika "travelling" di rumah sendiri—tidak terjebak macet, tidak keluar banyak uang, tidak ribet mengurusi tiket dan pesanan hotel, serta bebas dari beban stres pekerjaan.

Saya pribadi termasuk golongan mereka yang lebih suka "travelling" rumahan. Saya baru akan travelling jika memang harus dan ada tujuan yang jelas. Ketika saya kebetulan travelling ke jakarta, bandung, semarang, sidoarjo, dan bali, semua destinasi itu saya ambil karena situasinya yang mengharuskan dan saya juga memiliki tujuan yang jelas.

Dalam hal ini, "tujuan yang jelas" yang saya maksud bukan sekedar tujuan kebanyakan orang yang travelling untuk senang-senang, makan-makan, dan jajan-jajan sekenyang perut sekempes dompet. "Tujuan yang jelas" harus lebih spesifik dan bermakna seperti urusan pekerjaan, kepentingan studi, acara keluarga, dan pengalaman belajar.

Tujuan-tujuan yang jelas selama travelling mutlak kita butuhkan agar selama bepergian kita selalu eling dan tidak tergoda untuk memuaskan hasrat konsumsi tanpa tahu untuk apa. Bagi saya, urusan ini penting agar sepulang dari travelling kita memperoleh pembelajaran baru. Kita harus terlatih untuk memaknai kunjungan dan fenomena sosial yang ditemui di setiap destinasi travelling. Agar kita selalu bisa menjadikan aktivitas bepergian kita menjadi lebih bermakna dan bermanfaat.

Kalau kita bepergian tanpa juntrung yang jelas, bukankah kita sama saja dengan orang gila? Beda-beda tipis, sih—selama kita masih pakai baju dan bawa smartphone.[]
February 25, 2020Benny Prastawa

Sunday, February 23, 2020

Belajar Bersikap Bodo Amat


Belajar bersikap bodo amat itu penting. Apalagi jika kalian tinggal di lingkungan sosial dengan adat ketimuran yang ketat—seperti Indonesia, misalnya. Di sini, kalian bisa merasakan sendiri, betapa permisifnya masyarakat terhadap beberapa perilaku sosial yang mengesalkan.

Misalnya, ngomongin orang di belakang, bergosip, nyinyir, sebar isu, sirik (sejenis dengki tapi bukan "syirik"), dan sikap sok pamer. Meski banyak yang tidak senang, tapi sikap dan perilaku semacam itu dianggap sebagai hal yang lumrah.

Jika kamu, laki-laki misalnya, tapi menganggur dan luntang-luntung tidak jelas, kamu bisa digunjingkan macam-macam oleh tetangga. Atau jika kamu, perempuan misalnya, tapi sering pulang kerja sampai larut malam, kamu sangat mungkin digosipkan sebagai perempuan "nakal".

Realita lain yang masih sering terjadi, misalnya kalian menikah, kemudian hamil. Bukannya ikut berbahagia, tapi malah adaaa...saja bisik-bisik miring yang mempertanyakan kehamilan itu. Ada yang malah sampai menghitung jarak waktu pernikahan sampai kehamilan, untuk digunjingkan dengan banyak purbasangka—hamil duluan-lah, anak haram-lah, hasil zina-lah, dan semacamnya.

Atau ketika ada orang yang lolos pegawai negeri (CPNS). Adaaa...saja yang nyinyir menyebar isu kalau orang itu curang, main sogok, atau karena minta bantuan "orang dalam". Padahal kenyataannya orang tadi betul-betul lolos karena usahanya sendiri.

Lebih jengkel lagi kalau kalian menjadi orang kaya. Sebagian tetangga yang iri bisa saja menyebar gosip kalau kekayaan kalian tidak halal, hasil korupsi, hasil tindak kriminal, sampai tuduhan memlihara tuyul (pesugihan). Jika kalian membangun kekayaan dari nol, dari hasil kerja keras dan hidup prihatin bertahun-tahun, tentu saja kalian akan nyeseg mendengar tuduhan ngawur seperti itu.

Pada titik ini, kita harus menguasai ilmu tentang bagaimana bersikap bodo amat agar hidup kita tidak terusik dengan segala perilaku sosial yang mengganggu tadi. Kita harus paham bagaimana "menutup telinga" dari segala nyinyiran, gosip, fitnah, atau ujaran kebencian, agar hidup kita tetap stabil dan urusan-urusan pribadi kita tidak ambyar berantakan.

Kita hanya memiliki dua tangan dan satu mulut. Kita tidak mungkin memakai dua tangan kita untuk menutup rapat mulut-mulut nyinyir tetangga atau teman kita. Kita juga tidak mungkin meladeni semua omong kosong gosip yang berhembus dari lidah orang-orang yang iri pada kita.

Yang bisa kita lakukan adalah mengendalikan otak kita. Kita masih mungkin membatasi akses informasi yang masuk ke pikiran kita. Kita harus bijak memilah "ocehan" dari luar, mana yang penting untuk dipikirkan dan mana yang harus diabaikan saja (bodo amat).

Kita berhak memiliki ruang ketenteraman bagi diri kita sendiri. Kita harus tahu bagaimana menciptakan "ruang kenyamanan" bagi kita—betapapun orang-orang di sekitar ngoceh ngawur tentang kita. Untuk itulah, belajar bersikap bodo amat itu penting sekali agar kita bisa survive dalam lingkungan sosial yang doyan nyinyir dan gosip tadi.

Dalam hal ini, sikap bodo amat jangan disamakan dengan sikap apatis, anti sosial, dan tidak mau bergaul dengan tetangga. Sikap bodo amat di sini lebih menekankan pada pola pikir (mindset) kita untuk memilah informasi dari luar—mana yang penting dan mana yang harus diabaikan (di-cuek-kan).

Seperti yang kita tahu, kemampuan otak kita terbatas. Manusia tidak bisa memikirkan dua hal sekaligus dalam waktu bersamaan. Jika kita sering menerima perilaku sosial yang menyebalkan dari orang lain (di-nyinyir, digosipkan, digunjingkan,dll) lalu kita memasukkan semua ocehan itu dalam benak kita, maka otak kita bisa "meledak" (kacau sekacau-kacaunya). Secara psikis, hal itu juga bisa menekan kita sehingga kita menjadi merasa tidak nyaman.

Selain pola pikir, sikap bodo amat juga terkait dengan respon kita, bagaimana menghadapi perilaku orang lain yang toxic, seperti tukang gosip dan nyinyir. Dalam hal ini, kita bisa memilih untuk membalas perilaku mereka dengan perilaku yang sama. Jika kita di-nyinyir, kita balas me-nyinyir. Jika kita difitnah, kita balas memfitnah. Jika kita digunjingkan, kita balas menggunjing. Ringkasnya, mata dibalas mata. Impas.

Tapi menurut saya, respon seperti itu tidak sepenuhnya efektif—dan cenderung menimbulkan dampak laten yang boleh jadi malah membuat situasi semakin rumit. Jika kita membalas semua perilaku sosial negatif orang-orang, lalu apa bedanya kita dengan mereka? Jika kita membalas nyinyiran dengan nyinyiran, bukankah kita sama saja dengan mereka yang nyinyir?

Lagipula, jika yang kita hadapi adalah orang yang sejak awal tabiatnya bermasalah (tukang nyinyir, misalnya), maka usaha kita membalas segala nyinyirannya jelas sia-sia. Orang seperti itu tidak akan kapok walau kita balas dengan perilaku serupa. Jangan harap bisa mengubah tabiat seseorang hanya dengan membalas perilaku menyebalkannya.

Di sinilah pentingnya kita bijak bersikap bodo amat. Sikap bodo amat memungkinkan kita mengambil jarak terhadap mereka yang perilaku sosialnya menyebalkan. Sikap bodo amat juga memberi "ruang kenyamanan pribadi" yang mencegah kita dari stres dan tekanan psikis lainnya.

Memang ada sebagian masalah yang perlu kita respon dengan membalas sikap itu. Tapi kita juga perlu mempertimbangkan aspek untung ruginya—apakah dengan membalas, kondisi kita menjadi lebih baik dan lebih nyaman? Atau malah hubungan sosial kitalah yang semakin rusak.

Karena boleh jadi, ada lebih banyak gosip, gunjingan, rasa sirik, dan celoteh nyinyir orang-orang yang cukup kita respon dengan sikap bodo amat. Dan begitulah, kita belajar untuk menjadi pribadi yang lebih dewasa dan bijak dalam menyikapi keadaan.[]


February 23, 2020Benny Prastawa

Friday, February 21, 2020

Jangan Salah Memaknai Ungkapan ' Kegagalan adalah Keberhasilan yang Tertunda '



Seringkali orang datang, menghibur mereka yang "gagal" dengan kalimat, "Kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda…"

Ya, benar, tertunda. Hanya karena belum waktunya saja. Tapi bagaimana jika kegagalan itu berulang kali kita alami? Bagaimana jika seiring waktu berjalan, kegagalan masih terus kita alami? Sampai-sampai pada satu titik, boleh jadi kita berburuk sangka, jangan-jangan kita ditakdirkan untuk selalu gagal.

Karena itu, ungkapan "kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda" adalah kalimat yang belum selesai. Kalimat itu mensyaratkan faktor lain yang akan mempengaruhi nasib orang yang gagal itu selanjutnya. Faktor itu adalah kemauan untuk belajar dari kegagalan dan mentalitas untuk tidak berputus asa.

Kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda. Ya, tertunda bagi mereka yang terus-menerus menyesal dan tidak mau belajar dari kegagalan itu. Bukankah menjalani hari dengan penyesalan masa lalu tidak pernah mengenakkan?

Mengapa tidak memaksakan diri untuk mempelajari sebab-sebab kegagalan kemarin, kemudian menyibukkan diri dengan aktivitas belajar agar kegagalan yang sama tidak terulang lagi? Tidak pernah rugi orang yang mau terus belajar. Karena dengan belajar, peluang terulangnya kegagalan akan mengecil dengan sendirinya.

Kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda. Ya, tertunda bagi mereka yang memilih untuk diam berputus asa setelah mengalami kegagalan, alih-alih bersikap tegar dan bangkit menatap peluang masa depan. Karena bagi mereka yang berputus asa, tidak akan ada solusi masalah yang diperoleh. Bahkan setan pun enggan menggoda manusia yang terus berputus asa. Karena keputusasaan itu sendiri sudah cukup untuk menghancurkan kehidupan seseorang.

Memiliki harapan itu penting. Orang hidup harus terus memiliki harapan betapapun sulitnya kehidupan yang dijalaninya sekarang. Para filsuf mengatakan, "harapan adalah kekuatan terbesar manusia…" Ya,karena dengan harapan, kita bisa memiliki keyakinan akan hari esok. Dengan harapan, kita selalu punya alasan untuk terus melanjutkan hidup.

Kegagalan adalah satu hal. Tapi bagaimana sikap dan usaha kita setelah gagal, jauh lebih penting untuk dipikirkan. Kegagalan memang bisa disebabkan oleh kesialan, atau karena ketidakberuntungan nasib. Kegagalan juga bisa disebabkan karena kurangnya upaya dan kerja keras orang itu sendiri.

Akan tetapi, selama mereka yang gagal memilih untuk tidak berputus asa dan mau belajar dari kegagalan, maka kemungkinan mereka meraih pintu keberhasilan di masa depan akan terbuka lebar.

Begitulah roda kehidupan ini berputar. Kegagalan dan keberhasilan dipergilirkan semesta pada manusia dengan kadarnya masing-masing. Tugas kita sebatas pada jalannya rencana, upaya, dan ikhtiar. Sadari bahwa kita ini "lemah". Sadari, bahwa ada Dzat Tak Terlihat yang Maha Berkuasa mengatur putaran roda kehidupan kita.. Karena hanya Dia-lah yang semestinya kita jadikan tempat berharap.[]
February 21, 2020Benny Prastawa

Wednesday, February 19, 2020

Ramai-Ramai Menghakimi Mario Teguh



Tanggal 7 September 2016 lalu, seorang pemuda misterius berusia sekitar 30-an tahun diundang di acara Hitam Putih. Dengan kacamata berbingkai tebal yang menggantung di hidungnya, orang-orang mungkin akan berpikir pemuda itu adalah sosok inspiratif yang akan berbagi cerita motivasi tentang kehidupannya—bagaimana ia melalui pahit getirnya hidup sebelum akhirnya menuai gemilang kesuksesan. Persis seperti halnya tamu-tamu lain yang biasa diundang di acara Hitam Putih.

Tak dinyana, pemuda tersebut membuat gempar para penonton dengan pengakuan kontroversialnya, “Saya anak Mario Teguh...” 

“(Mario Teguh) yang botak kepalanya?” tanya Deddy Corbuzier (nama presenter acaranya).

Ya...tapi nggak sebotak Mas Deddy. Iya Benar,” jawab pemuda itu setengah bercanda.

Berarti Anda anak Mario Teguh?” tanya Deddy lagi.

Ya benar, saya anak Mario Teguh. Sumpah, demi apapun saya siap,” tegas pemuda itu.

Anda tidak diakui oleh dia?” Deddy bertanya penuh selidik.

Kelihatannya begitu,” jawab pemuda itu.

Deg! Jawaban pemuda bernama Ario Kiswinar itu membuat para penonton terkejut. Untuk meyakinkan penonton, ia menunjukkan foto-foto masa kecil bersama Mario Teguh, akta kelahiran, kartu keluarga dan salinan akta nikah orang tuanya. Menit-menit selanjutnya, Ario membeberkan banyak fakta dan pengakuan-pengakuan lain yang tidak kalah kontroversial tentang hubungan dirinya, keluarganya, dan Mario Teguh.

Selain tidak mengakuinya sebagai anak, Ario juga mengungkapkan bagaimana “jahatnya” Mario Teguh karena tidak sudi memberinya nafkah sebagai ayah kandung. Ario juga menambahkan dirinya pernah ditelantarkan Mario Teguh saat meminta bantuan biaya kuliah yang mirisnya tidak dipenuhi oleh Mario Teguh.

Pengakuan Ario Kiswinar di acara Hitam Putih itu berbuntut panjang. Pihak Mario Teguh tidak terima dengan pernyataan sepihak Ario dan cerita pengakuannya. Penanggung jawab acara Hitam Putih juga turut disalahkan karena telah menyiarkan tayangan langsung (live) tanpa persetujuan pihak ketiga yang tercatut di dalamnya (Mario Teguh). Kasus ini pun dibawa ke ranah meja hijau. Dan seperti biasa, media massa kita ramai-ramai meliput kasus ini seperti sekawanan burung nazar yang mengerumuni onggokan “bangkai”.

Melihat jalannya kasus ini, tidak heran jika publik terkejut. Selama ini, publik mengenal Mario Teguh sebagai sosok motivator yang tidak pernah terkena gosip macam-macam. Publik (terutama yang rutin mengikuti fans page MarioTeguh) tentu tahu kalau Mario Teguh hanya memiliki seorang istri bernama Ibu Lina serta dua orang anak, Audrey dan Marco. Jika dilihat dari timeline-nya, Mario Teguh senantiasa mencitrakan kehidupan keluarganya yang serba bahagia, sarat pembelajaran dan bisa menjadi teladan bagi keluarga lain yang ingin hidup damai.

Sementara di layar kaca, Mario Teguh sudah lebih dari satu dekade membawakan acara bertajuk “Golden Ways”—sebuah acara talkshow yang sarat motivasi, kata-kata mutiara, dan pesan nasihat bagi para pemirsanya. Dengan segala reputasi positifnya, pengakuan Ario Kiswinar di acara Hitam Putih tadi seakan telah menjungkalkan arus opini publik tentang sosok Mario Teguh.

Saat isu-isu miring semakin kencang beredar, Mario Teguh diwawancarai secara eksklusif oleh KompasTV. Kesempatan wawancara itu pun dimanfaatkan Mario Teguh untuk meluruskan isu-isu miring yang beredar. Dalam wawancara tersebut, Mario Teguh mengakui bahwa Ario Kiswinar memang anak sahnya berdasarkan akta kelahiran—hasil pernikahannya dengan Bu Ariyani, istri Mario Teguh sebelumnya.

Mario Teguh mengkonfirmasi adanya masalah pelik di dalam keluarganya dulu, di mana Mario Teguh mencemburui seorang lelaki yang dianggap telah berselingkuh dengan istrinya. Mario Teguh hanya menyebut lelaki itu dengan samaran “Mr. X”—mengingat status Mr.X sebagai seorang yang terpandang dan cukup berkuasa pada masa itu. Begitu Ario Kiswinar lahir, terdapat banyak purbasangka soal status anak laki-laki tersebut—apakah ia adalah anak kandung Mario Teguh atau bukan. Masalah tersebut menyebabkan hancurnya bangunan kepercayaan dalam biduk rumah tangga Mario Teguh. Ia dan istrinya pun bercerai. 

Mario Teguh juga menuturkan, ketika Ario berusia 17 tahun, ia pernah meminta Ario untuk melakukan tes DNA. Akan tetapi, permintaan Mario Teguh itu ditolak mantan istrinya. Sehingga status Ario Kisiwnar pun dibiarkan tetap abu-abu. Tidak jelas, apakah dia anak kandung Mario Teguh atau bukan.

Bertahun-tahun kemudian, Ario Kiswinar yang telah beranjak dewasa, mendadak muncul di televisi dan membuat pengakuan mengejutkan. Sayangnya, sebagian besar isi pengakuan Ario bertolak belakang dengan pernyataan Mario Teguh yang disiarkan KompasTV sebelumnya. Publik pun terbelah menjadi pihak pro dan kontra dalam menilai kasus ini.

Pihak yang pro menilai Mario Teguh sedang difitnah dan “dibunuh” karakternya oleh seseorang yang mendaku sebagai anaknya. Pihak yang kontra menilai Mario Teguh sudah melakukan “kejahatan” dengan tidak mengakui Ario Kiswinar sebagai anak kandungnya. Di sisi lain, kuasa hukum Mario Teguh dan Ario Kiswinar saling melempar opini yang memperkeruh situasi demi memenangkan kliennya masing-masing.

Demi mengakhiri perdebatan yang terjadi, Mario Teguh dan Ario Kiswinar sepakat untuk melakukan tes DNA. Tes DNA adalah salah satu sarana untuk mengetahui kecocokan genealogis yang bisa menunjukkan hubungan orangtua dan anak kandung. Dari hasil tes DNA tersebut, Ario Kiswinar terbukti sahih sebagai anak kandung Mario Teguh.

Pihak Ario Kiswinar pun segera menuntut Mario Teguh dengan tuduhan pencemaran nama baik dan meminta Mario Teguh untuk membuat permohonan maaf langsung kepada publik. Menurut pihak Ario, Mario Teguh dinilai bersalah karena tidak mengakuinya sebagai anak dan mencemarkan nama baik ibunya (istri Mario Teguh sebelumnya) yang dituduh berselingkuh dengan sosok Mr. X.

Hasil tes DNA tersebut juga membuat publik kian meyakini Mario Teguh adalah pihak yang bersalah. Publik pun mendesak Mario Teguh agar segera membuat pernyataan dan menyelesaikan segala tuduhan yang ada. Kuasa hukum Mario Teguh dan Ario Kiswinar masih terus melempar opini pada media. Namun, entah kenapa kasus ini dibiarkan berlarut-larut di kepolisian. Lebih dari setahun kasus ini diurus, tapi tidak pernah ada kejelasan baik dari pihak Mario Teguh maupun Ario Kiswinar tentang ke mana kasus ini bermuara. Per Agustus 2017, polisi pun menutup kasus ini karena tidak adanya cukup bukti.

*   * *

Secara pribadi, kasus ini mengusik saya karena banyaknya plothole dan adanya penggiringan opini yang mendiskreditkan Mario Teguh. Sebelum tes DNA itu dilakukan, Mario Teguh menyatakan bahwa Ario Kiswinar adalah anak kandungnya berdasarkan akta kelahiran. Tidak ada pernyataan Mario teguh yang berisi sangkalan terhadap status Ario Kiswinar.

Ketika Mario Teguh menjelaskan tentang masalah rumah tangganya dan membawa-bawa sosok Mr. X., hal itu bisa dipahami sebagai upaya untuk memperjelas situasi yang sebenarnya terjadi berdasarkan perspektifnya. Bukan untuk menyudutkan Ario Kiswinar atau mencemarkan nama baik Bu Aryani sebagai istri Mario Teguh sebelumnya (walau kebenarannya hanya Mario Teguh yang tahu). Mario Teguh juga sudah aktif mengklarifikasi segala bentuk isu-isu miring yang beredar melalui fanspage-nya.

Tapi setelah tes DNA keluar, entah bagaimana pemberitaan media berbelok tajam. Mario Teguh mendadak dipersepsikan sebagai pihak yang “jahat” karena tidak mengakui anak kandung dan mencemarkan nama baik mantan istrinya. Publik yang tadinya berada di pihak pro, berubah halauan menjadi pihak yang kontra, lalu ramai-ramai nyinyir dan menghujat Mario Teguh.

Pemberitaan media memang tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Apalagi dalam dunia infotainment di mana gosip yang menimpa public figure ternama adalah “ladang bisnis” yang menggiurkan. Dan kita (masyarakat), sebagai konsumen media merasa baik-baik saja menelan mentah-mentah semua pemberitaan media betapapun isi berita tidak cover both side. 

Di era digital seperti sekarang, arus informasi beredar tanpa batas. Tidak ada lagi sekat bagi pertukaran informasi antarindividu maupun antarnegara. Hadirnya internet mempermudah kita untuk mengakses informasi yang kita butuhkan, baik informasi yang positif maupun negatif, baik informasi yang valid maupun yang hoaks.

Dalam hal ini, mau tak mau, kitalah yang harus cerdas dalam memilah informasi karena kitalah konsumen informasi tersebut. Jika kita mudah mempercayai sebuah informasi tanpa menyaring dan mengklarifikasinya, maka kita akan mudah terombang-ambing dalam lautan informasi yang malah membingungkan. Kita akan semakin jauh menemukan kebenaran alih-alih sering merasa paling benar.

Ketika diri ini merasa paling benar, merasa paling banyak memiliki informasi, maka yang terjadi selanjutnya hanya perdebatan-perdebatan sia-sia yang tidak jelas juntrung manfaatnya—apakah yang diperdebatkan ini penting atau tidak.

Persis seperti kasus Mario Teguh dan Ario Kiswinar tadi. Dalam perspektif saya, kejelasan kasus mereka berada di ranah abu-abu. Hanya mereka sendirilah yang paling tahu fakta yang sebenarnya. Hanya Mario Teguh dan Ario Kiswinarlah yang paling tahu tentang duduk perkara yang sebenarnya. Titik! 

Dan karena kasus ini menyangkut masalah keluarga, maka semestinya kasus Mario Teguh dan Ario Kiswinar harus dibicarakan di lingkaran internal keluarga besar mereka sendiri. Tidak perlu sampai dicuatkan ke ranah publik hingga memicu kegaduhan perdebatan yang tidak ada habis-habisnya.

Lagipula, apa sih manfaatnya kalau kita tahu Mario Teguh pernah punya anak dari pernikahannys sebelumnya? Seberapa penting kita tahu aib-aib Mario Teguh? Apakah kita sudah sedemikian muak dengan kata-kata bijak Mario Teguh? Apakah kita terlalu iri melihat kesuksesannya sebagai motivator? Apakah kita sebal melihat sosok Mario Teguh yang mungkin di mata kita terlihat “sok suci”?

Saya tidak sedang memihak Mario Teguh maupun Ario Kiswinar. Sejak awal kasus ini bergulir, tidak pernah ada kejelasan mana yang fakta dan mana yang opini media. Sekali lagi, dalam kasus ini, hanya Mario Teguh dan Ario Kiswinarlah yang paling tahu. Saya hanya sedang menegaskan pentingnya kita menjadi konsumen media yang cerdas. Jangan mudah tergiring opini media betapapun banyaknya media yang mengatakan hal serupa. Selalu klarifikasi segala informasi yang kita peroleh baik dari media massa, internet, atau siapapun.

Karena pada dasarnya segala kasus, peristiwa, atau fenomena yang terjadi di masyarakat dapat dilihat dan dinilai dari berbagai sudut pandang. Terkadang nilai kebenaran suatu hal bisa jadi sangat subjektif—tergantung dari sudut pandang mana yang diambil. Alangkah bijaknya jika sebelum menilai kebenaran informasi, terlebih dahulu kita tanyakan aspek kebermanfaatan informasi itu. Lucu sekali jika kita ramai berdebat hanya karena merasa benar pada suatu hal, sementara apa yang kita debatkan itu sama sekali tidak memberi manfaat bagi diri kita maupun orang lain.

Beruntungnya kita karena Tuhan hanya memberi kita satu mulut agar kita belajar untuk tidak banyak ngoceh dan berdebat. Alih-alih Tuhan memberi kita dua telinga agar kita lebih banyak mendengar dan berpikir dulu sebelum berbicara.[]




February 19, 2020Benny Prastawa

Sunday, February 2, 2020

Lelaki Putus Asa yang Menelpon Mario Teguh







Rrr....rrrr...

Sesi telepon interaktif dengan pemirsa dimulai. Terdengar dengung suara telepon masuk ke studio. Samar-samar, seorang lelaki paruh baya menyapa pelan.

Sudah sepuluh tahun nasib saya tidak berubah, Pak......

Hening. Penonton di studio senyap, terbius suara berat lelaki yang tengah menelpon.

Saya tidak tahu lagi harus melakukan apa untuk mengubah keadaan ini. Hingga pada satu titik...”—lanjut lelaki itu—“saya berpikir Tuhan itu tidak ada...

Tolong, berikan saya pencerahan, Pak, di mana Tuhan itu? Dan jika Bapak bisa membantu saya, apa yang harus saya lakukan...?

*   *   *

Suara lelaki penelpon itu berhenti. Rentetan pertanyaan yang disampaikan dengan sentimentil itu menyisakan tanda tanya yang canggung pada seluruh penonton di studio–termasuk (mungkin) Mario Teguh. Sejenak, Mario Teguh terdiam, merenung, kemudian mencoba menjawab penelpon tersebut.

“Bapak tidak mungkin tidak disayang Tuhan, jika dari sekian banyak orang yang mencoba menelpon kemari, suara Bapaklah yang diterima masuk. Itu saja tanda bahwa Bapak dengan suara hati yang tulus tadi bertanya ‘apakah Tuhan itu ada dan di mana Tuhan’ telah dijawab dengan diizinkannya suara Bapak didengar oleh dua juta hati Indonesia (yang sedang menonton acara ini).”

“Tuhan itu, sebetulnya, Pak tampil sangat jelas bagi mereka yang ‘tidak mempercayai-Nya’. Tapi bagi mereka yang sudah yakin, Tuhan tampil seperti ‘tidak ada’. Seakan-akan harus kita semua yang menentukan (segala urusan).”

“Pak, apakah Bapak berdoa pada saat gembira atau hanya waktu bersedih? Orang yang berdoa hanya waktu sedih, akan ‘ditambah kesedihannya’ oleh Tuhan. Karena bagi Tuhan, kesedihan itu tidak apa-apa (karena justru bisa mendekatkan hamba dengan Tuhan-nya melalui doa). Karena suara terindah yang Tuhan ‘dengar’ adalah doa. Jangan buat Tuhan merindukan suara Anda (doa) hanya ketika Anda sedang bersedih (saja)”.

“Syukuri, renungkan setiap kebaikan-kebaikan di sekitar kita, seperti kenyataan bahwa ada seseorang yang mau menerima Bapak dan bersedia menua bersama sebagai istri itu. Apa harapan hidupnya, jika suami yang gagah perkasa, yang disandarinya sebagai suami itu terdiam berputus asa?”

“Jadi bagaimana jika mulai sekarang Bapak merayakan hal-hal kecil yang selama ini Bapak sepelekan...”

Nafas... Bapak bernafas lebih bebas daripada mereka yang di ICU sana, yang membayar jutaan hanya untuk bernafas”.

Mata... berapa banyak orang yang harus membayar milyaran, hanya untuk melihat apa yang sekarang Bapak lihat?”

“Jadi bagaimana jika mulai sekarang kita mensyukuri hal-hal yang selama ini kurang kita syukuri. Rayakanlah setiap kemenangan-kemenangan kecil dalam hidup seperti ketika melihat anak pulang sekolah, “Terima kasih, Tuhan, Engkau izinkan aku punya anak—karena banyak orang kaya-raya tidak punya anak.”

“Biasakan berdoa dalam kegembiraan agar Tuhan “tersemangati” untuk turut serta membantu memberkati kehidupan kita” pungkas Mario Teguh.[]


===========
*Disarikan dari sesi telepon interaktif acara Mario Teguh Golden Ways episode “Who am I?” dengan penggubahan dialog secukupnya.

February 02, 2020Benny Prastawa