Wednesday, June 14, 2017

Menertawakan Sikap Sok Tahu


Aku membiarkan orang yang suka berbicara semau mereka.
Itu membuatku lebih mudah untuk tahu 
seberapa besar omong kosong mereka.
(Jackie Chan—Rush Hour 1)

Kejadian ini bermula saat pelajaran komputer di sekolah menengah. Saat itu, tugas yang harus dikerjakan para siswa (termasuk saya) adalah mengetik beberapa baris paragraf dan menyisipkan gambar melalui auto shape. Naskah yang diketik harus sama dengan naskah yang diberikan, termasuk tata letak gambar auto shape yang disisipkan. Berhubung saya pernah memakai mesin ketik manual sebelumnya, urusan ketik-mengetik ini tidak terlalu sulit.

Yang membuat saya risih, di sebelah saya, seorang teman tampak sibuk membicarakan salah satu siswa yang tidak jago komputer. Ia menertawakan cara siswa itu ketika membuat gambar smiley (gambar orang tersenyum). Lazimnya, kita cukup mencomot gambar smiley dari menu auto shape. Tapi siswa tadi berbeda. Dia justru membuat gambar smiley dengan menyusun bagian-bagiannya satu per satu. Karena caranya yang konyol, siswa itu pun menjadi bahan tertawaan teman-temannya di kelas.

Tidak hanya saya, kalian mungkin juga pernah memiliki teman, atau mungkin pernah mengalaminya sendiri ketika kalian ditertawakan orang lain karena tidak bisa melakukan suatu pekerjaan yang seharusnya mudah dilakukan. Ya, menertawakan orang yang tidak bisa melakukan pekerjaan sepele, mungkin terasa menyenangkan. Tapi, bagi sebagian orang, hal semacam itu bisa jadi sudah cukup mempermalukan dan melukai harga dirinya. Selain itu, sebagai orang terpelajar, menertawakan orang karena ketidakmampuannya juga terasa tidak etis. Bisa jadi, di kemudian hari, kita sendirilah yang kena batunya—menjadi bahan tertawaan orang karena tidak becus mengurus pekerjaan sepele (merawat bulu hidung misalnya).

Nah, daripada menertawakan orang lain karena ketidaktahuannya, saya lebih ‘suka’ menertawakan orang yang sok tahu. Sepanjang umur kalian, kalian pasti pernah bertemu dengan orang yang sok tahu. Orang yang sok tahu, biasanya banyak bicara dan banyak berlagak. Ia akan sibuk mengomentari banyak hal—bahkan tentang hal-hal yang tidak diketahuinya sekalipun.

Misalnya kita sedang ramai mengobrol tentang komputer. Kemudian, salah seorang teman yang sok tahu datang. Belum ada semenit bergabung, teman kita tadi langsung bicara banyak. Gaya bicaranya meyakinkan sekali, seakan-akan hanya dia yang tahu soal komputer. Sampai suatu waktu, topik obrolan membahas tentang RAM. Teman kita tadi menimpali, “Ngapain mahal-mahal beli RAM. Kalau RAM-nya rusak, ya tinggal download aja di internet. Lebih murah, asal nyambung internetnya.” Mendengar itu, teman kita tadi malah menjadi bahan tertawaan orang-orang di sekelilingnya.

Pada kasus yang lebih serius, orang yang sok tahu bisa sampai merugikan bahkan membahayakan keselamatan orang lain. Misalnya saja ketika kita sedang tersesat mencari alamat si A. Karena tak kunjung ketemu, kita pun bertanya pada seseorang yang kebetulan berada di situ. Dengan nada meyakinkan, orang itu menjelaskan rute-rute menuju tempat si A, belok sana, belok sini, sampai kita percaya bahwa apa yang dikatakannya benar.

Nyatanya, begitu kita mengikuti petunjuk orang itu, alamat si A belum ketemu juga. Tahulah kita bahwa orang yang kita tanyai tadi cuma sekedar sok tahu, karena dia sendiri masih terhitung warga baru di situ. Menyebalkan sekali bukan? Kalau memang tidak tahu, kenapa tidak jujur saja di awal?

Contoh nyata, saat televisi di rumah saya bermasalah. Beberapa channel yang biasanya ditonton, tiba-tiba hilang (tidak ada sinyal). Ibu saya pun menghubungi seorang teknisi yang dianggap cukup tahu masalah televisi. Begitu si teknisi datang, teknisi itu segera mencari tahu sumber masalahnya. Ada dugaan, pemrograman channel televisi di rumah saya bermasalah. Si teknisi pun mulai mengambil remote dan mengutak-atik menu pemrograman channel.

Berjam-jam kemudian, teknisi itu masih sibuk dengan pekerjaannya. Ibu saya masih menunggui si teknisi. Sampai akhirnya, setelah berjam-jam mengutak-atik televisi, teknisi itu pun angkat tangan. Hasilnya, hanya sebagian channel yang hilang yang berhasil dikembalikan.

Saat kebetulan saya pulang ke rumah, ibu saya mengadu tentang masalah televisi dan teknisi yang dimintai tolong tempo hari. Saya pun mencoba mencari tahu masalah televisi itu dengan Google. Setelah menemukan artikel yang cocok, saya pun mengikuti panduan artikel tersebut dan channel-channel yang hilang akhrinya bisa kembali.

Saya tidak mau berburuk sangka pada si teknisi. Boleh jadi, hanya kebetulan saja ia tidak mampu mengatasi masalah televisi di rumah saya. Yang saya sayangkan, jika memang si teknisi tidak tahu cara menyelesaikan pekerjaannya, mengapa ia tidak jujur saja di awal? Mengapa tidak berlapang dada dan mengakui ketidakmampuannya sejak awal? Alih-alih dengan sikap “sok tahu” itu, si teknisi tadi telah mempersulit urusan orang lain.

Pada dasarnya, kebanyakan manusia memiliki dorongan kuat untuk menciptakan kesan “sempurna” dalam dirinya. Manusia selalu ingin menampilkan segala kelebihan yang dimilikinya di depan orang-orang. Ketika orang-orang ramai memuji dan menyanjung, kita pun gembira. Di sisi lain, kita cenderung berusaha menyembunyikan segala kekurangan yang ada dalam diri kita. Kita tidak ingin orang-orang tahu kelemahan kita. Kita akan sangat ilfil ketika orang-orang nyinyir dan mencibir ketidakmampuan kita. Karena itu, kita pun berusaha menutupi kelemahan kita dengan berbagai cara.

Sikap sok tahu hanyalah segelintir cara yang biasa dilakukan seseorang untuk menutupi ketidakmampuan/ketidaktahuan kita pada sesuatu. Jika sikap sok tahu tidak cukup untuk menutupinya, maka kita cenderung akan banyak bicara sambil membual tentang banyak hal. Semua itu dilakukan demi agar orang lain tidak sempat mengendus ketidaktahuan kita. Jika kebetulan ada orang yang mengetahui omong kosong kita, lama-kelamaan orang itu akan risih jika berada di dekat kita.

Catatan ini tidak bermaksud menuduh kalian sebagai orang sok tahu. Catatan ini sekedar self reminder agar kita terhindar dari sikap sok tahu. Karena, sekali lagi, sikap sok tahu itu menyebalkan sekali. Sesekali, kita mungkin berhasil menutupi ketidaktahuan kita dengan sikap sok tahu. Tapi ketika kita kena batunya, maka orang lain akan segera menertawakan kita.

Alih-alih akan terasa lebih damai jika kita memilih untuk menjadi orang yang jujur dan apa adanya. Jika kita memang tidak tahu tentang suatu hal, maka katakan saja sejujurnya bahwa kita tidak tahu. Dan karena kita tida tahu, maka bertanyalah. Sikap semacam itu lebih aman dan lebih bijak untuk menjaga respek orang lain pada diri kita. Selain itu, dengan berlaku jujur, harga diri kita bisa lebih terjaga dan kita pun terhindar dari resiko mempersulit urusan orang lain karena sikap sok tahu. Semoga, kita semua dijauhkan dari tabiat sok tahu, dan dijauhkan dari orang-orang yang sok tahu beserta cocot tingkahnya yang menyebalkan dan merugikan. []
June 14, 2017Benny Prastawa