Saturday, January 5, 2019

Resolusi Tahun Baru



Tahun baru, resolusi baru. Umumnya, di sela-sela perayaan tahun baru, sebagian orang akan membuat resolusi atau serangkaian rencana tahunan dan target-target yang harus dicapai di tahun itu. Tentu saja, mereka yang sibuk memikirkan resolusi adalah kelompok orang yang “sadar diri”—bahwa esensi tahun baru bukan sedangkal gegap gempita kembang api yang penuh hura-hura, melainkan perenungan panjang tentang rencana hidup di masa depan.

Ironisnya, saya malah tidak pernah membuat resolusi-resolusi tahun baru semacam itu. Boleh jadi karena saya tidak termasuk kelompok orang yang “sadar diri” tadi. Bagi saya, sekedar membuat rencana, resolusi, apapun itu namanya, tidak harus menunggu tahun baru tiba. Saya lebih suka membuat rencana dan pengharapan pada saat yang bersamaan. Boleh dibilang, setiap hari saya membuat rencana, tidak harus menunggu tahun baru dengan rincian resolusi yang muluk-muluk.

Kenapa?

Karena dalam pandangan saya, ketika kita membuat rencana dan target, kita pasti akan selalu dihadapkan pada pengharapan kuat agar rencana dan target itu tercapai. Misalnya kita membuat resolusi “tahun ini saya harus nambah berat badan 10 kilo”. Pada saat yang sama, kita pasti menumbuhkan pengharapan agar rencana kita bisa terwujud. Hal ini normal dan wajar. Masalahnya adalah ketika kita sampai di penghujung tahun dan mendapati ternyata berat kita cuma naik 5 kilo. Sejumput kekecewaan bisa kita rasakan karena resolusi yang sudah kita proklamasikan sejak awal tahun tidak terwujud.

Atau resolusi lain misalnya “tahun ini saya harus lulus kuliah dan dapat pekerjaan”. Pada saat yang sama, kita pasti akan berharap agar resolusi itu terwujud. Tapi bagaimana jika ternyata pada akhir tahun kita masih harus bersabar menjalani fase nganggur setelah lulus kuliah? Bisakah kita berlapang diri untuk tidak kecewa ketika resolusi awal tahun kita tidak tercapai?

Karena itu, saya tidak pernah muluk-muluk membuat resolusi di tahun baru. Tahun baru ya biar saja tahun baru. Rencana, target, resolusi, apapun itu namanya, silahkan dibuat dengan syarat kita punya kendali penuh terhadap setiap pengharapan yang muncul. Hal ini penting agar kita tidak terbiasa menanggung kecewa di akhir tahun karena resolusi-resolusi kita terlalu ndakik-ndakik—yang ujung-ujungnya malah tidak tercapai.

Soal rencana dan target, saya jadi ingat ungkapan “manusia berencana, Tuhan menentukan”. Entah siapa yang pertama kali mengatakannya, yang jelas, meski terdengar puitis dan padat isinya, ungkapan tersebut berpotensi menyesatkan. Ungkapan “manusia berencana, Tuhan menentukan” seakan-akan melimpahkan tanggung jawab moral kepada Tuhan atas setiap nasib yang kita terima. Jika kita sudah membuat rencana, dan rencana itu berjalan baik, maka syukurlah—tidak ada yang perlu dipersalahkan. Tapi jika kita sudah membuat rencana, tapi ternyata rencana itu tidak berjalan sebagaimana mestinya, kita pun mencak-mencak dan melimpahkan kekecewaan pada Tuhan. Lha wong kita yang membuat rencana, kita yang menjalani hidup, masak setiap kesialan dan kegagalan yang kita terima menjadi tanggung jawab Tuhan semua? Apa tidak kurang ajar sekali ini namanya?

Tidak heran jika ungkapan “manusia berencana, Tuhan menentukan” biasanya malah keluar dari mulut ketus orang-orang yang gagal dalam hidupnya. Tidak sepenuhnya salah sih, hanya perkenaannya kurang tepat. Seharusnya redaksi kata pada ungkapan itu dilengkapi, “manusia berencana dan berikhtiar, apapun hasilnya biarlah Tuhan yang memastikan.” Yang dimaksud “memastikan” di sini adalah memastikan takdir terbaik apa yang pantas diterima orang-orang yang telah sabar berikhtiar. Tambahan kata-kata dalam ungkapan ini perlu dilakukan, setidaknya untuk menghindari dua hal.

Pertama, agar orang-orang tidak kebablasan dalam melimpahkan tanggung jawab kesalahan pada Tuhan setiap kali menemui kegagalan dan nasib buruk. Kedua, agar orang-orang tidak cuma berencana dan ongkang-ongkang kaki tanpa ada ikhtiar dna kerja keras untuk mewujudkan rencana yang telah dibuat. Bukankah Tuhan tidak akan mengubah nasib seseorang kecuali jika dalam diri orang itu ada niat dan kerja keras untuk berubah?

Jika kita sudah tahu hukumnya sesederhana itu, tidak ada alasan bagi kita untuk menyalah-nyalahkan Tuhan atas nasib buruk yang kita terima. Kita tidak berhak memaksa (atau bahkan memalak) Tuhan agar menuruti dan melancarkan semua rencana kita. Ada batas-batas tertentu yang terkadang membuat kita harus legawa menerima nasib buruk atau menghadapi kegagalan dalam rencana kita karena hanya Tuhan yang paling tahu apa yang terbaik bagi kita.

Seperti cerita seorang petani yang kehilangan kuda kesayangannya. Si petani bersedih karena merasa mendapat nasib buruk. Tak lama berselang, kuda kesayangannya pulang sambil membawa kuda lain yang tidak kalah bagusnya. Si petani bergembira karena merasa mendapat nasib baik. Lalu anak si petani bermain-main dengan kuda yang baru tadi. Karena tidak hati-hati, si anak terjatuh dari kuda dan kakinya patah. Si petani kembali meratap karena kemalangan yang menimpa anaknya. Beberapa waktu kemudian datanglah sekelompok penggawa kerajaan yang mencari lelaki muda untuk dilatih beperang. Anak si petani tidak diajak karena kakinya cacat. Si petani pun bersyukur karenanya.

Tidak semua nasib buruk yang menimpa kita, benar-benar berarti buruk bagi kita. Ada sekelumit dimensi illahi yang kita tidak akan pernah bisa mengintipnya. Tentang nasib, ada lebih banyak rencana Tuhan yang tidak bisa kita tebak. Karena jatah manusia memang sekedar berikhtiar maksimal, berdoa, dan memasrahkan segala hasil akhir pada Tuhan. Jika Tuhan selalu mengiyakan semua doa pada saat yang bersamaan, maka yang terjadi kemudian adalah kekacauan.

Seperti dalam film jadul Jim Carrey berjudul “Bruce Almighty”. Alkisah, di film itu, seorang pemuda bernama Bruce (Jim Carrey) ditakdirkan mendapat “nasib khusus” untuk menjalankan peran “tuhan” selama beberapa hari. Sebagai “tuhan”, Bruce berhak memiliki fasilitas-fasilitas ketuhanan dengan segala sifat ke-maha-annya, termasuk kekuatan untuk mendengar doa-doa dari hati manusia.

Ternyata, doa-doa yang disampaikan umat manusia sangat banyak. Saking banyaknya, Bruce sampai tidak bisa tidur karena kewalahan menjawab semua doa. Demi mempersingkat waktu, Bruce mengiyakan dan mengabulkan semua doa yang didengarnya. Untuk sesaat, sepertinya tidak ada masalah. Orang-orang telah mendapatkan “YA” untuk setiap doa yang dipanjatkan.

Tapi, keesokan harinya, kekacauan massal segera terjadi di dunia manusia. Bank-bank mendadak bangkrut karena semua pengajuan kredit nasabah dikabulkan. Orang-orang yang berjudi mendadak kaya setelah memenangi semua taruhannya. Kantor-kantor perusahaan juga menjadi ramai karena semua pegawai mendapat kenaikan gaji. Bruce menjadi stres dan merasa bertanggung jawab atas kekacauan yang terjadi di dunia manusia akibat kecerobohannya mengabulkan semua doa. Di akhir cerita, Bruce meminta “tuhan” agar kekuatan ketuhanan yang ada padanya dicabut dan kehidupan manusia kembali normal.

Meski film Jim Carrey tersebut sangat nyeleneh sekaligus sensitif (mengangkat topik yang nyerempet-nyerempet konsep tuhan), harus diakui bahwa apa yang disampaikan si pembuat film memiliki pesan moral yang positif. Kita harus menyadari bahwa hidup ini sepeti roda yang berputar. Nasib baik dan nasib buruk akan dipergilirkan dalam setiap segmen kehidupan kita. Selain itu, tidak semua doa dan pengharapan kita dapat langsung terwujud dan mendapat jawaban “YA” dari Tuhan. Tuhan selalu memiliki pertimbangan dan keputusan tersendiri untuk setiap nasib hamba-hamba-Nya. Pada dimensi ini, sungguh hanya Tuhan yang paling memahami apa yang paling baik bagi manusia. Sedangkan jatah kita cukuplah dengan tunduk patuh dalam tetes kesabaran ikhtiar dan kekhidmatan doa dengan pengharapan semoga Tuhan berkenan memberikan nasib terbaik sebagai imbalannya.

Jadi, apa resolusi saya untuk tahun baru ini? Jawabannya tidak ada. Ya, tidak ada. Saya tidak mau muluk-muluk beresolusi tanpa aksi. Saya juga tidak mau ndakik-ndakik memanjatkan target dan pengharapan tahunan yang menggunung dan melangit. Kalau ada Undang-Undang yang mewajibkan setiap warga negara memiliki resolusi tahun baru, resolusi saya cukup satu saja: mengganti kalender di dinding rumah. Sudah.[]

#backDate

January 05, 2019Benny Prastawa