Wednesday, February 26, 2020

Ilusi Hidup Enak


Ada ungkapan “Kecil dimanja, remaja dipuja, muda kaya raya, tua banyak harta, mati masuk surga.” Amboi, enak sekali kalau hidup kita selalu makmur seperti itu. Sejak kecil hidup enak, saat besar tambah enak, sampai mau mati pun masih sempat enak-enakan.

Tapi sayangnya, kehidupan serba makmur seperti itu adalah mission impossible. Dalam hidup ini, kita tidak bisa selamanya memperoleh hal-hal yang menyenangkan. Meskipun kita ini anak raja dengan harta melimpah tidak habis sepuluh turunan, mustahil kita bisa terus-menerus diliput kenyamanan tanpa penderitaan. Kehidupan ini, akan tetap menyodorkan berbentuk-bentuk ketidaknyamanan dan cobaan bagi manusia, sesuai kadarnya masing-masing.

Kalau kita hidup hanya untuk menuruti yang senang-senang saja, apa bedanya kita dengan bayi? Bayi mengerjakan segala sesuatu hanya untuk memenuhi rasa senangnya. Tidak lebih. Apakah logis, jika kita lebih memilih ‘menjadi bayi’—seunur hidup—untuk bisa menetek manisnya ‘susu kehidupan’ hingga tanpa sadar maut menjemput kita saat lagi enak-enaknya tidur?

Seringkali kita dipaksa, atau memang terpaksa untuk melakukan sesuatu yang tidak kita senangi karena hal itu memang harus kita lakukan. Pasien kanker, misalnya, mau tak mau harus minum obat dan menjalani kemoterapi yang menyakitkan agar sembuh. Pasien gagal ginjal, untuk tetap hidup harus rutin "cuci darah" dengan biaya jutaan rupiah. Orang ingin makan, juga perlu bekerja untuk mendapatkan makanan itu. Minimal, bekerja untuk mendapat sejumlah uang yang nantinya dipakai untuk membeli makanan.

Belajar—itu juga tidak mengenakkan. Orang belajar butuh kerja keras dan memutar otak. Kalau salah dimarahi, kalau tak lulus ujian malu. Tapi kalau kita tidak mau belajar, tidak mau sekolah, tidak punya ijazah, tidak punya skill, yaaa...kita mau jadi apa? Apa cukup dengan ongkang-ongkang kaki dan luntang-luntung tidak jelas di trotoar?

Tidak ada yang benar-benar gratis di dunia ini. Segala sesuatunya membutuhkan usaha untuk memperolehnya—yang boleh jadi, prosesnya tidak selalu menyenangkan. Bahkan (maaf) untuk buang air besar saja, mau tak mau kita harus melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan. Duduk/jongkok bermenit-menit, menahan bau WC dan bau tinja kita sendiri, sambil sesekali ngeden agar proses ekskresi lebih lancar. Begitu selesai, kita masih harus menyentuh "area bawah" untuk membersihkannya dari sisa kotoran yang tersisa.

Kalau boleh memilih, pengennya sih, kita cukup ekskresi lewat keringat saja—tiidak usah repot-repot buang air. Untuk mengatasi keringat, cukup diseka dengan handuk atau tisu. Kalau bau, tinggal diolesi deodorant, habis perkara. Mudah dan praktis. Tapi, kalau orang hidup tidak pernah buang air, yang terjadi kemudian malah rentetan penyakit. Sembelit, wasir, diare, usus buntu, sampai gagal ginjal contohnya.

Hidup memang tak selamanya bertabur hal-hal yang kita suka. Bahkan kalau mau jujur, ada lebih banyak hal yang tidak kita suka, tapi harus kita lakukan demi menopang kehidupan kita dan memberi manfaat bagi sesama. Kalau pun ada tempat di bumi yang bebas dari hal-hal yang tidak menyenangkan, tempat itu bernama "kompleks pemakaman".

At least, bersabarlah dengan hal-hal yang tidak kita suka. Pandai-pandailah memaknai hal-hal yang tidak kita suka. Boleh jadi, ada kebaikan yang dapat kita peroleh saat kita menekuni sesuatu yang tidak kita suka. Selama apa yang kita lakukan dan usahakan itu bernilai positif, tidak ada salahnya kita bersabar menekuni segala prosesnya—yang boleh jadi tidak menyenangkan.[]

Karena boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” (2: 216)
February 26, 2020Benny Prastawa