Sunday, February 23, 2020

Belajar Bersikap Bodo Amat


Belajar bersikap bodo amat itu penting. Apalagi jika kalian tinggal di lingkungan sosial dengan adat ketimuran yang ketat—seperti Indonesia, misalnya. Di sini, kalian bisa merasakan sendiri, betapa permisifnya masyarakat terhadap beberapa perilaku sosial yang mengesalkan.

Misalnya, ngomongin orang di belakang, bergosip, nyinyir, sebar isu, sirik (sejenis dengki tapi bukan "syirik"), dan sikap sok pamer. Meski banyak yang tidak senang, tapi sikap dan perilaku semacam itu dianggap sebagai hal yang lumrah.

Jika kamu, laki-laki misalnya, tapi menganggur dan luntang-luntung tidak jelas, kamu bisa digunjingkan macam-macam oleh tetangga. Atau jika kamu, perempuan misalnya, tapi sering pulang kerja sampai larut malam, kamu sangat mungkin digosipkan sebagai perempuan "nakal".

Realita lain yang masih sering terjadi, misalnya kalian menikah, kemudian hamil. Bukannya ikut berbahagia, tapi malah adaaa...saja bisik-bisik miring yang mempertanyakan kehamilan itu. Ada yang malah sampai menghitung jarak waktu pernikahan sampai kehamilan, untuk digunjingkan dengan banyak purbasangka—hamil duluan-lah, anak haram-lah, hasil zina-lah, dan semacamnya.

Atau ketika ada orang yang lolos pegawai negeri (CPNS). Adaaa...saja yang nyinyir menyebar isu kalau orang itu curang, main sogok, atau karena minta bantuan "orang dalam". Padahal kenyataannya orang tadi betul-betul lolos karena usahanya sendiri.

Lebih jengkel lagi kalau kalian menjadi orang kaya. Sebagian tetangga yang iri bisa saja menyebar gosip kalau kekayaan kalian tidak halal, hasil korupsi, hasil tindak kriminal, sampai tuduhan memlihara tuyul (pesugihan). Jika kalian membangun kekayaan dari nol, dari hasil kerja keras dan hidup prihatin bertahun-tahun, tentu saja kalian akan nyeseg mendengar tuduhan ngawur seperti itu.

Pada titik ini, kita harus menguasai ilmu tentang bagaimana bersikap bodo amat agar hidup kita tidak terusik dengan segala perilaku sosial yang mengganggu tadi. Kita harus paham bagaimana "menutup telinga" dari segala nyinyiran, gosip, fitnah, atau ujaran kebencian, agar hidup kita tetap stabil dan urusan-urusan pribadi kita tidak ambyar berantakan.

Kita hanya memiliki dua tangan dan satu mulut. Kita tidak mungkin memakai dua tangan kita untuk menutup rapat mulut-mulut nyinyir tetangga atau teman kita. Kita juga tidak mungkin meladeni semua omong kosong gosip yang berhembus dari lidah orang-orang yang iri pada kita.

Yang bisa kita lakukan adalah mengendalikan otak kita. Kita masih mungkin membatasi akses informasi yang masuk ke pikiran kita. Kita harus bijak memilah "ocehan" dari luar, mana yang penting untuk dipikirkan dan mana yang harus diabaikan saja (bodo amat).

Kita berhak memiliki ruang ketenteraman bagi diri kita sendiri. Kita harus tahu bagaimana menciptakan "ruang kenyamanan" bagi kita—betapapun orang-orang di sekitar ngoceh ngawur tentang kita. Untuk itulah, belajar bersikap bodo amat itu penting sekali agar kita bisa survive dalam lingkungan sosial yang doyan nyinyir dan gosip tadi.

Dalam hal ini, sikap bodo amat jangan disamakan dengan sikap apatis, anti sosial, dan tidak mau bergaul dengan tetangga. Sikap bodo amat di sini lebih menekankan pada pola pikir (mindset) kita untuk memilah informasi dari luar—mana yang penting dan mana yang harus diabaikan (di-cuek-kan).

Seperti yang kita tahu, kemampuan otak kita terbatas. Manusia tidak bisa memikirkan dua hal sekaligus dalam waktu bersamaan. Jika kita sering menerima perilaku sosial yang menyebalkan dari orang lain (di-nyinyir, digosipkan, digunjingkan,dll) lalu kita memasukkan semua ocehan itu dalam benak kita, maka otak kita bisa "meledak" (kacau sekacau-kacaunya). Secara psikis, hal itu juga bisa menekan kita sehingga kita menjadi merasa tidak nyaman.

Selain pola pikir, sikap bodo amat juga terkait dengan respon kita, bagaimana menghadapi perilaku orang lain yang toxic, seperti tukang gosip dan nyinyir. Dalam hal ini, kita bisa memilih untuk membalas perilaku mereka dengan perilaku yang sama. Jika kita di-nyinyir, kita balas me-nyinyir. Jika kita difitnah, kita balas memfitnah. Jika kita digunjingkan, kita balas menggunjing. Ringkasnya, mata dibalas mata. Impas.

Tapi menurut saya, respon seperti itu tidak sepenuhnya efektif—dan cenderung menimbulkan dampak laten yang boleh jadi malah membuat situasi semakin rumit. Jika kita membalas semua perilaku sosial negatif orang-orang, lalu apa bedanya kita dengan mereka? Jika kita membalas nyinyiran dengan nyinyiran, bukankah kita sama saja dengan mereka yang nyinyir?

Lagipula, jika yang kita hadapi adalah orang yang sejak awal tabiatnya bermasalah (tukang nyinyir, misalnya), maka usaha kita membalas segala nyinyirannya jelas sia-sia. Orang seperti itu tidak akan kapok walau kita balas dengan perilaku serupa. Jangan harap bisa mengubah tabiat seseorang hanya dengan membalas perilaku menyebalkannya.

Di sinilah pentingnya kita bijak bersikap bodo amat. Sikap bodo amat memungkinkan kita mengambil jarak terhadap mereka yang perilaku sosialnya menyebalkan. Sikap bodo amat juga memberi "ruang kenyamanan pribadi" yang mencegah kita dari stres dan tekanan psikis lainnya.

Memang ada sebagian masalah yang perlu kita respon dengan membalas sikap itu. Tapi kita juga perlu mempertimbangkan aspek untung ruginya—apakah dengan membalas, kondisi kita menjadi lebih baik dan lebih nyaman? Atau malah hubungan sosial kitalah yang semakin rusak.

Karena boleh jadi, ada lebih banyak gosip, gunjingan, rasa sirik, dan celoteh nyinyir orang-orang yang cukup kita respon dengan sikap bodo amat. Dan begitulah, kita belajar untuk menjadi pribadi yang lebih dewasa dan bijak dalam menyikapi keadaan.[]


February 23, 2020Benny Prastawa