Tuesday, February 25, 2020

Males Travelling



Travelling itu menyenangkan. Bisa untuk menyegarkan pikiran, mengenal lokasi baru, mencicipi kuliner beragam cita rasa, melihat sisi kehidupan masyarakat lain, sampai menuntaskan hasrat berpetualang. Jika kalian masih muda, energik, dan merasa memiliki ongkos berlebih, kalian tentu tertarik untuk travelling ke tempat-tempat baru.

Travelling tidak harus mahal. Kalian pergi ke kota sebelah saja sudah bisa dibilang travelling. Atau kalau kalian naik gunung (walau gunungnya tidak tinggi-tinggi amat), itu juga sudah travelling. Kalau pas lebaran, kalian mudik, lalu di kampung halaman main-main lumpur bareng sapi di sawah—seru sekali—itu juga travelling. Hemat saya, semua aktivitas tadi bisa dibilang travelling jika tujuannya untuk bepergian dalam rangka menyenangkan diri atau mencoba pengalaman baru.

Dewasa ini, orang mau travelling sangat gampang. Dengan internet, kita bisa merencanakan travelling jauh-jauh hari sebelumnya. Tidak hanya merencanakan, kita bisa sampai menentukan akomodasi transportasinya, tempat menginap, dan semua fasilitas wisata yang dibutuhkan.

Semuanya bisa disediakan oleh aplikasi-aplikasi travelling di smartphone, seperti tiket.com, traveloka, dan pegipegi. Hanya dengan "ngelus-elus" layar smartphone, kita bisa langsung memesan hotel, membeli tiket kereta/pesawat, memilih tempat duduk, sampai menambah saldo uang jajan sekaligus dalam hitungan menit!

Dua puluh tahun lalu, orang harus mikir-mikir kalau ingin travelling. Kondisinya tidak seperti sekarang yang serba murah dan praktis. Dulu, untuk mendapatkan tiket kereta atau sewa kamar hotel saja, kita bisa sampai rebutan.

Ongkos yang diperlukan juga rentan membengkak karena banyaknya biaya tak terduga yang muncul selama travelling. Belum adanya teknologi GPS saat itu, menyebabkan banyak orang yang kesasar sebelum sampai ke tempat tujuan. Gara-gara kesasar itulah, mereka harus naik lebih banyak angkutan umum untuk melanjutkan perjalanan—yang otomatis membuat bengkak ongkos perjalanan.

Itu baru soal kesasar. Belum lagi jika menghitung ongkos komunikasinya—dalam hal ini nelpon dan kirim SMS. Dua puluh tahun lalu, komunikasi jarak jauh pada umumnya dilakukan dengan ponsel biasa (belum ada smartphone). Untuk satu SMS, biayanya 350 rupiah. Terlihat murah, tapi kalian tidak mungkin hanya mengirim 10 SMS saja selama travelling. Boleh jadi kalian membutuhkan lebih banyak ongkos komunikasi untuk mengabari kerabat, rekan, atau kenalan selama perjalanan. Mungkin juga karena terpaksa, kalian harus naik taksi yang bisa dipesan lewat telepon—yang tentunya menguras habis saldo pulsa.

Biaya perjalanan yang rentan membengkak menjadi salah satu alasan mengapa orang tempo dulu tidak lazim melakukan travelling ke tempat antah berantah yang belum pernah dikunjungi. Aktivitas travelling baru dilakukan jika-dan-hanya-jika mereka memiliki tujuan yang jelas—seperti karena tuntutan pekerjaan, perintah atasan, urusan bisnis, atau mudik lebaran.

Berarti orang tempo dulu nggak pernah travelling, dong?

Bukan tidak pernah, tapi sangat membatasi aktivitas travellingnya dengan persyaratan dan pertimbangan tertentu. Misalnya, destinasi travelling harus jelas dan lokasinya (minimal) sudah pernah dikunjungi oleh orang yang ingin travelling itu. Selain itu, moda transportasi untuk sampai ke lokasi harus jelas. Dari rumah naik apa, turun di stasiun mana atau terminal apa, terus naik bus apa atau ojek jurusan mana agar cepat sampai lokasi. Semua itu harus dipikirkan masak-masak sebelum berangkat travelling.

Karena itu, kemudahan yang ditawarkan aplikasi travelling pada saat ini mengakibatkan perubahan gaya hidup kita. Adanya teknologi GPS dan peta digital (seperti Google Maps) memudahkan kita mencari letak suatu tempat secara akurat tanpa takut kesasar lagi. Kita tidak khawatir mengunjungi tempat-tempat baru karena informasi tentang rute, jalan, dan moda transportasi yang dibutuhkan untuk sampai ke sana sudah tersedia di peta digital.

Sementara itu, aplikasi-aplikasi pendukung travelling seperti traveloka dan tiket.com memudahkan kita untuk merencanakan akomodasi perjalanannya—moda transportasi apa yang akan dipakai dan di mana kita akan menginap. Travelling pun menjadi tren gaya hidup baru yang digandrungi masyarakat, terutama anak-anak muda.

Setiap orang memiliki tujuan travelling yang beragam. Ada yang iseng sekedar menghabiskan waktu luang, ada yang karena ingin pamer di media sosial, ada yang memang karena tuntutan profesi, ada pula yang TANPA TUJUAN apapun—cusss...yang penting pergi ke tempat antah berantah—berpetualang.

Karena sudah menjadi tren gaya hidup, secara tidak langsung, kebiasaan travelling pun berbanding lurus dengan merebaknya gaya hidup konsumtif di kalangan anak muda. Akhir pekan ini ke kota ini, akhir pekan depan ke kota itu, akhir pekan bulan depannya lagi ke kota sebelahnya kota ini, dan seterusnya. Jika semua keinginan travelling dituruti (didukung dengan tersedianya banyak UANG dan waktu luang), maka perilaku konsumtif tidak terhindarkan lagi demi mengakomodasi semua kebutuhan perjalanannya.

Err...but wait...tidak semua travelling mahal-mahal kok…..

Iya, memang tidak semua travelling mahal. Tapi karena saking mudahnya pesan tiket, saking praktisnya booking hotel, dan saking gampangnya order/jajan kuliner ini itu, tanpa sadar kita "dikondisikan" untuk berbelanja lebih banyak melalui segala kemudahan akomodasi travelling yang ditawarkan.

Hukum ekonomi berbicara, ketika sebuah perilaku sosial menjadi tren budaya, akan ada peluang besar untuk meraup laba di dalamnya. Ketika aktivitas travelling menjadi budaya pop yang digandrungi banyak orang, bisnis travelling pun bermunculan. Jumlah bangunan/lahan yang beralihfungsi menjadi hotel bertambah. Penyedia jasa transportasi online (seperti gojek dan grab) semakin untung dengan gelontoran laba milyaran dollar. Begitu juga dengan para pemilik usaha kuliner yang semakin berkembang dan terkerek omset hariannya. Pola yang sama bisa kita jumpai pada setiap perayaan tahun baru, hari valentin, atau ketika lebaran.

Tapi, bagaimanapun juga travelling tetap soal selera. Ada sebagian orang yang kurang tertarik pada aktivitas bepergian. Ada beberapa orang yang lebih memilih "travelling" di rumah sendiri, menikmati waktu bersama keluarga dengan tenang, atau sekedar duduk-duduk di beranda sambil menyesap teh dan membaca buku yang bagus. Jika hari libur datang, maka waktu luang mereka akan dihabiskan untuk me time bersama teman, keluarga, atau pasangan.

Bagi mereka, ada ketenangan batiniah tersendiri dengan menjauh dari hiruk-pikuk masyarakat. Ada kenyamanan pribadi yang dirasakan ketika "travelling" di rumah sendiri—tidak terjebak macet, tidak keluar banyak uang, tidak ribet mengurusi tiket dan pesanan hotel, serta bebas dari beban stres pekerjaan.

Saya pribadi termasuk golongan mereka yang lebih suka "travelling" rumahan. Saya baru akan travelling jika memang harus dan ada tujuan yang jelas. Ketika saya kebetulan travelling ke jakarta, bandung, semarang, sidoarjo, dan bali, semua destinasi itu saya ambil karena situasinya yang mengharuskan dan saya juga memiliki tujuan yang jelas.

Dalam hal ini, "tujuan yang jelas" yang saya maksud bukan sekedar tujuan kebanyakan orang yang travelling untuk senang-senang, makan-makan, dan jajan-jajan sekenyang perut sekempes dompet. "Tujuan yang jelas" harus lebih spesifik dan bermakna seperti urusan pekerjaan, kepentingan studi, acara keluarga, dan pengalaman belajar.

Tujuan-tujuan yang jelas selama travelling mutlak kita butuhkan agar selama bepergian kita selalu eling dan tidak tergoda untuk memuaskan hasrat konsumsi tanpa tahu untuk apa. Bagi saya, urusan ini penting agar sepulang dari travelling kita memperoleh pembelajaran baru. Kita harus terlatih untuk memaknai kunjungan dan fenomena sosial yang ditemui di setiap destinasi travelling. Agar kita selalu bisa menjadikan aktivitas bepergian kita menjadi lebih bermakna dan bermanfaat.

Kalau kita bepergian tanpa juntrung yang jelas, bukankah kita sama saja dengan orang gila? Beda-beda tipis, sih—selama kita masih pakai baju dan bawa smartphone.[]
February 25, 2020Benny Prastawa