Saturday, November 12, 2016

Alasan Kenapa Saya Menyukai Orang Ramah


Semasa bocah dulu, saya punya pengalaman kurang mengenakkan dengan orang yang temperamental. Saking traumanya, sampai-sampai saya sering illfeel jika bertemu dengan orang yang raut mukanya tidak ramah. Lebih parah lagi, saya jadi terlalu ‘perasa’ setiap kali melihat orang dengan ekspresi wajah cemberut. Mereka seringkali membuat saya berpikir “jangan-jangan orang itu cemberut karena marah sama saya...

Karena itu, saya sangat menghargai orang-orang ramah. Saya bisa berlama-lama ngobrol dengan orang yang ramah tanpa terbebani rasa sungkan dan takut salah. Umumnya, kita tentu lebih mudah akrab saat bergaul dengan orang yang ramah. Sebaliknya, saat bergaul dengan orang yang ketus dan dingin seringkali membuat kita ilfeel dan serba salah.

Orang-orang ramah cenderung menghargai lawan bicaranya. Mereka tahu bagaimana membuat lawan bicara merasa dirinya penting. Tidak heran jika kita bisa bersikap terbuka ketika berinteraksi dengan orang yang ramah. Pendeknya, keramahan tersebut adalah salah satu faktor penting untuk menciptakan hubungan sosial yang harmonis.

Ngomong-ngomong, saya kok jadi berandai-andai, apa jadinya jika instansi-instansi pemerintah diisi oleh pegawai-pegawai yang ramah?

Selama ini, kita justru lebih sering mendengar berbagai keluhan masyarakat tentang payahnya pelayanan pegawai instansi pemerintahan. Sebagian mengeluhkan ribetnya proses birokrasi. Sebagian lagi merasa “dipermainkan”—disuruh ke loket ini loket itu, ke dinas ini, ke dinas itu, tapi endingnya masalah yang diurus tidak kunjung selesai. Belum lagi jika ada oknum ‘nakal’ yang meminta pungli di sana sini. Lengkap sudah penderitaan kita. (Saya jadi senang jika ada lebih banyak kepala daerah seperti Ahok atau Ganjar yang menindak tegas oknum pegawai yang bekerja seenak perut).

Pemandangan yang jauh berbeda bisa kita temui di loket-loket bank atau customer service (CS) jasa penerbangan. Di tempat-tempat itu, keramahan menjadi salah satu standar operasional pelayanan (SOP) yang wajib diterapkan. Tidak heran, jika pegawai-pegawai di sana ramah-ramah. Sudah rupawan, cantik, ramah pula. Belum pernah saya mendapati teller bank yang marah-marah di depan nasabahnya. Begitu juga dengan CS jasa penerbangan, yang tetap tenang meski dimaki-maki pelanggannya ketika pesawat delay.

Sebaliknya, di instansi-instansi pemerintahan, saya lebih sering menjumpai pegawai-pegawai bertampang judes yang mengabaikan keramahan pelayanan (jangankan melempar senyum, bisa disapa saja kalian sudah beruntung). Di tempat-tempat itu, saya sering merasa diperlakukan layaknya “motor yang sedang diservis”. Di sana, saya cuma ditanya keperluannya apa, diberitahu begini begitu, diminta ke loket ini loket itu, kemudian selesai—antrian berikutnya. Tidak ada keramahan pelayanan yang membuat tamu merasa nyaman di sana,

Tentu saja saya tidak menggeneralisasi semua instansi pemerintahan seperti itu. Boleh jadi, saya cuma kurang beruntung, karena harus berurusan dengan pegawai yang judes. Sesekali, saya juga bertemu dengan pegawai yang ramah dan mau bersabar mendengarkan keluhan pengunjung. Pegawai-pegawai semacam itulah yang patut mendapat apresiasi lebih dan layak digaji tinggi oleh negara. Bukankah, seorang pegawai pemerintahan memang digaji dengan uang rakyat? Karena itu, kita berhak menuntut mereka untuk memberikan pelayanan terbaik—karena secara tidak langsung kitalah yang membayar mereka!

*   *   *

Seperti yang saya jelaskan di awal, saya sangat menghargai orang-orang ramah. Sedemikian tinggi penghargaan saya sampai-sampai saya tidak akan ragu untuk membayar lebih, demi mendapatkan keramahan pelayanan.

Sebagai contoh, di dekat rumah saya, ada sebuah warung langganan. Warung langganan saya itu terbilang cukup laris. Pemilik warung biasa menjalin keakraban dengan para pelanggannya. Ia tidak sungkan berbasa-basi dan melempar lelucon untuk mencairkan suasana. Karena itu, saya pun kerasan setiap kali berbelanja di sana dan tidak ragu menjadikannya warung langganan.

Di dekat warung langganan saya, ada juga warung lain yang barang dagangannya tidak jauh berbeda. Akan tetapi, saya jarang berbelanja di warung itu karena si pemilik warung kurang ramah. Seperti halnya pegawai instansi pemerintahan yang judes, pemilik warung itu hanya sekedar menanyakan keperluan saya, mengambilkan barang, menerima bayaran, kemudian mengakhiri transaksi. Tidak ada celetuk basa-basi atau lelucon ringan pencair suasana seperti halnya warung langganan saya.

Berhubung saya sangat menghargai keramahan pelayanan, saya tidak merasa rugi jika harus berbelanja di toko swalayan berjejaring. Meski secara ekonomi harganya lebih mahal, keramahan pelayanannya sebanding dengan harga yang dibayarkan. Bandingkan dengan pemilik warung yang judes tadi. Meski harganya lebih murah, sikap judesnya adalah 'nila setitik' yang membuat saya bergeming untuk belanja di sana.

Dari warung langganan dan toko swalayan berjejaring itu, saya pun berpikir: “Sudah seharusnya orang berdagang dengan pelayanan seperti itu”. Karena prinsipnya, ketika pemilik warung berhasil membuat pelanggannya merasa nyaman, maka besar kemungkinan si pelanggan akan kembali berbelanja di warung itu. Sebaliknya, jika pemilik warung pernah membuat kapok pelanggannya sekali saja, maka kecil kemungkinan si pelanggan akan kembali berkunjung ke warung itu.

Terlepas dari semua itu, bersikap ramah memang tidak mudah—lebih-lebih ketika suasana hati kita sedang tidak enak. Karena itu, kita bisa belajar dari para pegawai bank atau CS jasa penerbangan yang tetap bersikap ramah, meski perilaku pelanggannya tidak mengenakkan. Mereka mengajarkan kepada kita bahwa keramahan adalah “bahasa kasih” yang universal.

Kita tidak perlu risau jika keramahan kita tidak pernah digubris oleh orang lain. Karena dalam hening pun, Tuhan tahu ketulusan kita untuk bersikap ramah pada sesama. Bukankah kehidupan ini akan jauh lebih damai jika kita dikelilingi oleh orang-orang ramah? Siapa tahu, dengan keramahan itu, rezeki kita menjadi lebih lancar—sebagaimana yang terjadi pada pemilik warung langganan saya. Demikian. []
November 12, 2016Benny Prastawa