Sunday, November 6, 2016

Fashion Nista


Mungkin sudah kodratnya—saya tidak pandai berbusana. Bukan berarti saya gila, lalu berkeliling kota tanpa busana. Maksud saya, saya merasa asing dengan dunia fashion. Bagi saya, urusan fashion ini boleh jadi merepotkan sekali. Ada beberapa aturan tidak tertulis soal fashion—khususnya tentang etika berbusana. Aturan yang saya maksud di sini adalah aturan-aturan seperti memakai baju hitam-hitam saat melayat, baju batik untuk kondangan, baju putih untuk kegiatan keagamaan, dan sejenisnya. Terlebih di lingkungan budaya kita yang mengedepankan nilai kepantasan dan kesopanan. Mau tak mau, saya harus memahami aturan tidak tertulis itu, demi menjaga kehormatan saya dalam berbusana.

Sayangnya, bentangan nasib tidak menghendaki saya menjalani kehidupan yang lurus-lurus saja. Sejauh ini, saya sudah beberapa kali terjerat ‘skandal’ salah kostum, mulai dari acara sederhana seperti buka bersama, sampai acara penting seperti hajatan pernikahan. Salah satu yang paling saya ingat adalah acara halal bi halal di SMP.

*   *   *

Dulu—dulu sekali (meski nggak dulu-dulu amat), sekolah saya mengadakan halal bi halal (sebuah tradisi bermaaf-maafan antara siswa dan guru sambil bersungkem keliling sekolah). Acara itu sudah menjadi rutinitas tahunan yang diadakan setelah libur lebaran. Semua murid harus berpartisipasi, baik yang muslim maupun non-muslim demi mempererat jalinan silaturahmi antarwarga sekolah.

Nah, sebelumnya, dalam acara itu, pihak sekolah tidak menginformasikan dresscode yang harus dipakai. Karena itu, saya pikir, sekolah membebaskan murid-muridnya untuk memakai dresscode apapun, selama masih sopan dan menutup lubang pusar. Berhubung saat itu masih dalam suasana lebaran, saya pikir acara halal bi halal akan dikemas secara religius, lengkap dengan pengajian atau semacamnya. Saya pun berencana memakai stelan baju koko putih agar terlihat matching dengan nuansa religiusnya.

Maka, hari itu dengan penuh kesadaran saya berangkat ke sekolah memakai stelan baju koko putih. Saya tidak sabar ingin bertemu dengan teman-teman setelah beberapa minggu libur lebaran. Ekspektasi saya, mereka pasti memakai baju koko, sama seperti saya. Tapi, ketika memasuki gerbang sekolah, tidak ada satupun murid yang terlihat memakai baju koko seperti saya. Semua murid memakai stelan putih-biru layaknya hari-hari biasa. Saya mencoba berpikir positif, mungkin saja mereka murid-murid yang tidak berlebaran.

Bermenit-menit setelahnya, saya mengamati murid-murid yang datang. Tak satu pun di antara mereka yang memakai baju koko seperti saya. Bahkan Bapak Ibu guru saya pun tidak. Dengan kata lain, cuma saya satu-satunya murid yang memakai baju koko hari itu! Mak klontank!!!

Begitu acara halal bi halal dimulai, saya tidak berani beranjak dari kelas. Saya sibuk merutuki diri sendiri, yang dengan konyolnya memakai ‘baju pesantren’ ke sekolah. Kenapa sejak awal tidak memakai seragam biasa saja?  gerutu saya. Pada akhirnya, acara halal bi halal yang seharusnya memperat silaturahmi itu, justru menjadi mimpi buruk yang mempermalukan saya seharian.

Belasan tahun setelah kejadian koko terkutuk itu, saya menghadiri acara resepsi di tempat tetangga. Berhubung yang punya hajat adalah tetangga saya sendiri, saya pikir saya akan sibuk beroperasi di dapur membantu para pelayan mengantar makanan dan mengambil piring-piring di meja. Karena itu, saya tenang-tenang saja memakai stelan Polo shirt dan celana kain, karena saya yakin, saya tidak akan muncul ke meja depan utuk menyambut tamu.

Begitu acara dimulai, ada satu momen di mana seluruh pelayan diminta ke meja depan untuk bersalaman dengan keluarga mempelai—termasuk saya. Meski sempat ragu, saya tetap mengikuti rombongan pelayan lain untuk bersalaman. Saat tiba di meja depan, saya sempat canggung karena para tamu undangan—termasuk tetangga saya—menatap saya dengan heran. Demi mengurangi kecanggungan, saya setengah cengengesan bersalaman dengan keluarga mempelai.

Selesai bersalaman, saya dan para pelayan lain kembali ke dapur. Sejurus kemudian, seorang teman karib mendatangi saya. Dengan jujur, ia menyodorkan ponselnya yang menampilkan pesan singkat dari nyokabnya, yang isinya meminta saya agar berganti pakaian.

Klontaaank!!!

Demi mengenyahkan sebongkah rasa malu yang menyesak, saya bergegas pulang dan berganti pakaian. Sejak saat itu, saya pun mentasbihkan diri untuk selalu memakai stelan batik dan celana kain jika menghadiri acara seperti kondangan dan sejenisnya. Saya tidak peduli, jika tamu undangan lain lebih keren memakai stelan dasi kupu-kupu atau dasi walang sangit. Saya bertekad untuk keukeuh memakai stelan batik jika pergi kondangan.

*   *   *

Pakaian adalah produk budaya. Jenis dan model pakaian akan selalu beradaptasi dengan kondisi lingkungan tempat pakaian itu berada. Dalam hal ini, ada batasan kesopanan dan kepantasan untuk setiap model pakaian. Stelan jas dalam acara pemakaman misalnya. Dalam budaya Barat, stelan seperti itu tidak akan dipermasalahkan karena sudah sewajarnya pelayat di sana memakai stelan itu. Tapi jika kita memakai stelan jas saat melayat di kampung, orang kampung bisa saja menilai kita kurang sopan.

Sama halnya dengan pemakaian bikini di pantai. Dalam budaya Barat, hal itu dianggap wajar. Tapi jika kita memaksa memakainya di sini, boleh jadi kita malah jadi bulan-bulanan massa. Karena itu, setiap busana memiliki tata nilai tertentu yang belum tentu sama dalam setiap masyarakat.

Sebagai orang Jawa, ada falsafah ajining raga dumunung saka busana. Artinya, pakaian yang kita kenakan  sangat berpengaruh pada citra diri kita secara keseluruhan. Memahami tata nilai dan etika berbusana menjadi penting agar kita mudah diterima sebagai bagian dari suatu masyarakat. Selain itu, memahami etika berbusana juga penting agar kita tidak sampai ‘salah kostum’.

Terlepas dari semua itu, saya pribadi merasa risih karena hidup di lingkungan masyarakat yang tidak terbiasa menerima perbedaan kaidah berbusana. Seperti kasus saya, pergi kondangan dengan Polo shirt dianggap tidak sopan. Bagaimana jika saat itu ada tamu undangan yang baru datang dari jauh dan tidak sempat membawa kemeja batik? Haruskah kita memintanya pulang untuk sekedar mengganti bajunya?

Mark Zukenberg bahkan menemui Presiden Jokowi dengan stelan kasual khas anak muda—kaos oblong dan celana jeans. Oh man, andai Mark Zuckenberg bukan CEO Facebook orang-orang pasti berpikir “Bah, betapa kurang ajarnya anak ini”.

Menurutnya, memikirkan baju apa yang akan dipakai dan menyesuaikannya dengan acara yang akan dihadiri, merupakan sesuatu yang “bodoh”. Bagi orang awam, jawaban Zuckenberg memang terdengar sembrono. Tapi jika kita mau memahami kesibukannya dan memikirkan urusan-urusan pentingnya, maka perkataan Zuckenberg ada benarnya. Orang-orang dengan kesibukan sepertinya, tidak akan rela membuang waktu hanya untuk mengurusi fashion.

Masih ingat almarhum Bob Sadino? Sebagai pengusaha sukses, Bob Sadino sering diundang dalam seminar-seminar bisnis. Dalam urusan fashion, Bob Sadino gemar memakai kemeja dengan bawahan celana pendek. Terang saja, penampilannya kerap dianggap nyeleneh oleh orang-orang yang belum mengenalnya. Bahkan Bob Sadino pernah diusir dari gedung DPR karena penampilan nyeleneh-nya itu.

Kultur masyarakat kita tidak terbiasa dengan ‘perbedaan’. Ketika ada orang yang berpenampilan berbeda, mereka langsung menghakimi orang tersebut tanpa memahami latar belakangnya. Padahal, apa yang kita lihat dari satu sisi belum tentu sebuah kebenaran. Berapa banyak asumsi kita yang keliru karena kita enggan mencari tahu seluk-beluk suatu masalah?

Sejujurnya saya iri dengan Mark yang bisa menemui Presiden Jokowi dengan kaos oblong. Begitu juga dengan Bob Sadino yang tetap enjoy memakai kemeja dan celana pendek di pertemuan-pertemuan resmi. Orang-orang mungkin akan menuduh mereka tidak punya etika. Tapi bagi saya, selama pakaian yang dikenakan masih memenuhi standar kesopanan yang universal, maka tidak ada yang perlu dipermasalahkan.

Ngomong-ngomong, saking ribetnya memikirkan fahion, saya jarang sekali bereksperimen dalam hal berbusana. Saya lebih sering memakai stelan yang netral-netral saja. Bagi saya, kaos oblong, jaket hooodie, dan celana jeans sudah lebih dari cukup. Kemana pun saya pergi, saya selalu enjoy dengan stelan fashion seperti itu. Bagaimanapun, saya tidak sudi membiarkan diri saya menjadi tontonan orang, hanya karena salah berbusana—persis seperti insiden ‘baju koko di sekolah’. []
November 06, 2016Benny Prastawa