Wednesday, November 9, 2016

Hukuman tanpa Kesalahan


Kemarin, blog saya hilang. Begitu mengecek Gmail saya, ternyata akunnya diblokir oleh Google. Saya sendiri tidak tahu kesalahan saya, karena selama ini saya merasa tidak melanggar Term of Use apapun. Saya tidak pernah ngaco membuat artikel cerita dewasa, tidak nyomot artikel dari blog tetangga, atau malah mengunggah konten porno.

Lalu apa salah saya? Lagipula, blog ini boleh dibilang masih baru. Belum banyak konten yang termuat di sini. Ibarat bayi, umur blog ini belum genap 2 bulan. Jadi sangat tidak adil jika blog yang baru seumur jagung ini ‘dimusnahkan’. Lebih pihak Google tidak menuliskan detail kesalahan saya. Inti email yang saya terima cuma: “Kamu melanggar peraturan, dan karena itu kamu dihukum!

Boleh jadi, seperti ini ya rasanya dituduh padahal kita yakin tidak melakukan kesalahan apapun. Ya, itu menyesakkan sekali. Bagaimana kita bisa menerima sebuah hukuman padahal kita yakin diri kita tidak bersalah?

Saya jadi teringat kasus kopi sianida yang menewaskan Mirna. Sampai detik ini, saya masih belum yakin (sejujurnya malah tidak percaya), jika tewasnya Mirna disebabkan oleh sianida yang ‘konon’ dimasukkan oleh Jessica. Ada begitu banyak plot hole yang tidak terjelaskan dalam kasus tersebut.

Saya pikir, jika sebuah kejahatan memang tidak terpecahkan karena kurangnya alat bukti, maka seperti kata Hotman Paris, kasus tersebut bisa dikatakan sebagai unsolved crime. Tapi apa daya, sejak awal, semua orang terlanjur beropini (lebih tepat digiring opininya), untuk mempercayai bahwa Mirna tewas setelah meminum kopi sianida. Padahal, jika kita menyelami persidangan Jessica, akan kita temukan beberapa kejanggalan di dalamnya. Terlebih, penanganan kasus itu sudah meninggalkan banyak ‘lubang’ sejak awal.

Ada dua hal yang sangat saya sayangkan dari kasus ini. Pertama, ketiadaan proses otopsi pada jenazah Mirna. Padahal, dari hasil otopsi itu kita bisa meyakini, apakah Mirna tewas karena sianida, atau karena hal lain. Kedua, penanganan TKP berjalan sangat lambat. Polisi malah baru bisa mengkondisikan TKP berjam-jam kemudian. Karena itu, sangat mungkin barang bukti seperti sianida (jika memang ada), sidik jari, dan gelas kopi yang dipakai Mirna hilang—atau setidaknya ‘dibersihkan’ dari jejak-jejak si pelaku.

Jika sudah begini, tinggal Jessica seorang yang dinilai paling mencurigakan. Jessicalah yang datang paling awal dan memesankan kopi. Jessica juga yang paling mungkin menuangkan racun. Jessica pula yang menaruh paper bag di atas meja, seakan-akan hal itu sengaja dilakukannya untuk menutupi CCTV. Media pun menghipnotis kita untuk berpikir “Jessica”, Jessica”, “Jessica”, dan pasti “Jessica” pelakunya. Pada akhirnya, Jessica harus menanggung ‘tuduhan umat’ yang menyeretnya ke jeruji besi.

Ah, tapi siapalah saya. Detektif bukan, jaksa bukan, polisi bukan, bahkan anaknya polisi juga bukan. Postingan ini juga tidak akan mengubah vonis hakim dan membebaskan Jessica. Saya memang bukan siapa-siapa. Dan karena saya bukan siapa-siapa, saya pantas bertanya, apa salah saya sampai-sampai akun Gmail saya diblokir?

Semoga semesta masih menghendaki adanya keadilan di antara umat manusia. Yang menghukum mereka yang bersalah dan membebaskan mereka yang tidak bersalah. Karena sungguh, menuduh seseorang tanpa kesalahan itu menyakitkan, dan dituduh tanpa bukti, itu sebuah kejahatan! []



***Paginya, buru-buru saya buka akun Gmail saya. Memang benar, akun saya terblokir sehingga saya harus melakukan verifikasi kode via nomor ponsel. Beberapa saat kemudian—Klontank!!! Akun Gmail saya sudah bisa dipulihkan. Saya pun bisa posting cerita nggak penting seperti ini lagi. Adakah yang pernah bernasib sama dengan saya?
November 09, 2016Benny Prastawa