Tuesday, November 1, 2016

Menghargai Percakapan


“Hai!”

Aku mendongakkan kepala, menoleh ke arah sumber suara. Rupanya, temanku. 
Aku sudah menunggunya—sekitar sembilan ratus detik yang lalu.

“Sudah lama? Maaf aku terlambat,” katanya sambil mengambil tempat duduk.

“Ah, tak apa-apa. Belum lama kok.”

“Boleh kulihat bukunya?” temanku melirik ke arah buku bersampul kuning yang kupegang.

“Maaf? Oh, buku ini. Bukan buku terkenal kok,” kataku sambil mengulurkan buku itu padanya.

Temanku tampak tertarik. Ia pun sibuk membolak-balik halaman buku itu, mencoba mencari tahu isinya. Selagi temanku melihat-lihat buku itu, aku memanggil seorang pelayan untuk memesan minuman. Selesai menulis pesanan, pelayan itu beranjak ke counter.

“Jadi, bagaimana kabarmu?” aku membuka topik.

“Yah, seperti biasa. Banyak tugas kuliah. Sepertinya, aku kurang bisa menata waktu.”

“Kamu sibuk? Ah, maaf. Aku tak tahu kalau kau harus meluangkan waktu berhargamu untuk pertemuan yang mungkin tidak ada penting-pentingnya ini.”

“Tak apa. Toh, aku juga menginginkan pertemuan ini.” Temanku tampak memasukkan ponselnya ke dalam tas. 

Aku tidak mau percakapan kita terganggu dering ponsel,” katanya.

Aku mengangguk. Dan bermenit-menit kemudian, kami berdua telah larut dalam percakapan yang renyah. Sambil menyesapi minuman hangat di kafe itu, kami bercakap-cakap.

Drrtt.....drrrttt......!

Temanku mengeluarkan ponselnya dari tas. Sejenak, aku menangkap perubahan ekspresi wajahnya. Ada sebuah panggilan masuk, pikirku. Temanku membiarkan panggilan itu dan menaruh ponselnya di atas meja.

“Kenapa tak diangkat?” tanyaku.

“Uh, bukan panggilan penting.”

Aku mengangguk. Beberapa menit berselang, ponsel temanku bergetar lagi.

“Silahkan, angkat saja!”

Temanku meminta maaf dan mengambil ponselnya. Untuk beberapa saat dia menjawab panggilan itu di sudut ruangan agar tidak terganggu bising musik cafe.

Saat temanku kembali, ponselnya sudah dimasukkan lagi ke dalam tas. Percakapan kami pun berlanjut, tanpa dering ponsel dan tanpa bunyi notifikasi yang mengganggu. Selama dua jam itu, kami benar-benar bercakap-cakap satu sama lain.

Seperti biasa, selalu menyenangkan bisa berteman dengan orang seperti dia. Dalam hati aku berharap, “Semoga semesta menyisakan lebih banyak orang sepertinya. Orang-orang yang paham bagaimana menghargai sebuah percakapan.”[]