Friday, June 5, 2020

Seberapa Siapkah Kita Menghadapi Wabah?



Sudah dua bulan lebih pembatasan sosial dilakukan untuk mencegah perluasan virus Corona. Tak terhitung berapa banyak masyarakat yang terdampak, baik secara sosial, kesehatan, maupun ekonomi. Buruh-buruh ter-PHK tanpa pesangon. Pengusaha-pengusaha gulung tikar. Sekolah-sekolah masih terus diliburkan. Pasar-pasar dilarang buka. Sementara rumah sakit kian kewalahan menangani lonjakan jumlah pasien Corona yang belum menunjukkan tanda-tanda berhenti.

Jika kondisi ini dibiarkan berlarut-larut, semua lini kehidupan masyarakat akan terkena dampaknya. Kondisi serba kacau dan rusuh (chaos) mungkin saja terjadi. Di satu sisi, masyarakat sudah jenuh berdiam diri di rumah—terlebih bagi mereka yang menganggur. Kalau harus memilih, mereka akan mengabaikan resiko tertular virus asal bisa bekerja mendapat penghasilan, daripada berdiam di rumah (entah sampai kapan) dengan resiko krisis finansial jangka panjang. Bagaimanapun, urusan dapur juga perlu dipikirkan agar tetap mengepul.

Di sisi lain, untuk menutupi semua kalkulasi kerugian, pemerintah sudah menganggarkan lebih dari 1400 trilliun rupiah. Sulit membayangkan dari mana pemerintah mendapat dana sebesar itu. Apakah dari "sedekah" warga negaranya yang taat membayar pajak, apakah dari donasi rekening gendut para pejabat, apakah dari pengurangan gaji seluruh aparatur negara, atau malah dari hasil ngutang lembaga keuangan internasional macam Bank Dunia dan IMF—tidak ada yang tahu pasti (dan bukan urgensi kita untuk tahu). Yang jelas, pemerintah memang harus menyediakan anggaran, sebanyak yang bisa disiapkan, setidaknya sampai pandemi ini berakhir.

Ibarat orangtua yang mendapati anaknya sakit parah. Berapa pun biaya pengobatannya tetap akan mereka tebus. Repotnya, "anak" yang harus dipikirkan nasibnya ini jumlahnya lebih dari 250 juta jiwa. Lokasinya pun tersebar di antara pulau-pulau berbatasan laut lepas nan luas. Tidak ada solusi mudah menangani "keluarga" sebesar ini di tengah badai pandemi.

Amerika Serikat, negeri adidaya di seberang Pasifik itu, saat ini sudah mulai kolaps mencegah chaos di antara warga negaranya. Lebih dari 1,5 juta warganya terpapar virus dan 90an ribu orang tewas. Kebijakan pembatasan sosial (social distancing) dan lockdown sudah diambil untuk menekan penyebaran virus. Tapi warga tidak bisa dipaksa terus-terusan berdiam di rumah. Orang-orang tetap butuh mencari uang dan roda perekonomian harus kembali berputar jika tidak ingin terjadi krisis. 

Kondisi yang dialami Amerika Serikat tidak jauh beda dengan negara-negara berkembang yang juga kewalahan menangani pandemi Corona. Benarlah apa yang pernah dikhawatirkan Bill Gates bahwa kita tidak akan siap jika sebuah pandemi melanda. Tak peduli kita di negara maju atau negara berkembang.

Hal itu diutarakannya dalam acara TED Talks (2015). Kekhawatiran Bill Gates bermula setelah virus Ebola mewabah di kawasan Afrika barat sekitar tahun 2013-2014 lalu. Wabah tersebut cukup mengkhawatirkan dan telah merenggut tidak kurang dari 11ribu korban jiwa. Butuh waktu setahun lebih untuk menangani wabah tersebut sampai dinyatakan berakhir.

Dunia boleh dibilang "beruntung" karena sebaran Ebola terparah terlokalisasi di Afrika barat. Keterbatasan akses transportasi dan kondisi geografis yang mengisolasi benua itu dari dunia luar, secara tidak langsung mencegah menyebarnya virus secara massif ke seluruh dunia. Bayangkan, jika virus Ebola pertama kali mewabah di Cina—seperti halnya virus Corona. Dengan semilyar lebih jumlah penduduk serta akses transportasi yang luas, mudah saja bagi virus jenis apapun untuk menyebar dari Cina ke berbagai penjuru dunia.

***

Berabad-abad lalu, dua pertiga populasi Eropa pernah musnah karena terjangkit wabah "Maut Hitam" (Black Death). Wabah Black Death (sekarang disebut penyakit pes) menyebar luas ketika ilmu kedokteran dan pengobatan medis belum semaju sekarang. Antibiotik belum ditemukan. Vaksin belum ada. Pengetahuan tentang bakteri penyakit pun nihil.

Warga Eropa masih mengira penyakit itu disebabkan oleh kutukan roh jahat atau hukuman tuhan atas kedurhakaan manusia—semacam itulah. Karenanya, logis jika Black Death hampir memusnahkan seluruh populasi manusia di Eropa saat itu di tengah keterbatasan ilmu kedokteran dan pengobatan medis yang ada.

Memasuki abad 20, dunia kembali bergelut dengan wabah baru bernama Flu Spanyol (1918). Dengan pola interaksi manusia yang lebih intens lewat jalur dagang internasional, wabah flu Spanyol menyebar dengan cepat ke berbagai penjuru dunia. Dan sekali lagi, ilmu kedokteran dan pengobatan medis saat itu masih memiliki keterbatasan dalam menanganinya. Meski secara umum vaksin sudah ditemukan sejak 1778 (vaksin cacar), vaksin khusus untuk flu Spanyol belum ada saat itu. Diperkirakan 50-100 juta orang di seluruh dunia tewas akibat flu Spanyol.

Peperangan antara manusia dan wabah penyakit terus berlanjut. Polio, cacar, tetanus, difteri, campak, dan ebola adalah beberapa contoh penyakit yang terus-menerus kita hadapi. Hanya bedanya, kita sudah mulai bisa beradaptasi dan ilmu kedokteran semakin maju. Hal ini membantu proses penelitian setiap jenis penyakit sampai ke level pengobatan. Sampai akhirnya, ilmu kedokteran melompat jauh dengan penemuan antibiotik (1928) dan teknologi vaksin untuk pengobatan berbagai jenis penyakit akibat virus.

Sayangnya, betapapun kencangnya manusia beradaptasi dan berinovasi di bidang medis, kita tidak pernah bisa mencegah terjadinya wabah-wabah baru. Berkaca dari sejarah, selalu ada kemungkinan terjadinya wabah-wabah baru di masa mendatang. Wabah-wabah itu bisa disebabkan oleh penularan bakteri jahat maupun mutasi virus dari jenis virus yang pernah ada sebelumnya.

Buktinya, sejak memasuki milenium baru, wabah demi wabah silih berganti menjangkiti manusia. Tahun 2003, dunia harus menghadapi wabah sindrom pernapasan akut bernama SARS. Tahun 2007 dan 2009, giliran wabah flu burung dan flu babi yang mengancam nyawa manusia. Tahun 2012, wabah MERS dari kawasan Timur Tengah membuat kawasan itu untuk sementara tidak aman dikunjungi.

Setelahnya, pada tahun 2013, virus Ebola menjangkiti negara-negara Afrika barat dan menelan lebih dari 11 ribu korban jiwa. Tahun 2016, demam Zika mengancam kelompok ibu-ibu hamil di kawasan Amerika Selatan, Tengah, Asia, dan Pasifik tropis. Dan kini, tahun 2020, dunia kembali harus berhadapan dengan wabah baru yang belum ada vaksinnya bernama virus Corona.

Lalu, berapa banyak negara yang benar-benar siap dan mengalokasikan lebih banyak anggaran untuk mengantisipasi terjadinya wabah baru?

Berkaca dari pandemi Corona saat ini, banyak negara yang terkesan tidak siap menanggulangi wabah baru. Segala kebijakan penanganan diambil secara mendadak. Padahal, wabah tidak hanya berdampak pada kesehatan masyarakat, tapi juga melumpuhkan sektor-sektor kehidupan lain seperti sektor ekonomi dan sosial. Seyogyanya, setiap negara menyiapkan protokol khusus jika sebuah wabah baru terjadi—termasuk rencana anggarannya.

Memang ada negara-negara maju seperti Jepang, Kanada, Amerika Serikat, Inggris, Italia, Swedia, dan Jerman, yang mengalokasikan milyaran dollar untuk keperluan riset medis dan penanganan penyakit. Tapi, apakah alokasi tersebut merupakan prioritas? Apakah anggaran untuk riset medis dan penanganan penyakit lebih besar nilainya daripada anggaran untuk sektor ekonomi dan militer, misalnya?

Ironis memang, mengingat ancaman terjadinya wabah sama konkritnya dengan ancaman badai tornado atau gempa bumi. Nyatanya, hampir semua negara cenderung berfokus pada pembangunan infrastruktur dan perbaikan sektor ekonominya. Sebagian negara malah menganggarkan lebih banyak dana untuk memperkuat sektor militernya, membangun sistem anti rudal super canggih, membiayai dinas intelijen, dan sejenisnya—takut sekali jika ada sindikat teroris atau selusin jet tempur asing yang menyerang negaranya. Akan tetapi, begitu sebuah wabah baru melanda, "rudal-rudal" tersebut tidak mampu mengatasinya sama sekali.

***

Kemajuan ilmu kedokteran dan teknologi medis saat ini, sepertinya membuat kita cenderung pongah dan menggampangkan wabah. Kita bersikap seakan-akan semua penyakit sudah ada obatnya, tak perlu risau. Para dokter sudah berhasil mengatasi penyakit-penyakit mematikan seperti kanker, jantung koroner, atau diabetes. Penyakit-penyakit akibat virus juga sudah banyak yang ditemukan vaksinnya. Hal ini membuat kita abai terhadap ancaman terjadinya wabah baru yang sewaktu-waktu bisa terjadi.

Diam-diam, begitu virus SARS-CoV-2 merebak, wabah Corona pun menampar umat manusia seketika. Orang-orang yang tertular segera membanjiri kompleks rumah sakit. Para pasien dengan riwayat komplikasi semakin menderita karena virus memperparah penyakitnya. Tenaga medis kewalahan karena keterbatasan jumlah personel dan alat-alat medis yang diperlukan. Sementara itu, daya tampung rumah sakit juga terbatas. Situasi semakin sulit mengingat wabah yang mereka hadapi belum pernah dialami siapapun sebelumnya. Tidak ada satu pun obat penawar yang bisa menuntaskan gejala penyakit seketika.

Di titik ini, segala kemajuan medis yang dibangga-banggakan mendadak raib. Para ahli dan ilmuwan kesehatan harus berhenti sejenak untuk mempelajari jenis virus baru yang mewabah, melacak asal-usul/galur virus, melakukan serangkaian uji coba, sampai akhirnya menemukan vaksin yang bisa dipakai melawan virus tersebut.

Di tengah situasi sulit itu, pemerintah dipusingkan oleh krisis di segala bidang kehidupan masyarakat. Kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah tidak pernah mudah, karena selalu dihadapkan pada posisi dilematis. Di satu sisi, pemerintah ingin menyelamatkan sebanyak mungkin warganya dari ancaman pandemi. Tapi, di sisi lain, pemerintah juga tidak bisa membiarkan sektor perekonomian warganya terus-terusan terpuruk dihajar pandemi.

Pandemi virus Corona yang terjadi saat ini tentu harus kita jadikan pelajaran bersama, bagaimana menyikapi sebuah wabah. Kita harus sadar bahwa ancaman keamanan sebuah negara tidak hanya berupa ancaman terorisme, rudal, nuklir, atau bencana alam semata. Ada musuh-musuh tak kasat mata seperti bakteri jahat dan virus yang siap membuat kegaduhan baru dalam kehidupan umat manusia.

Alangkah bijaknya, jika setelah pandemi Corona ini, kita sudah cukup belajar mempersiapkan diri, menjaga kesehatan tubuh, menata alokasi anggaran, serta mengantisipasi segala kondisi darurat yang mungkin terjadi akibat pandemi. Kita pun hanya bisa berharap, semoga ilmu kedokteran dan pengobatan medis di masa mendatang lebih siap mengantisipasi terjadinya wabah baru, sehingga krisis multidimensional seperti yang kita hadapi saat ini tidak akan terjadi lagi.[]

June 05, 2020Benny Prastawa