Thursday, June 25, 2020

Bergegas Mudik Berkemas Pandemic

Di pelosok kampung tempat orangtua saya tinggal, pandemi virus Corona nyaris tidak menghasilkan dampak se-paranoid daerah Kota. Kehidupan masyarakat kampung bisa dibilang tidak berubah meski pageblug Corona mengintai. Orang-orang masih jamak berkumpul, pasar-pasar masih ramai, bahkan acara lelayu pun masih dihadiri banyak orang dan nyaris tanpa "jaga-jarak".


Pagi-pagi sekali, orang-orang kampung sudah giat pergi bekerja. Ada yang ke pasar, ada yang ke sawah, ada yang menggembala ternak, ada pula yang tetap berdiam di rumah—membereskan segala sesuatunya sambil beranjangsana menemani anak-anak yang libur sekolah.


Boleh jadi, soal virus Corona ini memang kurang tersosialisasikan di kampung. Orang-orang kampung boleh jadi masih menganggap "Oh, virus Corona itu kan cuma terjadi di kota A, kota B, di sana, dan di sana. Di kampung aman-aman saja, kok." Apalagi setelah melihat fakta bahwa kampung mereka relatif aman dan belum ada warga yang positif Corona. Mereka pun merasa lebih tenang untuk tetap menjalani kehidupan normal seperti tidak ada pandemi apapun.


Sementara di Kota, kondisinya jauh berbeda. Hingar bingar pandemi Corona terlihat nyata di sini. Ancaman penularan virus datang dari sana sini. Orang-orang dilarang berkumpul dan disarankan berdiam di rumah.


Satu dua mobil ambulans berseliweran dengan sirine meraung. Petugas kesehatan dengan APD putih-putih khasnya mondar-mandir mengangkut pasien positif Corona. Sebagian malah cuma mengangkut jenazah saja. Rumah warga yang positif Corona dikelilingi pita kuning. Sementara para polisi dan tentara turut serta mengawal warga dan giat berpatroli selama pandemi.


Dalam hitungan minggu, semua sektor kehidupan masyarakat Kota terdampak. Roda bisnis mendadak berhenti. Harga-harga barang anjlok. Para pedagang kesulitan menjual barang akibat penurunan permintaan. Para pemilik usaha terancam gulung tikar. Karyawan-karyawan dirumahkan dan buruh-buruh di-PHK tanpa pesangon.


Di tengah perekonomian yang mendadak lesu, orang-orang Kota kelimpungan mencari jalan keluar. Sebagian yang memiliki tabungan dan kerabat dekat bisa bertahan. Tapi tidak sedikit pula yang harus menghadapi krisis sendirian. Benar-benar sendirian dan tanpa pegangan finansial yang cukup.


Dalam kondisi itu, wajar jika orang-orang Kota yang punya keluarga di Kampung, memilih untuk pulang. Betapapun pemerintah melarang, warga yang sudah tak tahan dengan himpitan Kota nekat mudik ke Kampung. Segala cara mereka tempuh demi mengembalikan ketenangan pikiran dan menjauhkan diri dari beban ekonomi yang menghimpit. Dan mudik adalah jawabannya.


Para pemudik itu membayangkan, kehidupan di Kampung pasti jauh lebih mendamaikan. Mereka tidak akan dipusingkan dengan hari-hari yang penuh kemacetan, makian serapah majikan, gaji yang tidak kunjung naik, cocot omelan pelanggan, air yang kotor, atau tagihan kontrakan yang jumlahnya semakin mencekik.


Di Kampung, mereka akan disuguhi pemandangan alam yang serba hijau nan asri dengan latar anak-anak yang tengah ramai bermain berkeliaran—bebas, tanpa takut terlindas truk atau ditangkap penculik.


Dan memang begitulah adanya. Kehadiran virus Corona—betapapun mengerikannya—seakan mengajarkan kita untuk mereset tombol kehidupan kita. Arus modernitas yang memanjakan kita selama ini, ternyata tidak cukup canggih untuk memupuk kebahagiaan. Di satu sisi, modernitas menawarkan segala kemudahan untuk memperoleh materi. Tapi, di sisi lain, kepemilikan materi itu sendiri tidak selalu berbanding lurus dengan kebahagiaan. Karena, ternyata, modernitas juga menuntut orang untuk MEMBAYAR LEBIH BANYAK.


Sementara di kampung, kita diajarkan untuk lebih nrimo dengan kondisi yang ada. Kita diajarkan untuk bergumul dengan peradaban yang serba terbatas. Tapi, di sisi lain, kita tidak akan dipusingkan dengan ongkos-ongkos yang mencekik seperti yang ditawarkan modernitas ala Kota.


Well, semua ini adalah realita hidup yang mesti kita pilih dan kita jalani. Tidak ada yang salah dengan peradaban modern ala kota. Atau tradisi sederhana ala di Kampung. Apapun itu, kita harus tetap sadar akan esensi nilai-nilai hidup kita sebagai manusia. Sudah selayaknya manusia—sebagai makhluk sosial—hidup tolong-menolong dengan sesamanya. Baik di Kampung atau di Kota, ada Corona atau tidak, jangan sampai kita kehilangan rasa kemanusiaan kita —apapun alasannya.[]


June 25, 2020Benny Prastawa