Sunday, May 3, 2020

Kebutuhan Perut dan Keinginan Lidah saat Berbuka



Makanan yang paling enak adalah makanan yang kita makan ketika kita betul-betul merasa lapar. Terlepas dari menu makanan dan selera lidah kita masing-masing, semua pasti setuju jika makan ketika perut kelaparan akan terasa jauh lebih enak dibanding dengan makan ketika perut sebenarnya tidak terlalu lapar. Begitu pula dalam konteks minuman yang paling enak.

Sebagai contoh, bagi kebanyakan orang, pizza atau roti brownis memang enak. Tapi, bayangkan, bagaimana jika kalian makan pizza atau roti brownis setelah kekenyangan tiga porsi nasi pecel dan bakso beranak ukuran jumbo? Apakah kadar "enak" makanan pizza dan roti brownis tadi masih tetap sama?

Disadari atau tidak, ibadah puasa melatih kita untuk menata ulang pemahaman tentang esensi “makanan enak”, keinginan lidah, dan kebutuhan perut. Selama ini, kita berpikir bahwa makan itu urusan perut. Jika perut sedang lapar, kita tergerak mencari sesuatu untuk dimakan agar kenyang—normalnya begitu. Jadi, pada dasarnya, kebutuhan perut hanya satu: kenyang.

Tapi, kita sering lupa, bahwa sebelum mencapai perut, ada sekerat daging di rongga mulut yang kebutuhannya tidak hanya sekedar "kenyang"—tapi juga apa yang disebut dengan "enak", "lezat", "gurih", "manis", "delicious", dan sejenisnya. Dorongan keinginan lidah inilah yang sering membuat kita bingung memilih menu. Jika kita fokus pada kebutuhan perut (kenyang), kita tidak akan bermasalah harus makan di warung makan manapun. Karena yang terpenting, perut bisa kenyang.

Sementara jika kita fokus pada keinginan lidah, ada lebih banyak pertimbangan yang harus dipikirkan. Menunya apa, harganya berapa, rasanya bagaimana, dan seterusnya. Tapi jika kita fokus pada keduanya (keinginan lidah dan kebutuhan perut), yang terjadi kemudian adalah membengkaknya pengeluaran kita dalam tempo sekali makan.

Apa hubungannya dengan puasa?

Saat berpuasa, normalnya kita akan merasa lapar. Rasa lapar—sejatinya—adalah dorongan kebutuhan perut (bukan lidah). Perut kita sebenarnya tidak akan protes jika nanti hanya disantuni dengan nasi pecel atau dua tiga kerat gorengan di angkringan. Tapi, yang sering terjadi, begitu bedug Maghrib tiba, kita mendadak alpa pada kebutuhan perut, lalu mencampuradukkannya dengan keinginan lidah. Keinginan lidah inilah yang akhirnya mendorong kita untuk berbuka dengan segala hidangan yang enak, lezat, gurih, manis, dan segala cita rasa lain yang dinginkan lidah.

Secara ekonomis, perut kita tidak selalu meminta kita untuk membayar banyak, karena yang terpenting adalah kenyang. Tapi, karena kita punya lidah yang permintaannya macam-macam, kita tergoda untuk memenuhi semua keinginannya dengan makanan yang enak, lezat, gurih, manis, mewah, asem, pedas, dan sejenisnya. Anggaran belanja pun membengkak dan tanpa sadar kita menjadi lebih boros karenanya. Dengan kata lain, dorongan keinginan lidah inilah yang acapkali mengurasi isi dompet kita—bukan dorongan kebutuhan perut. Perut kita hanya minta dibikin kenyang agar tidak merasa lapar. Cukup. Sesederhana itu.

***

Membahas urusan ini mengingatkan saya semasa masih bocah dulu, ketika berbuka puasa di rumah Guru ngaji saya (selanjutnya disebut Guru saja). Jadi ceritanya, saat itu, di surau tempat saya biasa mengaji, ada kegiatan buka bersama. Meski saya biasa mengaji di sana, saya tidak rutin mengikuti acara buka bersama karena lokasi surau yang cukup jauh dari rumah saya. Saya biasa buka bersama sendiri bersama keluaga di rumah. Tapi suatu hari, karena penasaran, saya iseng saja ikut buka bersama di surau.

Dari rumah, saya sendirian mengikuti acara itu. Bocah-bocah lain di sekitar komplek rumah tidak ada yang ikut. Mungkin karena lokasi surau yang cukup jauh di perbatasan kampung dan jalanan yang gelap pada malam hari (saat itu, belum semua sudut kampung teraliri listrik).

Awalnya, saya ingin pulang setelah sholat Maghrib berjamaah. Tapi saat akan pulang, listrik di kampung saya malah padam. Bocah-bocah lain yang ikut buka bersama sudah menghambur pulang ke rumah masing-masing. Guru—yang tahu rumah saya cukup jauh—menawari saya berbuka di rumah beliau. Berhubung saat itu tidak ada bocah lain, saya pun menyanggupi ajakan Guru.

Rumah Guru tidak jauh dari surau—sekitar lima menit berjalan kaki. Bangunan rumah Guru tergolong sederhana dengan dinding anyaman bambu. Pada masa itu, rumah beranyam bambu banyak dijumpai di kampung saya. Jadi, saya pun sudah terbiasa dengan model bangunan semacam itu.

Setelah dipersilahkan masuk, Guru menyuguhkan segelas teh hangat pada saya. Temaram lampu teplok (sejenis lampu dinding tradisional berbahan bakar minyak tanah) menjadi satu-satunya penerangan di ruangan itu. Sejurus kemudian, Guru datang membawa hidangan-hidangan berbuka dan menaruhnya di meja.

Berhubung saya lapar, saya langsung melahap hidangan yang ada. Sampai saya menyadari, sayur yang Guru hidangkan tidak memakai penyedap. Hambar. Mungkin hanya ditambahkan sedikit garam. Sebelumnya, saya memang tidak pernah melahap sayur hambar tanpa rasa.

Di rumah, saya terbiasa makan dengan tambahan penyedap atau yang manis-manis. Ibu saya paham, jika saya—yang susah makan—hanya dapat menikmati jenis makanan semacam itu. Akan tetapi, demi menghormati Guru, saya tetap melanjutkan makan meski kurang nyaman dengan menu yang dihidangkan. (Kelak, saya baru tahu jika ada jenis orang tertentu yang memiliki pantangan memakan menu tertentu karena alasan kesehatan—misalnya makanan yang mengandung penyedap, gula, atau bahan-bahan yang memicu alergi).

Tentu saja saya tidak bermaksud merendahkan Guru dengan mengolok-olok hidangan tadi. Saya hanya mengungkapkan keadaan saya dengan segala “kebocahan” lidah saya saat itu. Alih-alih sejak momen buka puasa di rumah Guru, pandangan saya tentang makanan berubah total.

Saya menjadi sadar, jika ada orang lain yang menu makanannya "tidak enak" (saya beri tanda kutip karena maksud saya bukan untuk mengejek atau merendahkan menu makanan Guru dalam konteks catatan ini). Ada segelintir orang (bahkan banyak orang) yang karena alasan kesehatan atau karena masalah keuangan terpaksa menyantap menu makanan yang "tidak enak"—bahkan tidak bisa makan sama sekali.

Banyak pelajaran yang saya petik dari momen buka puasa di rumah Guru. Segala yang saya saksikan di sana, lebih dari sekadar hidangan berbuka semata, melainkan nilai-nilai kesederhanaannya, rasa tawadhu’ dan keikhlasan penerimaan seorang hamba atas segala rizki yang telah Tuhan berikan. Semua itu menyadarkan diri untuk tidak mencela hidangan apapun yang sudah tersaji di meja—tentu saja selama hidangan itu halal dan thayyib. Karena di luar sana, di sudut-sudut terpencil bumi ini, ada Saudara-Saudara kita yang tengah dihimpit keterbatasan, yang bahkan untuk makan sehari-hari pun belum tentu ada.

Itulah salah satu semangat egalitarianisme ibadah puasa yang semestinya bisa mengetuk empati kita, yakni untuk sama-sama merasakan keterbatasan orang lain. Karena mengusung semangat egalitarianisme, momen buka puasa mestinya kita lakukan dengan sewajarnya, sekadarnya, dan seadanya. Momen buka puasa juga mestinya kita lakukan dengan penuh perenungan diri dan rasa syukur atas rezeki yang Tuhan beri. Bukan malah sibuk berbuka-pora, dengan meluapkan segala keinginan lidah, selezat-lezatnya dan kemauan perut, sekenyang-kenyangnya. Ironis.[]