Thursday, June 11, 2020

Teori Konspirasi Bill Gates dan Corona yang Melelahkan Tanpa Manfaat


Bagi kalian yang pernah membaca novel Inferno karangan Dan Brown (atau menonton filmnya), tentu tidak asing dengan organisasi rahasia bernama Konsorsium. Diceritakan bahwa organisasi tersebut bergerak di bidang kesehatan dan menjalankan misi-misi rahasia tanpa sepengetahuan publik. Salah satu misi "mengerikan" Konsorsium adalah menjalankan program depopulasi umat manusia.

Program depopulasi (pengurangan populasi) tersebut tidak lepas dari masalah jumlah penduduk bumi yang semakin tak terkendali. Sementara jumlah sumber daya yang dibutuhkan untuk mendukung kelangsungan hidup manusia bersifat terbatas.

Kesenjangan antara tingkat populasi dan sumber daya alam ini dikhawatirkan akan memicu masalah-masalah kemanusiaan global seperti kelangkaan, paceklik, kelaparan, krisis ekonomi, kemiskinan, sampai peperangan. Atas dasar itulah, Konsorsium menilai bahwa populasi manusia harus dikendalikan—bagaimanapun caranya!

Sebagai organisasi rahasia, tentu saja Konsorsium tidak bisa terang-terangan membunuh orang di jalan untuk men-depopulasi manusia. Mereka cukup menciptakan seperangkat "produk mematikan" yang dapat bekerja dengan sendirinya untuk menekan jumlah manusia di bumi. Contoh "produk mematikan" Konsorsium yang paling umum adalah wabah penyakit.

But wait, bukannya Konsorsium itu organisasi kesehatan? Kok malah bikin penyakit?

Memang begitulah, cara paling efektif menyamarkan kedok kejahatan adalah membungkusnya dengan label kebaikan. Sama halnya dengan praktek dukun berkedok ustadz, preman berkedok petugas keamanan, penculik berkedok pengasuh bayi, atau mucikari berkedok penyalur jasa tenaga kerja.

Konsorsium pun memakai prinsip yang sama. Dari luar, mereka tampak seperti sedang menjaga kesehatan umat manusia sedunia.

Konsorsium mungkin memang menciptakan obat-obatan, vaksin, program imunisasi, melakukan riset kanker, atau menjadi pembicara dalam seminar kesehatan. Tapi, diam-diam, mereka juga mengerjakan serangkaian konspirasi licik untuk men-depopulasi umat manusia melalui penciptaan wabah penyakit.

Dari sini, kalian mungkin berpikir bahwa Konsorsium benar-benar ada. Kalian pasti curiga, wabah-wabah penyakit seperti AIDS, ebola, flu Spanyol, sampai Black Death—yang menelan jutaan korban jiwa—terjadi karena ulah Konsorsium.

Buktinya, wabah demi wabah terus terjadi, bahkan sampai hari ini, di tengah ilmu kedokteran dan teknologi medis yang sudah sedemikian maju. Tapi, sejauh ini, tidak ada fakta terverifikasi atau bukti konkret apapun yang membenarkan eksistensi organisasi "Konsorsium" yang disebut Dan Brown dalam novelnya.

Well, saya akui, teori konspirasi adalah jualan fiksi yang paling menarik. Sudah banyak novel atau film laris karena mengangkat tema konspirasi, terlepas dari konspirasi itu fakta atau hanya rekaan "cocoklogi" si pengarang saja. Inferno, Bourne, James Bond, Da Vinci Code, adalah beberapa contohnya.

Lalu mengapa orang-orang bisa percaya pada teori konspirasi?

Tentu saja karena tabiat manusia yang suka mencari kambing hitam atas segala persoalan pelik di dunia. Kita tahu, bahwa di sekitar kita, ada banyak peristiwa, kekacauan, kemelaratan, dan krisis berkepanjangan yang tidak terjelaskan. Dalam kondisi seperti itu, teori konspirasi menawarkan jawaban termudah untuk segala ketidakjelasan.

Salah satu caranya adalah dengan merangkai pembenaran-pembenaran sepihak dari sekelumit fakta—entah terverifikasi atau tidak—lalu menimpakan kesalahan pada sekelompok orang atau katakanlah organisasi rahasia.

Tabiat lain yang membuat kita mempercayai teori konspirasi adalah kesenangan kita ketika "dianggap sebagai sosok yang paling tahu".

 Ya, teori konspirasi dinarasikan sebagai teori yang konon hanya diketahui oleh segelintir orang saja. Tidak sembarang orang bisa memperoleh informasi tentang teori konspirasi ini.

Jadi, ketika kita tahu sebuah teori konspirasi, kita akan merasa bangga karena bisa memperoleh informasi yang konon hanya diketahui oleh segelintir orang. Setelah itu, tabiat pamer dan "keinginan untuk dianggap sosok paling tahu" mendorong kita untuk menyebarkannya—baik melalui media sosial, obrolan warung, mamang tukang sayur, pos ronda, sampai grup Whatsapp Bapak-Bapak.

***

Secara umum, sebuah teori konspirasi tidak hanya efektif untuk memanipulasi pandangan orang atas suatu hal, tapi juga efektif untuk menggiring opini masyarakat sesuai keinginan si pembuat teori konspirasi. Begitu orang-orang sudah sampai ke tahap "meyakini/percaya" pada sebuah teori konspirasi, maka cukup dengan sedikit provokasi saja, kekacauan (chaos) pun terjadi di masyarakat.

Misalnya (ini misalnya lho ya), ada teori konspirasi yang menyatakan bahwa Pak Gubernur sedang menjalankan misi "pembunuhan ekonomi wong cilik". Buktinya (ini kata si penghembus teori konspirasi), Pak Gubernur ditengarai mempersulit pengajuan kredit modal untuk para pelaku usaha kecil menengah.

Pak Gubernur juga mengizinkan pendirian mall-mall baru dan toko waralaba berjejaring tanpa batasan kuota. Selain itu, Pak Gubernur mudah saja bekerjasama dengan investor asing dan merekrut tenaga kerja asing untuk mengerjakan proyek-proyek pembangunan di daerahnya—yang semestinya bisa dikerjakan oleh investor dan tenaga kerja lokal.

Padahal, faktanya, Pak Gubernur tidak seperti yang dibicarakan teori konspirasi itu. Pak Gubernur bukan mempersulit pengajuan kredit modal usaha, tapi mencegah banyaknya kredit macet yang merugikan bank/lembaga keuangan akibat peminjam tidak bisa mengembalikan pinjaman.

Pak Gubernur memang mengizinkan pembangunan mall-mall baru dan toko waralaba berjejaring, tapi lokasi pendiriannya sudah dipertimbangkan karena menyasar kompleks pemukiman elit dan jauh dari lapak pelaku usaha kecil menengah.

Sementara untuk investor dan tenaga kerja asing, kebijakan itu hanya diambil pada segelintir proyek saja yang membutuhkan penanganan cepat, transparan, kredibel, dan harus teruji secara mutu. Investor asing lebih dipercaya karena reputasi, profesionalitas, kualitas produk, dan sisi permodalannya yang sehat.

Begitu pula dengan tenaga kerja asing, lebih dipercaya karena etos kerjanya, kemahiran teknik, dan yang terpenting memiliki mentalitas antikorup—sesuatu yang tidak bisa Pak Gubernur dapatkan jika memakai investor dan tenaga kerja lokal.

Sayangnya, meski faktanya Pak Gubernur persis seperti uraian tersebut, teori konspirasi bekerja dengan cara menggerus kepercayaan masyarakat kepada beliau. Teori konspirasi yang berhembus diedarkan secara masif lewat media sosial dan broadcast message (pesan berantai).

Sampai akhirnya, pada satu titik, masyarakat lebih percaya pada teori konspirasi daripada fakta. Mereka yakin bahwa Pak Gubernur adalah antek asing yang sedang menjalankan misi "pembunuhan ekonomi wong cilik". Akibatnya, Pak Gubernur pun tidak lagi dipercaya masyarakat dan kalah pada pemilihan kepala daerah periode berikutnya.

Dan begitulah teori konspirasi bekerja. Masalahnya, teori konspirasi berjalan di ranah abu-abu. Kita tidak pernah bisa memverifikasi kebenarannya 100 persen. Meski kita memiliki sederet fakta atau setumpuk bukti, kita tidak bisa membuat sebuah teori konspirasi menjadi kebenaran mutlak. Paling banter, kita hanya bisa mendiskusikannya.

Dalam teori konspirasi UFO misalnya. UFO atau "benda-asing-tak-dikenal" diyakini sebagai pesawat alien dari galaksi lain yang ingin menginvansi bumi. Di internet, kita bisa menemukan ribuan foto (yang diduga) penampakan UFO. Kita juga bisa menemukan cerita-cerita (yang katanya) ditulis oleh mereka yang pernah melihat UFO.

Teori konspirasi UFO menduga bahwa segala kerusakan, kekacauan, dan peperangan di bumi, disebabkan oleh ulah makhluk luar angkasa tersebut. Sayangnya, meski foto atau cerita kesaksian tentang UFO terus beredar, fakta keberadaan UFO itu sendiri masih menjadi misteri—sampai sekarang.

Bagi saya sendiri, teori konspirasi merupakan "hiburan fiksi" yang menarik. Ya, hanya sebatas hiburan saja. Karena memang orang awam akan kesulitan menemukan jejak bukti apapun untuk mengungkap kebenarannya. 

Memperdebatkan atau mengulik lebih dalam tentang teori konspirasi, hanya akan membuat kita kelelahan. Lagipula, apapun kesimpulan yang kita dapatkan dari pencarian itu, orang lain belum tentu akan percaya.

Karena, sekali lagi, kebenaran teori konspirasi memang bergerak di ranah abu-abu. Boleh jadi benar, boleh jadi tidak. Kalaupun saya percaya pada salah satu teori konspirasi, saya tidak akan memaksa orang untuk percaya.

Dulu, saat masih kuliah, saya sempat percaya teori konspirasi seputar organisasi bawah tanah seperti Illuminati atau Freemason. Organisasi itu diduga menyusup ke jaringan pemerintahan di seluruh negara dan mencoba mengendalikan dunia beserta semua urusannya. Saya sempat percaya, segala kebusukan dan kemelaratan perekonomian di negara berkembang adalah ulah Illuminati dan Freemason.

Tapi, semakin saya berumur, saya malah jadi kasihan pada Illuminati dan Freemason. Para penghembus teori konspirasi seakan-akan terjebak dalam generalisasi konyol dan mengkambinghitamkan organisasi rahasia tersebut dalam segala masalah.

Padahal, yang sebenarnya terjadi, isu konspirasi hanya trik politis/pengalih isu untuk lari dari tanggung jawab. Bahkan organisasi rahasia itu betulan ada, atau hanya rekaan fiktif tidak ada yang tahu pasti.

Tapi, bagi para penganut teori konspirasi, segala kesemrawutan tatanan kehidupan ini akan dikait-kaitkan dengan ulah organisasi bawah tanah (rahasia) yang sangat mbuh dan samar-samar itu.

Kalau ada krisis ekonomi, yang dipikirkan pertama kali "Wah, ini pasti ulah Freemason…". Kalau ada perang atau wabah penyakit, yang terceletuk: "Biang keroknya pasti Illuminati, nih…" dan seterusnya.

Karena itu, mengurusi tetek bengek teori konspirasi ibarat memindah air dengan tangan kosong. Hanya membuat lelah tanpa hasil. Alih-alih, kesan yang saya tangkap dari para penghembus teori konspirasi adalah: organisasi rahasia hanyalah "kambing hitam" pengalih isu atas ketidakmampuan dan ketidakberdayaan suatu pihak dalam menangani krisis.

***

Dan hari ini, di tengah pandemi virus Corona, salah satu pihak yang menjadi sasaran tembak penganut teori konspirasi adalah Bill Gates. Ya, Bill Gates yang itu—jenius komputer, pendiri Microsoft, dan mantan orang terkaya di bumi (yang mungkin akan tetap paling kaya jika kita berhenti memakai Windows bajakan).

Setelah mengundurkan diri dari Microsoft pada tahun 2000, Bill Gates memang aktif dalam berbagai kegiatan filantropi—salah satunya melalui lembaga amalnya Bill&Melinda Gates Foundation. Lembaga tersebut bergerak di bidang pendidikan, penanganan penyakit menular, dan pengentasan kemiskinan di negara berkembang.

Tahun 2015 lalu, Bill Gates pernah berbicara dalam acara TED Talks tentang ancaman wabah penyakit di masa depan. Beliau membahas masalah tersebut dengan berkaca pada wabah Ebola yang menyerang negara-negara di kawasan Afrika Barat pada tahun 2013-2014. Wabah tersebut memang tidak sampai menjadi pandemi global. Meski begitu, jumlah korbannya mencapai 11 ribuan orang.

Bill Gates pun menyampaikan kekhawatirannya jika di masa mendatang akan terjadi wabah penyakit yang lebih parah. Hal tersebut sangat mungkin terjadi, sekaligus beresiko tinggi karena sejauh ini, banyak negara—terutama negara-negara berkembang—yang tidak memiliki layanan kesehatan yang memadai. Jika sebuah wabah penyakit terjadi, kurangnya layanan kesehatan yang memadai akan memperparah penyebaran penyakit hingga berpotensi menjadi pandemi global.

Apesnya, prediksi Bill Gates tentang wabah penyakit malah terjadi betulan pada tahun 2020. Virus Corona jenis baru (SARS CoV-2) menyebar luas di seluruh dunia dan menjadi pandemi global seketika. Jutaan orang terpapar virus Corona dalam hitungan bulan saja.

Orang-orang pun mulai mengkait-kaitkan pandemi ini dengan pernyataan Bill Gates dalam acara Ted Talks sebelumnya. Apalagi, lembaga amal milik Bill Gates, Bill&Mellinda Gates Foundation, salah satunya memang bekerja di sektor kesehatan dan penanganan penyakit menular.

Ketika Bill Gates mendonasikan ratusan juta dollar untuk riset vaksin Corona, prasangka orang malah semakin menjadi-jadi. Teori konspirasi segera berhembus, seperti kentut diterpa topan tropis.

"Bagaimana mungkin Bill Gates bisa ngoceh soal wabah, lalu beberapa tahun kemudian wabah yang sebenarnya terjadi—kecuali dia sendiri yang merekayasanya…"

"Bill Gates pastilah orang yang merencanakan virus laknat ini…"

"Diam-diam, Bill Gates sudah punya vaksin Corona dan akan menjualnya ke penawar tertinggi…"

"Bill Gates ikutan donasi riset vaksin? Itu sih cuma gimmick sandiwara. Kan dia sendiri yang bikin Corona…"

"Pokoknya, jangan pakai vaksin-vaksin bikinan yayasannya Bill Gates. Di vaksin itu ada microchip yang diam-diam ditanamkan di dalam tubuh untuk mengintai aktivitas penduduk dunia…"

Dan begitulah, teori-teori konspirasi seputar virus Corona berkelindan menyerang Bill Gates. Tapi, seperti halnya teori konspirasi pada umumnya, kebenaran setiap teori selalu bergerak di ranah abu-abu. Tidak pernah ada bukti konkret yang menunjukkan bahwa lembaga milik Bill Gates yang merekayasa virus. Tidak ada fakta apapun yang menunjukkan keterkaitan antara donasi Bill Gates dan penimbunan vaksin untuk bisnis.

Meski begitu, masyarakat awam terlanjur terbawa arus informasi. Media sosial dan broadcast messages mempercepat penyebaran teori konspirasi tanpa batas. Dan di tengah pandemi virus Corona ini, Bill Gates-lah sasaran tembak para penyebar teori konspirasi.

Orang mungkin berpikir bahwa menjadi penyebar teori konspirasi adalah sesuatu yang "keren". Hal itu membuat dirinya terlihat smart karena mengetahui sesuatu yang hanya diketahui segelintir orang. Padahal, teori konspirasi bukanlah kebenaran mutlak. Salah-salah, penyebar teori konspirasi malah bisa terjerumus dalam tindakan penyesatan massa dan pencemaran nama baik.

Alangkah bijaknya, jika kita menahan diri dari menyebar teori konspirasi yang tidak jelas juntrungnya itu. Lagipula, sejujurnya, tidak ada manfaat yang jelas dari sebuah teori konspirasi, kok. Teori itu tak lebih dari sekedar " hiburan fiksi" yang menarik untuk didiskusikan atau mungkin diobrolkan saja sambil ongkang-ongkang ngopi.

Dalam konteks konspirasi Bill Gates dan virus corona ini, kalaupun benar Bill Gates adalah dalang dalam rekayasa virus Corona, siapa yang bisa membeberkan bukti dan fakta otentik tentang hal itu? Siapa yang bisa mengusut tuntas kasusnya lalu menyeret seorang Bill Gates ke pengadilan? Bisakah orang awam seperti kita membongkar kedok bisnis vaksin dalam penanganan pandemi Corona ini? Dan yang paling penting, bagaimana orang-orang bisa mempercayai kebenaran teori yang kita ajukan?

Pikirkan juga, bagaimana jika teori konspirasi yang terlanjur kita sebarkan sampai berbusa-busa itu ternyata KELIRU?

Bagaimana jika teori konspirasi—yang kita pamerkan agar kita dianggap paling berwawasan itu—ternyata tidak sesuai dengan fakta? Bagaimana jika pandemi virus Corona ini sama sekali tidak berhubungan dengan Bill Gates dan lembaga amalnya? Bukankah kita malah malu sendiri jadinya? Bukankah kita—dengan sepenuh kesadaran—terang-terangan terlibat dalam tindakan penyesatan massa dan pencemaran nama baik?


Lagipula, memperdebatkan teori konspirasi Bill Gates dan virus Corona ini benar-benar melelahkan tanpa manfaat apapun. Memperdebatkan masalah ini sampai mulut berbusa-busa tidak akan membuat virus Corona lenyap.

Kita bisa mendiskusikan segala konspirasi yang mungkin terjadi di balik penyebaran virus Corona. Tapi, pada saat kita sibuk berargumen dan berdebat kusir, di luar sana, masih banyak orang yang rentan tertular virus dan berpotensi menambah panjang daftar korban jiwa.

Well, mungkin kita perlu mengingat nasehat terkenal Sherlock Holmes karangan Sir Arthur Conan Doyle:

"Adalah kesalahan besar untuk berteori sebelum memiliki data."

Karena memang yang seharusnya kita lakukan adalah mempercayai teori berdasarkan fakta yang terverifikasi. Bukan malah sebaliknya, memelintir fakta seenak jidat sekena dengkul agar sesuai dengan teori (atau sekedar asumsi kita semata).

Teruntuk Om Bill Gates, "Panjenengan kedah sing sabar nggih…"[]


June 11, 2020Benny Prastawa