Thursday, June 18, 2020

Melulu Menyoal Virus Corona


Per Maret kemarin, blog ini melulu menyoal virus Corona dan uraian masalahnya. Membosankan memang. Apalagi di tengah kebijakan Work from Home (WFH), physical distancing, dan tagar #DiRumahAja. Semua hanya menambah suasana jenuh.


Sudah begitu, konten berita di media massa, TV, dan internet, juga sama saja. Kalaupun ada topik lain yang dibahas paling banter masalah New Normal—yang masih berhubungan juga dengan Corona.


Pantaslah orang-orang bosan! Sudah aktivitas ke luar dibatasi, tidak boleh liburan, tidak boleh kumpul sembarangan, tidak boleh mudik, suguhan berita di media pun serba monoton membahas Corona berbulan-bulan.


Mau tak mau, otak saya kembali gatal dan perlu menulis. Lha, gimana? Masifnya pemberitaan seputar Corona dan segala tetek bengeknya menghipnotis alam bawah sadar saya, membuat saya hanya memikirkan satu-satunya topik: C-O-R-O-N-A.


Saya menulis pun murni untuk melepas uneg-uneg yang mengganjal di otak. Ya, seperti halnya makanan yang perlu dicerna dan dibuang, semua informasi yang membanjiri otak juga harus kita saring dan kita "cerna".


Di era internet seperti sekarang, kemudahan mengakses informasi mendorong kita untuk melahap segala jenis informasi. Tetapi, tidak semua informasi itu perlu kita "cerna" atau kita pikirkan di otak.


Kita harus tetap memilah dan memilih informasi. Jika tidak, kita malah akan terbebani dengan informasi-informasi itu, lalu terjebak dalam situasi mental-psikis yang kurang sehat. Misalnya, bersikap paranoid, khawatir berlebihan, mudah berprasangka, sampai melakukan hal-hal ekstrim tanpa pertimbangan nalar.


Dalam konteks pandemi virus Corona ini, hal-hal ekstrim yang mungkin dilakukan orang adalah menimbun barang (masker, hand sanitizer, alat pelindung diri/APD, sembako, dll), menjarah toko, berbuat kriminal, kredit berlebihan, menjual barang-barang berharga sekaligus, mengucilkan tetangga yang positif Corona, kabur dari rumah sakit, sampai nekat menularkan virus ke orang lain.


Begitulah, daripada terjerumus dalam kondisi mental-psikis yang tidak sehat, maka cara termudah mengelola pikiran kita adalah dengan menulis. Blog ini hanya medium saja. Sarana termudah untuk mengaktualisasikan ide dan merapikan tulisan tangan saya yang jelek.


Apalagi, sejak awal pandemi virus Corona melanda, saya sudah kebanjiran pikiran yang tidak-tidak. Bingung. Situasi yang terlihat serba tidak pasti.


Yang pertama kali terbesit di benak saya adalah gambaran wabah-wabah terdahulu yang membantai jutaan umat manusia, seperti flu Spanyol, cacar, dan Black Death. Lalu, ada pula gambaran teori konspirasi, yang menyebut-nyebut virus ini sebagai senjata biologis.


Di sektor ekonomi malah lebih parah. Perusahaan-perusahaan terancam bangkrut. Pedagang mulai gulung tikar. Dan buruh-buruh kehilangan pekerjaannya. Tak peduli seberapa besar omset, gaji, dan laba yang mereka miliki sebelum pandemi, virus Corona menghantam siapa saja dari segala kelas ekonomi.


Kita pun seperti dipaksa memilih, antara menyelamatkan diri dari virus, atau menyelamatkan perekonomian kita agar dapur rumah tetap mengepul. Benar-benar pilihan yang sulit.


Benang kusut masalah Corona semakin semrawut ketika orang-orang mulai jenuh berdiam di rumah. Lebih-lebih buat mereka yang nganggur. Sudah nggak kerja, masih disuruh di rumah aja.


Orang-orang juga membutuhkan ruang untuk "bernapas". Mereka juga butuh uang untuk bisa makan. Mana bisa mereka dipaksa untuk terus di rumah. Ini manusia lho, ya, bukan bekicot. Kita tidak bisa cari makan sambil bawa-bawa rumah.


Di sisi lain, pemerintah akan terus membuat kebijakan untuk mengendalikan keadaan. Tapi, pada saat yang sama, masyarakat juga tidak bisa dipaksa untuk terus patuh pada kebijakan tersebut. Lebih-lebih jika kebijakan itu tidak mengakomodasi pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat—ya, seperti rasa jenuh tadi. Alih-alih, potensi pelanggaran aturan malah akan semakin tinggi.


Buktinya, meski pemerintah gencar menggalakkan pembatasan sosial dan menghimbau masyarakat agar di rumah saja, masih banyak warga yang tidak patuh. Masih banyak orang pergi ke luar untuk bekerja, berdagang, bahkan nekat piknik, meski situasi belum sepenuhnya aman. 


***


Pada dasarnya, rasa jenuh itu wajar. Ia bisa muncul ketika kita kurang beraktivitas, kurang berpikir, atau terlalu sering melakukan kegiatan yang sama (rutinitas) dalam waktu yang berdekatan tanpa jeda/libur.


Pandemi virus Corona ini, mau tak mau memaksa kita menghadapi kejenuhan yang belum pernah ada sebelumnya. Kita tidak bisa leluasa keluar rumah karena ancaman virus yang mengintai setiap saat. Padahal, aktivitas di dalam rumah tentu lebih terbatas dan rentan menimbulkan rasa jenuh.


Karena itu, situasi yang kita hadapi saat ini memang tidak sesederhana (maaf) mengupil. Cukup masukkan jari, korek upilnya, lalu habis perkara. Tidak segampang itu.


Jika hari ini kita dibebaskan sebebas-bebasnya untuk beraktivitas seperti biasa, yang akan terjadi justru lonjakan pasien positif Corona. Keputusan itu terlalu beresiko.


Bahkan kalaupun ada harapan untuk mencapai herd immunity, butuh berapa persen populasi untuk bisa mencapai herd immunity? Apakah daya tahan tubuh dan layanan kesehatan kita sudah cukup kuat untuk melakukan "perang terbuka" dengan virus Corona? Salah-salah, kebijakan ini malah akan menambah panjang daftar korban jiwa.


Well, saya jadi pening sendiri memikirkan kerumitan ini. Postingan ini pun (lagi-lagi) terjebak pada topik yang sama: C-O-R-O-N-A.


Bisa dikatakan, kehidupan normal kita baru benar-benar kembali ketika vaksin Corona sudah ditemukan! Jika vaksin sudah ada, maka herd immunity lebih mudah tercapai tanpa harus "menumbalkan" banyak korban jiwa.


Sayangnya, vaksin itu sendiri masih perlu  waktu lama sampai boleh diedarkan secara luas. Dengan kata lain, kita harus memaksa diri untuk menghadapi segala kesulitan, krisis, perubahan, dan kejenuhan akut sampai setidaknya vaksin ditemukan.


At least, dalam kondisi sulit ini, daripada pikiran kita jenuh membeku, tidak ada salahnya menulis. Dengan menulis, setidaknya otak kita akan dipaksa berpikir.


Hemat saya, menulis adalah cara termudah agar pikiran kita tidak stres akibat terlalu lama berdiam di rumah. Menulis akan membantu kita mengurai pikiran yang tidak-tidak. Para psikiater pun akan menyarankan pasiennya untuk menulis untuk meredakan tekanan dalam pikiran. Boleh jadi, kalian bisa terbantu dengan cara ini untuk, setidaknya, mengurangi rasa jenuh.[]


June 18, 2020Benny Prastawa