Saturday, May 2, 2020

Ujian Kemanusiaan di Tengah Pandemi Corona


Pernah dengar kota Guayaquil? Belum? Saya juga. Sampai kemudian muncul berita mayat-mayat korban virus Corona yang berserakan di pinggir jalan. Kota Guayaquil di Ekuador mendadak menjadi bahan pemberitaan media internasional karena kejadian tersebut.

Di kota itu, mayat-mayat korban virus Corona dibiarkan teronggok di pinggir jalan tanpa penanganan apapun. Warga setempat tidak tahu harus berbuat apa untuk mengevakuasi mayat-mayat itu karena takut tertular virus serta tidak adanya alat pengamanan diri yang memadai. Mayat-mayat yang terserak di pinggir jalan itu pun menjadi pemandangan horor tersendiri di Kota Guayaquil.

Masih di Ekuador—selain di pinggir jalan, ada pula kasus mayat-mayat korban virus Corona yang ditumpuk di toilet rumah sakit. Tindakan tersebut terpaksa dilakukan karena kapasitas kamar mayat rumah sakit sudah penuh. Pihak rumah sakit juga dibuat kewalahan dengan masifnya pertambahan pasien Corona setiap harinya. Sementara itu, jumlah petugas medis yang bisa mengevakuasi mayat juga terbatas. Akibatnya, mayat-mayat yang tidak tertampung di kamar mayat rumah sakit terpaksa dialihkan ke toilet—atau dibiarkan teronggok begitu saja di pinggir jalan.

Ekuador sendiri merupakan salah satu negara di Amerika Latin yang terdampak virus Corona paling parah. Pemerintah Ekuador menyebutkan jumlah korban virus Corona di sana sekitar 23.000 orang dengan 600-an lebih meninggal. Jumlah ini masih sangat mungkin bertambah seiring dengan laju pertambahan pasien Corona yang belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti.

Beralih ke dalam negeri. Awal Maret 2020, pemerintah Indonesia merencanakan adanya rumah sakit khusus untuk mengkarantina pasien Corona di Pulau Galang, Riau. Akan tetapi, kebijakan itu sempat mendapat penolakan warga. Meski saat itu pandemi Corona belum sebanyak sekarang, warga khawatir akan terjangkit virus  jika ada pasien Corona yang dikarantina di pulau tersebut. Pada akhirnya, setelah dimediasi, rencana pemerintah menjadikan Pulau Galang sebagai tempat karantina pasien Corona tetap berjalan.

Dalam kasus ini, kecemasan warga Pulau Galang bisa dipahami mengingat saat itu pemberitaan seputar keganasan virus Corona sedang marak. Virus tersebut dikabarkan telah melumpuhkan kota Wuhan di Cina, membuat lockdown seisi Italia, dan menjalar ke berbagai benua dalam hitungan hari saja. Siapapun tentu akan risau jika salah satu sudut kampungnya dijadikan tempat karantina. Jangan-jangan, virus Corona malah menjangkiti semua orang yang ada di sana.

Well, sampai batas tertentu, saya masih bisa memaklumi dua kasus tersebut.

Tapi, anehnya, begitu pandemi Corona benar-benar mewabah di Indonesia dan merenggut ratusan nyawa, tersiar kabar adanya penolakan jenazah korban virus Corona oleh warga.

Diberitakan bahwa di beberapa daerah, sempat ada kejadian iring-iringan ambulans pengangkut jenazah tiba-tiba dihadang oleh sekelompok warga yang tidak setuju dengan pemakaman jenazah itu. Warga takut jenazah korban virus Corona yang dimakamkan di kampung setempat akan membawa wabah baru. Meski petugas sudah meyakinkan bahwa prosedur penguburan jenazah aman dan sesuai protokol WHO (organisasi kesehatan dunia), warga tetap bersikeras menolak.

Dari sini, saya mulai bingung.

Jika Ekuador kelimpungan mengurusi jenazah karena keterbatasan petugas evakuasi, kita di sini kelabakan karena jenazah yang sudah siap kubur malah ditolak warga setempat. Padahal, di antara jenazah-jenazah itu, ada pula jenazah dokter dan tenaga medis yang berkorban nyawa demi menyelamatkan para pasien yang terjangkit virus Corona.

Orang-orang mengandalkan jasa mereka—para dokter dan tenaga medis itu—untuk menyelamatkan korban Corona. Bagaimana bisa ada segelintir orang yang setega itu menolak jasad mereka?

Saya tidak akan banyak berpurbasangka tentang alasan penolakan tersebut. Kurangnya sosialisasi, maraknya informasi yang keliru (hoax), ditambah ketakutan (paranoia) warga mungkin menjadi penyebab utamanya. Kombinasi ketiga faktor itu saja sudah cukup untuk menyulut tindakan provokatif seperti menolak pemakaman jenazah korban virus Corona.

Beberapa hari lalu, di RSUP Dr. Sardjito, Jogja, ada pasien yang tidak jujur dalam memberikan informasi terkait anggota keluarganya yang terkena Corona. Akibatnya, 53 tenaga medis di rumah sakit itu harus dikarantina karena ternyata pasien tersebut terindikasi sudah terpapar virus Corona dari anggota keluarganya.

Yang lebih parah lagi, ada pasien-pasien positif Corona yang memilih kabur dari rumah sakit. Bukannya sadar butuh dirawat, alih-alih mereka malah kabur sehingga berpotensi menulari banyak orang. Entah apa yang ada di benak para pasien yang kabur itu.

Rentetan "kasus-kasus konyol" tersebut, mestinya membuat kita bertanya-tanya apa yang salah dengan rasa kemanusiaan kita sendiri?

***

Wabah virus Corona ini setidaknya mencerminkan salah satu wajah asli manusia. Ketika suatu bencana atau musibah melanda, manusia akan terdorong untuk (hanya) menyelamatkan dirinya sendiri.

Kalaupun ada orang lain yang ikut diselamatkan, umumnya, itu adalah orang-orang terdekatnya, seperti anak, suami, istri, orangtua, atau siapapun yang kebetulan berada di dekatnya pada saat bencana atau musibah terjadi. Akan tetapi, prioritas utamanya—biasanya—adalah dirinya sendiri. Hal ini menjelaskan kenapa ada sekelompok orang yang sampai hati menyisihkan rasa kemanusiaannya, hanya agar diri sendiri dan orang-orang terdekatnya tidak tertular virus Corona.

Masalahnya, wabah ini memukul semua sektor kehidupan kita. Virus Corona tidak hanya mengancam kesehatan kita, tapi juga mengancam perekonomian kita. Situasi yang kita hadapi pun serba dilematis. Di satu sisi, kita harus menjaga kesehatan kita yang berharga. Tapi pada saat yang sama, kita juga harus melakukan sesuatu agar bisa tetap makan.

Selain itu, virus Corona adalah bencana global. Semua penduduk bumi merasakan akibatnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam situasi seperti ini, jelas sekali bahwa kita tidak akan menang menghadapi wabah ini sendirian! Kita tidak akan bisa mengalahkan wabah ini jika kita hanya berfokus pada keselamatan diri sendiri.

Sebagian orang mungkin merasa "hebat" karena memiliki cukup uang untuk—katakanlah—menyewa dokter pribadi dan menyediakan layanan kesehatan mandiri di rumah. Sebagian lagi merasa aman karena memiliki cukup tabungan dan makanan untuk bertahan hidup selama masa pandemi.

Tapi, ayolah, kita tidak hidup dalam semesta Resident Evil, di mana tokoh Alice bisa survive sendirian ketika umat manusia berubah menjadi zombie-zombie pemangsa. Di dunia nyata, kita membutuhkan kerjasama segenap umat manusia untuk mengatasi wabah global selevel virus Corona.

Lagipula, dunia yang kita tempati sekarang adalah dunia yang mementingkan konektivitas (keterhubungan) dan interdependensi (saling ketergantungan), baik antarindividu, antardaerah, maupun antarnegara. Segala kejadian, bencana, wabah, atau perilaku sekelompok orang di satu tempat, boleh jadi akan mempengaruhi situasi secara global.

Sebagai contoh, jika Amerika Serikat terkena inflasi, maka negara-negara yang berelasi dengannya juga akan bernasib sama. Jika harga minyak di Arab naik, maka harga minyak global pun akan terpengaruh. Atau bahkan misalnya Kongo menghentikan penambangan coltan di negaranya, industri ponsel dunia bakal kolaps seketika (coltan adalah bahan baku baterai ponsel, sementara Kongo memiliki 80 persen cadangan coltan dunia).

Hal ini mungkin terdengar berlebihan. Tapi, kita bisa berkaca dari wabah flu Spanyol yang terjadi pada awal abad ke-20. Saat itu, vaksin dan antibiotik belum ditemukan. Bahkan pengetahuan tentang virus pun belum ada. Akibatnya, lebih dari 50 juta orang di seluruh dunia tewas.

Kita mungkin berpikir, wabah tersebut bisa diatasi andai ilmu kesehatan serta teknologi medis saat itu sudah lebih maju. Tapi, hal yang tidak kalah pentingnya adalah kerjasama kolektif untuk mengatasi wabah secara global.

Kecakapan para tenaga medis, kecerdasan ilmuwan, dan kecanggihan teknologi medis memang sangat penting. Tapi semua itu punya rentang batasnya masing-masing.

Vaksin butuh waktu lama untuk ditemukan—paling cepat setahun. Dokter dan tenaga medis juga tidak serta merta kebal penyakit. Tidak sedikit di antara mereka yang turut meregang nyawa saat menangani pasien virus Corona. Sementara kapasitas rumah sakit dan ketersediaan petugas evakuasi jenazah juga terbatas (ingat, kasus mayat-mayat di jalanan kota Guayaquil yang dijelaskan di awal catatan ini).

Dengan segala keterbatasan tersebut, masyarakat awam perlu melakukan tindakan proaktif demi membantu mempermudah penanganan pandemi virus Corona. Kita harus memandang virus Corona sebagai wabah global sekaligus tanggungjawab bersama. Hal ini bisa dimulai dari lingkup diri sendiri, keluarga, sampai lingkungan sosial terdekat yang masih bisa kita jangkau.

Kita tidak bisa begitu saja bersikap egois dan hanya memikirkan keselamatan pribadi. Sementara pada saat yang bersamaan, kita malah menerabas aturan, himbauan, dan semua protokol kesehatan yang telah ditetapkan.

Tindakan-tindakan seperti menolak jenazah, tidak jujur saat dikarantina, melanggar larangan mudik, kabur dari rumah sakit, bahkan berbuat kriminal di tengah pandemi, semua itu hanya akan memperkeruh situasi yang sudah serba sulit ini. Boleh jadi, ada lebih banyak orang yang akan menderita karena keegoisan kita, daripada yang tercekam ketakutan karena virus Corona.

Jika kita tidak bisa ikut menangani pasien di rumah sakit, tidak bisa menyumbang ide dalam riset vaksin, atau tidak bisa menolong mereka yang terkena PHK, kita bisa tetap membantu—minimal—dengan mematuhi aturan-aturan dan protokol kesehatan yang telah ditetapkan pemerintah untuk menangani pandemi.

Sukur-sukur kalau kita bisa menggerakkan massa untuk membuat program "jaring pengaman sosial", seperti membagi-bagikan sembako, mendirikan lumbung pangan desa, memberi donasi tunai, menyumbang masker gratis, membantu pengadaan alat pengaman diri (APD), dan sejenisnya. Semua kegiatan sosial tersebut sangat penting untuk meringankan beban Saudara-Saudara kita, yang boleh jadi, sedang kesulitan di tengah pandemi Corona.

Karena, yang dibutuhkan saat ini tidak hanya vaksin saja. Kita juga perlu menumbuhkan rasa kemanusiaan kita, sikap empati, perasaan senasib sepenanggungan, dan kesadaran bahwa hakikat manusia selalu hidup bersama serta saling membutuhkan.

Virus Corona mungkin bisa merenggut ratusan ribu nyawa manusia seketika. Tapi, tolonglah, jangan sampai ia juga merenggut rasa kemanusiaan kita sebagai umat manusia.[]

May 02, 2020Benny Prastawa