Sunday, March 15, 2020

Benang Kusut Masalah Software dan OS Bajakan (2)



Masalah OS dan software bajakan tidak bisa berhenti hanya pada aspek legalitasnya saja. Ketergantungan masyarakat pada satu jenis OS dan software tertentu, memaksa kita untuk mengikuti arus—yang ujung-ujungnya memakai produk bajakan.

* * *

Ketergantungan Masyarakat dan Masalah Freeware Gratisan (Open Source)

Ketergantungan masyarakat pada satu jenis OS dan software tertentu bisa dilihat dari kecenderungan selera konsumen dan dominasi produk terkait. Dalam hal OS, hampir semua komputer dan laptop di Indonesia memakai OS Windows. Dibandingkan dengan OS lain seperti Linux, jumlah pengguna Windows terpaut jauh di atas pengguna Linux.

Untuk program desain grafis, CorelDraw dan Adobe Photoshop masih menjadi pilihan pertama para pelaku jasa sablon dan percetakan. Padahal, harga lisensi asli untuk kedua software tersebut bisa menembus angka 20-an juta rupiah! Sangat tidak ekonomis, tapi karena banyak dipakai dan dinggap terlalu berguna, akhirnya versi bajakan pun berbicara.

Baca juga: Benang Kusut Masalah Software dan OS Bajakan (1)

Pernah suatu kali, saya menyetor desain banner yang saya buat dengan freeware InkScape ke percetakan. InkScape sendiri pada dasarnya mirip dengan CorelDraw, hanya ekstensinya berbeda. Ekstensi Inkscape adalah SGV, sedangkan ekstensi CorelDraw adalah CDR. Gara-gara itu, file InkScape saya gagal dibuka di percetakan. Desain yang saya buat malah terlihat berantakan dan layout-nya ambyar.

Saya sudah mencoba mengatasi masalah ini dengan mengubah ekstensi file InkScape, tapi hasilnya nihil. Desain saya tetap terlihat ambyar begitu dibuka di CorelDraw. Saya pun menyerah, lalu beringsut menginstal software CorelDraw (yang tentu saja bajakan) untuk mendesain ulang banner tadi agar tidak ambyar di percetakan.

Kesenjangan antara software berbayar dan freeware yang gratis menyebabkan sulitnya menawarkan freeware sebagai alternatif solusi mengatasi masalah software bajakan. Padahal, kalau kita mau, kita bisa mengatasi ketergantungan kita pada software bajakan dengan freeware-freeware gratis. Kita bisa mengganti CorelDraw dengan InkScape, mengganti Adobe Photoshop dengan GIMP, mengganti Adobe Premiere Pro dengan OpenShot, dan membiasakan diri dengan Open Office sebagai pengganti Microsoft Office.

Sayangnya, seperti yang saya katakan tadi, kita terlalu lama bergantung pada satu jenis software. Sejak di bangku sekolah, kurikulum pelajaran komputer (TIK) hanya mengenalkan peserta didik pada OS Windows dan Microsoft Office. Keduanya memang jenis OS dan software yang user-friendly (mudah dipakai bagi pemula). Tapi bagaimanapun, keberadaan OS dan software alternatif lain juga perlu disampaikan untuk memperkaya wawasan peserta didik. Pada titik ini, peserta didik juga perlu diberi informasi penting bahwa OS Windows dan software semacam Microsoft Office tidaklah gratis!

Saya termasuk salah satu pelajar yang "dididik" untuk mendewakan Windows dan Microsoft Office. Akan tetapi, setelah sadar bahwa dua produk itu (sebenarnya) tidak gratis, pikiran saya mulai terusik. Ada sepercik kekhawatiran kalau-kalau rejeki saya menjadi kurang barokah jika saya tetap memakai produk bajakan itu untuk bekerja.

Saya juga teringat pada seabrek software di laptop yang masih banyak versi bajakannya. Menjelang akhir kuliah, saya mulai mencoba menginstal freeware-freeware gratis untuk mengganti software bajakan di laptop saya. InkScape, GIMP, OpenOffice, VLC Video Editor,  dan 7-Zip adalah beberapa contohnya.

Sayangnya, saya tidak bisa lepas dari ketergantungan pada OS Windows dan Mirosoft Office. Dua produk itu terlalu banyak dipakai dan bersinggungan langsung dengan pekerjaan saya sehari-hari. Demi meng-halal-kan legalitas, saya pun bergerilya mencari produk Windows dan Office yang harganya terjangkau (meski pada prakteknya tetap harus merogoh kocek dalam-dalam).

Akhirnya, saya pun mem-purchase OS Windows 8.1 dan Office 2013 Home and Student. Untuk kedua produk tersebut saya harus merogoh ‘tabungan’ hingga 2 juta lebih (hampir 3 juta). Awalnya, saya merasa sayang membuang uang sebanyak itu hanya demi dua keping CD yang bentuknya sama saja dengan CD kosongan yang dijual mas-mas fotokopian. Terlebih saat itu, saya sedang menimbun rupiah untuk biaya nikah. Well, kalau dipikir-pikir, mungkin saya cukup ‘bodoh’ karena mau membayar (baca: "membuang") jutaan rupiah hanya demi sebuah lisensi!?!?!?

Tapi setelah dipikir-pikir lagi, harga yang saya bayar untuk OS Windows dan Microsoft Office asli tidak lebih mahal dari harga smartphone yang saya pakai. Itu berarti, kalau kita mau, kita sangat mungkin membeli lisensi Windows dan Mocrosoft Office yang asli. Lha wong beli smartphone saja mampu, masak cuma buat OS dan software yang asli saja nggak sanggup?

Saya pikir, pembelian lisensi ini adalah investasi jangka panjang. Di satu sisi, saya mendapat produk yang legal untuk membantu kelancaran pekerjaan saya. Di sisi lain, saya juga lebih afdhol mencari rezeki dengan produk legal, tanpa harus membajak—yang boleh jadi bisa dipersoalkan dari sisi ke-barokah-annya.

*   * *


Kesimpulan

Saya tidak sedang mengatakan halal dan haram, lho ya. Saya tidak berkapasitas memberi fatwa. Saya hanya menyoroti masalah pembajakan ini dari sisi etika. Bahwa apapun alasannya, membajak suatu produk tetap sulit mendapat pembenaran.

Bayangkan, kita sudah membuat suatu produk X dengan jerih payah sendiri. Kita bekerja bertahun-tahun menciptakan produk itu melalui ribuan kali uji coba. Kemudian setelah produk X dipatenkan, kita menjualnya ke pasar dengan harga tertentu sebagai imbal jasa atas usaha pembuatan produk tersebut.

Selang seminggu kemudian, tetangga dari kampung sebelah juga menjual produk yang sama persis dengan produk X yang kita buat—hanya namanya saja yang sedikit berbeda, katakanlah produk KaWe. Apesnya, penjualan produk KaWe lebih menguntungkan daripada produk X buatan kita. Dan semua proses bisnis produk KaWe berjalan tanpa seizin kita.

Bagaimana perasaan kita selaku pembuat produk X asli? Marah, tentu saja. Kesal, karena jerih payah kita bertahun-tahun membuat produk X malah disalahgunakan tanpa izin oleh pihak lain.

Itu hanya gambaran awal, kenapa pembajakan dikatakan tidak etis. Kalau mau jujur, nurani kita juga pasti mengiyakan bahwa pembajakan adalah sesuatu yang tidak baik. Tapi kemudian, sisi lain dari diri kita mencoba ngeles:
Lah, ini program penting banget buat kerjaan saya. Saya nggak bisa kerja kalo nggak punya program ini. Kalo saya mau beli mana sanggup. Mahal. Jadi, sementara mbajak dulu aja, ya. Toh yang punya produk ini sudah tajir tujuh turunan.”

Ya, saya sendiri sangat mafhum betapa OS Windows sudah menggurita di negara ini. Di rumah, di sekolah, di kampus, di rumah sakit, dan di kantor-kantor, OS Windows selalu menjadi pilihan pertama untuk mengurusi administrasi. Sayangnya, hanya segelintir saja yang memakai produk asli. Sisanya terjerembab dalam lingkaran setan produk bajakan.

Kalau ada yang mengatakan negara kita termasuk ke dalam 10 negara dengan tingkat pembajakan software tertinggi, saya bisa memakluminya. Tapi, mengapa fakta "harga OS Windows dan Office asli tidak lebih mahal dari smartphone" belum menyentil kesadaran konsumen untuk mengusahakan produk yang asli? Logikanya, jika membeli smartphone terbaru saja mampu, mengapa OS Windows dan Office asli tidak?

Saya tidak menghakimi mereka yang memakai software bajakan. Menumbuhkan kesadaran untuk memakai produk legal dan menghargai hak cipta, membutuhkan proses yang tidak instan. Ada banyak faktor yang berperan di dalamnya seperti daya beli konsumen, wawasan, mentalitas masyarakat, dan kebijakan pemerintah terkait masalah pembajakan itu sendiri. Akan tetapi, satu hal yang pasti, semua kelindan masalah pembajakan ini senantiasa berpulang pada kesadaran masing-masing individu.

Saya menulis catatan ini karena saya menyadari, selama ini, saya telah menjadi ‘korban sistem’. "Sistem" yang monopolistis dan tidak berpihak pada ekonomi masyarakat kita pada umumnya. "Sistem" yang mendidik anak-anak untuk kadung kepenak memakai OS Windows dan Microsoft Office—yang notabene berharga mahal—tanpa alternatif lain. "Sistem" yang secara tidak langsung, memaksa kita untuk "membajak", demi bisa mengikuti arus dan survive menjalani pekerjaan sehari-hari tanpa menderita kemiskinan—gara-gara membayar lisensi produk asli.

Saya tidak bisa menyarankan jalan keluar apapun untuk masalah ini. Naif sekali jika saya berkoar-koar memaksa kalian memakai OS dan software asli di tengah jutaan pengguna komputer terjebak dalam dilema pemakaian produk bajakan. Boleh jadi, satu dua dari mereka juga merasakan kegelisahan yang sama seperti saya. Khawatir kalau-kalau rezekinya kurang barokah karena masih memakai OS dan software bajakan.

Saya sangat berharap ada pihak-pihak yang kompeten dalam masalah ini untuk memberi solusi. Dan saya akan sangat berterima kasih untuk setiap pihak yang tengah gencar melakukan gerakan GO open source. Saya akan dengan senang hati menerimanya sebagai upaya pembaruan dan pengentasan massal dari monopoli OS Windows dan masalah software bajakan yang dibiarkan marak tanpa solusi.[]

March 15, 2020Benny Prastawa