Wednesday, March 18, 2020

Belajar Ikhlas dari Pak Abdul Syukur


Namanya Abdul Syukur. Boleh jadi orang-orang hanya mengenalnya sebagai tukang becak biasa yang sehari-hari mangkal di depan ITC Mega Grosir, Surabaya. Profesinya tergolong berat untuk kakek-kakek 65 tahun seusianya. Tapi bagi Abdul Syukur, usia bukanlah hambatan untuk terus berdikari.

Rutinitas sebagai tukang becak membuat Abdul Syukur hafal betul rute jalan di sekitaran ITC—termasuk kondisi jalannya. Kebetulan, di sekitar tempat Abdul Syukur mangkal, ada beberapa ruas jalan yang berlubang di sana sini. Urusan jalan berlubang memang terlihat sepele. Tapi bagi Abdul Syukur, jalan berlubang adalah masalah serius!

Banyak kecelakaan yang terjadi ketika pengguna jalan berusaha menghindari lubang, tapi malah tertabrak kendaraan dari lawan arah. Kondisi bisa lebih parah, jika musim penghujan tiba. Air hujan bisa menutupi lubang di jalan dan menyebabkan pengguna jalan jatuh terperosok.

Sadar kalau jalan berlubang di sekitarnya berbahaya, Abdul Syukur tergerak untuk bertindak. Di sela-sela pekerjaannya, setiap pukul 10 malam, ia meluangkan waktu untuk menambal jalan-jalan yang berlubang tadi. Berbekal palu dan karung berisi gragal (sisa bongkaran bangunan) yang diambil dari Pasar Atom di daerah Tambak Adi, Abdul Syukur menambal jalan-jalan berlubang yang ditemuinya.

Sudah 10 tahun, Abdul Syukur menekuni aktivitasnya menambal jalan berlubang. Ia tidak pernah mendapat bayaran sepeser pun dari pekerjaannya itu. Beberapa rekannya terkadang berseloroh, menganggap Abdul Syukur kurang kerjaan.

"Buat apa susah-susah nambal jalan, Mbah. Orang-orang juga peduli setan. Biar saja itu jalan diurus sama pemerintah. Itu kan tanggung jawab mereka." Mungkin begitu seloroh orang-orang pada Abdul Syukur. Tapi, Abdul Syukur tak bergeming. Ia tetap melanjutkan pekerjaannya menambal lubang di jalan.

Hingga suatu hari, seorang wartawan tertarik membuat liputan tentang Abdul Syukur. Wartawan itu bertanya mengapa Abdul Syukur berpayah-payah menambal jalan. Ia menjawab:

Saya nggak tega beberapa kali lihat orang jatuh karena menghindari lubang. Di situ minggu lalu malah ada yang sampai meninggal."

Well, hanya karena tidak tega melihat orang lain celaka, Abdul Syukur rela menambal jalan malam-malam. Ketika orang-orang memilih abai dan melempar tanggung jawab pada pemerintah, Abdul Syukur memilih menyingsingkan lengan baju—mencoba memperbaiki jalan meski dengan peralatan seadanya—sendirian.

Begitu kisah Abdul Syukur ramai diberitakan media, pemerintah mulai melirik. Seorang petugas dari Dinas Pekerjaan Umum (PU) mendatangi rumah Abdul Syukur. Petugas itu memberinya uang 1 juta dan menawari bekerja sebagai pengawas. Tapi, Abdul Syukur menolaknya.

Orang-orang mungkin mengira Abdul Syukur menambal jalan demi pencitraan atau karena motif materi. Tapi, jika alasannya sekadar materi, tentu ia sudah mengiyakan tawaran Dinas PU. Nyatanya, Abdul Syukur malah menolak tawaran itu. Abdul Syukur memilih tetap menjadi dirinya yang sekarang.

"Saya ini nggak bisa amal harta. Saya ini hanya bisa nyumbang tenaga buat nambal jalan rusak. Itu saja," kata Abdul Syukur.

Kisah Abdul Syukur menambal jalan berlubang, boleh jadi, terdengar kurang heroik jika dibandingkan dengan kisah kepahlawanan lain. Misalnya, menyediakan layanan kesehatan gratis di pedalaman Sumatera, mengajar anak-anak kurang mampu di perbatasan, atau memberi makan bayi-bayi kelaparan di Afrika. Tapi, siapa yang tahu, berkat tindakan kecil Abdul Syukur, ribuan orang telah terselamatkan dan terhindar dari petaka lubang di jalan.

Di sisi lain, Abdul Syukur tetap memilih untuk hidup bersahaja. Ketika orang-orang menyebutnya ‘pahlawan’ dan sorotan media berhenti meliputnya, ia masih melakukan aktivitasnya menambal jalan secara sukarela. Keikhlasan Abdul Syukur menohok kita semua dengan pertanyaan:

"Tak bisakah kita melakukan kebajikan hanya karena kita ingin melakukannya? Tak bisakah kita berbuat baik tanpa pamrih apapun?” 

Salah satu masalah kronis manusia modern adalah pamrih. Dalam hal apapun, orang lebih tertarik untuk melakukan sesuatu yang secara langsung memberinya keuntungan pribadi. Imbalan materi (uang) adalah contoh mudahnya.

Selain materi, ada juga yang melakukan sesuatu demi pencitraan, demi mendapat pujian dari orang lain, atau karena gengsi yang dituruti. Terkadang, orangtua pun memberikan kasih sayang kepada anaknya dengan pamrih, agar si anak kelak membalas segala jasa baiknya dengan kasih sayang yang serupa.

Bahkan orang taat beragama pun, bisa saja tersemangati untuk beribadah dan beramal salih dengan "pamrih" meraih surga. Mereka beribadah, semata bukan karena diliputi kesadaran bahwa Tuhan memang layak disembah, melainkan karena pamrih "materi" yang berupa surga. Pertanyaannya, jika surga tidak pernah ada, apakah kita—manusia—akan berhenti menyembah-Nya? Tentu saja, tidak!

Karena sesungguhnya, esensi hidup kita ini adalah ibadah. Bekerja dengan tulus dan ikhlas—sedemikian hingga keberadaan kita memberi manfaat bagi diri dan orang lain—juga termasuk ibadah. Dan begitulah, kebaikan yang dilakukan tanpa pamrih, seperti yang dilakukan Abdul Syukur, tentu lebih bernilai dan benar-benar berarti—baik bagi sesama, maupun di hadapan Sang Pencipta.[]

March 18, 2020Benny Prastawa