Tuesday, March 31, 2020

Virus Corona dan Wabah Fiktif yang Menjadi Kenyataan


Seorang sineas (pembuat film) yang hebat selalu memiliki segudang ide kreatif yang futuristik dan imajinatif. Sudah tak terhitung berapa banyak benda-benda atau kejadian yang kita pikir “Ah, itu cuma ada di film kok” ternyata malah menjadi realitas betulan di dunia nyata. Saya curiga kalau sineas-sineas top itu memakai jasa peramal—saking seringnya objek-objek fiktif yang mereka imajinasikan menjadi realitas non fiktif.

Contoh gampangnya, semasa bocah dulu saya sering nonton serial—Power Rangers. Dalam serial itu, para Rangers sering berkomunikasi dengan jam tangan super canggih yang mampu beroperasi layaknya ponsel. Padahal, serial itu dibuat tahun 1990-an, di mana smartwatch (jam tangan pintar) belum ada! Dua dekade kemudian, jam tangan para Rangers tadi sudah menjadi smartwatch betulan yang dipakai anak-anak muda kekinian—bahkan dianggap sebagai barang mewah yang lumrah.

Kalau mau contoh lokal, kita bisa flashback ke serial Misteri Gunung Merapi yang dulu rutin tayang di Indosiar (tahun 2000-an). Ada banyak scene dalam serial itu yang memunculkan sebuah cermin ajaib bernama Kaca Pesona (kalau tidak salah, sih). Dengan cermin ajaib itu, tokoh antagonis utama—Mak Lampir—bisa memantau pergerakan musuh-musuhnya sampai mencuri dengar setiap pembicaraannya. Tidak hanya itu, Mak Lampir juga bisa berkomunikasi dengan komplotannya via cermin ajaib itu. Di dunia nyata, teknologi semacam ini benar-benar ada—mewujud dalam bentuk kamera pengintai (CCTV), aplikasi panggilan video (video call), dan alat penyadap yang sering dipakai dinas-dinas intelijen sampai organisasi sekelas KPK untuk meringkus pejabat korup.

Well, hal-hal fiktif yang kemudian mewujud menjadi realitas non fiktif seperti contoh tadi juga saya alami baru-baru ini. Jadi, ceritanya, tempo hari saya dan istri sedang rehat di ruang keluarga. Kebetulan si kecil sudah terlelap di sebelah. Sementara acara-acara TV tidak ada yang sesuai selera. Saya pun memutuskan untuk memutar film dari flashdisk. Film jadul, sih, judulnya Shaun of The Dead.

Film ini berkisah tentang perjuangan tokoh bernama Shaun untuk menyelamatkan orang-orang yang dicintainya dari wabah misterius yang melanda kota London. Wabah ini ditularkan melalui luka gigitan yang menyebabkan korbannya berubah menjadi zombie pemangsa.Asal-usul wabah tidak dijelaskan secara detail dalam film ini. Ketika wabah mulai menjalar di London, Shaun dan karib gendutnya yang bernama Edward (Ed) masih menjalani rutinitas dengan normal dan tenang, seakan tidak terjadi apa-apa.

Sampai suatu hari, ada sesosok wanita misterius di kebun belakang rumah Shaun. Wanita itu tampak seperti pemabuk berat dengan wajah pucat dan rambut yang berantakan. Tapi, setelah diinterogasi, sosok perempuan tadi malah menyerang dan hampir menggigit Shaun. Shaun dan Ed pun segera melarikan diri ke dalam rumah. Di dalam rumah, mereka memantau siaran berita di TV. Para reporter ramai-ramai memberitakan perihal kemunculan penyerang misterius yang meneror warga London. Disebutkan bahwa para penyerang bisa menginfeksi korbannya melalui luka gigitan. Kontak dengan penyerang sangat tidak disarankan. Dan satu-satunya cara melumpuhkan para penyerang adalah dengan menghancurkan kepalanya. Mengetahui hal itu, Shaun dan Ed bergegas mencari senjata lalu menghabisi para zombie demi menyelamatkan keluarga dan teman-temannya.

Kurang dari 48 jam setelah saya dan istri menonton film itu, pemerintah Indonesia memberitakan adanya warga yang terinfeksi virus Corona (COVID-19). Semua orang diminta untuk tetap tenang karena pemerintah sudah menyiapkan langkah-langkah antisipasi untuk mencegah meluasnya wabah tersebut. Awalnya, saya bisa menyikapi situasi ini dengan normal. Sampai kemudian, jumlah pasien yang positif Corona melonjak tajam sampai 1000 orang lebih—hanya dalam hitungan minggu!

Situasi pun menjadi chaos. Alat-alat kesehatan seperti masker, hand sanitizer, dan sabun antiseptik mendadak langka. Cairan-cairan pembersih dan desinfektan juga ludes diserbu warga guna mengantisipasi penyebaran virus Corona. Harga empon-empon seperti kunyit dan jahe yang biasanya cuma seharga tiga sampai lima ribuan, tiba-tiba melonjak sampai seharga galon air mineral. Pemerintah pun menyarankan agar masyarakat tetap berada di rumah dan membatasi perjalanan selama (minimal) dua pekan. Tujuannya untuk meminimalisir penyebaran virus Corona lebih lanjut.

Saya hampir-hampir tidak percaya dengan situasi yang terjadi. Baru tempo hari saya menonton film tentang wabah zombie, lusanya, malah negara saya yang terkena wabah betulan—dalam wujud virus Corona. Situasi ketika wabah juga sama gentingnya dengan yang ada di film. Orang-orang panik dan mencari segala macam cara untuk menyelamatkan diri. Sementara organisasi-organisasi keagamaan sibuk menguatkan hati dan iman para jemaatnya di tengah wabah yang kian meluas. Tempat-tempat ibadah mendadak kosong. Sholat Jumat ditiadakan. Warga disarankan untuk beribadah di rumah dan mnejaga jarak dengan orang-orang di sekitarnya (social distancing).

Jujur, seumur-umur menghadapi wabah, baru kali ini saya mendapati kepanikan dan paranoia sebesar ini. Dulu, sekitaran tahun 2003-2004, wabah SARS sempat menggejala. Jenis virusnya juga mirip dengan Corona—melemahkan imun korban dan melumpuhkan saluran pernafasannya. Setelah SARS dibereskan, berturut-turut muncul wabah lain yang tidak kalah horornya, mulai dari pandemi flu burung, flu babi, demam berdarah dengue, penyakit sapi gila (ANTHRAX), sampai wabah MERS. Semua pandemi itu menggejala secara luas dan menelan korban jiwa di seantero negeri. Hanya saja, saat itu, masyarakat kita bisa dikatakan tetap tenang menghadapi wabah dan secara sistematis bekerjasama dengan pemerintah untuk menanggulanginya. Pada akhirnya, wabah pun berhasil dimusnahkan.

Akan tetapi, situasinya jauh berbeda dengan wabah Corona hari ini. Kepanikan dan paranoia yang ditimbulkan Corona melampaui wabah-wabah yang pernah terjadi sebelumnya. Hal ini bisa dimaklumi mengingat jumlah korban akibat virus Corona di seluruh dunia mencapai lebih dari setengah juta orang! Di sisi lain, percepatan penyebaran informasi melalui media sosial dan akses internet yang semakin cepat (jaringan 4G), boleh jadi, membuat kepanikan warga berlipat ganda—terlepas dari informasi itu benar atau tidak (hoaks). Tindakan-tindakan yang kontraproduktif seperti panic buying atau memborong masker dan hand sanitizer pun tak terhindarkan dan semakin memperparah keadaan.

Hingga catatan ini diterbitkan, peperangan dengan wabah Corona masih terus berlangsung. Masa darurat diperpanjang pemerintah. Sebagian kota sudah mulai menerapkan kebijakan lockdown (melarang akses keluar-masuk suatu daerah). Masyarakat diminta untuk tetap di rumah dan membatasi perjalanan keluar. Sementara itu, para dokter dan tenaga medis sedang berjibaku, mempertaruhkan nyawa demi menolong para pasien Corona di rumah sakit.

Segenap doa dan usaha maksimal akan terus dikerahkan. Kerjasama antar warga dan pemerintah sangat dibutuhkan. Kesadaran setiap orang untuk menjaga kebersihan, membatasi perjalanan, dan memeriksakan diri jika timbul gejala, sangat penting untuk mengantisipasi penularan virus lebih lanjut. Semua orang harus sadar. Semua orang harus mulai saling peduli. Dan di kedalaman ruhani kita, semuanya berharap wabah ini bisa segera berakhir.[]