Sunday, March 15, 2020

Benang Kusut Masalah Software dan OS Bajakan (1)



Phew, masalah software dan operating system (OS) bajakan adalah kasus usang. Sama usangnya dengan maraknya aktivitas pembajakan di negeri ini. Dari jaman kaset pita sampai era Youtube, pembajakan adalah sesuatu hal yang sudah pasti ada.

Di Indonesia, segala jenis produk bisnis bisa dibajak. Kaset, CD, film, sepatu, tas, kaos, buku, sampai perangkat-perangkat elektronik bermerk—semua bisa dibajak. Para pelaku pembajakan tidak peduli, apakah pemilik produk itu akan merugi atau tidak. Yang penting, si pembajak bisa untung  atau setidaknya bisa mendapatkan kesenangan dari produk yang dibajaknya.

*   * *


Pembajakan di Industri Musik

Pada era kaset pita dan CD, misalnya, para musisi mengeluhkan maraknya pembajakan lagu yang berdampak pada lesunya penjualan album mereka. Saat itu, internet belum semasif sekarang, dan layanan streaming musik semacam Youtube, iTunes, dan Spotify belum ada. Padahal, salah satu sumber penghasilan para musisi saat itu berasal dari laba penjualan album mereka yang berbentuk kaset pita atau CD. 

Dengan adanya pembajakan, minat konsumen untuk membeli produk yang asli menjadi berkurang. Orang-orang cenderung membeli kaset dan CD bajakan, meski kualitasnya lebih rendah.

Rendahnya kualitas kaset pita bajakan bisa dilihat dari kulitas audionya yang buruk—tidak bisa sejernih audio kaset pita asli. Sedangkan pada CD bajakan, tampilan video yang ditayangkan tidak cocok dengan audio yang diperdengarkan. Meski begitu, orang-orang tetap membeli produk bajakan tersebut dengan dalih klasik—harga yang lebih murah.

Pembajakan musik kian merajalela setelah maraknya teknologi internet di masyarakat. Dengan internet, konten musik bajakan bisa dengan mudah disebarkan dan diunduh siapapun. Akibatnya, angka penjualan kaset dan CD fisik para musisi berkurang drastis. Seperti yang dilansir Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), berdasarkan laporan dari Asosiasi Perusahaan Rekaman Indonesia (ASIRI), kerugian negara akibat tindakan pembajakan musik mencapai Rp1,84 triliun!

*    * *


OS dan Software Bajakan yang 'Dimaklumi'

Mentalitas "gampangan" memakai produk bajakan juga berimbas pada bidang software dan sistem operasi (OS). Dengan dalih klasik harga mahal, orang-orang mudah saja meminta teknisi komputer untuk menginstal software atau OS bajakan. Prinsipnya, asalkan laptop/komputer bisa dipakai, memakai produk bajakan pun tak mengapa.

Wajar saja jika isi laptop mahasiswa Indonesia bisa bikin mahasiswa Amerika geleng-geleng. Semua jenis software yang sangat utilized ada. Microsoft Office, Coreldraw, AdobePhotoshop, AutoCad, Vegas Pro, sampai Adobe Premiere Pro (yang harga lisensinya lebih dari 2 juta PER BULAN) bisa dijejalkan ke dalam laptop dan dibawa kuliah sehari-hari. Padahal, yaa...semua software tersebut sebatas produk bajakan saja.

Tidak heran, jika pembajakan OS dan software di Indonesia membawa kerugian yang tidak sedikit. Masih menurut data yang dilansir Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), berdasarkan laporan dari Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP), kerugian karena pembajakan software di Indonesia menembus angka Rp2,1 triliun! Nominal yang tidak bisa dibilang sedikit—tapi juga bisa "dimaklumi" mengingat posisi konsumen yang serba dilematis.

Di satu sisi, konsumen membutuhkan OS dan software-software berbayar untuk membantu pekerjaannya. Di sisi lain, harga lisensi OS dan software berbayar yang asli sangaaattt mahal. Belum lagi jika ada tambahan biaya lisensi bulanannya (seperti Adobe Premiere Pro), hal ini tentu saja sangat memberatkan konsumen yang daya belinya pas-pasan.

Memang tidak semua OS dan software berbayar itu mahal. Sebagian boleh dibilang terjangkau, karena tidak lebih mahal dari harga smartphone. Bahkan kini, sudah ada berbagai jenis freeware (perangkat lunak gratis) yang pengoperasiannya tidak jauh berbeda dengan software berbayar.

*    * *


pembahasannya lanjut ke sini.
March 15, 2020Benny Prastawa