Friday, May 1, 2020

Pandemi Corona, Sampai Kapan???


Sampai kapan wabah corona ini berlangsung? Sebulan lagi? Dua bulan? Setahun? Kiranya, hanya Tuhan yang tahu pasti. Yang jelas, semakin lama wabah ini menjalar, semakin cemas kita dibuatnya.

Mungkin kita yang tinggal di Indonesia bisa sedikit bernapas lega karena jumlah korban virus Corona di sini tidak separah negara-negara macam Cina, Italia, atau Amerika Serikat yang mencapai jutaan. Akan tetapi, persoalan virus Corona tidak hanya tentang berapa jumlah korbannya, daerah mana saja yang terpapar, atau bagaimana mengkarantina pasien agar sembuh. Kita juga perlu melihat dampak laten yang mungkin timbul gara-gara pandemi tersebut.

Secara kasat mata, virus Corona memang terus menambah jumlah korban yang dirawat. Tapi diam-diam, virus Corona juga menghancurkan sendi-sendi perekonomian masyarakat di seluruh dunia. Orang-orang kaya, miskin, pemilik modal, buruh, bangsawan elit sampai rakyat jelata, semua kelas sosial terkena imbas virus ini tanpa terkecuali. Kita pun menghadapi situasi yang serba dilematis antara mementingkan kesehatan tubuh yang berharga atau mementingkan kebutuhan ekonomi yang tidak kalah mendesaknya.

Penjelasannya begini.

Mulanya, kita menyikapi virus Corona dengan melakukan social distancing, pembatasan sosial berskala besar, atau lockdown (jika pandemi sangat parah). Tujuannya untuk menekan laju penyebaran virus dengan cara membatasi pergerakan dan interaksi antar orang. Sekolah-sekolah pun diliburkan. Instansi-instansi kedinasan memberlakukan work from home. Pasar-pasar dibatasi jam operasionalnya—sebagian malah sampai ditutup total. Kegiatan sosial yang melibatkan banyak orang dan aktivitas berkerumun dilarang. Jalanan pun menjadi lengang karena orang-orang memilih berdiam di rumah daripada kelayapan jauh-jauh yang beresiko tertular virus.

Selanjutnya, karena pergerakan dan aktivitas masyarakat dibatasi, roda perekonomian tidak berjalan secara normal. Permintaan pasar turun drastis, sementara penawaran barang mengalami surplus (kelebihan). Para pelaku usaha mulai kesulitan mengais laba karena tidak bisa menjual barang secara wajar. Pelanggan yang biasa membeli atau memesan barang pun bisa membatalkan semua kesepakatan/pesanan secara mendadak. Akibatnya, produksi berbagai jenis barang dan jasa terpaksa dihentikan untuk mencegah kerugian lebih lanjut.

Masalah tersebut bertumpuk dan beban terberat menimpa lapisan terbawah sektor usaha, yakni para buruh dan karyawan. Para pelaku usaha yang sudah megap-megap menjaga kelangsungan bisnisnya terpaksa merumahkan/memecat buruh dan karyawannya karena tidak sanggup membayar gaji dan pesangon.

Benang kusut masalah ini pun berlanjut. Para buruh dan karyawan yang dirumahkan/dipecat tidak siap dengan perubahan keuangan secara mendadak. Sementara itu, kebutuhan untuk makan diri sendiri dan keluarga terus berjalan. Belum lagi jika mereka memiliki beban tanggungan lain seperti cicilan kredit, tagihan kontrakan, biaya listrik, sampai biaya sekolah/kuliah anak-anak yang semuanya mencekik minta pelunasan.

Sebagian buruh/karyawan bisa tertolong karena memiliki uang tabungan yang memadai. Sebagian lagi terpaksa menjual atau menggadaikan barang-barang berharganya. Sebagian lagi banting setir, beralih profesi demi pendapatan harian yang jumlahnya tidak seberapa. Sisanya, benar-benar bingung harus melakukan apa agar dapur tetap mengepul.

Dalam krisis finansial yang menghimpit seperti ini, pertanyaan besarnya adalah berapa lama pandemi ini akan berlangsung???

Pembatasan sosial, lockdown, penutupan pasar, semua kebijakan itu bisa terus dilanjutkan dan dipaksakan oleh pemerintah. Tapi masyarakat juga punya batas toleransi. Jika pandemi terus berlangsung hingga berbulan-bulan ke depan, sementara tidak ada kebijakan pemerintah yang bisa menolong kelompok masyarakat terdampak, maka kita semua tengah berada di ambang krisis!

Di satu sisi, kita ingin menyelamatkan diri dari pandemi Corona. Tapi pada saat yang sama, kita juga harus menyelamatkan perekonomian kita agar semua orang bisa tetap makan.

Sementara itu, pilihan-pilihan solusi yang tersedia tidak bisa mengurai semua masalah sekaligus.

Vaksin masih butuh waktu lama untuk diciptakan. Buruh/karyawan yang dipecat tidak bisa begitu saja berdemo lalu mendapatkan hak-haknya secara tunai. Para pelaku usaha juga tidak bisa menodong pemerintah untuk membantu menghidupkan usahanya sekaligus.

Di sisi lain, pemerintah sendiri tengah sibuk memikirkan alokasi anggaran untuk mengatasi krisis yang menghampar di depan mata. Mau minta tolong negara lain, ya, sungkan (mungkin)—lha wong negara sekelas Amerika Serikat saja juga sedang kelimpungan menghadapi pandemi Corona, kok. Mau ngutang pun harus mikir-mikir dulu, karena hutangnya sendiri sudah terlanjur banyak.

Benang kusut pun semakin kusut hingga semakin sulit untuk diurai. Segala sesuatunya membuat pening isi kepala. Pusing. Pusing. Pusing. Hingga tanpa kita sadari, sisi kemanusiaan kita perlahan sudah terserak menjadi puing-puing.[]

May 01, 2020Benny Prastawa