Thursday, March 7, 2019

Menjadi Pengangguran yang Sewaras-Warasnya Pengangguran

Suatu hari, dua sahabat yang dulu satu almamater bertemu di sebuah warung kopi...
Jarwo     : “Halo, Bro. Gimana kabarnya?”
Paiman  : “Kabar gue baik, sob. Masih bernapas.”
Jarwo     : “Kerja apa, bro, sekarang?”
Paiman  :“Gue sekarang freelance.”
Jarwo     : “Ooh...nganggur ya...”
Paiman  : (-_-) . . . . jlebh

.   . . 

“Kerja apa” adalah salah satu basa-basi yang paling potensial menggugah tensi lawan bicara (setelah basa-basi “kapan kawin”). Basa-basi semacam itu sangat mungkin menimbulkan ketidaknyamanan bagi lawan bicara. Terlebih jika basa-basi itu ditujukan pada pemuda waras, berusia produktif, alumni perguruan tinggi ternama dengan titel mentereng, tapi terpaksa menjalani status pengangguran.

Jika lawan bicaranya memang seorang pengangguran, boleh jadi ia akan tersinggung atau merasa tidak enak dengan basa-basi “kerja apa”. Sementara jika lawan bicaranya bukan pengangguran, tapi status pekerjaannya kalah mentereng dibanding si penanya, maka situasi obrolan boleh jadi menjadi kurang nyaman. Si penanya bisa dianggap sedang pamer kesuksesan atau sekedar ingin merendahkan pekerjaan lawan bicaranya. Karena itu, saya pribadi selalu berusaha menghindari topik obrolan seputar pekerjaan jika sudah bertemu teman lama.

Pada dasarnya, tidak ada seorang waras pun di dunia ini yang ingin jadi pengangguran. Selama tubuh masih perkasa dan badan masih menyatu hayat, setiap orang pasti ingin bekerja. Agama pun mengajarkan kita untuk tekun bekerja dan membenci para penganggur yang berpangku tangan.

Sayangnya, karena alasan tertentu, tidak semua orang waras yang sehat jasmani rohani bisa bekerja. Ada saja kejadian, keadaan, dan putaran nasib yang memaksa seseorang menjadi pengangguran—boleh jadi sejenak, boleh jadi tidak. Tentu saja, ini adalah salah satu segmen hidup yang paling “menyebalkan” tapi harus dilalui oleh siapapun sebelum memulai fase baru bersama pekerjaan impian.

Selain “menyebalkan”, menjalani nasib sebagai pengangguran juga tidak mudah. Ada semacam sanksi sosial yang kita rasakan jika setiap hari luntang-luntung tidak jelas. Ada celetuk basa-basi yang tidak enak jika kita hanya berdiam di rumah, alih-alih pergi ngantor atau jualan ke pasar. Belum lagi jika memikirkan desakan ekonomi, desakan sosiologi, dan desakan “biologi” yang kadang menuntut untuk dipenuhi. 

Beruntung jika keluarga kita tergolong mampu, sehingga bisa menalangi sebagian kebutuhan harian kita. Jika tidak, kitalah yang harus berdikari, prihatin, melamar pekerjaan ke sana ke mari, sampai kerja-kerja “serabutan”, demi memastikan kompor dan gas 3kg di dapur bisa dipakai.

Selain terlihat buruk dari segi kemasyarakatan, status pengangguran juga terlihat buruk dari segi kebahasaan. Lebih-lebih bagi kelompok pemuda usia produktif. Maksud saya, jika kita otak-atik, kata “pemuda” itu sendiri tidak ada enak-enaknya jika digabung dengan kata “pengangguran”. Buktinya, setiap kita mengetik “pemuda pengangguran” di Google, maka hasilnya cenderung mengarah pada konten negatif.

.   . .

-  Niat Melamar Gadis Pujaan, Pemuda Pengangguran Ini Justru Dipolisikan...
-  Nekat Curi Mobil, Pemuda Pengangguran Dibekuk Polisi...
-  Pemuda Pengangguran Diciduk Polisi, Ini Penyebabnya...
-  Curi Mobil Teman Sendiri, Pemuda Pengangguran Diamankan...
-  Diduga Berbuat Zina, Pemuda Pengangguran Ditangkap Warga...
Pemuda Pengangguran, Harusnya Kerja Malah Jualan Sabu...
-  Faktor Ekonomi, Pemuda Pengangguran Bobol Rumah Tetangga...
-  Curi HP Penjaga Warkop, Pemuda Pengangguran Dibekuk Polisi...
-  Alasan Ekonomi, Pemuda Pengangguran Nekat Curi Angkot...
-  Teler Berat, Pemuda Pengangguran Pukuli Remaja Di Masjid...
Pemuda Pengangguran Kepergok Bobol Kantor, Babak Belur Dimassa...
-  .............. 
-  .............. 
-  ..............  (silahkan lanjutkan sendiri)

.   . .

Melihat kenyataan itu, saya jadi teringat sebuah sesi Stand Up Comedy yang dibawakan Cak Lontong. Pada sesi itu, Cak Lontong berceloteh, “Pengangguran yang tahu diri, mencari PEKERJAAN. Tapi pengangguran yang tidak tahu diri, mencari HIBURAN”.

Meski disambut gelak tawa yang riuh dari penonton, kelakar Cak Lontong banyak benarnya. Seorang pengangguran yang sadar dirinya sehat, fisiknya normal, otaknya waras, masih muda, tidak memiliki beban tanggungan, tapi tidak memiliki pekerjaan, sudah semestinya bergegas mencari pekerjaan. Itu jika si penganggur sedang sadar (atau dalam falsafah Jawa disebut “eling”).

Tapi bagaimana jika si penganggur sedang tidak eling?
Yaah, kondisinya tidak akan jauh-jauh dari kasus-kasus yang terindeks Google  tadi. Dan karena kondisinya sedang tidak eling, hidup si penganggur juga jadi serba tidak eling. Tidak eling pada peran dan tanggung jawab sosialnya. Tidak eling pada orangtua yang gelisah memikirkan masa depannya. Tidak eling pada kebutuhan-kebutuhan yang memburu untuk dipenuhi. Bahkan tidak eling pada hakikat hidup ini sementara—boleh jadi esok lusa dirinya sudah teronggok tidak bernyawa. Kesibukan para pengangguran yang tidak eling ini—ya, seperti kata Cak Lontong tadi—mencari hiburan. Karena hiburan adalah pelarian paling menyenangkan dan menenangkan.

Sementara para pengangguran tidak tahu diri mencari hiburan, para pengangguran yang tahu diri bergegas mencari pekerjaan. Jiwa-jiwa mereka yang tansah eling mendorong mereka untuk tidak berpangku tangan menunggu nasib. Baris demi baris Curriculum Vitae (CV) ditulis dengan optimis.  Lamaran demi lamaran dikirimkan dengan sepenuh harapan. Tak apa jika kelak harus gagal, setidaknya aku gagal dalam perjuangan—begitu prinsipnya.

Beruntung sekali jika kalian termasuk golongan “bejo” yang tidak pernah mencicip status pengangguran. Katakanlah, begitu lulus sekolah menengah, kalian langsung dapat kerja di sebuah perusahaan bonafit. Atau begitu wisuda universitas, kalian bergegas mendaftar CPNS, lolos seleksi, lalu prenges-prenges menjadi pegawai negeri. Amboi.

Nyatanya, dunia kerja kekinian tidak semulus angan-angan utopis kita. Bursa kerja mengharuskan kita melalui jalan berdarah-darah untuk bisa memenangkan persaingan. Ketatnya persaingan kerja ini berbanding lurus dengan semakin meningkatnya angka kelahiran bayi—yang berarti meningkatnya jumlah pesaing kita di masa depan.

Setiap tahunnya, para “lulusan segar” (fresh graduated) dari berbagai jurusan dan latar belakang pendidikan saling sikut memperebutkan lowongan kerja yang jumlahnya tidak seberapa—katakanlah tiga lowongan kerja diperebutkan seribu-dua-ratus-delapan-puluh-empat orang(!). Mau, tak mau, persaingan kerja seketat itu memaksa sekawanan manusia untuk legowo menjadi “pengangguran”, sebagai konsekuensi logis karena kalah dalam persaingan kerja. Sebuah “keniscayaan zaman” yang semestinya bisa kita maklumi bersama.

Karena itu, hal terpenting yang harus dilakukan para pengangguran adalah menata pola pikir (mindset) mereka. Mindset ini akan menentukan mentalitas dan perilaku si penganggur selama menjalani waktu-waktu luangnya. Seorang pengangguran yang cenderung pada mindset negatif, akan terjebak pada perilaku yang negatif pula. Narkoba, depresi, asusila, pencurian, perkelahian, dan aktivitas hura-hura adalah segelintir contohnya. Alih-alih jika mindset si penganggur positif, maka fase menganggur akan dijalani dengan optimisme, keyakinan, serta pengharapan baik—bahwa kelak dirinya akan mendapat pekerjaan impian, sambil terus meningkatkan kualitas diri sembari menunggu lowongan atau kesempatan kerja itu datang.

Setiap orang memiliki kebebasan untuk memilih cara bagaimana mengatur jalan pikirannya sendiri,” kata Napoleon Hill. Meski tampak sepele, urusan menata mindset atau pola pikir ini tidak kalah pentingnya bagi para pengangguran. Mindset yang positif harus dibangun agar mereka tidak terperosok dalam kubang depresi. Jika dalam rentang waktu tertentu si penganggur tidak kunjung mendapat pekerjaan, padahal kebutuhan hariannya mendesak untuk dipenuhi, si penganggur akan menghadapi masalah. Belum lagi jika si penganggur tidak memiliki keluarga atau pihak lain yang bisa menalangi kebutuhannya untuk sementara. Siapapun yang berada dalam situasi seperti ini sangat mungkin terkena depresi.

Jadi, daripada sibuk berbasa-basi “kerja apa”, jauh lebih baik jika kalian mengobrolkan hal lain yang lebih menyenangkan dan tidak ada sangkut pautnya dengan urusan dapur rumah. Atau jika baru gajian, kenapa tidak kalian traktir saja teman kalian makan? Hal itu jauh lebih baik untuk menjaga perasaan teman kalian terlepas dari apapun pekerjaan mereka.

Toh, kalau dipikir-pikir, untuk apa pula kita harus tahu pekerjaan orang lain? Jika kebetulan yang ditanya punya pekerjaan, memang tidak ada masalah. Tapi jika yang ditanya malah sedang nganggur, bagaimana? Atau kalau pekerjaannya mentok di office boy, tukang sapu, tukang parkir, atau petugas SPBU, kalian mau apa? Masak iya, kalian bisa sampai tidak merasa bersalah untuk melanjutkan percakapan?

Karena sungguh, pengangguran bukanlah sebuah aib. Bukan pula sebuah tabu yang mesti ditertawakan. Ia hanya sebuah fase di mana seseorang harus lebih banyak bersabar—“Oh, mungkin belum waktunya bagi saya. Saya harus lebih gigih berusaha”. Ia hanya sebuah masa ketika cita-cita, harapan, dan pekerjaan impian harus saling berjarak—sejenak.[]


March 07, 2019Benny Prastawa