Saturday, March 2, 2019

Dilarang Membaca di Sekolah



Hari itu, Jono agak kesal pada guru ekonominya. Buku Sejarah Indonesia Modern karangan M. C. Ricklfes miliknya disita. Gurunya menganggap Jono tidak memperhatikan pelajaran, alih-alih asyik membaca buku sejarah. Jono juga dituduh berlaku kurang hormat karena sudah menyepelekan gurunya. Dalam hati, Jono tidak terima dengan tuduhan itu. Jono berusaha membela diri.

“Saya kan tidak berbuat gaduh di kelas. Saya juga tidak bikin onar atau mengganggu teman-teman saya. Saya hanya membaca buku karena saya senang membaca. Apa salahnya membaca? Bukankah tujuan saya sekolah untuk belajar?”
Gurunya menimpali, “Ya, tidak ada yang salah dengan hobimu membaca. Tapi waktu membacamu yang salah. Etika sekolah ini mengharuskan murid memperhatikan guru saat pelajaran berlangsung!”
“Tapi saya tidak punya banyak waktu membaca, Pak.” Jono mengulurkan tangan meminta bukunya.
“Peraturan tetap peraturan. Ada waktu lain untuk membaca tapi bukan di jam pelajaran saya. Buku ini terpaksa saya sita,” kata guru ekonomi itu sambil membawa buku Jono.

Jono mendengus sebal. Baginya, penyitaan bukunya tidak adil. Jono merasa lebih berminat pada pelajaran sejarah daripada ekonomi. Bagi Jono, selama tujuannya untuk belajar, tidak ada masalah jika murid “mencuri waktu” pelajaran sekedar untuk membaca buku—meski buku yang dibaca tidak ada kaitannya dengan pelajaran saat itu. Lagipula yang dibaca Jono adalah buku sejarah, bukan komik receh atau majalah porno. Tapi Jono bisa apa? Murid hanya tunduk patuh pada guru dan peraturan sekolah. Jika sudah begini, apa bedanya sekolah dengan perbudakan?*

.   . .

Boleh jadi, ada banyak murid seperti Jono di luar sana—kedapatan membaca buku yang tidak nyambung saat pelajaran (buku yang tidak nyambung ini selanjutnya disebut “buku-lain”). Di satu sisi, sang guru berdalih jika pelajarannya penting dan harus diperhatikan. Sementara murid beralasan jika dirinya merasa berhak membaca buku-lain karena aktivitas tersebut tidak mengganggu proses pembelajaran. Kalaupun ada pihak yang paling merugi dengan aktivitas membaca buku-lain, orang itu tidak lain adalah si murid sendiri—karena sangat mungkin gara-gara membaca buku-lain, si murid tidak paham materi pelajarannya.

Membaca buku-lain memang berpotensi mendistraksi fokus murid pada pelajaran yang sedang berlangsung. Pelajaran-pelajaran yang membutuhkan konsentrasi lebih, seperti matematika, akan menjadi lebih sulit jika murid tidak berkonsentrasi dalam memahami konsep-konsepnya. Apalagi jika belajar matematika sambil diselingi membaca buku-lain. Sampai batas-batas tertentu, guru memang berhak meluruskan waktu membaca para muridnya demi menjaga fokus mereka pada pelajaran yang tengah berlangsung.

Akan tetapi, guru juga harus mafhum bahwa murid bukan seperti sapi yang langsung patuh begitu dicocok hidungnya. Murid memiliki hak untuk menentukan minat belajarnya, termasuk menentukan bagaimana caranya akan belajar. Murid berhak untuk merasa jenuh terhadap mata pelajaran tertentu. Murid juga berhak mengantuk ketika sebuah pelajaran berjalan monoton tanpa variasi metode pembelajaran. Akibatnya, banyak cara dilakukan murid untuk keluar dari kondisi yang serba menjemukan tersebut, misalnya dengan mengobrol dengan teman, bermain ponsel, berjalan-jalan, gaduh, sampai membaca buku-lain. Hal-hal semacam itu wajar dilakukan murid di tengah pelajaran—terutama ketika memasuki jam-jam siang.

Bagi saya, murid yang membaca buku-lain saat pelajaran lebih bisa dimaafkan daripada murid yang berbuat gaduh atau asyik bermain ponsel di bawah laci! Kita semua tahu, tingkat literasi orang Indonesia sangat rendah. Berdasarkan survey Program for International Student Assessment (PISA) tahun 2015, Indonesia berada di peringkat 62 dari 70 negara dalam urusan literasi. Sementara survey CCSU (Central Connecticut State University) tahun 2016 malah menempatkan Indonesia pada peringkat kedua dari bawah di antara 61 negara—hanya setingkat di atas Botswana! Karenanya, ketika saya melihat satu dua murid yang asyik membolak-balik halaman buku, saya tidak merasa prihatin, alih-alih saya merasa girang dan berterima kasih. “Puji Tuhan, ternyata masih ada bocah-bocah Indonesia yang mau membaca buku...” batin saya.

Semestinya, ada perlakuan khusus bagi murid-murid yang tertangkap basah sedang membaca buku-lain ketika pelajaran. Jenis atau genre buku-lain yang dibaca patut dijadikan pertimbangan, apakah perlu sampai disita atau tidak. Lagipula, seperti kata Jono, waktu membaca yang dimilikinya tidak banyak. Hal ini terutama karena jam belajar di sekolah yang semakin padat dan nyaris “merampas” waktu istirahat murid. Sampai batas tertentu, hal ini bisa dibenarkan.

Salah satu alasannya karena kebijakan full day school. Kebijakan ini berdampak pada meningkatnya waktu belajar murid di sekolah. Tujuannya memang positif—menambah waktu belajar demi melihat murid-murid menjadi lebih pintar dan terhindar dari aktivitas-aktivitas nirfaedah jika pulang sekolah lebih awal. Tapi konsekuensinya, dengan waktu belajar yang lebih banyak, murid menjadi lebih sering pulang sore. Apalagi jika si murid mengikuti les atau ekskul di sekolah. Akibatnya, sesampainya di rumah, murid sudah terlalu capek. Dalam kondisi itu, jangankan untuk belajar, sekedar menahan kantuk saja boleh jadi tidak betah.

Pertanyaannya, jika sudah begitu, kapan si murid bisa menyalurkan hobinya membaca buku? Kapan mereka mengkhatamkan berlembar-lembar novel kesukaannya? Apakah dua hari di akhir pekan bisa membantu murid menyalurkan hasrat membacanya? Apakah dua kali jeda istirahat di sekolah akan cukup? Apakah semua itu cukup? Boleh jadi tidak. Lebih-lebih jika murid sudah mencapai tahap menyukai aktivitas membaca. Pilihan yang paling masuk akal bagi murid adalah membawa buku bacaan ke sekolah lalu membacanya di sela-sela waktu pelajaran. Oh, tapi peraturan sekolah melarang murid membaca buku-lain saat pelajaran. Murid harus mengikuti dan memperhatikan pelajaran yang sedang berlangsung. Well, di sinilah letak dilemanya.

Jika murid dibebaskan membaca buku-lain di tengah pelajaran, bagaimana murid akan memahami pelajaran yang diterangkan gurunya? Padahal materi yang sedang diterangkan sangat penting (untuk bahan ujian nasional, misalnya). Tapi jika murid dilarang membaca buku-lain, apakah “memasung” minat baca murid adalah cara yang bijak? Jangan-jangan, karena dilarang membaca, murid malah tidak berminat lagi membaca buku.

Sistem pendidikan di Indonesia memang doyan menjejali murid dengan seabrek bahan pelajaran. Semua itu harus dikuasai murid, setidaknya sampai murid mencapai batas kriteria ketuntasan minimal. Khusus untuk mata pelajaran yang diujian-nasionalkan, fokus belajar murid benar-benar diarahkan ke mata pelajaran tersebut. Tidak peduli apakah murid menaruh minat pada pelajaran itu atau di pelajaran lainnya, murid tetap wajib menguasai semua materi pada mata pelajaran yang akan diujian-nasionalkan. Tidak ada “demokrasi” dalam pendidikan kita yang membebaskan murid memilih pelajaran A atau pelajaran B. Semua jenis mata pelajaran dengan segala kekusutan materinya harus dikuasai murid. Tidak ada alasan dan tidak ada tawar-menawar di sini. Tidak peduli murid bosan atau tidak, lelah atau tidak, suka atau tidak, mereka harus pandai dalam semua mata pelajaran (titik). Pada akhirnya, semua beban belajar itu mendorong murid mencari pelarian di tengah pelajaran, seperti dengan berbuat gaduh, ngobrol, bermain ponsel di laci, atau membaca buku-lain.

Karenanya, dilema membaca buku-lain saat pelajaran hanya akan berputar-putar seperti lingkaran setan. Di tengah upaya meningkatkan semangat literasi para murid, kita dihadapkan pada realitas akar masalah yang sangat sistemik, melibatkan banyak faktor, ketergantungan pada kebijakan penyelenggara pendidikan, masalah candu gadget yang merajalela, serta keengganan mendalami masalah ini secara serius demi mencari win-win solution. Sementara semua kekusutan itu terjadi, murid-murid yang mencuri waktu membaca buku-lain—seperti Jono—akan semakin mempertanyakan:

Jika setiap keinginan membaca dibatasi, minat belajar dipaksakan, dan buku-buku bacaan disita—sebenarnya—buat apa aku sekolah? Mencari ilmu, menjadi pintar, mencari ijazah, atau sekedar menjadi ‘budak’ yang melayani ambisi, gengsi, dan keinginan para orang tua?”[]


*Cerita Jono hanya ilustrasi fiktif untuk membantu pembaca memahami konteks masalah yang dibicarakan pada tulisan ini.
March 02, 2019Benny Prastawa