Saturday, November 10, 2018

Game Legendaris Satu-Satunya (1)


Awalnya, saya bukan seorang maniak game. Saya tidak pernah serius mengikuti tren perkembangan game. Saya juga tidak pernah mengeluarkan uang sepeser pun hanya untuk menuruti keinginan bermain game, entah untuk bermain game online, pergi ke rental, atau membeli sendiri konsol game digital seperti Nintendo, SEGA, atau Playstation. Boleh dibilang, saya hanya kebetulan "nyasar" dan berkenalan dengan dunia game.

Sepanjang TK sampai SD kelas 5 (sekitar tahun 1997-2003), saya lebih akrab dengan permainan-permainan konvensional seperti layang-layang, petak umpet, kejar-kejaran, tik tir (adu kelereng), atau sekedar sepakbola. Sebenarnya, pada tahun-tahun itu, sudah banyak beredar konsol permainan digital, seperti Ding Dong, Nintendo, dan SEGA. Tapi semua itu terlalu mahal untuk ukuran kampung saya yang terletak di pelosok kabupaten. Untuk bisa menikmati konsol game semacam itu, anak-anak di kampung saya harus bersepeda ke kota yang berjarak belasan kilometer dari kampung saya. Karena itu, tidak ada teman-teman sebaya di kampung saya yang pernah bermain ke tempat persewaan konsol game digital seperti itu. Kalaupun ada konsol game digital yang masuk ke kampung saya, paling banter hanya sejenis permainan gameboard (baca: gimbot)—yang lebih sering membuat pemainnya nyeri kepala karena level kesulitannya hanya berupa peningkatan kecepatan grafis hitam-putihnya.

Saat SD, saya terbilang anak rumahan yang lebih senang bermain di rumah daripada mblayang (bepergian) ke luar. Saya hanya akan keluar jika ada teman-teman sebaya yang mengajak bermain di lapangan RT, semisal untuk bermain sepakbola atau petak umpet. Jika sedang tidak ada teman, saya bermain perang-perangan dengan koleksi miniatur tokoh kartun. Saya memiliki cukup banyak koleksi miniatur seperti ini. Tapi, jangan kira miniatur saya seperti action figure impor seharga jutaan rupiah. Miniatur saya hanya mainan bocah berbahan dasar plastik daur ulang. Itu pun juga hadiah dari makanan ringan seharga seribuan! Sepanjang tahun 1999 sampai 2002-an, makanan ringan yang dijual di warung-warung memang sering menyertakan hadiah langsung di dalam kemasannya. Selain uang dan kelereng, hadiah yang paling diincar anak-anak seperti saya adalah miniatur tokoh superhero. Saking penasarannya, tidak sedikit anak-anak yang memborong berbungkus-bungkus makanan ringan hanya demi mendapatkan hadiah langsungnya (jika beruntung, sih).

Kembali ke soal konsol game digital. Perkenalan saya dengan konsol game digital baru dimulai saat kelas 5 SD. Saat itu, seorang teman saya (beda sekolah), mengajak saya dolan ke rumahnya. Di rumah teman saya inilah untuk pertama kalinya saya melihat Nintendo dan SEGA. Teman saya memang terbilang cukup makmur sehingga bisa memiliki dua konsol game sekaligus. Koleksi kaset permainannya pun bejibun menumpuk di rak. Saya hanya bisa geleng-geleng kagum melihatnya. Contra, Metal Slug, dan Super Shoot Soccer adalah beberapa judul game yang pernah saya mainkan bersama teman saya itu. Tapi, sebagai gamer pemula, saya benar-benar payah. Saya lebih sering menonton teman saya bermain daripada ikut bermain.

Selang beberapa waktu, konsol game Playstation 1 (PS1) mulai menjamur di kampung saya. Konsol game ini memang berbeda dengan Nintendo atau SEGA. Pilihan permainannya jauh lebih banyak dengan pergerakan grafis yang lebih halus. Banyak teman SD saya yang kecanduan dan mulai mencuri-curi waktu untuk pergi ke rental PS1—termasuk anak-anak di sekitar rumah saya. Seringkali, pada jam biasa anak-anak berkumpul bermain, ada saja satu dua anak yang “menghilang” karena dolan ke tempat rental PS1. Banyak cerita seru tentang game-game yang mereka mainkan di tempat rental. Mendengar semua itu, saya pun tertarik mencoba pergi ke tempat rental.

Dasar anak rumahan, saya perlu waktu lama untuk bisa mencuri-curi waktu pergi ke tempat rental. Etika di rumah mengajarkan saya untuk selalu izin ke mana pun saya akan pergi. Karenanya, saya perlu alasan yang jelas dan meyakinkan untuk bepergian agak jauh dari rumah. Dengan dalih pergi bersepeda, sambil mencuri-curi waktu, saya bersama beberapa teman berhasil mblayang ke tempat rental PS1 yang berada di kampung sebelah (di kampung saya belum ada rental PS1). 

Setibanya di tempat rental, saya mulai menjajaki beberapa jenis game, mulai dari game sepakbola, pertarungan silat, sampai balap motor. Saya tidak terlalu menikmati permainan saya karena terganggu dengan keriuhan anak-anak lain yang menyemut di depan konsol gamenya masing-masing. Yang paling risih, ada pula segelintir anak yang bermain game (duel) sambil memasang uang taruhan. Edan. Setelah kunjungan pertama saya ke tempat rental, saya agak kapok dan hanya sesekali mengunjungi tempat itu lagi. Teman saya—yang tadi saya ceritakan memiliki Nintendo dan SEGA di rumahnya—juga pernah mengajak saya bertanding PS1. Dan saya, lagi-lagi tidak pernah menang darinya.

Karena tidak ada kenyamanan apapun yang saya dapat dari tempat rental PS1, saya pun berkomitmen untuk tidak lagi mengunjungi tempat-tempat seperti itu. Saya mulai berpikir jika tempat rental PS1 hanya cocok untuk anak-anak yang gagal dalam pelajaran di sekolah. Sayangnya, komitmen saya hanya bertahan sampai saya SMP.

Setelah lulus SD, saya memutuskan untuk mendaftar di salah satu SMP di pusat kota kabupaten. Karena lokasinya di pusat kota kabupaten, ada banyak pilihan rental PS1 dan media hiburan anak yang tersedia di sana. Jika di kampung hanya ada PS1, di kota kabupaten saya berkenalan dengan mesin Ding Dong dan beberapa rental game komputer. Sejak saat itu, wawasan saya tentang game berkembang pesat. Apalagi, beberapa teman SMP saya juga memiliki konsol game PS1 dan komputer PC sendiri di rumah. Sesekali, saya dolan ke rumah mereka untuk numpang bermain dengan konsol game mereka.

Seorang karib SMP saya, Budi namanya, adalah kompatriot saya dalam bermain game. Saya sering menghabiskan waktu untuk bermain PS1 bersama Budi. Berkat Budi, saya bertransformasi menjadi seorang penikmat game. Jika dulu saya berpikir “game itu dosa”, berkat Budi, saya mulai berpikir jika “game adalah selingan yang penting”. Jika dulu saya sering kalah bermain PS1, berkat Budi, keahlian permainan saya meningkat pesat.

Waktu bermain saya semakin lapang setelah saya tinggal bersama bibi saya di kota kabupaten. Saya numpang tinggal di rumah bibi karena rumahnya lebih dekat dengan SMP saya. Kebetulan rumah bibi saya tidak jauh dari rumah Budi. Saya pun semakin sering pergi ke rental PS1 bersama Budi. Sesekali, saya dan Budi juga mencoba-coba bermain rental game komputer untuk selingan.

Dari beragam game yang pernah saya coba, kegandrungan saya mengerucut pada game sepakbola Winning Eleven. Betapapun payahnya saya bermain, saya tidak pernah kapok untuk kembali memainkan game buatan KONAMI ini. Terlebih, setelah berkenalan dengan Budi, level permainan saya meningkat—meski saya lebih sering kalah jika bertanding dengan Budi.

Kebersamaan saya dan Budi dalam bermain Playstation terus berlanjut bahkan sampai kemunculan konsol game generasi terbarunya, yakni Playstation 2 (PS2). Dari sini, saya dan Budi—yang sama-sama gandrung dengan game Winning Eleven—mulai bekerjasama membuat klub sepakbola virtual sendiri dalam kompetisi Master League.[]

Lanjut ke sini.
November 10, 2018Benny Prastawa